Pengaruh tradisi lokal dalam tata cara ibadah agama cina : studi kasus kelenteng Boen Tek Bio di lingkungan komunitas Cina Benteng, Tengerang

(1)

PENGARUH TRADISI LOKAL DALAM TATA CARA

IBADAH AGAMA CINA

(Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio di Lingkungan Cina Benteng, Tangerang)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Theology (S.Th.I)

Disusun Oleh:

RUQOIDAH NIM: 102032124646

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H / 2008 M


(2)

PENGARUH TRADISI LOKAL DALAM TATA CARA

IBADAH AGAMA CINA

(Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio di Lingkungan Cina Benteng, Tangerang)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Theology (S.Th.I)

Oleh:

RUQOIDAH NIM: 102032124646

Di bawah bimbingan,

Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, MA NIP: 150 273 478

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H / 2008 M


(3)

PENGESAHAN PANITIA SIDANG MUNAQOSYAH

Skripsi yang berjudul Pengaruh Tradisi Lokal dalam Tata Cara Ibadah agama Cina (Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio, di lingkungan komunitas Cina Benteng, Tangerang), telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada tanggal 18 Nopember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Program Strata 1 (S-1) pada jurusan Perbandingan Agama.

Jakarta, 6 Januari 2009

Sidang Munaqosyah

Ketua Sekretaris

Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Maulana,MA.

NIP: 150 326 915 NIP: 150 293 221

Anggota,

Penguji I Penguji II

Siti Nadroh, MA. Saiful Azmi, MA.

NIP: 150 282 310 NIP: 150 282 397

Pembimbing,

Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, MA. NIP: 150 273 478


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirobbil’alamin, Segala puji dan syukur Penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT. Tidak ada kekuatan apa pun dalam diri ini, selain Karunia dan Ridho-Nya. Dan karena anugerah-Nya lah , penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul : “PENGARUH TRADISI LOKAL DALAM TATA CARA IBADAH AGAMA CINA (Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio di Lingkungan Komunitas Cina Benteng, Tangerang)”, shalawat serta salam senantiasa selalu tercurahkan kepada sumber inspirasi umat Islam, baginda Nabi Muhammad SAW, yang selalu menjadi tauladan bagi seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa perjalanan dalam upaya menyelesaikan kuliah dan skripsi ini dihiasi dengan segala kekurangan dan kelemahan Penulis, dan diwarnai dengan berbagai cobaan, tantangan dan penuh perjuangan serta kesabaran. Karena itu, tidak berlebihan kiranya jika pada kesempatan ini, Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Ayahanda dan Ibunda tercinta, H. A. Dasuki Mahmud dan Hj. Marwiyah, atas semua pengorbanan, kesabaran, support dan kasih sayang yang tiada terperih, baik berupa moril mau pun materiil, serta doa yang tidak pernah putus sepanjang masa untuk keberhasilan dan kesuksesan studi Penulis.

2. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, univerasitas islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Beserta staff dan jajarannya.


(5)

3. Ibu Dra. Ida Rosyidah, MA., Ketua Program Studi Perbandingan Agama dan Bapak Maulana, MA., selaku sekretaris Perbandingan Agama.

4. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, MA., terima kasih yang setulusnya kepada bapak atas kesabaran yang sangat luar biasa dan telah bersedia meluangkan waktu untuk mengoreksi san memberikan saran dalam penulisan skripsi ini. Tanpa pengarahan dan kritikan yang telah bapak berikan, skripsi ini tidak akan pernah selesai.

5. Bapak Agus Darmaji, M.Fils., sebagai ketua dalam sidang Munaqosyah dan Bapak Maulana, MA., sebagai sekretaris Sidang Munaqosyah. Penulis ucapkan banyak terima kasih atas kesediaannya untuk memimpin dan turut memberi nilai dalam Sidang Skripsi Penulis pada tanggal 18 November 2008.

6. Ibu Siti Nadroh, MA., dan Bapak Syaiful Azmi, MA., selaku Pengguji I dan II dalam sidang Munaqosyah Penulis.

7. Bapak Eva Nugraha, MA., yang telah membimbing saat KKN di Desa Cinangsih, Tasikmalaya, mau pun setelah KKN. Begitu banyak ilmu dan pengalaman yang bapak berikan kepada Penulis dan teman-teman KKN IKHLAS. Terima kasih juga Penulis sampaikan atas budi baik bapak dan keluarga yang selalu meluangkan waktu dan menyediakan tempat ketika teman-teman KKN IKHLAS berkumpul. Semoga Allah SWT membalasnya.

8. Para dosen yang telah memberikan ilmu kepada Penulis di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, baik secara langsung mau pun tidak langsung, selama Penulis menjalani perkuliahan di kampus tercinta.

9. Bapak Oey Tjin Eng, tidak cukup hanya dengan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas kerelaan waktu, tenaga dan pikirannya. Juga atas


(6)

kesediaan bapak menjadi Informan Kunci dalam penulisan skripsi Penulis dengan penuh kesabaran. Semoga kebaikan bapak dibalas dengan semestinya dan keberkahan serta kesehatan selalu menyertai bapak.

10.Warga sekitar lokasi penyimpanan perahu keramat (komunitas Cina Benteng) yang telah bersedia manjadi responden dan dapat mengisi questioner untuk memperkuat pembahasan dalam penulisan skripsi ini.

11.Pimpinan dan staff Perpustakaan Utama dan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan dengan cukup lengkap, sehingga dapat mempermudah Mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas kuliah.

12.Keluarga besar kakak-kakak Penulis, ka’ Yayah, yang selalu memberikan motivasi belajar dan membimbing dengan sabar sejak awal Penulis duduk di bangku Sekolah Dasar sampai kuliah sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi S-1 ini. Terlalu banyak yang sudah ka’ Yayah berikan kepada Penulis, semua itu tidak mungin terwujud tanpa dorongan dan bantuan ka’ Yayah. Dan ka’ Ali yang telah memberikan kepercayaan kepada Penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Ka’ Mimi, A Ujer, ka’ Nja, ka’ Robi, ka’ Hasbi, ka’ Irma, ka’ Wiwi, bang Dilah, Sahid, dan adik-adik Penulis, Uut dan Nding, yang tidak pernah lelah menanyakan penyelesaian skripsi ini dan memberikan semangat agar cepat-cepat menyelesaikan studi S-1 ini.


(7)

13.Keponakan-keponakan Penulis, Reza, Ulya, Sefi, Jamil, Mikhail, neng Sarah, Aufan, Zaki, Nayla dan Sabrina, yang selalu membuat Penulis tertawa di sela-sela kepenatan mendera saat mengerjakan skripsi.

14.Hamami Nashirudin, S.Sos., Curahan tenaga, pikiran dan waktu yang diberikan demi kelancaran penyelesaian skripsi ini sangat berarti dan yang sangat berkesan, hanya kata terima kasih saja tidak cukup untuk mengungkapkan semuanya. 15.Keluarga besar Bapak H. Tri Suheri dan Ibu Hj. Iroh Masturoh. Mba Ida, Mas

Boy dan Angga, semua ini tak lepas dari doa kalian semua. Terima kasih atas doa dan dukungannya selama penulisan skripsi ini hingga Penulis dapat menyelesaikannya walau dengan kurun waktu yang sangat lama.

16.Kawan-kawan seperjuangan di kelas Perbandingan Agama “Angkatan 2002”. Nunu, Yeyeh, Sahal, Acun, Desi, Phei, Parida, Mia, Abew, MC, jeng Tati, mba Eni, dan semua teman-teman yang tak dapat ditulis satu-persatu.

17.Kawan-kawan KKN IKHLAS 2005, Desi, Puji, Abew, MC, Adam, Amsari, Aisyah, Norma, mpo Dhinul, Mely, Ida, Iwan, Ade, Sri, Nurur dan Anwari. Pengalaman KKN bersama kalian selalu membuatku rindu. Semoga kebersamaan kita akan selalu terjaga.

18.Teman-teman di MAN 1 Tangerang. Umroh, Dedeh, Elisa. Terima kasih untuk nasehat dan dukungan semangat kepada Penulis. Tak lupa untuk teman-teman Gatress lainnya: Yani, Atun, Eva, Iyom, Ina, Eni, Oom, dan Leni. I miss you all.

19.Teman-teman di Semanggi, Ical yang telah memberikan saran dan nasehatnya. Ayik, terima kasih atas kritik dan saran yang sudah diberikan dalam penyusunan skripsi ini.


(8)

Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT, semoga berkenan menerima segala kebaikan dan ketulusan mereka. Terakhir, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat menambah khasanah dalam keilmuan kita semua. Amin.

Jakarta, 18 Nopember 2008 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….... i

HALAMAN PERSETUJUAN ……… ii

HALAMAN PENGESAHAN ………. iii

MOTTO ………. iv

DEDIKASI ………. .. v

KATA PENGANTAR ……… vi

DAFTAR ISI ……… ix

BAB I. PENDAHULUAN ……….. 1-14 A. Latar belakang Penulisan ……….. 1

B. Perumusan masalah ………... 9

C. Pembatasan Masalah .……… 9

D. Metodologi Penelitian dan Tehnik Penulisan ……….. 10

E. Kerangka dan Kajian Teori ……… 11

1. Tradisi Lokal ……….. 11

2. Praktek Agama ………... 12

3. Keramat ……….. 14

F. Sistematika penulisan ………... 14

BAB II. GAMBARAN UMUM KOMUNITAS CINA BENTENG ……… 16-30 A. Letak Geografis dan Keadaan Penduduk ………..…. 16

B. Sejarah Kedatangan dan Penyebutan Cina Benteng ……….. …... 20


(10)

D. Kawin Campur (Integrasi) ……….. 24

E. Mata Pencaharian ……… 26

F. Bahasa ……… 28

BAB III. PROSES AKULTURASI DALAM MASYARAKAT CINA BENTENG ....……… 31-39 A. Peranan Tradisi Ritual dalam Masyarakat Lokal ……… 33

B. Unsur Mitos dalam Tradisi Masyarakt Lokal ………. 37

BAB IV. PEMANDIAN PERAHU KERAMAT DALAM UPACARA PEH CHUN ……… 40-51 A. Persiapan Menyambut Upacara dan Perlengkapan yang Digunakan dalam Upacara serta Simbolisasinya ……..……… 40

B. Tata Cara ……… 43

C. Perhitungan Waktu Pelaksanaan ……… 46

D. Tujuan dan Manfaat ……….. 48

E. Analisis Kritis ……… 48

BAB V. PENUTUP ……… 52-55 A. Kesimpulan ……… 52

B. Saran-saran ……….... 54

DAFTAR PUSTAKA ………. 56-58 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Tiongkok, atau Chung-kuo dalam bahasa Mandarin, artinya Negara Tengah. Nama ini baru populer sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20, terutama setelah lahirnya Republik Tiongkok pada tahun 1912.1 Negara Cina memiliki jumlah penduduk terbesar di seluruh dunia, sekalipun program Keluarga Berencana dianjurkan. Sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi, peradaban Cina telah tumbuh dan berkembang dengan pesat dalam bentuk kebudayaan masyarakat. Mulai dari fisik arsitektur bangunan, administrasi pembangunan hingga tradisi spiritual dan agama. Dalam sejarah peradaban dunia, masyarakat Cina dikenal dengan kebudayaannya yang sampai saat ini masih kental. Ajaran-ajaran spiritual seperti Taoisme, Budhisme dan Konfusianisme dipercayai secara luas oleh masyarakat Cina. Begitu kuatnya masyarakat memegang teguh tradisi spiritual itu, berbagai praktek keagamaan tetap terpelihara sejak awal masuk ke negara Indonesia sampai saat ini dan telah mewarnai kehidupan masyarakat Cina perantauan di Indonesia.

Kehidupan keagamaan komunitas Cina perantauan juga menggambarkan fenomena ini. Meskipun berusaha sekuat tenaga untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat, meskipun kehidupan mereka senantiasa dilandasi suatu upaya memelihara kepercayaan tradisi yang diperoleh dari negara asalnya.

Keberadaan Cina sebagai etnis minoritas di Indonesia dengan berbagai permasalahannya, sering disorot secara umum. Mereka dikelompokkan sebagai suatu etnis yang memiliki karakteristik yang berbeda di masing-masing daerah, seperti


(12)

komunitas Cina yang tinggal di Sumatra Barat, Medan, Pontianak, Surabaya, Tangerang dan daerah-daerah lainnya yang tersebar di Indonesia. Perbedaan ini bisa jadi karena pengaruh pada saat waktu kedatangan, perbedaan daerah asal, dialek bahasa, pekerjaan, pendidikan, budaya serta adat istiadat daerah tempat tinggal mereka yang baru.2

Bahkan dalam sidang kabinet pada tanggal 27 Januari 1979 dengan tegas mengatakan “Khonghucu bukan Cina”. Sejak itulah status agama Khonghucu menjadi tidak jelas. Namun, akhirnya pada zaman pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur), agama Khonghucu mulai mendapat ketenangan. Hal ini dapat di lihat dari pertemuan Abdurrahman Wahid dengan tokoh-tokoh agama di Bali pada bulan Oktober 1999, dan dalam pertemuannya dengan masyarakat Cina di Beijing pada November 1999. ketenangan yang merupakan angin segar bagi pemeluk agama Khonghucu ini tidak pernah dijumpai pada zaman Orde Baru. Pada tahun 2000, agama Khonghucu sudah mulai mendapat pengakuan dari pemerintah, terutama pengakuan yang datangnya dari presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur). Menurut Gusdur,3 sebuah agama dapat dikatakan agama atau tidak, bukan urusan pemerintah, sebab yang menghidupi agama bukan jaminan pemerintah, tapi hati manusia. 4

Dalam Ensiklopedi Indonesia,5 dikatakan bahwa peranakan Tionghoa yang hidup di Indonesia merupakan minoritas yang heterogen,6 dan kompleks. Secara kultural, mereka terbagi atas: peranakan, yaitu Tionghoa yang berbahasa daerah sebesar 55% dan lahir di tanah Indonesia. Peranakan yang dimaksud bukan hanya dalam artian biologis

2 Erniwati, Asap Hio di Ranah Minang, Yogyakarta: Ombak, 2007, hlm. xiii. 3 Nama panggilan dari Abdurrahman Wahid (presiden ke-4 Republik Indonesia)

4 M. Ikhsan Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, hlm. 105-106.

5 Ensiklopedi Indonesia, Jilid 6, hlm. 3560.

6 Terdiri atas berbagai unsur yang berbeda, bervariasi, beraneka ragam. Lihat Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Media Centre, hlm. 254.


(13)

saja tetapi juga dalam arti kebudayaan. Di rumah, mereka memakai bahasa sehari-hari di mana mereka tinggal, misalnya di Jawa, mereka memakai Bahasa Jawa, begitu juga komunitas Cina Peranakan yang tinggal di Tangerang. Kebanyakan dari mereka tidak bisa menggunakan bahasa Cina. Adat istiadat mereka juga tidak sepenuhnya Cina, tetapi mereka telah mengambil adat istiadat daerah setempat,7 dan komunitas Cina Totok, yaitu komunitas Cina yang berbahasa Cina sebanyak 45%, mereka sangat memegang teguh adat istiadat Cina. Oleh sebab itu, komunitas Cina pun menganut kepercayaan yang berbeda-beda, seperti: Budha, Tao, Islam, Kristen, Katolik, Khonghucu, Sam Kauw (Tri Dharma) dan kebatinan.

Menelusuri jalan kehidupan sebagian dari penduduk Negeri Cina yang ingin mengadu nasib di “negeri seberang”, maka sampailah beribu-ribu orang dalam waktu puluhan tahun ke berbagai kawasan. Kisah keberanian suatu generasi yang mendobrak keadaan untuk mengubah nasib keturunannya itu kemudian terangkai dalam kisah bagaimana kaum pendatang berintegrasi dengan dunia barunya. Di Indonesia, Kaum pendatang dari Cina itu cukup banyak sumbangsihnya dalam mengembangkan perkebunan dan teknologi. Tanpa terasa kaum pendatang melebur melalui budaya, teknologi, kuliner dan perkawinan dengan masyarakat pribumi.8

Meja leluhur adalah suatu ajaran Cina yang masih dipertahankan oleh masyarakat Cina peranakan, tetapi dengan berbagai sifat yang sama sekali bukan adat Cina. Seperti yang diketahui bahwa kebudayaan di Tiongkok 100% patrilokaal.9 Hal itu juga terlihat

7 Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2005, hlm. 35. 8 Pribumi: Penduduk asli suatu wilayah. Lihat Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Media Centre, hlm. 428.

9 Patrilokaal, patriarkat. Susunan masyarakat menurut garis bapak. Istilah yang menunjukkan ciri-ciri tertentu pada keluarga atau kumpulan keluarga manusia, yang diatur, dipimpin, dan diperintah oleh kaum laki-laki yang tertua. Hukum keturunan dalam patriarkat dalam menurut garis bapak. Nama, harta,


(14)

pada meja sembahyang leluhur, ajaran yang paling penting bagi mereka. Di meja sembahyang tidak diperbolehkan adanya sin-ci,10 pihak perempuan, namun di Jawa larangan tersebut diabaikan.

Hari raya Ywan Yang, ialah hari suci bersujud ke hadirat Thia Yang Maha Esa yang telah dilakukan umat Khonghucu sejak zaman purbakala. Kata Twan Yang berasal dari bahasa Hokkian, Twan artinya lurus, terkemuka, terang, yang menjadi pokok atau sumber, dan Yang artinya sifat positif atau matahari; jadi Twan Yang ialah matahari yang memancarkan cahaya paling keras atau terang. Hari raya ini juga disebut Twan Ngo. Ngo, artinya saat antara pukul 11:00–13:00; jadi perayaan ini tepatnya ialah pada saat tengah hari. Saat itulah pada perayaan Peh Chun, matahai benar-benar melambangkan curahnya Rahmat Tuhan. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa cahaya mataharimerupakan sumber kehidupan, lambing rahmat dan Kemurahan Thian atas manusia dan segenap makhluk hidup.

Perayaan Peh Chun ialah waktunya untuk bersuci, bersujud, menyampaikan sembah dan syukur kepada Thian. Perayaan ini dipercaya sebagai hari yang tepat untuk memohon kapada Thian, dan mayarakat Cina percaya bahwa ramuan obat-obatanyang dipetik pada saat hari itu akan lebih berkhasiat. Mereka pun percaya bahwa telur ayam dapat berdiri tegak pada pukul 11:00-13:00, hal ini dikarenakan posisi matahari yang tegak lurus. Peh Chun juga dapat diartikan merengkuh dayung atau beratus perahu,

milik, dan kekuasaan kepala keluarga (bapak) diwariska kepada laki-laki. Lihat Ensiklopedi Indonesia jilid 5, hlm. 2585. Patrilokaal (Bel.): menetap di rumah pihak keluarga suami setelah menikah.

10 Sin-ci (Hok.): sebuah papan penghormatan terhadap orang yang sangat dihormati -terutama keluarga- yang telah meninggal dunia. Papan itu terdiri dari dua lapis. Lapis luar berisi informasi tentang orang yang dihormati, terutama jenis kelaminnya, nama resmi atau nama jabatan, jabatan semasa hidup (bila ada), nama keturunan (anak, cucu dan buyut)-nya. Lapis dalam, berisi informasi khusus yang bersifat pribadi, seperti nama kecil, tentang kelahiran (jam tanggal, bulan dan tahun) dan tentang beberapa hal kematiannya (jam, tanggal, bulan, tahun, letak makam dan arah hadap makam menurut peritungan fengshui).


(15)

karena pada hari itu sering diadakan perlombaan perahu. Mengenai perlombaan perahu itu dikaitkan dengan suatu peristiwa pada hari Twan Yang di zaman Cian Kok di negeri Cho, yang kisahnya sebagai berikut:

“Dinasti Ciu pada zaman Cian Kok atau zaman peperangan (403-231 SM) sudah tidak berarti lagi sebagai Negara pusat. Pada zaman itu, ada tujuh negara besar. Ketujuh negara itu ialah Negeri Cee, Yan, Han, Thio, Gwi, Cho dan Chien. Negeri Chien adalah negeri yang paling dan agresif, maka enam Negara lainnya itu sering bersekutu untuk bersama-sama menghadapi Negeri Chien. Khut Gwan ialah seorang menteri besar dan setia dari Negeri Cho, beliau seorang tokoh yang Cho paling berhasil menyatulkan keenam negeri itu untuk menghadapi Negeri Chien. Oleh sebab itu, orang-orang Negeri

Chien terus-menerus berusaha menjatuhkan nama baik Khut Gwan, terutama ke hadapan raja negeri Cho, Cho Hwai Ong.

Di negeri Cho ternyata banyak pula menteri-menteri yang tidak setia, seperti

Khongcu Lan, Siangkwan Taihu, Khien Sieng dan lain-lain. Dengan bantuan orang-orang itu, Tio Gi, seorang menteri dari Negeri Chien yang cerdik dan licik telah berhasil meretakkan dan merenggangkan hubungan Khut Gwan dengan raja Negeri Cho. Khut Gwan dipecat dari persatuan keenam negeri itu. Bahkan Cho Hwai Ong, tebujuk dengan janji-janji ynag menyenangkan, dan dating ke Negeri Chien untuk memenuhi undangan.

Sesampainya di sana, Cho Hwai Ong ditawan dan baru menyesali perbuatannya. Raja negeri Cho yang baru, Cho Cing Siang Ong, kembali memberikan kepercayaan kepada Khut Gwan. Keenam negeri tadi pun dapat dipersatukan kembali walaupun tidak sekokoh dahulu. Pada 293 SM, Negeri Han dan Gwi yang melawan negeri Chien

dihancurkan dan dibinasakan 240.000 orang rakyatnya. Dengan adanya peristiwa tesebut,

Khut Gwan kembali difitnah akan membawa negeri Cho mengalami nasib seperti Negeri

Han dan Gwi. Akhirnya Khut Gwan dipecat kembali dan dibuang ke daerah danau Tong Ting, dekat sungai Bik Loo. Di tempat pembuangan ini, Khut Gwan sering merasa kesepian dan jenuh.

Pada saat itu, beliau berkenalan dngan seorang nelayan. Orang itu pandai menyembunyikan nama aslinya, hanya menyebut dirinya Gi Hu (bapak nelayan). Dengan Gi Hu ini Khut Gwan mendapat teman bicara meskipun pandangan hidupnyabtdak sepaham. Di sana, Khut Gwan dikejutkan dengan berita hancurnya ibukota negeri Cho, tempat bio leluhurnya itu diserbu oleh orang-orang negeri Chien.

Hal itu membuat Khut Gwan merasa kehidupannya tidak berari lagi. Suatu ketika, di saat hari raya Twan Yang, Khut Gwan mendayung perahunya ke tengah sungai Bik Loo, sambil dinyanyikan sajak-sajak ciptaannya yang telah dikenal rakyat sekitar, yang isinya mencurahkan rasa cinta tanah air dan rakyatnya. Setelah sampai di tempat yang sudah sangat jauh dari kerumunan orang itu, Khut Gwan menenggelamkan dirinya ke dalam sungai yang deras alirannya. Beberapa orang yang mengetahui kejadian itu segera berusaha menolong, tetapi hasinya nihil, jenazahnya tidak ditemukan. Gi Hu, seorang nelayan yang berkawan dengan Khut Gwan mengerahkan kawan-kawannya untuk mencari, tetapi hasilnya sia-sia belaka.”11


(16)

Demikianlah, kematian Khut Gwan tidak sia-sia, kematian itu mampu menggerakkan hati rakyat kepada cinta yang luhur, bahkan telah mengubah sikap Gi Hu

yang telah mengingkari duniawi itu. Inilah kemenangan pengorbanan Khut Gwan. Diadakannya perlombaanperahu yang dihiasi gambargambar naga (liong), mengingatkan usaha mencari jenazah Khut Gwan, seorang yang berjiwa mulia dan luhur, berjiwa kuncu dari negeri Cho itu. Di Kota Tangerang, pada hari suci Twan Yang, disamping mengadakan perlombaan Perahu (Peh Chun), komunitas Cina Benteng juga mengadakan Upacara pemandian Perahu. Dan upacara ini hanya dilakukan oleh komunitas Cina lainnya, baik di dalam negeri mau pun di luar negeri, bahkan di negeri Tiongkok sendiri tidak ada upacara pemandian perahu yang dikeramatkan pada hari perayaan Peh Chun.

Mengenai kronologi perahu ini di keramtkan, berawal pada sekitar tahun 1850, ketika nenek buyut Rudi A. Kuhu menemukan potongan kayu yang merupakankayu bekas kapal yang hanyut terbawa arus dan melewati Sungai Cisadane. Potongan kayu itu akan dijadikan kayu bakar karena masyarakat Tangerang pada saat itu masih menggunakan kayu untuk memasak. Setelah beberapa hari setelah kayu itu dijemur, nenek buyut Rudi A. Kuhu bermimpi, bahwa kayu itu memohon agar dirawat dan jangan dijadikan kayu bakar.

Nenek buyut Rudi A. Kuhu percaya, jika menyimpan dan merawat kayu tersebut, maka ia akan selamat dan terhindar dari bahaya. Karena itulah, nenek membangun sebuah tempat untuk menyimpan potongan kayu itu di daerah Karawaci. Tempat penyimpanan perahu itu awalnya hanya berupa gubug yang sederhana, namun dengan berjalannya perkembangan zaman bangunan itu direnovasi sehingga menkjadi lebih bagus.


(17)

Kemudian sekitar tahun 1900, seorang Kapitan yang bernama Oey Khe Tay

membuat perahu papak hijau dan dua tahun kemudian (tahun 1902), para hartawan dan dermawan dari tiga gang (jalan) di depan Kelenteng Boen Tek Bio, yaitu gang Kalipasir, gang Tengah (Cilangkap) dan gang Gula (Cirarab)membuat perahu papak merah untuk disumbangkan kepada Kelenteng Boen Tek Bio. Pada perayaan Peh Chun tahun 1911, saat perlombaan perahu papak hijau dan perahu papah merah, ada getek (rakit) yang melintang di tengah sungai, sehinga perahu papak hijau menabrak dan terpantal hingga jatuh di atas getek yang melintang itu. Hal ini mengakibatkan perahu papak hijau patah pada bagian tengah badan perahu.

Perahu papak hijau yang terbelah menjadi dua itu kemudian disimpan dan disatukan dengan potongan kayu yang ditemukan nenek buyut Rudi A. Kuhu di kawasan Karawaci. Walaupun perahu itu telah terbelah dua, komunitas Cina Benteng tetap merawatnya, dan menganggap perahu tersebut adalah perahu yang keramat. Mereka juga percaya bahwa jika mereka tidak merawat potongan kayu dan perahu itu, maka kampung halaman mereka akan tertimpa musibah. Dari cerita itulah, masyarakat Cina Benteng menganggap perahu itu sebagai perahu yang keramat.

Tidak hanya pendatang dari Cina saja yang memberikan sumbangsih terhadap masyarakat Indonesia yang didiami oleh mereka, para pendatang itu pun mendapat sumbangsih melalui berbagai elemen, termasuk dalam bidang bahasa, budaya dan tata cara ibadahnya. Bahkan, tata cara ibadah dalam agama Cina telah mengalami akulturasi. Hal ini terlihat pada tradisi mengkeramatkan suatu benda yang biasanya dilakukan oleh masyarakat lokal, pada perahu keramat ini, dilakuakn oleh komunitas Cina Benteng,


(18)

padahal dalam tardisi Cina itu sendiri tidak mengenal keramat. Masalah akulturasi inilah yang menjadi bahan pertimbangan Penulis dalam penulisan skripsi ini.

Tujuan Penulis membahas skripsi yang berjudul “PENGARUH TRADISI LOKAL DALAM TATA CARA IBADAH AGAMA CINA” (Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio di Lingkungan Cina Benteng, Tangerang) ini, untuk mengetahui lebih mendalam mengenai tradisi masyarakat lokal yang juga dipakai atau dilakukan oleh masyarakat Cina Benteng, khususnya mengenai pemandian perahu keramat dalam upacara Peh Chun. Dan seberapa besar pengaruh tradisi setempat terhadap peribadatan agama Cina dalam kelenteng tersebut. Penulis juga ingin mendeskripsikan tradisi keagamaan yang dijalankan oleh komunitas Cina Benteng. Mengenai pemilihan terhadap lokasi Boen Tek Bio ini berawal dari pertimbangan bahwa tempat ini merupakan suatu kelenteng tertua di kawasan Tangerang dan Kelenteng Boen Tek Bio ini memiliki hak

otonom dalam pelaksanaan upacara pemandian perahu keramat ini.

B. Perumusan Masalah

Komunitas Cina di berbagai daerah, masing-masing memiliki karakteristik tertentu. Komunitas Cina Benteng di Tangerang memiliki karakteristik yang berbeda dengan komunitas Cina lainnya, seperti yang terlihat dari segi bahasa, warna kulit, kesenian, mata pencaharian dan juga ada perayaan-perayaan tertentu yang hanya ada di Tangerang ini. Mengingat luasnya jarak dan waktu antara tradisi Cina asal dengan kebudayaan lokal, maka Penulis merumuskan masalah skripsi ini, sebagai berikut:


(19)

1. Apakah ada tradisi lokal yang mempengaruhi tata cara ibadah komunitas Cina Benteng, khususnya mengenai pengkeramatan suatu benda (perahu)?

2. Mengapa perahu itu dikeramatkan oleh komunitas Cina Benteng?

C. Pembatasan Masalah

Praktek ibadah dalam agama Cina begitu banyak. Agar tidak menyimpang dari pokok pembahasan, maka Penulis membatasi pada masalah, “Pengaruh Tradisi Lokal dalam Tata Cara Ibadah Agama Cina, khususnya komunitas Cina Benteng di Kelenteng Boen Tek Bio, Tangerang, dengan memfokuskan pada proses akulturasi antara tradisi lokal terhadap upacara agama Cina, dalam hal ini pemandian perahu keramat.

D. Metodologi Penelitian dan Tehnik Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menggunakan pendekatan:

1. Penelitian Kepustakaan (Library Researcah), Penulis mengumpulkan dan membaca bahan dari berbagai buku, majalah, koran dan literatur lainnya. Setelah mengumpulkan bahan-bahan dari berbagai sumber tersebut, Penulis mengadakan studi perbandingan terhadap tulisan-tulisan yang kemudian diambil satu kesimpulan.

2. Penelitian Lapangan (Field Research), dalam metode ini Penulis meneliti dan datang ke objek-objek terkait dengan pendekatan dan mengadakan observasi baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini untuk mengetahui aspek lokalitas Kelenteng Boen Tek Bio dan tempat penyelenggaraan upacara pemandian perahu keramat dalam bingkai dinamika komunitas Cina Benteng. Penelitian lapangan ini


(20)

bermaksud mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, dan juga mempelajari interaksi dua kelompok. Dalam penelitian lapangan ini, Penulis melakukan interview, yaitu Tanya jawab dengan pihak terkait yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Selain interview, Penulis juga menyebar questioner dan yang berperan sebagai respondennya, yaitu beberapa warga sekitar lokasi penyimpanan perahu keramat atau yang disebut komunitas Cina Benteng, tepatnya jl. Imam Bonjol, Karawaci, Tangerang.

3. Antropologi, istilah antropologi berasal dari bahasa Yunani, Anthropos, yang berarti ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang manusia, dengan mempelajari tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, kepercayaan pada masa lampau, masyarakat, dan kebudayaannya. Pendekatan Antropologi ini dilakukan sebagai upaya untuk menunjang Penelitian Kepustakaan (Library Research) dan Penelitian Lapangan (Field Research).

Berkaitan dengan tehnik penulisan, Penulis merujuk pada buku yang dijadikan pedoman di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, yaitu “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta”, yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003, dengan penyesuaian yang diperlukan.


(21)

E. Kerangka dan Kajian Teori 1. Tradisi Lokal

Pengertian dan Fungsi Tradisi Lokal

Kata tradisi menurut Ensiklopedi Indonesia berasal dari bahasa latin, “tradition”, yang artinya kabar, penerusan. Hal atau isi sesuatu yang diserahkan dari sejarah masa lampau mengenai adat, bahasa, tata kemasyarakatan, keyakinan dan lain sebagainya, maupun proses penyerahan atau penerusannya pada generasi berikutnya. Sering kali proses penerusan terjadi tanpa dipertanyaka sama sekali, khususnya dalam masyarakat tertutup. Di mana hal-hal yang telah lazim dianggap benar dan paling baik diambil alih begitu saja. Memang, tidak ada kehidupan menusia tanpa suatu tradisi. Bahasa daerah yang dipakai, dengan sendirinya diambil dari sejarahnya yang panjang.12

Sedangkan kata lokal juga berasal dari bahasa latin, “locus” yang artinya tempat. Lokal merupakan ruang yang jelas, suatu daerah setempat. Jadi, pengertian tradisi lokal dapat diartikan sebagai adanya kebiasaan yang diturunkan dari nenek moyang yang dijalankan oleh masyarakat yang tinggal di suatu tempat atau daerah tertentu.

