Anak Salah Asuh

B. Anak Salah Asuh

Baru-baru ini saja salah asuh anak (child maltreatment) menerima pengakuan sebagai suatu masalah sosial, walaupun sejarah penganiayaan dan penerlantaran anak sudah lama sekali. Salah asuh anak berlangsung sepanjang semua ras, etnis, dan kelompok-kelompok keagamaan dan ditemukan pada semua lapisan masyarakat. Statistik kejadian salah asuh anak meningkat, tetapi tidak mengagetkan, yang mempertimbangkan memburuknya kekerasan di dalam masyarakat kita. Dimana sekali keluarga menjauhkan anggota-anggotanya dari kekerasan masyarakat, kekerasan yang terjadi dewasa ini menghantui relasi-relasi keluarga dan merusak tempat perlindungan keluarga yang aman dan nyaman bagi anak-anak.

1. Definisi hukum penyaniayaan dan penerlantaran anak

Undang-undang Pencegahan dan Perlakuan Penganiayaan Anak Amerika Serikat, yang sudah diamandemen pada tahun 1996, mendefinisikan penganiayaan dan penerlantaran anak sebagai suatu tindakan atau kegagalan untuk bertindak:

• Yang mengakibatkan resiko luka yang serius dan tetap, kematian, luka fisik atau emosional yang

serius, penganiayaan seksual, atau eksploitasi • Terhadap seorang anak (seseorang yang berusia di bawah 18 tahun, kalau tidak undang-undang

perlindungan anak negara bagian dimana anak membuktikan usia yang lebuh muda untuk kasus yang tidak melibatkan penyaniaans eksual)

• Oleh orangtua atau pengasuh (termasuk petugas suatu panti asuhan atau orang lain yang

menyelenggarakan pengasuhan luar panti) yang brtanggung jawab atas kesejahteraan anak-anak (National Clearinghouse on Child Abuse and Neglect, 1997, dalam DuBois & Miley, 2005: 372).

Undang-undang negara bagian menerbitkan definisi hukum tentang penganiayaan dan penerlantaran anak. Undang-undang sipil “mendeskripsikan keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi yang mewajibkan para pelapor yang diberi kewenangan untuk melaporkan kasus-kasus penganiayaan yang diketahui atau diduga, dan mereka memberikan definisi yang dibutuhkan kepada pengdilan remaja/keluarga untuk mengasuh seorang anak yang diduga mengalami salah asuh” (National Clearinghouse on Child Abuse and Neglect, 1997, dalam DuBois & Miley, 2005: 372). Undang-undang kriminal menggunakan keadaan-keadaan dimana salah asuh anak mengakibatkan tindakan di dalam peradilan kriminal.

Semua 50 negara bagian dan Districk of Columbia telah menerbitkan suatu undang-undang pelaporan yang menjelaskan penganiayaan anak, mengindikasikan apa yang harus dilaporkan, dan rincian prosedur pelaporan. Walaupun undang-undang tentang penganiayaan dan penerlantaran anak bervariasi dari satu negara bagian ke negara bagian lain, undang-undang ini semuanya

menyaratkan pekerja sosial dan para profesional lain untuk melaporkan dugaan penganiayaan dan penerlantaran anak kepada pihak yang berwenang. Pekerja sosial harus menyadari kewajiban-kewajiban hukum dan potensi dilema etik yang terjadi dalam melaporkan penganiayaan anak. Sebagai contoh, beberapa peraturan memberi kewenangan untuk melaporkan “sebab yang masuk akal yang diyakini” atau “dugaan yang masuk akal” sementara peraturan- peraturan lain hanya menyaratkan orang yang melaporkan “mengetahui atau menduga” (Smith, 2002, dalam DuBois & Miley, 2005: 372). Selanjutnya, ada akibat-akibat hokum apabila gagal melaporkan: “Kebanyakan negara bagian telah mengkriminalisasikan kegagalan untuk melaporkan penganiayaan anak dan untuk derajat yang lebih kecil, beberapa negara bagian juga memungkinkan gugatan sipil yang didasarkan atas kegagalan seseorang untuk melaporkan” (McLeod & Polowy, 2000: 12, dalam DuBois & Miley, 2005: 372). Di bawah ini disajikan beberapa langkah praktis yang dapat ditempuh oleh pekerja sosial untuk menyiapkan diri dalam berpraktek di bidang pelayanan penganiayaan dan penerlantaran anak:

