Isu-isu yang dihadapi oleh orang-orang yang mengidap HIV/AIDS

2. Isu-isu yang dihadapi oleh orang-orang yang mengidap HIV/AIDS

Orang-orang yang mengalami suatu penyakit menahun seperti HIV/AIDS menghadapi sejumlah isu. Tahap perkembangan dan keadaan-keadaan sosial budaya mereka Orang-orang yang mengalami suatu penyakit menahun seperti HIV/AIDS menghadapi sejumlah isu. Tahap perkembangan dan keadaan-keadaan sosial budaya mereka

a. Menghadapi stigma

Orang-orang dengan HIV/AIDS (ODHA) harus berhadapan dengan ketakutan publik, keterasingan, viktimisasi, dan ostrasisme (pemboikotan dari hubungan-hubungan sosial). Perasaan-perasaan tidak berdaya, sulit bergerak ke mana-mana, dan kehilangan kendali sering menimpa mereka (Poindexter & Linsk, 1999; Stephenson, 2000; dalam DuBois & Miley, 2005: 328). Pengetahuan masyarakat umum akan HIV/AIDS sebagai suatu penyakit dari masyarakat yang termarjinalisasikan pada akhirnya menambah runyam kehidupan ODHA. Kaum perempuan Amerika Serikat keturunan Afrika yang tertular HIV/AIDS mengadapi suatu penindasan berlapis tiga yaitu dampak-dampak dari ras, jender, dan stigma akibat penyakit yang menahun itu. Suatu studi kualitatif tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para orangtua yang merawat anak-anaknya yang dewasa yang tertular HIV/AIDS memperlihatkan betapa parah dampak-dampak dari stigma ini di daerah-daerah pedesaan (McGinn, 1996, dalam DuBois & Miley, 2005: 328). Hasil studi itu memperlihatkan bahwa stigma ini membatasi akses mereka kepada pelayanan-pelayanan kesehatan; memutuskan relasi ODHA dari keluarga luas dan teman-temannya; dan hubungan-hubungan sosial mereka diboikot di dalam masyarakat dimana mereka Orang-orang dengan HIV/AIDS (ODHA) harus berhadapan dengan ketakutan publik, keterasingan, viktimisasi, dan ostrasisme (pemboikotan dari hubungan-hubungan sosial). Perasaan-perasaan tidak berdaya, sulit bergerak ke mana-mana, dan kehilangan kendali sering menimpa mereka (Poindexter & Linsk, 1999; Stephenson, 2000; dalam DuBois & Miley, 2005: 328). Pengetahuan masyarakat umum akan HIV/AIDS sebagai suatu penyakit dari masyarakat yang termarjinalisasikan pada akhirnya menambah runyam kehidupan ODHA. Kaum perempuan Amerika Serikat keturunan Afrika yang tertular HIV/AIDS mengadapi suatu penindasan berlapis tiga yaitu dampak-dampak dari ras, jender, dan stigma akibat penyakit yang menahun itu. Suatu studi kualitatif tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para orangtua yang merawat anak-anaknya yang dewasa yang tertular HIV/AIDS memperlihatkan betapa parah dampak-dampak dari stigma ini di daerah-daerah pedesaan (McGinn, 1996, dalam DuBois & Miley, 2005: 328). Hasil studi itu memperlihatkan bahwa stigma ini membatasi akses mereka kepada pelayanan-pelayanan kesehatan; memutuskan relasi ODHA dari keluarga luas dan teman-temannya; dan hubungan-hubungan sosial mereka diboikot di dalam masyarakat dimana mereka

b. Melanjutkan kehidupan sehari-hari

Orang-orang dengan HIV/AIDS (ODHA) menghadapi sejumlah kesulitan dalam kehidupan mereka sehari- hari antara lain ialah kehidupan di dalam ketidakpastian, membangun masa depan mereka, semuanya sambil mempertahankan rasa harapan (Rose, 1998; Shenoff, 1998; dalam DuBois & Miley, 2005: 329). Kesulitan-kesulitan ini diperburuk oleh hakekat penyakit yang tidak dapat diramalkan. Tantangan-tantangan dalam melanjutkan pekerjaan bagi ODHA antara lain ialah relasi interpersonal dan kegiatan-kegiatan pekerjaan pada saat yang sama mereka dan rekan-rekan kerja mereka menghadapi penyakit menahun dan, pada akhirnya, penyakit yang akan segera mengakhiri kehidupan mereka. Walaupun ODHA dilindungi di dalam Undang-undang Kecacatan di Amerika Serikat, untuk dapat melanjutkan suatu pekerjaan bergantung pada stamina fisik seseorang dan juga tuntutan-tuntutan pekerjaan. Sambil tetap menghormati relasi-relasi interpersonal, keluarga dan teman-teman dapat bereaksi dengan cara terlalu melindungi atau bahkan memberikan tuntutan- tuntutan yang tidak realistik. Namun demikian, untuk dapat menghadapi ketakutan-ketakutan dan berkomunikasi secara terbuka adalah sangat penting untuk memberikan suatu rasa martabat dan harga diri. Terakhir, ODHA, sama seperti orang-orang lain yang mengalami penyakit yang akan segera mengakhiri kehidupan mereka, menghadapi isu-isu eksistensial (keberadaan) atau spiritual yang mencakup pencarian makna di dalam kehidupan mereka dan pencarian nilai dan makna di dalam penderitaan dan kematian. Mereka harus menemukan cara-cara yang memuaskan di dalam konteks kematian.

c. Menghadapi kehilangan

Orang-orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sering harus berhadapan dengan rasa kehilangan yang luar biasa dan berangsur-angsur yang tidak biasa dalam tahap Orang-orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sering harus berhadapan dengan rasa kehilangan yang luar biasa dan berangsur-angsur yang tidak biasa dalam tahap

d. Membuat rencana bagi orang-orang yang ia akan tinggalkan

Orang-orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sering menemukan suatu rasa keberlangsungan dan resolusi dalam membuat rencana bagi orang-orang yang mereka akan tinggalkan. Dengan melibatkan diri di dalam suatu proses perencanaan bagi masa depan orang-orang yang mereka akan tinggalkan memberikan mereka suatu kesempatan untuk menghadapi segala kemungkinan-kemungkinan sebagai akibat dari kematian mereka yang segera akan datang. Tugas-tugas ini dapat lebih dikonkretkan antara lain dengan melakukan suatu keinginan, merencanakan pemakaman, menghubungi keluarga dan teman-teman, atau dapat mencakup isu-isu yang subyektif dan interpersonal antara lain seperti menyiapkan pengacara, keinginan hidup, merencanakan keuangan, melaksanakan suatu keinginan, merencanakan pemakaman, menghubungi keluarga dan teman-teman. Persiapan juga dapat meliputi isu-isu yang subyektif dan interpersonal seperti merajut kembali relasi yang sudah berantarakan dan mengerjakan secara rinci rencana- rencana pengasuhan anak-anak yang masih menjadi tanggungan mereka.

e. Isu-isu khas perempuan

Di Amerika Serikat dan di seluruh dunia, angka kejadian HIV/AIDS meningkat secara drastis di kalangan perempuan, dan dampaknya terhadap kaum perempuan tetap belum terlihat secara besar-besaran (Peterson, 1995; Tangenberg, 2000; dalam DuBois & Miley, 2005: 329). Faktor-faktor yang menyumbang kepada ketidaknampakan ini antara lain ialah rasisme, ketidaksetaraan jender, kemiskinan, dan ketidakberdayaan, serta spesifikasi medis dari HIV/AIDS yang bersifat diskriminatif, yang mengabaikan banyak kalangan perempuan yang sudah benar-benar tertular HIV/AIDS dari kategori diagnostik HIV, dan dengan demikian, dari kesempatan-kesempatan perlakuan. Hal lain yang memperburuk situasi yang mereka hadapi ialah, banyak kalangan perempuan yang tertular HIV harus berhadapan dengan penyakit mereka di dalam konteks tanggung jawab perawatan/pengasuhan— perawatan/pengasuhan bagi pasangan mereka yang sudah berada pada AIDS tahap akhir dan perawatan/pengasuhan anak-anak, yang beberapa di antaranya juga sudah tertular HIV (Van Loon, 2000, dalam DuBois & Miley, 2005: 330). Apabila anak- anak dilibatkan, kaum perempuan sering mengemban tanggung jawab untuk melakukan penjagaan dan pengasuhan (Taylor-Brown, 1998, dalam DuBois & Miley, 2005: 330).

Suatu studi kualitatif terbaru yang berskala kecil terhadap delapan perempuan yang tertular HIV/AIDS memperlihatkan beberapa isu penting antara lain ialah kekhawatiran-kekhawatiran kaum perempuan akan stigma dan penolakan, perawatan dalam menghadapi kematian mereka sendiri dan kompleksitas penyakit, kebutuhan mereka akan dukungan sosial sementara pada saat yang bersamaan mereka mengalami ketakutan dikucilkan dari pergaulan-pergaulan sosial seandainya penyakit mereka diketahui oleh orang lain, penyesalan mereka akan kematian mereka sendiri, dan kebutuhan mereka akan informasi yang akurat (Hackl,

Somlai, Kelly, & Kalichman, 1997, dalam DuBois & Miley, 2005: 330).