2. Upacara atau Ritual

Pengertian dan Fungsi Upacara atau Ritual

Upacara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan peringatan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan secara berkelompok atau sekumpulan manusia untuk melakukan kegiatan rutin dalam rangka memperingati hari-hari bersejarah yang dipimpin oleh pemimpin tertinggi dalam suatu organisasi atau biasa disebut dengan


(22)

upacara suci. Religi dan upacara merupakan suatu unsur dalam kehidupan manusia di dunia.13

Sedangkan kata upacara atau ritual berakar daru dua suku kata, yaitu upa dan

cara. Upa artinya mendekat. Dan cara berakar dari urutan car yang memiliki arti harmonis, seimbang, selaras. Upacara artinya keseimbangan, keharmonisan dan keselarasan dalam hidup akan mendekatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa.14 Dapat dikatakan, upacara adalah suatu permohonan dalam pemujaan berterima kasih atau pengabdian yang ditujukan kepada kekuasaan-kekuasaan leluhur yang menggenggam kehidupan manusia dalam tangannya. Dan fungsi dari upacara adalah sebagai alat komunikasi atau hubungan langsung dengan roh leluhur menurut keyakinan yang harus ditaati.

Peranan upacara juga dapat dikatakan agar selalu mengingatkan manusia berkenaan dengan eksistensi,15 dan hubungan dengan lingkungan mereka. Dengan adanya upacara, suatu masyarakat tidak hanya diingatkan tetapi juga dibiasakan untuk menggunakan symbol-simbol yang bersifat abstrak,16 yang berada pada tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan sosial yang nyata yang ada dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini mungkin terjadi karena upacara-upacara itu selalu dilakukan secara rutin (menurut skala waktu tertentu). Sehingga beda antara yang bersifat imajinatif,17 dan yang nyata menjadi kabur, dan upacara-upacara itu sendiri serta simbol-simbol sucinya

13 Ali Lukman dan kawan-kawan, Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Depdikbud, 1996, hlm. 25.

14 Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, Makna FilosofisUpacara dan Upakara, Surabaya: Paramita, 2004, hlm. 46.

15 Eksistensi: keberadaan, adanya. Lihat Tim Media, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Media Centre, hlm. 197.

16 Abstrak: tidak berwujud, tidak berbentuk, tidak dapat dijangkau oleh panca indera.

17 Imajinatif: bersifat khayal; imajinasi:daya pikir untuk membayangkan atau menciptakan gambar-gambar, karangan dan lain-lain.


(23)

bukanlah sesuatu yang asing atau jauh dari kenyataan. Tetapi sebaliknya, telah menjadi sebagian dari aspek kehidupan sehari-hari yang nyata.18

Upacara merupakan suatu perwujudan dari atau agama yang memerlukan studi dan analisa yang khusus. Upacara agama, yang bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu agama memang menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacara itu dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit pula yang hanya melakukannya setengah-setengah saja. Motivasi mereka tidak hnya untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan secara pribadi, tetapi juga karena mereka menganggap bahwa mwlakukan upacara adalah suatu kewajiban sosial.19

3. Keramat

Pengertian dan Fungsi Keramat

Kata keramat dalam Ensiklopedi Indonesia, yang ditulis oleh Hassan Shadily, berasal dari bahasa arab dari kata keramah, yang artinya mulia, agung. Dalam pengertian Sufi, berarti pekerjaan luar biasa yang dilakukan para wali.20

Keramat dapat juga diartikan sebagai tempat atau sesuatu yang suci atau disakralkan. Menurut R. Otto, keramat atau sacer adalah suatu konsep tentang hal yang gaib yang dianggap maha dahsyat, maha abadi, maha baik, adil, bijaksana. Dengan kata lain, bahwa keramat dapat dipahami sebagai sesuatu yang dikeramatkan atau disucikan.

18 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983, hlm. xi-xii.

19 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987, hlm. 67-68.


(24)

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi dalam lima bab, yaitu:

BAB I : Pendahuluan; bab ini membahas mengenai Latar Belakang Penulisan, Perumusan Masalah, Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan, kerangka dan Kajian Teori, yang terdiri atas Tradisi Lokal, Upacara atau Ritualdan Keramat, serta Sistematika Penulisan.

BAB II : Gambaran Umum Komunitas Cina Benteng; bab ini menjelaskan tentang Letak Geografis dan keadaan Penduduk yang merupakan tempat di mana Penulis melakukan penelitian. Kemudian dengan Sejarah Kedatangan dan Penyebutan Cina Benteng, Sistem Kekerabatan, Kawin Campur (Integrasi), Mata Pencaharian dan Bahasa.

BAB III : Proses Akulturasi dalam Komunitas Cina Benteng; dalam bab ini berisikan tentang Peranan Tradisi Ritual dalam Masyarakat Lokal, dan Unsur Mitos dalam Masyarakat Lokal.

BAB IV : Pemandian Perahu Keramat dalam Upacara Peh Chun; dalam bab ini akan mendiskusikan tentang Persiapan Menyambut Upacara dan Perlengkapan yang digunakan dalam Upacara serta Simbolisasinya, Tata Cara, Perhitungan Waktu Pelaksanaan, Tujuan dan Manfaat sertabdiakhiri dengan Analisis Kritis.


(25)

BAB II

GAMBARAN UMUM KOMUNITAS CINA BENTENG

A. Letak Geografis dan Keadaan Penduduk

Kota Tangerang yang mempunyai luas wilayah sekitar 17.729,746 hektar,21 lahir melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1993, pada tanggal 28 Februari 1993. Kini pertumbuhannya begitu pesat. Pesatnya pertumbuhan Kota Tangerang karena letak geografisnya berbatasan dengan Ibukota Negara Republik Indonesia, DKI Jakarta, yang senantiasa terkait langsung dengan dinamika pembangunan nasional.22

Secara geografis, Kota Tangerang terletak antara 6 6 Lintang Selatan sampai 6 13 Lintang Selatan dan 106 36 Bujur Timur sampai dengan 106 42 Bujur Timur. Sedangkan batas wilayahnya, yaitu:

1) Sebelah Utara

Berbatasan dengan Kecamatan Teluk Naga dan Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang.

2) Sebelah Selatan

Berbatasan dengan Kecamatan Curug, Kecamatan Serpong, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang.

3) Sebelah Timur

Berbatasan dengan DKI Jakarta 4) Sebelah Barat

Berbatasan dengan Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang.

21 Ziarah Budaya Kota Tangerang, hlm. 88. 22 Ziarah Budaya Kota Tangerang, hlm. 86.


(26)

Sebagai daerah yang sedang berkembang, Kota Tangerang mempunyai visi misi. Untuk mewujudkan visi pengembangan Kota Tangerang sebagai kota Industri dan perdagangan yang modern, mau tidak mau pemerintah Kota Tangerang harus mengarahkan kota ini menjadi kota yang mandiri. Visi Kota Tangerang yaitu “Menuju kota industri, perdagangan dan pemukiman yang ramah lingkungan dalam masyarakat yang ber-akhlaqulkarimah.”

Misi adalah kemauan yang kuat dengan memperhatikan kewenagna dan tanggung jawabnya atas kepentingan umum untuk mewujudkan kondisi dan situasi yang diinginkan pada akhir kurun waktu tertentu yang menyiratkan tujuan-tujuan yang harus dicapai sebagai prasyarat terwujudnya visi. Dari rumusan visi diatas, dapat diuraikan misi yang diemban Kota Tangerang adalah:

• Memulihkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi kota

• Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik

• Peningkatan tata kepemerintahan yang baik dan mewujudkan

pemerintahan yang ramah lingkungan.

Sebelumnya, Kota Tangerang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Tangerang dengan status wilayah Kota Administratif Tangerang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1981. Dengan demikian, di Tangerang terdapat dua jenis pemerintahan daerah yang setara, yaitu Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang.23

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2008, penduduk Kota Tangerang, khususnya wilayah Kelurahan Sukasari berjumlah 19.820 jiwa, yang terdiri atas 9.764 jiwa laki-laki dan 10.053 jiwa perempuan. Rasio jenis kelamin laki-laki (sex ratio) penduduk Sukasari


(27)

Tangerang tahun 2008 adalah 9.764, artinya komposisi penduduk laki-laki lebih sedikit dibandingkan penduduk perempuan.

Di Kota Tangerang inilah, terdapat tempat ibadah tertua agama Cina yang disebut Kelenteng Boen Tek Bio.24 Terletak di Jalan Bakti No. 4 Sukasari, Kecamatan Tangerang. Di sekitar kawasan itu juga terdapat tempat tinggal dan pasar komunitas yang disebut komunitas Cina Benteng. Keberadaan Kelenteng Boen tek Bio, yang didirikan sekitar tahun 1684,25 ini sangat erat kaitannya dengan sejarah Kota Tangerang.

Luas wilayah Kelurahan Sukasari sendiri 187 hektar,26 dilihat dari kondisi geografis, Kelurahan Sukasari berbatasan dengan Kelurahan Sukaasih di sebelah Utara Sukasari, Kelurahan Babakan di sebelah Selatan, Kelurahan Sukajadi di sebelah Barat, dan Kelurahan Buaran Indah di sebelah Timur.

Melihat sisi keagamaan yang dianut oleh masyarakat Tangerang, khususnya Kelurahan Sukasari, sangat variatif. Sama seperti keagamaan yang tersebar di daerah-daerah lainnya di Indonesia, agama Islam menduduki jumlah penduduk yang mayoritas pemeluknya, sebanyak 10.948 jiwa. Dan pemeluk agama Budha berada di peringkat kedua, sebanyak 5.949, termasuk Khonghucu dan Tao di dalamnya.

Berikut ini akan ditunjukkan data jumlah pemeluk agama di kelurahan Sukasari, Tangerang pada Tabel I.

24 Boen Tek Bio, kata Boen: sastra, Tek: kebajikan, Bio: tempat ibadah), menurut Claudine Salmon, dalam bukunya yang berjudul “Chinese Ephigraphic Materials in Indonesia” menyebut Kelenteng Boen Tek Bio sebagai “Kelenteng Kebajikan Benteng”.

25 Kelenteng Boen Tek Bio, hlm. 2.


(28)

Tabel I

Jumlah Pemeluk Agama di Kelurahan Sukasari, Tangerang

No. Pemeluk Agama/ Religions Follower Jumlah

1. Islam 10.948

2. Kristen Protestan 2.844

3. Kristen Katolik 1.182

4. Hindu 127

5. Budha 5.949

Sumber: Buku Monografi Kelurahan Sukasari

Kelurahan sukasari memiliki sarana peribadatan dan beberapa majelis keagamaan yang digunakan oleh berbagai agama yang dianut oleh masyarakat setempat. Yang mana keberadaan musholla paling dominan di Kelurahan Sukasari ini. Sedangkan Majelis Ta’lim dan Majelis Budha menduduki peringkat pertama dan kedua yang kelompok serta anggotanya paling dominan. Hal ini membuktikan bahwa komunitas Cina di Kelurahan Sukasari cukup banyak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel II dan Tabel III berikut.

Table II

Sarana Peribadatan di Kelurahan Sukasari, Tangerang No. Sarana Peribadatan/ Religions Facility Jumlah Gedung

1. Masjid 9

2. Musholla 15

3. Gereja 5


(29)

5. Pura -

Sumber: Buku Monografi Kelurahan Sukasari

Tabel III

Jumlah Majelis Keagamaan di Kelurahan Sukasari, Tangerang JUMLAH No. Majelis Keagamaan Kelompok Anggota

1. Majelis Ta’lim 18 253

2. Majelis Gereja 1 30

3. Majelis Budha 3 79

4. Majelis Hindu 1 10

Sumber: Buku Monografi Kelurahan Sukasari

B. Sejarah Kedatangan dan Penyebutan Cina Benteng

Awal kedatangan orang Cina ke Tangerang belum diketahui secara pasti. Dalam kitab sejarah Sunda yang berjudul “Tina Layang Parahyang” (catatan dari Parahyangan). Kitab tersebut menceritakan tentang mendaratnya rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) di suatu daerah perkampungan nelayan di muara Sungai Cisadane, yaitu di Teluk Naga, merupakan suatu tempat di mana awalya orang Cina datang ke Tangerang pada tahun 1407.27 Perahu rombongan Halung yang semula ingin mengunjungi Jayakarta, akhirnya terdampar dan mengalami kerusakan serta perbekalan mereka telah habis.

Gelombang kedua, kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang dalam buku “Nusa Jawa Silang Budaya”, pada tahun 1740 di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Andrian


(30)

Valkenier telah terjadi pembantaian massal terhadap masyarakat Cina, lebih dari 10.000 orang Cina di benteng Belanda dibantai oleh Belanda28, mereka adalah korban berbagai peraturan yang ruang geraknya dibatasi Belanda, mereka dituduh merencanakan pemberontakan dan ingin menghancurkan VOC (Veneenigde Oostindische Compagnie). Belanda yang berhasil memadamkan pemberontakan tersebut mengirimkan orang-orang Cina ke daerah Tangerang untuk bertani. Belanda mendirikan permukiman bagi orang Cina pondok-pondok yang dikenal dengan nama: Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok Aren dan sebagainya. Di sekitar Tegal Pasir atau kali Pasir, Belanda mendirikan perkampungan Tionghoa yang di kenal dengan nama Petak Sembilan.

Perkampungan ini kemudian dengan bertambahnya waktu berkembang menjadi pusat perdagangan dan telah menjadi bagian dari Kota Tangerang. Dan rencananya kawasan ini akan dijadikan sebagai kota Wisata Tangerang oleh pemerintah Kota Tangerang. Daerah ini terletak di sebelah timur Sungai Cisadane, daerah Pasar Lama. Berbicara mengenai sejarah Cina Benteng sulit dipisahkan dengan kawasan Pasar Lama sebagai suatu permukiman pertama bagi komunitas Cina di Tangerang. Persaingan perdagangan yang keras terjadi antara Banten dan Batavia (Jakarta saat ini). Di suatu pihak, kompeni Belanda mendesakkan keinginannya untuk melakukan monopoli perdagangan di wilayah kesultanan Banten. Akan tetapi di pihak lain, Sultan Banten sendiri mempertahankan sistem perdagangan bebas dan kedaulatan negara. Karena terlalu kerasnya persaingan itu, terjadilah konflik politik dan akhirnya terjadi konflik senjata.

Dalam suasana konflik itulah, kawasan Tangerang terjadi daerah pertahanan dan merangkap sebagai medan pertempuran serta daerah rebutan antara Batavia dan Banten. Kemudian Banten membangunan benteng pertahanan di sebelah barat Sungai Cisadane


(31)

dan pihak kompeni Belanda membangun benteng pertahanan di sebelah timur Sungai Cisadane untuk menahan serbuan Banten yang hendak merebut kembali Batavia dari tangan Belanda. Benteng itu sekarang sudah rata dengan tanah. Akan tetapi sangat disayangkan tidak ada keterangan tahun berapa benteng itu didirikan. Itulah sebabnya, dahulu daerah Tangerang dikenal dengan nama “Benteng” dan saat ini masih ada segelintir orang yang menyebutnya demikian. Jadi, Cina Benteng merupakan komunitas Cina yang tinggal di Benteng (Tangerang).

Cina Benteng tidak seperti Cina peranakan pada umumya yang berkulit putih meletak. Cina Benteng memang sering diidentifikasi dengan stereotip orang Cina berkulit hitam dan gelap. Sehingga sulit dibedakan dengan “orang kampung” (pribumi atau masyarakat lokal).

C. Sistem Kekerabatan

Para ahli antropologi lebih banyak memberi perhatian pada cara orang memberi nama kepada sanak keluarga mereka dalam berbagai masyarakat.29 Apa yang terungkap dalam peristilahan kekerabatan itu? Dari situ sudah pasti kita dapat memperoleh gambaran yang baik tentang struktur keluarga, hubungan-hubungan mana yang dinggap dekat atau jauh, dan kadang terlihat sikap terhadap hubungan yang mana yang dianggap penting.30

Isilah-istilah kekerabatan berbau Cina juga sangat diperhatikan. Istilah ncik-ncim, toaku-toakim, cek-kong-cimpo, dan lainnya masih dipetahankan. Sebagai perhormatan, orang lain yang baru dikenal sering disapa dengan kode, kependekan dari koko gede

29 William A. Haviland, Antropologi edisi keempat Jilid 1, Jakarta: Erlangga, hlm. 378 30 Antropologi edisi keempat Jilid 1, hlm. 380.


(32)

(kakak laki-laki besar), cide atau cici gede (kakak perempuan besar). Istilah ini aslinya lambang kekerabatan seorang adik terhadap kakak laki-laki atau perempuan sulung.

Kedudukan perempuan bagi orang Cina dahulu adalah sangat rendah. Pada waktu masih kecil, saudara laki-laki mereka memperlakukan mereka dengan baik, tetapi pada waktu meningkat dewasa mereka dipingit di rumah. Setelah menikah, seorang perempuan harus tunduk kepada suaminya. Mereka tidak mendapat bagian dalam kehidupan di luar rumah. Keadaan seperti itu sudah lama ditinggalkan. Seorang perempuan dapat mengikuti perkumpulan-perkumpulan, sekolah dan dalam kehidupan ekonomi peranan pembantu suaminya dalam perdagangan memegang peranan penting. Pada masa sekarang ini, wanita berhak mendapat harta yang sama dengan laki-laki dalam hal warisan. Bahkan kadang mendapat tugas untuk mengurus abu leluhurnya sehingga suaminya yang harus ikut tinggal di rumah orang tuanya. Dengan naiknya kedudukan wanita, tidak ada lagi kecenderungan untuk memiliki anak laki-laki. Dalam sistem kekerabatan, komunitas Cina menganut sistem patrilinier. Karena itu hubungan dengan kerabat pihak ayah lebih erat, tetapi perkembangan sekarang menunjukkan hubungan antara keluarga pihak ibu sama eratnya dengan pihak ayah.31

D. Kawin Campur (Integrasi)

Pada tahun 1407, sebuah perahu terdampar di daerah Teluk Naga yang dipimpin oleh Tjen Tjie Lung (Halung), menurut kitab Babad Sunda Tina Layang Parahyang, beliau membawa 9 orang gadis dari negeri Cina, 9 gadis ini dinikahi oleh wakilnya adipati dan diberikan tanah, dan laki-lakinya mengalami integrasi, lalu berkembang dan

31 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, cet. ke-22, Jakarta: Djambatan, 2007, hlm. 364.


(33)

pindah ke desa Pangkalan, makin lama semakin berkembang mereka pindah lagi ke daerah Pasar Lama, Pasar Baru, Serpong, dan Teluk Naga. Hal ini dapat terlihat dengan adanya bangunan Kelenteng-kelenteng tua yang terdapat di daerah-daerah tersebut.

Perkawinan merupakan masa penutupan dalam kehidupan sesorang, yaitu dari masa lajang dan masa hidup tanpa beban keluarga. Orang Cina baru dianggap dewasa, bila ia telah menikah. Upacara perkawinan orang Cina di Indonesia adalah tergantung pada agamanya yang dianut. Oleh karena itu, perkawinan orang Cina yang satu berbeda lain dengan Cina lainnya. Perkawinan orang Cina Totok berbeda pula dengan yang dilakukan oleh orang Cina Peranakan. Sampai pada awal abad ke-20 perkawinan diatur oleh orang tua kedua pihak. Yang menjadi calon suami dan istri tidak mengetahui calon kawan-hidupnya, mereka baru saling melihat pada hari pernikahan. Sekarang keadaan semacam itu sudah tidak banyak terjadi.

Orang Cina Peranakan dalam memilih jodoh mempunyai batasan-batasannya. Perkawinan yang dilarang yaitu antara orang-orang yang mempunyai nama keluarga, nama she, yang sama. Kini perkawinan antara orang-orang yang mempunyai mana she

yang sama tetapi bukan kerabat dekat (misalnya, saudara sepupu), dibolehkan. Perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang masih ada hubungan kekerabatan, tetapi dari generasi yang lebih tua dilarang (misalnya, seorang laki-laki menikah dengan saudara sekandung atau saudara sepupu ibunya). Sebaliknya pernikahan seorang wanita dengan seorang anggota keluarga dari genarasi yang lebih tua, dapat diterima. Alasan dari keadaan ini ialah seorang suami tidak boleh muda atau rendah tingkatannya dari istrinya.


(34)

Peraturan lain ialah seorang adik wanita tidak boleh mendahului kakak wanitanya menikah. Peraturan ini berlaku juga bagi saudara-saudara sekandung laki-laki. Tetapi adik wanita boleh mendahului kakak laki-lakinya menikah, demikian juga adik laki-laki boleh mendahului kakak wanitanya menikah. Akan tetapi, sering kali terjadi pelanggaran terhadap peraturan ini, tetapi dalam hal itu si adik harus memberikan hadiah tertentu pada kakaknya yang didahului menikah itu.32

E. Mata Pencaharian

Sebagian besar dari masyarakat Cina di Indonesia sekarang memang hidup dari perdagangan dan hal ini suatu fakta terutama di Jawa. Dan diantaranya kebanyakan dari mereka adalah orang Hokkian. Memang 50% dari orang Hokkian di Indonesia adalah pedagang, tetapi di Jawa Barat dan di pantai Barat Sumatera ada banyak orang Hokkian

yang bekerja sebagai petani dan penanam sayur-mayur, sedangkan di Bagan Siapiapi (Riau) orang Hokkian umumnya menjadi penangkap ikan. Orang Hakka di Jawa dan Madura banyak yang menjadi pedagang, tetapi banyak juga yang menjadi pengusaha industri kecil. Di Sumatera orang Hakka bekerja di pertambangan, sedangkan di Kalimantan Barat banyak yang menjadi petani.

Masyarakat Cina yang datang dan telah mengalami akulturasi dengan masyarakat lokal (Indonesia) berasal dari suku Hokkian, Hakka, Tao Chiu, Hai Lan atau Hai Nan,

dan Kong Hu. Dalam komunitas Cina Benteng, mayoritas berasal dari suku Hokkian yang umumnya bermatapencaharian seperti petani, pedagang, nelayan, dan ahli perkebunan.33 Menurut penelitian seorang sarjana Seni Rupa dan Desain ITB Jurusan Desain

32 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, hlm. 362-363.


(35)

Komunikasi Visual, Y Sherly Marianne, kehidupan masyarakat Cina Benteng memang keras, hal itu terjadi agar mereka bisa bertahan hidup.34

Keberadaan Cina Benteng menegaskan seakan tidak semua orang Cina mempunyai posisi kuat dalam bidang ekonomi. Dengan keluguannya, mereka bahkan tidak punya akses politik yang mendukung posisinya di bidang ekonomi. Realitas Cina Benteng yang tinggal di pusat kekuasaan politik dan ekonomi menunjukkan, masyarakat etnis Cina sesungguhnya sama dengan etnis lainnya. Ada yang punya banyak uang, tetapi ada pula yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan, Ridwan Saidi, seorang Pengamat Budaya dari Betawi, melihat realitas Cina Benteng sebagai wajah lain Indonesia. Ada yang kaya, tetapi tidak sedikit pula yang miskin Sampai sekarang masih banyak komunitas Cina Benteng yang ekonominya pas-pasan atau bahkan kekurangan, misalnya, jika melihat di belakang bangunan Kelenteng Boen Tek Bio, masih ada masyarakat Cina Benteng yang menjadi nelayan tepatnya di Sungai Cisadane, atau tukang becak yang penghasilannya tidak menentu tiap harinya. Terlebih lagi kalau melihat komunitas Cina Benteng yang tinggal di desa desa dan pesisir pantai (Tanjung Kait dan Tanjung Pasir). Oey Tjin Eng pernah mengunjungi daerah tersebut dan mendapati suatu rumah, yang terbuat dari anyaman dan bilik bambu, jika akan memasuki rumah tersebut harus membungkukkan badan, karena terlalu kecil dan mudah rubuh jika disentuh. Hal itu sangat berbeda dengan kehidupan di perkotaan, yang umumnya berprofesi sebagai pedagang dan dapat dikategorikan kelas menengah.

Sedangkan, jika dilihat secara umum mata pencaharian dari penduduk Kelurahan Sukasari memang mayoritas berprofesi sebagai wiraswasta atau pedagang. Hal ini dapat dilihat pada Tabel IV berikut.


(36)

Tabel IV

Mata Pencaharian di Kelurahan Sukasari

No. Mata Pencaharian Jumlah

1. Karyawan

1) Pegawai Negeri Sipil 2) ABRI

3) Swasta

117 8 1.120

2. Wiraswasta atau Pedagang 2030

3. Pertukangan 5

4. Buruh Tani 105

5. Pensiunan 97

6. Jasa 53

Sumber: Laporan Monografi Kelurahan Sukasari

F. Bahasa

Sejak dahulu orang sudah tahu bahwa manusia dari aneka warna asal dan bangsa itu mengucapkan beraneka ragam bahasa pula, tetapi suatu hal yang menarik perhatian para ahli kesusastraan abad ke-18 yang mulai mempelajari naskah-naskah kuno dalam bahasa arab, Sanksreta, Cina dan lain-lain, adalah adanya berbagai persamaan azasi dalam bahasa-bahasa Eropa dengan bahasa Sankserta, bahasa klasik di India, baik dipandang dari sudut bentuk kata-katanya, maupun dari tata bahasanya.

Bahasa adalah sistem untuk mengkomunikasikan dalam bentuk lambang, segala macam informasi. Setiap bahasa manusia, baik Inggris maupun Cina adalah sarana untuk menyampaikan informasi dan pengalaman, baik yang bersifat cultural mau pun


(37)

individual, dengan orang lain.35 Bahasa mencerminkan realita kebudayaan dan kalau kebudayaan berubah, bahasa pun akan berubah.36

Orang Cina yang ada di Indonesia, sebenarnya merupakan bukan suatu kelompok yang berasal dari satu daerah di negara Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua propinsi, yaitu: Fukien dan Kwangtung, yang saling berjauhan daerahnya. Setiap imigran datang ke Indonesia membawa ekbudayaan suku bangsanya sendiri bersama dengan perbedaan bahasnya. Ada empat bahasa Cina di Indonesia ialah bahasa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton yang perbedaannya begitu besar, sehingga pembicara dari bahasa yang satu tidak dapat mengerti dengan pembicara yang lain.37

Bentuk-bentuk bahasa yang berbeda tetapi cukup besar persamaannya sehingga dapat saling dipahami, dikenal dengan nama dialek. Secara teknis, semua dialek adalah bahasa –tidak ada sesuatu yang bersifat parsial atau sub-linguistik pada dialek- dan batas di mana dua dialek yang berbeda itu menjadi dua bahasa yang terpisah, pada garis besarnya adalah batas di mana orang-orang yang berbicara dalam dialek yang satu hampir sama sekali tidak dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang berbicara dalam dialek yang lain. Batas-batas itu dapat bersifat psikologis, sosiologis atau ekonomis, dan tidak begitu jelas. 38

Telah disebutkan di atas, bahwa tidak seperti Cina Totok yang sampai sekarang masih memegang teguh adat dan bahasa Cina. Masyarakat Cina Peranakan sebagian besar sudah tidak dapat lagi menggunakan bahasa Cina, khususnya komunitas Cina Benteng. Keunikan dari komunitas Cina Benteng adalah bahwa mereka sudah

35 Antropologi edisi keempat, jilid ke-1, hlm. 360. 36 Antropologi edisi keempat, jilid ke-1, hlm. 377. 37 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, hlm. 353. 38 Antropologi edisi keempat, jilid ke-1, hlm. 382.


(38)

berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Dalam percakapan sehari-hari, mereka sudah tidak dapat lagi berbahasa Cina. Logat mereka bahkan sudah sangat kental dengan Sunda pinggiran bercampur dengan bahasa Betawi. Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat Cina Singkawang, Kalimantan Barat, yang berbahasa Ina.

Logat Cina Benteng memang khas. Misalnya, ketika mengucapkan kalimat, “mau ke mana”, kata “na” diucapkan lebih panjang, sehingga terdengar “mau kemanaaa”.39 Hal ini dikarenakan komunitas Cina Benteng sangat membuka peluang masuknya kebiasaan dan tata bahasa masyarakat lokal, yang sebagian besar menggunakan logat Betawi.


(39)

BAB III

PROSES AKULTURASI DALAM MASYARAKAT CINA BENTENG

Proses akulturasi dalam masyarakat terjadi apabila kelompok-kelompok atau individu-individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda saling berhubungan langsung secara intensif, dengan timbulnya perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kedua kebudayaan yang bersangkutan. Di antara variabel-variabel yang banyak itu termasuk tingkat perbedaan kebudayaan; keadaan, intensitas, frekuensi, dan semangat persaudaraan dalam hubungannya; siapa dan apakah datangnya pengaruh itu timbal balik atau tidak. Akulturasi dapat diartikan sebagai, perubahan-perubahan besar dalam kebudayaan yang terjadi sebagai akibat dari kontak antar kebudayaan yang berlangsung lama40

Akulturasi merupakan suatu proses penyesuaian diri yang sesuai dengan hakikat kebudayaannya. Proses ini mengarah kepada keserasian sosial yang bersifat wajar dan manusiawi. Istilah akulturasi muncul sejak 1936 dikalangan Antropolog Amerika sebagai reaksi terhadap studi rekontruksi histories yang dianggapnya kurang lengkap karena tidak menceritakan seluruh perubahan sosio-kulturalnya. Oleh karena itu sampai sekarang studi akulturasi dipandang sebagai salah satu bidang studi yang cukup terkenal mengenai pemahaman proses sosio-kultural.

Akulturasi sebagai perubahan budaya ditandai dengan adanya hubungan antara dua kebudayaan; keduanya saling memberi dan menerima, mengutip pendapat seorang Antropolog, Shorter, yang mengatakan bahwa akulturasi adalah pertemuan antara dua

40


(40)

kebudayaan. Lebih lanjut seorang Antropolog lain, Bee (William A. Haviland:1985) memberikan beberapa parameter mengenai pengertian akulturasi, diantaranya:

1. Akulturasi menunjukan kepada suatu jenis perubahan budaya yang terjadi apabila dua sistem budaya bertemu;

2. Akulturasi menunjukan kepada suatu proses perubahan yang dibedakan dari proses-proses difusi41, inovasi,42 invensi,43 maupun penemuan; dan 3. Akulturasi dipahami sebagai suatu konsep yang dapat digunakan sebagai

kata sifat untuk menunjukan suatu kondisi, misalnya kondisi kelompok budaya yang satu lebih terakulturasi dari budaya yang lain.

Oleh karena itu, beberapa studi akulturasi yang saling terkait dapat dibedakan antara lain: beberapa sistem kultural; sifat dari situasi hubungan; keserasian atau keakraban antara hubungan berbagai macam budaya; dan kehidupan proses budaya karena adanya hubungan sistem.44

A. Peranan Tradisi Ritual dalam Masyarakat Lokal

Masyarakat Cina Benteng sudah berakulturasi dan berintegrasi dengan lingkungan dan kebudayaan masyarakat lokal (Betawi). Seperti, yang terlihat jelas pada warna kulitnya yang kecoklatan, tidak putih meletak pada umumnya komunitas Cina. Mendengar mereka berbicara pun sudah sangat mirip dengan masyarakat lokal. Meski demikian, masyarakat Cina Benteng masih mempertahankan dan melestarikan adat

41 Difusi, proses penyebaran sesuatu dari satu pihak ke pihak lain (tentang kebudayaan, teknologi, dan sebagainya; pengaruh pengalihan pranata budaya melewati batas-batas bahasa. Lihat, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Media Centre, hlm. 185.

42 Inovasi, pembaharuan, pengenalan terhadap hal-hal yang masih baru. Lihat, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, hlm. 269.

43 Invensi, penciptaan sesuatu yang sebelumnya belum pernah ada. Lihat, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, hlm. 272.


(41)

istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun. Salah satunya adalah tampak pada keberadaan Meja Abu di setiap rumah orang Cina Benteng. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Cina Benteng selain mereka berakulturasi dan beradaptasi dengan budaya masyarakat lokal (Betawi) namun mereka masih tetap mempertahankan tradisi dan adat istiadat kepercayaan leluhur mereka yang sudah ratusan tahun. Akulturasi budaya masyarakat Cina Benteng dengan kebudayaan masyarakat lokal (Betawi) terlihat pada busana pakaian pengantin yang merupakan campuran atau akulturasi budaya Cina dengan Betawi, akulturasi bahasa, akulturasi kesenian dan sebagainya.

Melihat fenomena Cina Benteng Tangerang membuktikan bahwa betapa harmonis dan toleransinya kebudayaan Cina dengan kebudayaan masyarakat lokal (Betawi). Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Cina Benteng Tangerang hampir tidak pernah mengalami friksi (permusuhan atau perpecahan) dengan etnis lainya.

Dalam proses akulturasi budaya, tentu keduanya saling mempengaruhi antara budaya lokal dan budaya Cina, artinya bahwa ada aspek-aspek yang berperan, katakanlah peranan tradisi ritual dalam masyarakat lokal, atau ada unsur-usnur mitos dalam tradisi masyarakat lokal. Tradisi budaya pengkeramatan dalam pemandian perahu pn ini dikatakan tidak lain adalah pengaruh dari tradisi budaya masyarakat lokal Tangerang.

Koentjaranigrat membagi konsep kebudayaan kedalam tiga golongan, diantaranya:

1) Gagasan 2) Kelakuan


(42)

Gagasan sebagai ide atau pengetahuan tidaklah sama hakekatnya dengan kelakuan dan hasil kelakuan. Pengetahuan tidak dapat diamati sedangkan kelakuan atau hasil kelakuan dapat diamati dan atau dapat diraba. Kelakuan dan hasil kelakuan adalah produk atau hasil pemikiran yang berasal dari pengetahuan manusia. Jadi hubungan antara gagasan atau pengetahuan dengan kelakuan dan hasil kelakuan adalah hubungan sebab akibat; dan karena itu, gagasan atau pengetahuan tidaklah dapat digolongkan sebagai sebuah golongan yang sama namanya kebudayaan.45

Dalam tataran peranan tradisi ritual dalam masyarakat lokal, Ritual keagamaan merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan yang keramat; inilah agama dalam praktek (in action). Ritual bukan hanya sarana yang memperkuat ikatan sosial kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga suatu cara untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting, dan yang menyebabkan krisis, seperti kematian, tidak begitu mengganggu masyarakat, dan bagi orang-orang yang bersangkutan lebih ringan untuk diderita.

Para ahli antropologi telah mengklasifikasikan beberapa tipe ritual yang berbeda-beda diantaranya

a. Upacara inisiasi / peralihan (rites of passage)46 yang mengenai tahapan-tahapan dalam siklus kehidupan manusia.

b. Upacara peralihan (rites of passage) merupakan upacara keagamaan yang berhubungan dengan tahapan-tahapan yang penting dalam kehidupan manusia, seperti upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian; dan

45 Seni dalam Ritual Agama, hlm.


(43)

c. Upacara Intensifikasi (rites of intensifikasi), yang diadakan pada waktu kehidupan kelompok mengalami krisis, dan penting untuk mengikat orang-orang menjadi satu47. Sedangkna upacara intensifikasi adalah upacara keagamaan yang diadakan pada waktu kelompok menghadapi krisis real atau potensial. Upacara intensifikasi

dapat dikatakan upacara yang menyertai keadaan krisis dalam kehidupan individu.

Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan (celebration) yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus, yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci.48 Pengalaman itu mencakup segala sesuatu yang dibuat atau dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungannya dengan yang Tertinggi, dan hubungan atau perjumpaan itu bukan sesuatu yang sifatnya biasa atau umum, tetapi sesuatu yang bersifat khusus atau istimewa, sehingga manusia membuat suatu cara yang pantas guna melaksanakan pertemuan itu, maka muncullah beberapa bentuk ritual agama ibadah atau liturgi. Dalam ritual agama dipandang dari bentuknya secara lahiriah merupakan hiasan atau semacam alat saja, tetapi pada intinya yang lebih hakiki adalah pengungkapan iman. Oleh karena itu, upacara ritual agama diselenggarakan pada beberapa tempat, dan waktu yang khusus, perbuatan yang luar biasa, dan berbagai peralatan ritus lain yang bersifat sakral.

Berbagai macam bentuk ritual seperti itu merupakan transformasi simbolis dari beberapa pengalaman kebutuhan primer manusia, maka ia merupakan kegiatan yang spontan, tanpa rancangan, dan kadang kala tanpa disadari, namun polanya benar-benar

47 Antropologi edisi keempat Jilid 2, hlm. 207

48


(44)

alamiah. Kegiatan semacam ini dapat dilihat dalam pola-pola kepercayaan mitos dengan jenis-jenis ritus magi, yang didalamnya mengandung kekuatan yang menghubungkan kehendak manusia dengan penguasanya, roh-roh nenek moyangnya, dan mempengaruhi kekuatan lainnya. Dalam masyarakat primitive (kuno) menirukan gerakan binatang tertentu sebelum berburu merupakan ritus magi imitative atau simpatetis, dengan maksud agar binatang yang diinginkan dapat ditangkap. Segala pengalaman manusia dari sejak masyarakat primitive sampai sekarang, ternyata pengalaman religi dan pengalaman estetis tidak dapat dipisahkan.

Ritual ataupun ibadah merupakan transformasi simbolis dari pengalaman-pengalaman yang tidak dapat diungkapkan dengan tepat oleh media lain. Karena berasal dari kebutuhan primer manusia, maka ia merupakan kegiatan yang spontan dalam arti betapapun peliknya ia lahir tanpa niat, tanpa disesuaikan dengan tujuan yang disadari, pertumbuhannya tanpa rancangan, polanya benar-benar alamiah.49 Manusia ataupun masyarakat menjalankan ajaran yang ada di dalam agamanya hanya terbatas pada ritual yang dilaksanakan tanpa memahami kandungan dan isi dari ritual-ritual yang dijalankannya, terkadanag banyak juga yang sama sekali tidak memahami tetapi menjalankan ritual tersebut. Agama merupakan sistem keyakinan yang dipunyai secara individual yang melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran yang sifatnya pribadi, dan diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadat) yang sifatnya individual ataupun kelompok dan sosial yang melibatkan sebagian atau seluruh masyarakat.50

49

Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985, hlm. 76.

50


(45)

B. Unsur Mitos dalam Tradisi Masyarakat Lokal

Mitos pada dasarnya bersifat religius, karena memberi rasio pada kepercayaan dan praktek keagamaan. Masalah yang dibicarakannya adalah masalah-masalah pokok kehidupan manusia; dari mana asal kita dan segala sesuatu yang ada di dunia ini, mengapa kita disini, dan kemana tujuan kita. Setiap aspek masalah-masalah yang sangat luas itu dapat disebut mitos. Fungsi mitos adalah untuk menerangkan, memberi gambaran dan penjelasan tentang alam semesta yang teratur, yang merupakan latar belakang perilaku yang teratur. Mitos dapat diartikan secara istilah sebagai cerita tentang peristiwa-peristiwa semihistoris yang menerangkan masalah-masalah akhir kehidupan manusia.

Van Peursen, seorang Antropolog mendefinisikan mitos sebagai sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang, lebih lanjut Van Peursen menjelaskan fungsi mitos yaitu untuk menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib/ghaib, memberi jaminan bagi masa kini, memberikan pengetahuan tentang dunia. Mitos dimunculkan lewat kesenian rakyat, atau biasa disebut sebagai kesenian tradisional. Pada dasarnya sebuah komunitas akan memiliki ragam kebudayaannya masing-masing, seperti contoh dalam budaya dan kepercayaan masyarakat Cina yaitu ada ritual perahu keramat dalam perayaan peh chun kemudian ada tabur beras kuning dalam perkawinan chiou-thaou.

Sementara pengertian tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofi dan kearifan lokal. Mitos juga dapat diartikan sebagai cerita sakral yang ditempatkan dalam zaman yang berbeda dengan zaman pencerita, sambil mengungkapkan pemahaman realitas yang menjelaskan beberapa adat kebiasaan dalam


(46)

masyarakat sang pencerita. Dengan kata lain maka mitos ternyata juga lahir dari suatu kebutuhan “intelektual” akan penjelasan yang memuaskan, dan bukan hanya ekspresi perasaan primitive. Hanya sebagian kecil mitos adalah jelas berkaitan dengan ritus, kaitan mana memungkinkan suatu masyarakat untuk masuk secara imajinatif ke dalam keadaan yang digambarkan dalam mitos mereka. Maka kaitan seperti itu tidak boleh begitu saja diandaikan, tetapi harus dapat ditunjukan.

Selama mitos belum ditulis dan masih diperankan kembali dalam masyarakat, isi mitos dapat dan akan berubah agar tetap mencerminkan situasi politis, sosial dan konomis yang sesuai zaman. Tetapi setelah ditulis, mitos dicocokan dengan situasi-situasi yang berubah-ubah melalui interpretasi teologis. Kalau masyarakat bertambah rasional, hubungan erat antara mitos yang kuno dan pemahaman situasi aktual melemah, bisa sampai hampir menghilang. Tetapi mitos sendiri tidak menghilang. Karena mitos mengandung pemahaman intuitif akan realitas yang memungkinkan orang untuk melampaui keadaannya yang langsung, maka mitos tetap menjadi sumber untuk drama, puisi, dan seni.

Sekalipun mitos sebagai fiksi cenderung dilawankan dengan sejarah, namun demikian kisah-kisah tentang peristiwa-peristiwa sejarah dapat juga seperti mitos berperan sebagai ekspresi dan peneguhan keyakinan-keyakinan serta nilai-nilai sebuah masyarakat. Misalnya versi-versi popular cerita perang kemerdekaan akan memuliakan kepahlawanan bangsa dan memperlihatkan bagaimana yang baik biarpun kurang berdaya menang atas pihak jahat yang kuat. Proses ini dapat disebut mitologi sejarah. Karena itu bagi sebagian peneliti distingsi lama antara mitos dan legenda menjadi kabur, kurang berdasar dan kurang praktis.