• Mengidentifikasikan ketentuan-ketentuan hukum negara bagian tertentu yang dapat diterapkan • Mengenal indikator-indikator penganiayaan dan penerlantaran anak • Memahami proses-proses dan prosedur-prosedur pelaporan • Memelihara catatan-catatan yang rinci dan akurat

• Mengidentifikasikan prosedur-prosedur badan sosial, konsultan supervisor, dan sumberdaya-sumberdaya

konseling hukum (McLeod & Polowy)

2. Jenis-jenis penyaniayaan dan penerlantaran anak

Penganiayaan dan penerlantaran anak ialah salah asuh anak oleh para pelaku pengasuhan primer. Salah asuh anak pada dasarnya masuk ke dalam kategori-kategori Penganiayaan dan penerlantaran anak ialah salah asuh anak oleh para pelaku pengasuhan primer. Salah asuh anak pada dasarnya masuk ke dalam kategori-kategori

• Penganiayaan fisik meliputi suatu cedera yang diinginkan atau yang tidak disengaja yang bersumber

dari tindakan yang membahayakan oleh orangtua atau pengasuh, seperti meninju, memukul, menggoyang, menendang, membakar, atau mencubit. Indikator-indikator penganiayaan fisik dalam pengasuhan meliputi suatu cerita tentang cedera yang tidak sesuai dengan fakta, menunda pemebrian perlakuan, dan bukti cedera ganda dalam berbagai tahap penyembuhan.

• Penganiayaan emosional ialah perilaku orangtua atau pengasuh yang secara sadar bermaksud

menyakiti anak-anak secara emosional. Contoh dari perilaku semacam ini antara lain menolak, meneror, mengabaikan, mengkambinghitamkan, mengucilkan, atau mengkorupsi anak-anak.

• Penerlantaran fisik ialah suatu kegagalan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar anak-anak

atau kurangnya pengawasan yang dalam beberapa hal mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan anak- anak. Kategori-kategori penerlantaran antara ialah pengabaian fisik (misalnya, pengabaian atau kegagalan memberikan perawatan eksehatan), pengabaian pendidikan (misalnya, membolehkan tidak bersekolah selama bertahun-tahun atau kegagalan mendaftarkan anak di sekolah), dan penerlantaran emosional (misalnya, kegagalan memberikan pengasuhan dan kasih sayang yang memadai atau membolehkan anak menyaksikan penganiayaan pasangan). Penerlantaran dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan, hambatan belajar, hambatan perkembangan fisik, kegagalan dalam melaksanakan sesuatu, dan berbagai macam masalah-masalah kesehatan.

• Penganiayaan seksual, yang sering didiamkan oleh pelaku orang dewasa yang mengintimidasikan • Penganiayaan seksual, yang sering didiamkan oleh pelaku orang dewasa yang mengintimidasikan

3. Faktor-faktor yang menyumbang bagi salah asuh anak

Model ekologis mempertimbangkan suatu interaksi yang kompleks di antara factor-faktor yang terdapat di dalam berbagai level sistem (Bethea, 1999; Hansen, Sedlar, & Warner-Rogers, 1999; Wiehe, 1996; dalam DuBois & Miley, 2005: 374). Karakteristik orangtua yang menyumbang bagi salah asuh anak antara lain ialah rendahnya harga diri, terbatasnya toleransi terhadap frustrasi, kesepian atau keterasingan, harapan-harapan yang tidak sesuai dans erring kaku terhadap perilaku anak-anak, keyakinan-keyakinan yang ebrkaitan dengan hukuman, kurangnya empati terhadap anak-anak, serta pengetahuan yang kurang memadai tentang tingkat- tingkat perkembangan anak. Alkohol dan obat-obatan memainkan suatu peran yang signifikan dalam salah asuh anak. Perkiraan menunjukkan bahwa “anak-anak yang orangtuanya menyalahgunakan alkohol dan obat- obatan cenderung tiga kali lebih sering dianiaya dan empat kali lebih sering diterlantarkan daripada anak-anak yang orangtuanya tidak menyalahgunakan alkohol dan obat-obatan” (Child Welfare League of America, 2000, dalam DuBois & Miley, 2005: 374). Kosumsi alkohol dapat mengakibatkan orangtua mengabaikan norma- norma perilaku dan mengabaikan tanggung jawab pengasuhannya.

