99
sehari-harinya dia selalu menghitung uang hasil jualannya dan hasil jualannya dapat dipastikan setiap harinya.
Wanita-wanita yang mempunyai tingkat pendidikan menengah, yang tidak dapat lagi melanjutkan sekolahnya karena kendala dana, tidak sabar lagi tinggal di desanya. Mereka
memasuki kota besar seperti Medan, Jakarta, Batam, Pulau Jawa dan lainnya. Banyak diantara mereka yang bekerja di perusahaan pabrik, bahkan ada yang bekerja di hotel.
Penghasilan yang mereka terima sudah pasti setiap bulannya dibandingkan jika tetap di desa. Selain penghasilan yang tidak menentu, ada anggapan bahwa bekerja di sawah mengurangi
status sosial mereka. Mereka yang cukup berhasil menabung, sekali atau dua kali setahun kembali ke kampung halaman untuk mengunjungi keluarga saat akhir tahun atau musim
libur.
77
Perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain bukan hanya mempengaruhi komposisi penduduk, tetapi juga aspek lain baik di daerah yang ditinggalkan dan daerah
Ada juga yang pulang ke kampung untuk ziarah ke makam orang tua atau leluhur mereka, sebagai ikatan spiritual antara mereka dengan kampung halamannya. Biasanya
mereka akan dijumpai di kedai saat di pasar dan berbincang-bincang dengan penduduk setempat dan secara tidak langsung di sinilah dipamerkan hasil-hasil yang mereka peroleh
dan pengalaman mereka di perantauan. Hal itu dapat menjadi ‘rayuan’ bagi penduduk setempat dan orang tua rela memberangkatkan anak-anaknya dari kampung halaman agar
dapat memperoleh hasil yang demikian pula.
5.2 Dampak Terhadap Desa Simaninggir
77
Wawancara dengan Herlina Nainggolan dan Tiomina Marbun, Pusuk I, 24 April 2013
Universitas Sumatera Utara
100
tujuan. Fakta sejarah menyebutkan bahwa petani dan kaum terdidik yang pindah jika dilihat dari struktur umur adalah golongan usia produktif. Orang-orang yang produktif dan
potensiallah yang pada umumnya lebih siap menghadapi tantangan di daerah yang akan dimasuki. Falsafah hidup yang memotivasi orang Batak Toba khusunya Simaninggir pindah
dari kampung halamannya, dari kelompok petani atau golongan terdidik, menimbulkan kecenderungan bahwa penduduk yang tinggal di kampung halaman adalah orang yang sudah
tua atau yang masih muda menunggu siap untuk pindah. Walaupun perpindahan itu merupakan upaya mencapai cita-citanya, tetapi hal itu
jelas mempengaruhi persediaan tenaga kerja di kampung halaman. Lebih jauh lagi menyebabkan potensi alam yang ada tidak digunakan lebih optimal. Desa Simaninggir
semakin miskin karena arus dana yang keluar untuk membayar sewa lahan sawah yang dikelola dengan bagi hasil karena pemiliknya sudah ada yang tinggal di daerah perantauan.
Kemudian pada lahan kering dibiarkan menjadi tarulang. Selanjutnya pelarian tenaga kerja terdidik, terampil dan potensial.
78
Seperti uraian di atas, jelaslah bahwa perpindahan orang-orang yang berpendidikan lebih menonjol setelah tahun 1970-an. Ambisi mencari pendidikan ke mana-mana merupakan
refleksi falsafah mereka bahwa ‘pendidikan’ sumber hikmah adalah kekayaan yang tertinggi, yang tidak dapat dicuri, dan diambil dari manusia terdidik itu. Ilmu dan pengalaman yang
telah mereka peroleh setelah lulus dari pendidikannya tidak disalurkan di Tapanuli Utara khususnya di Desa Simaninggir. Mereka tidak kembali ke kampung halaman, karena tidak
tersedia pekerjaan yang layak bagi mereka, tetapi sebaliknya mereka mencari pekerjaan di
78
Ibid.,Parisan Nainggolan dan Tiomina Marbun, Pusuk I, 24 April 2013
Universitas Sumatera Utara
101
kota-kota besar di mana mereka melanjutkan pendidikannya sebelumnya atau ke kota lainnya.
Di samping kesempatan kerja yang lebih banyak, juga dapat memberikan mengembalikan modal pendidikan yang telah mereka korbankan selama itu. Terakhir adalah
kampung halaman menjadi sunyi yang lama kelamaan menjadi kosong. Desa Simaninggir kehilangan penduduknya karena perpindahan kaum tani dan kaum terdidik yang terus
berlangsung sampai benar-benar ditinggalkan pada tahun 2002. Untuk menjalin hubungan dengan kampung halaman, mereka wujudkan dalam bentuk partisipasi pembangunan tugu
karena tugu merupakan suatu kebanggaan bagi marga atau keluarga yang membangunnya. Kadang mereka kembali untuk berziarah dan berpartisipasi dalam upacara adat, seperti
perkawinan, kematian, yang dilakukan oleh keluarga atau teman di kampung halaman. Perkembangan sosial budaya yang bergerak cepat pasca masyarakat Simaninggir
mengecap dunia pendidikan, menimbulkan banyak dampak terhadap kehidupan dan pergaulan sosial mereka. Perkembangan itu disadari sepenuhnya adalah pengaruh kemajuan
pendidikan, hubungan masyarakat yang terbuka dan sangat cepat antar propinsi dan antar sukubangsa. Perubahan yang terjadi akan berpengaruh kepada struktur dan sistem sosial
masyarakat Batak Toba secara keseluruhan, khususnya terhadap kampung halamannya. Keputusan untuk meninggalkan Simaninggir merupakan pilihan yang ditawarkan oleh
misi budaya untuk mencapai hamoraon, hagabeon dan hasangapon bagi penduduk Simaninggir, menyebabkan pemiskinan di kampung halaman mereka. Sebab mereka tidak
merasa berkewajiban untuk memboyong sebagian hasil usaha di perantauan ke kampung halaman mereka kembali.
Universitas Sumatera Utara
102
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN