Latar Belakang Penulisan PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Tiongkok, atau Chung-kuo dalam bahasa Mandarin, artinya Negara Tengah. Nama ini baru populer sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20, terutama setelah lahirnya Republik Tiongkok pada tahun 1912. 1 Negara Cina memiliki jumlah penduduk terbesar di seluruh dunia, sekalipun program Keluarga Berencana dianjurkan. Sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi, peradaban Cina telah tumbuh dan berkembang dengan pesat dalam bentuk kebudayaan masyarakat. Mulai dari fisik arsitektur bangunan, administrasi pembangunan hingga tradisi spiritual dan agama. Dalam sejarah peradaban dunia, masyarakat Cina dikenal dengan kebudayaannya yang sampai saat ini masih kental. Ajaran-ajaran spiritual seperti Taoisme, Budhisme dan Konfusianisme dipercayai secara luas oleh masyarakat Cina. Begitu kuatnya masyarakat memegang teguh tradisi spiritual itu, berbagai praktek keagamaan tetap terpelihara sejak awal masuk ke negara Indonesia sampai saat ini dan telah mewarnai kehidupan masyarakat Cina perantauan di Indonesia. Kehidupan keagamaan komunitas Cina perantauan juga menggambarkan fenomena ini. Meskipun berusaha sekuat tenaga untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat, meskipun kehidupan mereka senantiasa dilandasi suatu upaya memelihara kepercayaan tradisi yang diperoleh dari negara asalnya. Keberadaan Cina sebagai etnis minoritas di Indonesia dengan berbagai permasalahannya, sering disorot secara umum. Mereka dikelompokkan sebagai suatu etnis yang memiliki karakteristik yang berbeda di masing-masing daerah, seperti 1 Ensiklopedi Indonesia, jilid 6, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, hlm. 3561. komunitas Cina yang tinggal di Sumatra Barat, Medan, Pontianak, Surabaya, Tangerang dan daerah-daerah lainnya yang tersebar di Indonesia. Perbedaan ini bisa jadi karena pengaruh pada saat waktu kedatangan, perbedaan daerah asal, dialek bahasa, pekerjaan, pendidikan, budaya serta adat istiadat daerah tempat tinggal mereka yang baru. 2 Bahkan dalam sidang kabinet pada tanggal 27 Januari 1979 dengan tegas mengatakan “Khonghucu bukan Cina”. Sejak itulah status agama Khonghucu menjadi tidak jelas. Namun, akhirnya pada zaman pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid Gusdur, agama Khonghucu mulai mendapat ketenangan. Hal ini dapat di lihat dari pertemuan Abdurrahman Wahid dengan tokoh-tokoh agama di Bali pada bulan Oktober 1999, dan dalam pertemuannya dengan masyarakat Cina di Beijing pada November 1999. ketenangan yang merupakan angin segar bagi pemeluk agama Khonghucu ini tidak pernah dijumpai pada zaman Orde Baru. Pada tahun 2000, agama Khonghucu sudah mulai mendapat pengakuan dari pemerintah, terutama pengakuan yang datangnya dari presiden Abdurrahman Wahid Gusdur. Menurut Gusdur, 3 sebuah agama dapat dikatakan agama atau tidak, bukan urusan pemerintah, sebab yang menghidupi agama bukan jaminan pemerintah, tapi hati manusia. 4 Dalam Ensiklopedi Indonesia, 5 dikatakan bahwa peranakan Tionghoa yang hidup di Indonesia merupakan minoritas yang heterogen, 6 dan kompleks. Secara kultural, mereka terbagi atas: peranakan, yaitu Tionghoa yang berbahasa daerah sebesar 55 dan lahir di tanah Indonesia. Peranakan yang dimaksud bukan hanya dalam artian biologis 2 Erniwati, Asap Hio di Ranah Minang, Yogyakarta: Ombak, 2007, hlm. xiii. 3 Nama panggilan dari Abdurrahman Wahid presiden ke-4 Republik Indonesia 4 M. Ikhsan Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, hlm. 105-106. 5 Ensiklopedi Indonesia, Jilid 6, hlm. 3560. 6 Terdiri atas berbagai unsur yang berbeda, bervariasi, beraneka ragam. Lihat Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Media Centre, hlm. 254. saja tetapi juga dalam arti kebudayaan. Di rumah, mereka memakai bahasa sehari-hari di mana mereka tinggal, misalnya di Jawa, mereka memakai Bahasa Jawa, begitu juga komunitas Cina Peranakan yang tinggal di Tangerang. Kebanyakan dari mereka tidak bisa menggunakan bahasa Cina. Adat istiadat mereka juga tidak sepenuhnya Cina, tetapi mereka telah mengambil adat istiadat daerah setempat, 7 dan komunitas Cina Totok, yaitu komunitas Cina yang berbahasa Cina sebanyak 45, mereka sangat memegang teguh adat istiadat Cina. Oleh sebab itu, komunitas Cina pun menganut kepercayaan yang berbeda-beda, seperti: Budha, Tao, Islam, Kristen, Katolik, Khonghucu, Sam Kauw Tri Dharma dan kebatinan. Menelusuri jalan kehidupan sebagian dari penduduk Negeri Cina yang ingin mengadu nasib di “negeri seberang”, maka sampailah beribu-ribu orang dalam waktu puluhan tahun ke berbagai kawasan. Kisah keberanian suatu generasi yang mendobrak keadaan untuk mengubah nasib keturunannya itu kemudian terangkai dalam kisah bagaimana kaum pendatang berintegrasi dengan dunia barunya. Di Indonesia, Kaum pendatang dari Cina itu cukup banyak sumbangsihnya dalam mengembangkan perkebunan dan teknologi. Tanpa terasa kaum pendatang melebur melalui budaya, teknologi, kuliner dan perkawinan dengan masyarakat pribumi. 8 Meja leluhur adalah suatu ajaran Cina yang masih dipertahankan oleh masyarakat Cina peranakan, tetapi dengan berbagai sifat yang sama sekali bukan adat Cina. Seperti yang diketahui bahwa kebudayaan di Tiongkok 100 patrilokaal. 9 Hal itu juga terlihat 7 Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2005, hlm. 35. 8 Pribumi: Penduduk asli suatu wilayah. Lihat Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Media Centre, hlm. 428. 9 Patrilokaal, patriarkat. Susunan masyarakat menurut garis bapak. Istilah yang menunjukkan ciri- ciri tertentu pada keluarga atau kumpulan keluarga manusia, yang diatur, dipimpin, dan diperintah oleh kaum laki-laki yang tertua. Hukum keturunan dalam patriarkat dalam menurut garis bapak. Nama, harta, pada meja sembahyang leluhur, ajaran yang paling penting bagi mereka. Di meja sembahyang tidak diperbolehkan adanya sin-ci, 10 pihak perempuan, namun di Jawa larangan tersebut diabaikan. Hari raya Ywan Yang, ialah hari suci bersujud ke hadirat Thia Yang Maha Esa yang telah dilakukan umat Khonghucu sejak zaman purbakala. Kata Twan Yang berasal dari bahasa Hokkian, Twan artinya lurus, terkemuka, terang, yang menjadi pokok atau sumber, dan Yang artinya sifat positif atau matahari; jadi Twan Yang ialah matahari yang memancarkan cahaya paling keras atau terang. Hari raya ini juga disebut Twan Ngo. Ngo, artinya saat antara pukul 11:00–13:00; jadi perayaan ini tepatnya ialah pada saat tengah hari. Saat itulah pada perayaan Peh Chun, matahai benar-benar melambangkan curahnya Rahmat Tuhan. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa cahaya mataharimerupakan sumber kehidupan, lambing rahmat dan Kemurahan Thian atas manusia dan segenap makhluk hidup. Perayaan Peh Chun ialah waktunya untuk bersuci, bersujud, menyampaikan sembah dan syukur kepada Thian. Perayaan ini dipercaya sebagai hari yang tepat untuk memohon kapada Thian, dan mayarakat Cina percaya bahwa ramuan obat-obatanyang dipetik pada saat hari itu akan lebih berkhasiat. Mereka pun percaya bahwa telur ayam dapat berdiri tegak pada pukul 11:00-13:00, hal ini dikarenakan posisi matahari yang tegak lurus. Peh Chun juga dapat diartikan merengkuh dayung atau beratus perahu, milik, dan kekuasaan kepala keluarga bapak diwariska kepada laki-laki. Lihat Ensiklopedi Indonesia jilid 5 , hlm. 2585. Patrilokaal Bel.: menetap di rumah pihak keluarga suami setelah menikah. 10 Sin-ci Hok.: sebuah papan penghormatan terhadap orang yang sangat dihormati -terutama keluarga- yang telah meninggal dunia. Papan itu terdiri dari dua lapis. Lapis luar berisi informasi tentang orang yang dihormati, terutama jenis kelaminnya, nama resmi atau nama jabatan, jabatan semasa hidup bila ada, nama keturunan anak, cucu dan buyut-nya. Lapis dalam, berisi informasi khusus yang bersifat pribadi, seperti nama kecil, tentang kelahiran jam tanggal, bulan dan tahun dan tentang beberapa hal kematiannya jam, tanggal, bulan, tahun, letak makam dan arah hadap makam menurut peritungan fengshui . karena pada hari itu sering diadakan perlombaan perahu. Mengenai perlombaan perahu itu dikaitkan dengan suatu peristiwa pada hari Twan Yang di zaman Cian Kok di negeri Cho, yang kisahnya sebagai berikut: “Dinasti Ciu pada zaman Cian Kok atau zaman peperangan 403-231 SM sudah tidak berarti lagi sebagai Negara pusat. Pada zaman itu, ada tujuh negara besar. Ketujuh negara itu ialah Negeri Cee, Yan, Han, Thio, Gwi, Cho dan Chien. Negeri Chien adalah negeri yang paling dan agresif, maka enam Negara lainnya itu sering bersekutu untuk bersama-sama menghadapi Negeri Chien. Khut Gwan ialah seorang menteri besar dan setia dari Negeri Cho, beliau seorang tokoh yang Cho paling berhasil menyatulkan keenam negeri itu untuk menghadapi Negeri Chien. Oleh sebab itu, orang-orang Negeri Chien terus-menerus berusaha menjatuhkan nama baik Khut Gwan, terutama ke hadapan raja negeri Cho, Cho Hwai Ong. Di negeri Cho ternyata banyak pula menteri-menteri yang tidak setia, seperti Khongcu Lan, Siangkwan Taihu, Khien Sieng dan lain-lain. Dengan bantuan orang-orang itu, Tio Gi, seorang menteri dari Negeri Chien yang cerdik dan licik telah berhasil meretakkan dan merenggangkan hubungan Khut Gwan dengan raja Negeri Cho. Khut Gwan dipecat dari persatuan keenam negeri itu. Bahkan Cho Hwai Ong, tebujuk dengan janji-janji ynag menyenangkan, dan dating ke Negeri Chien untuk memenuhi undangan. Sesampainya di sana, Cho Hwai Ong ditawan dan baru menyesali perbuatannya. Raja negeri Cho yang baru, Cho Cing Siang Ong, kembali memberikan kepercayaan kepada Khut Gwan. Keenam negeri tadi pun dapat dipersatukan kembali walaupun tidak sekokoh dahulu. Pada 293 SM, Negeri Han dan Gwi yang melawan negeri Chien dihancurkan dan dibinasakan 240.000 orang rakyatnya. Dengan adanya peristiwa tesebut, Khut Gwan kembali difitnah akan membawa negeri Cho mengalami nasib seperti Negeri Han dan Gwi. Akhirnya Khut Gwan dipecat kembali dan dibuang ke daerah danau Tong Ting , dekat sungai Bik Loo. Di tempat pembuangan ini, Khut Gwan sering merasa kesepian dan jenuh. Pada saat itu, beliau berkenalan dngan seorang nelayan. Orang itu pandai menyembunyikan nama aslinya, hanya menyebut dirinya Gi Hu bapak nelayan. Dengan Gi Hu ini Khut Gwan mendapat teman bicara meskipun pandangan hidupnyabtdak sepaham. Di sana, Khut Gwan dikejutkan dengan berita hancurnya ibukota negeri Cho, tempat bio leluhurnya itu diserbu oleh orang-orang negeri Chien. Hal itu membuat Khut Gwan merasa kehidupannya tidak berari lagi. Suatu ketika, di saat hari raya Twan Yang, Khut Gwan mendayung perahunya ke tengah sungai Bik Loo , sambil dinyanyikan sajak-sajak ciptaannya yang telah dikenal rakyat sekitar, yang isinya mencurahkan rasa cinta tanah air dan rakyatnya. Setelah sampai di tempat yang sudah sangat jauh dari kerumunan orang itu, Khut Gwan menenggelamkan dirinya ke dalam sungai yang deras alirannya. Beberapa orang yang mengetahui kejadian itu segera berusaha menolong, tetapi hasinya nihil, jenazahnya tidak ditemukan. Gi Hu, seorang nelayan yang berkawan dengan Khut Gwan mengerahkan kawan-kawannya untuk mencari, tetapi hasilnya sia-sia belaka.” 11 11 MATAKIN, Tata Agama dan Laksana Upacara Agama Khonghucu, hlm. 71-73. Demikianlah, kematian Khut Gwan tidak sia-sia, kematian itu mampu menggerakkan hati rakyat kepada cinta yang luhur, bahkan telah mengubah sikap Gi Hu yang telah mengingkari duniawi itu. Inilah kemenangan pengorbanan Khut Gwan. Diadakannya perlombaanperahu yang dihiasi gambargambar naga liong, mengingatkan usaha mencari jenazah Khut Gwan, seorang yang berjiwa mulia dan luhur, berjiwa kuncu dari negeri Cho itu. Di Kota Tangerang, pada hari suci Twan Yang, disamping mengadakan perlombaan Perahu Peh Chun, komunitas Cina Benteng juga mengadakan Upacara pemandian Perahu. Dan upacara ini hanya dilakukan oleh komunitas Cina lainnya, baik di dalam negeri mau pun di luar negeri, bahkan di negeri Tiongkok sendiri tidak ada upacara pemandian perahu yang dikeramatkan pada hari perayaan Peh Chun. Mengenai kronologi perahu ini di keramtkan, berawal pada sekitar tahun 1850, ketika nenek buyut Rudi A. Kuhu menemukan potongan kayu yang merupakankayu bekas kapal yang hanyut terbawa arus dan melewati Sungai Cisadane. Potongan kayu itu akan dijadikan kayu bakar karena masyarakat Tangerang pada saat itu masih menggunakan kayu untuk memasak. Setelah beberapa hari setelah kayu itu dijemur, nenek buyut Rudi A. Kuhu bermimpi, bahwa kayu itu memohon agar dirawat dan jangan dijadikan kayu bakar. Nenek buyut Rudi A. Kuhu percaya, jika menyimpan dan merawat kayu tersebut, maka ia akan selamat dan terhindar dari bahaya. Karena itulah, nenek membangun sebuah tempat untuk menyimpan potongan kayu itu di daerah Karawaci. Tempat penyimpanan perahu itu awalnya hanya berupa gubug yang sederhana, namun dengan berjalannya perkembangan zaman bangunan itu direnovasi sehingga menkjadi lebih bagus. Kemudian sekitar tahun 1900, seorang Kapitan yang bernama Oey Khe Tay membuat perahu papak hijau dan dua tahun kemudian tahun 1902, para hartawan dan dermawan dari tiga gang jalan di depan Kelenteng Boen Tek Bio, yaitu gang Kalipasir, gang Tengah Cilangkap dan gang Gula Cirarabmembuat perahu papak merah untuk disumbangkan kepada Kelenteng Boen Tek Bio. Pada perayaan Peh Chun tahun 1911, saat perlombaan perahu papak hijau dan perahu papah merah, ada getek rakit yang melintang di tengah sungai, sehinga perahu papak hijau menabrak dan terpantal hingga jatuh di atas getek yang melintang itu. Hal ini mengakibatkan perahu papak hijau patah pada bagian tengah badan perahu. Perahu papak hijau yang terbelah menjadi dua itu kemudian disimpan dan disatukan dengan potongan kayu yang ditemukan nenek buyut Rudi A. Kuhu di kawasan Karawaci. Walaupun perahu itu telah terbelah dua, komunitas Cina Benteng tetap merawatnya, dan menganggap perahu tersebut adalah perahu yang keramat. Mereka juga percaya bahwa jika mereka tidak merawat potongan kayu dan perahu itu, maka kampung halaman mereka akan tertimpa musibah. Dari cerita itulah, masyarakat Cina Benteng menganggap perahu itu sebagai perahu yang keramat. Tidak hanya pendatang dari Cina saja yang memberikan sumbangsih terhadap masyarakat Indonesia yang didiami oleh mereka, para pendatang itu pun mendapat sumbangsih melalui berbagai elemen, termasuk dalam bidang bahasa, budaya dan tata cara ibadahnya. Bahkan, tata cara ibadah dalam agama Cina telah mengalami akulturasi. Hal ini terlihat pada tradisi mengkeramatkan suatu benda yang biasanya dilakukan oleh masyarakat lokal, pada perahu keramat ini, dilakuakn oleh komunitas Cina Benteng, padahal dalam tardisi Cina itu sendiri tidak mengenal keramat. Masalah akulturasi inilah yang menjadi bahan pertimbangan Penulis dalam penulisan skripsi ini. Tujuan Penulis membahas skripsi yang berjudul “PENGARUH TRADISI LOKAL DALAM TATA CARA IBADAH AGAMA CINA” Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio di Lingkungan Cina Benteng, Tangerang ini, untuk mengetahui lebih mendalam mengenai tradisi masyarakat lokal yang juga dipakai atau dilakukan oleh masyarakat Cina Benteng, khususnya mengenai pemandian perahu keramat dalam upacara Peh Chun. Dan seberapa besar pengaruh tradisi setempat terhadap peribadatan agama Cina dalam kelenteng tersebut. Penulis juga ingin mendeskripsikan tradisi keagamaan yang dijalankan oleh komunitas Cina Benteng. Mengenai pemilihan terhadap lokasi Boen Tek Bio ini berawal dari pertimbangan bahwa tempat ini merupakan suatu kelenteng tertua di kawasan Tangerang dan Kelenteng Boen Tek Bio ini memiliki hak otonom dalam pelaksanaan upacara pemandian perahu keramat ini.

B. Perumusan Masalah