Relasi dan jejaring kekerabatan merupakan sumberdaya- sumberdaya yang penting bagi keluarga. Kekuatan relasi-relasi interpersonal dan dukungan-dukungan sosial dapat mengurangi penganiayaan; kurangnya dukungan social menambah ketegangan dan keterkucilan, dua fakor yang dapat meningkatkan salah asuh anak. Konflik atas perubahan harapan-harapan peran dan konflik khususnya karena anak-anak nampaknya memperparah kekerasan. Stres, pengangguran, masalah-masalah perkawinan, Relasi dan jejaring kekerabatan merupakan sumberdaya- sumberdaya yang penting bagi keluarga. Kekuatan relasi-relasi interpersonal dan dukungan-dukungan sosial dapat mengurangi penganiayaan; kurangnya dukungan social menambah ketegangan dan keterkucilan, dua fakor yang dapat meningkatkan salah asuh anak. Konflik atas perubahan harapan-harapan peran dan konflik khususnya karena anak-anak nampaknya memperparah kekerasan. Stres, pengangguran, masalah-masalah perkawinan,

Sambil tetap mempertimbangkan pengaruh-pengaruh level mikro, faktor-faktor sosial seperti kualitas masyarakat dan ketetanggaan, kepolisian, sistem peradilan kriminal, badan-badan sosial yang terdapat di dalam sistem penyelenggaraan pelayanan sosial, dan dunia kerja semuanya mempengaruhi keluarga. Temuan- temuan penelitian menunjukkan bahwa stres akibat pengangguran memicu semua jenis penganiayaan. Masyarakat sebaliknya menyumbang bagi penganiayaan apabila masyarakat merespons secara tidak efektif terhadap masalah. Faktor-faktor seperti tingginya tingkat kekerasan di dalam masyarakat, termasuk kekerasan dalam rumahtangga, cenderung menyumbang bagi salah asuh anak. Kemiskinan disebut sebagai masalah kedua setelah keterlibatan dalam penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan menurut para pejabat kesejahteraan anak (Children’s Defense Fund, 2000a, dalam DuBois & Miley, 2005: 375). Selanjutnya, “pemahaman bahwa orangtua memiliki hak untuk mengasuh anak-anaknya sesuai dengan kemampuannya, di dalam privasi rumahnya, merupakan suatu tradisi yang berakar dalam di dalam sejarah Amerika Serikat” (Vondra, 1990: 25, dalam DuBois & Miley, 2005: 375).

4. Efek psikologis salah asuh anak

Efek-efek psikologis dari penganiayaan dan penerlantaran terhadap anak-anak sangat luar biasa (Lowenthal, 1999; Thomas, Leicht, Hughes, et al., 2003; dalam DuBois & Miley, 2005: 374). Sebagai contoh, anak-anak yang mengalami penganiayaan dapat mengalami kesulitan-kesulitan dalam mengatur dan mengungkapkan emosinya; menghindari hubungan- hubungan sosial yang erat dengan cara menarik diri, menghindari kontak mata, dan perilaku-perilaku yang hiperaktif atau tidak sesuai; dan berperilaku provokatif dan agresif. Mereka juga dapat mengalami gangguan- gangguan dalam memelihara hubungan-hubunan sosial yang erat dan kesulitan-kesulitan dalam belajar. Anak- anak yang mengalami salah asuh sering berpikir secara Efek-efek psikologis dari penganiayaan dan penerlantaran terhadap anak-anak sangat luar biasa (Lowenthal, 1999; Thomas, Leicht, Hughes, et al., 2003; dalam DuBois & Miley, 2005: 374). Sebagai contoh, anak-anak yang mengalami penganiayaan dapat mengalami kesulitan-kesulitan dalam mengatur dan mengungkapkan emosinya; menghindari hubungan- hubungan sosial yang erat dengan cara menarik diri, menghindari kontak mata, dan perilaku-perilaku yang hiperaktif atau tidak sesuai; dan berperilaku provokatif dan agresif. Mereka juga dapat mengalami gangguan- gangguan dalam memelihara hubungan-hubunan sosial yang erat dan kesulitan-kesulitan dalam belajar. Anak- anak yang mengalami salah asuh sering berpikir secara

5. Penganiayaan seksual anak-anak

Penganiayaan seksual mencakup serangkaian tindakan yang salah memperlakukan dan menyalahgunakan seksual (sexual maltreatment and misuse)oleh anggota- anggota keluarga dan orang lain. Penganiayaan seksual mencakup pencabulan, pemerkosaan, pornografi anak, perkawinan sedarah, dan pelacuran anak. Melalui berbagai undang-undang hak-hak azasi manusia internasional, masyarakat dunia searang menyadari bahwa semua anak-anak memiliki suatu hak yang fundamental terhadap perlindungan dari penganiayaan seksual (Levesque, 1999, dalam DuBois & Miley, 2005: 375).

Di Amerika Serikat, gambaran-gambaran yang didasarkan atas suatu hasil survei Gallup yang berskala nasional pada tahun 1995 terhadap 1000 orangtua “mengungkapkan bahwa 1,1 juta anak-anak per tahun dipaksa untuk melakukan hubungan seksual, pernah disentuh secara seksual, atau pernah dipaksa melakukan sentuhan seksual oleh orang dewasa atau anak yang lebih tua” (American Medical Association, 1996, dalam DuBois & Miley, 2005: 375). The American Academic of Pediatrics (2000, dalam DuBois & Miley, 2005: 376) melaporkan bahwa sekurang-kurangnya 1 dari 5 orang perempuan dewasa dan 1 dari 10 orang laki-laki dewasa dilaporkan pernah dianiaya secara seksual pada masa anak-anak. Perbandingan proyeksi kejadian ini dengan angka aktual yang dilaporkan menyatakan bahwa hanya sebagian kecil penganiayaan seksual anak-anak dilaporkan kepada pihak-pihak yang berwenang.

Penganiayaan seksual anak-anak mencakup perilaku seksual yang menggunakan kekerasan yang melibatkan seorang anak dan kegiatan seksual antara seorang anak dan seseorang yang “lebih tua” (misalnya, berusia 5 tahun atau lebih) daripada anak sebagai pemuasan Penganiayaan seksual anak-anak mencakup perilaku seksual yang menggunakan kekerasan yang melibatkan seorang anak dan kegiatan seksual antara seorang anak dan seseorang yang “lebih tua” (misalnya, berusia 5 tahun atau lebih) daripada anak sebagai pemuasan

Sejumlah faktor resiko telah diidentifikasikan berkaitan dengan penganiayaan seksual anak-anak; namun demikian, tidak satu pun dari faktor-faktor itu memiliki hubungan yang cukup kuat dengan terjadinya penganiayaan dimana adanya hubungan itu dapat memainkan suatu peran yang menerangkan atau mengaburkan pengidentifikasian kasus-kasus actual” (Finkelhor, 1993: 67, dalam DuBois & Miley, 2005: 375). Faktor-faktor resiko yang dimaksudkan ialah:

• usia sebelum remaja • perempuan • adanya kehadiran ayah tiri • tidak adanya orangtua (salah satu orangtua)

kandung • ibu cacat, sakit, atau bekerja • relasi yang buruk antara orangtua dan anak yang

korban • konflik atau kekerasan orangtua (Finkelhor)

Suatu tinjauan penelitian di bidang penganiayaan seksual anak-anak mempelihatkan bahwa dampak-dampak awal dari penganiayaan seksual anak-anak dapat mencakup perasaan-perasaan ketakutan, kemarahan dan permusuhan, serta bersalah dan ragu-ragu (Browne & Finkelhor, 1986; Graverholtz, 2000; dalam DuBois & Miley, 2005: 375). Gejala-gejala perilaku menunjukkan Suatu tinjauan penelitian di bidang penganiayaan seksual anak-anak mempelihatkan bahwa dampak-dampak awal dari penganiayaan seksual anak-anak dapat mencakup perasaan-perasaan ketakutan, kemarahan dan permusuhan, serta bersalah dan ragu-ragu (Browne & Finkelhor, 1986; Graverholtz, 2000; dalam DuBois & Miley, 2005: 375). Gejala-gejala perilaku menunjukkan

Tinjauan Browne dan Finkelhor (1986, dalam DuBois & Miley, 2005: 375). juga menyatakan faktor-faktor yang menyumbang bagi respons anak-anak terhadap penganiayaan seksual. Penelitian menunjukkan bahwa dampaknya lebih buruk apabila pelaku penganiayaan itu adalah ayah atau ayah tiri dari anak tersebut, apabila relasinya melibatkan kontak alat kelamin, apabila pelaku penganiayaan itu menggunakan paksaan atau memasuki anak, dan apabila sistem perlindungan anak memindahkan anak dari rumahnya.