(47)

BAB IV

PEMANDIAN PERAHU KERAMAT DALAM UPACARA PEH CHUN

A. Persiapan Menyambut Upacara dan Perlengkapan yang Digunakan dalam Upacara serta Simbolisasinya

Upacara pemandian perahu keramat biasanya diadakan secara meriah. Untuk menyambut upacara itu, dibentuk kepanitian yang terdiri atas pengurus perahu keramat dan perkumpulan Kelenteng Boen Tek Bio. Biasanya, sebelum upacara pemandian perahu dimulai, panitia penyelenggara mengadakan pertunjukan-pertunjukan atau atraksi-atraksi untuk memeriahkan upacara memandikan perahu pemandian perahu keramat. Pertunjukan itu diadakan berbeda-beda setiap tahunnya. Seperti dua tahun yang lalu (2006), acara ini dimeriahkan dengan pertunjukan jalan di atas bara api yang sedang menyala, pertunjukan Liong danBarongsai,51 pertunjukan mandi minyak yang masih mendidih (panas). Tetapi pada tahun 2008 ini, upacara diadakan tidak terlalu meriah dari pada tahun sebelumnya, karena keadaan dana yang terbatas, jadi hanya dimeriahkan dengan pertunjukan Gambang Kromong dan Barongsai.52

Upacara ini tidak hanya diramaikan oleh komunitas Cina Benteng, tetapi juga diramaikan oleh masyarakat lokal. Bahkan, para turis yang datang dari Malaysia, Singapura, dan Negara lainnya. Bagi para turis, upacara pemandian perahu keramat ini etrbilang unik, karena tradisi ini tidak diadakan di temapt lain. Pada saat memandikan perahu keramat, panitia menyiapkan air yang diambil dari Sungai Cisadane, kembang

51 Liong dan Barongsai: Seni tari yang berasal dari Cina yang menampilkan tiruan binatang buas, diperankan oleh 2 orang atau lebih.


(48)

tujuh rupa, dan kain merah,53 berbentuk segituga sebanyak 500 lembar kain. Air kembang bekas memandikan perahu banyak diperebutkan oleh masyarakat yang datang. Bagi mereka yang percaya, jika air tersebut dicampur dengan air biasa dan digunakan untuk mandi atau membasuh muka, mereka akan diberi umur panjang, sembuh dari penyakit, awet muda, dan enteng jodoh. Selain membawa air kembang, mereka juga menyimpan kain merah tadi untuk dijadikan jimat,54 agar mereka diberi keselamatan dan rejeki yang berlimpah. Dan uniknya lagi, menurut mereka, jika mengambil air kembang tersebut secara berebut dan saling dorong, maka khasiatnya akan lebih manjur.

Sebelum upacara dimulai, panitia juga menyiapkan sesaji di depan Perahu Keramat dan altar-altar para leluhur. Sesaji yang disediakan terdiri dari lima macam buah, yang disebut Ngo Koo (Wu Guo).55 Seperti pisang dan jeruk, merupakan jenis buah-buahan pokok yang digunakan dalam sembahyang, sedangkan tiga buah lainnya boleh apa saja, kecuali jenis buah berduri, seperti durian, salak, karena buah berkulit tajam itu dipercaya dapat melukai.

Khonghucu mengajarkan bahwa bersembahyang secara sederhana lebih baik dari pada terlalu mewah. Ajaran konfusianisme juga tidak mengharuskan untuk menyediakan sesaji yang sulit diperoleh. Selain bua-buahan, sesaji yang disediakan adalah masakan matang seperti (maaf), daging Babi, merupakan salah satu sesaji yang biasa disediakan oleh komunitas Cina Benteng. Selain itu, dalam upacara pemandian perahu keramat ini wajib menyediakan Bacang dan Kue Cang. Bacang adalah makanan yang terbuat dari

53 Warna merah, dipercaya sebagai warna keberuntungan dan penolak bala (bahaya) dalam kepercayaan komunitas Cina.

54 Jimat , dari kata azimat, benda yang dianggap keramat dan mempunyai kekuatan magis. 55 Ngo Koo: lima jenis buah-buahan. Melambangkan lima hubungan, yakni hubungan raja dengan menteri, ayah dengan anak, suami dengan istri, kakak dengan adik, kawan dengan sahabat. Lima perkara inilah jalan suci yang ditempuh di dunia (Tiong YongXIX: 8).


(49)

beras ketan yang dibungkus daun bambu dan di dalamnya diisi daging cincang yang sudah diberi bumbu.

Pada awalnya, Bacang ini dibuat di dalam tempurung bambu, tetapi pada 338 tahun kemudian setelah peristiwa Khut Gwan menerjunkan diri ke Sungai Bik Loo (Mi Loo), ada seseorang yang bernama Au Hui, yang berasal dari Chang Sha bermimpi. Dalam mimpinya itu, Au Hui bertemu dengan Khut Gwan dan mengatakan bahwa, makanan yang selama ini untuk Khut Gwan tidak dapat dinikmati atau tidak sampai ke tujuan karena telah dimakan ikan-ikan dan naga-naga sungai. Khut Gwan meminta, agarberas yang dikirimkan harus dibungkus dahulu dengna daun-daun yang kasap (berduri), seperti daun bambu, dan mengikatnya dengan benang sutera merah, karena daun berduri dan benang sutera merah dapat menakut-nakuti naga dan ikan. Maka lahirlah Kue Cang yang berbentuk segitiga itu.56

Perbedaan antara bacang dengan kue cang, kalau bacang berisi daging Babi, sedangkan kue cang tidak ada isinya, kue cang biasanya dilengkapi dengna air gula, dan

kue cang lebih kecil dari pada bacang. Bacang dan kue cang ini dibuat sehari sebelum upacara pemandian perahu keramat dimulai. Esok harinya setelah pemandian perahu keramat, yaitu pada perayaan Peh Chun, tepatnya pada tanggal 5 bulan V, bacang ini dilempar ke sungai sebagai persembahan bagi Khut Gwan. Hal ini juga memiliki makna yang sama seperti memandikan perahu keramat, agar masyarakat selalu dalam keadaan selamat, sehat dan dimudahkan dalam mencari rejeki.


(1)

Jawab: Hal ini dapat dikatakan mengalami proses akulturasi. Karena dalam tradisi agama tradisional, Cina tidak mengenal istilah keramat, yang biasanya menggunakan istilah ini etrdapat pada tradisi masyarakat lokal (dalam hal ini Jawa/kejawen)

5. Tanya: Apakah tujuan dan manfaat dari tradisi pemandian perahu keramat tersebut?

Jawab: denganmandi air kembang bekas pemandian perahu keramat, bagi yang percaya, air ini bermanfaat dan akan memperoleh keberkahan, keselamatan, enteng jodoh bagi yang lajang, serta dimudahnkan ekonominya.

6. Tanya: Apakah tradisi ini diadakan hanya oleh komunitas Cina Benteng saja, atau mungkin diadakan juga oleh masyarakat Cina lainnya selain di Tangerang?

Jawab: Tradisi pemandian perahu keramat ini hanya dilakukan di Tangerang ini. 7. Tanya: Dalam Kelenteng terdapat tiga agama Cina, apakah ketiga agama

tersebut mempunya tradisi yang sama?

Jawab: Dalam Tri Dharma ini mesing-masing memiliki tata ibadah sendiri, tetapi untuk tradisi upacara tiga agama ini terwarnai oleh ajaran Khonghucu, karena agama Khonghucu itu merupakan agama Negara (Tiongkok). 8. Tanya: Kapan upacara pemandian perahu keramat itu dilakukan?

Jawab: Pada malam Tanggal 5 bulan 5 Imlek, atau dikenal akrab oleh masyarakat lokal dengan sebutan Go Gwe Che Go.

9. Tanya: Sejak kapan tradisi pemandian perahu keramat berlangsung? Jawab: Sejak tahun 1912 Masehi

10.Tanya: Apakah dalam kitab suci terdapat ayat yang menyinggung tentang pemandian perahu keramat ini?

Jawab: Tidak ada, karena pemandian perahu keramat merupakan tradisi lokal dan bukan bukan tradisi Cina kuno.

11.Tanya: Persiapannya apa saja yang dilakukan untuk menyambut tradisi ini? Jawab: Kira-kira sebulan sebelum diadakan acara pemandian perahu keramat,

kami membentuk kepanitiaan yang terdiri atas pengurus perahu keramat (keluarga Rudi A. Kuhu) dan perkumpulan Kelenteng Boen Tek Bio. Dan untuk memeriahkan acara tersebut, panitia menyusun berbagai acara,


(2)

mulai dari pertunjukan Liong dan Barongsai, Gambang Kromong sampai acara puncaknya, pemandian perahu keramat.

12.Tanya: Adakah sesajian yang khas dalam melaksanakan tradisi pemnadian perahu keramat?

Jawab: Biasanya masyarakat Cina Benteng membuat Bacang dan Kue Cang sehari sebelum upacara pemandian perahu keramat dilaksanakan sebagai makanan khas hari raya Peh Chun. Bacang dan Kue Cang ini disajikan dengan makanan-makanan yang akan dipersembahyangkan di depan perahu keramat.

13.Tanya: Apa saja perlengkapan yang digunakan dalam tradisi ini? Serta apa saja arti simbolisasinya?

Jawab: Panitia menyiapkan sesaji di depan perahu keramat dan altar-altar para leluhur. Sesaji yang disediakan terdiri dari linma macam buah, yang disebut Ngo Koo (Wu Guo). Seperti pisang dan jeruk yang merupakan jenis buah-buahan pokok yang digunakan dalam sembahyang. Sedangkan tiga buah lainnya boleh buah apa saja, kecuali jenis buah berduri seperti durian atau salak, karena buah berkulit tajam itu dipercaya dapat melukai. Pada saat memandikan perahu keramat, Panitia mempersiapkan air yang diambil dari Sungai Cisadane, dicampur dengan kembang tujuh rupa, dan kain merah (sebagai warna keberuntungan dan penolak bahaya), berbentuk persegi sebanyak 500 lembar. Dan kain merah ini akan dibagikan kepada siapa saja yang ingin ikut serta memandikan perahu keramat ini.

14.Tanya: Bagaimana tata cara dan waktu pelaksanaannya?

Jawab: Mendekati pukul 00:00, semua yang hadir di lokasi upacara berkumpul di tempat penyimpanan perahu keramat, diawali dengan pembacaan doa-doa yang dipimpin oleh pemuka agama Budha. Kemudian kain yang berwarna merah sepanjang 11 meter yang menutupi perahu keramat itu dibuka. Dan diatas kain tersebut terdapat kain yang berbentuk bunga sebanyak 5 ikat dan beraneka warna, yaitu berwarna hijau, kuning, biru/hitam, putih dan merah. Masing-masing sepanjang 5 meter. Setelah dibuka, perahu keramat disiram dengan air yang diambil dari Sungai Cisadane (karena masyarakat sekitar Sungai Cisadane percaya bahwa denag menggunakan air sungai itu akan mendapatkan keberkahan). Dan agar lebih tercium aroma segar ditambahkan shampoo. Pemandian perahu keramat ini dimulai oleh keturunan keluarga nanak buyut Rudi A. Kuhu, kemudian para pengurus perahu keramat dan perkumpulan Kelenteng Boen Tek Bio, kemudian


(3)

diteruskan dengan warga yang ingin memandikan perahu keramat, baik dari komunitas Cina Benteng maupun masyarakat lokal.

15.Tanya: kemudian, apa arti simbolisasi dari lima warna kain tersebut?

Jawab: Tiga warna dari kain, yaituhijau, kuning dan merah, melambangkan warna naga. Hijau sebagai warna naga laut, kuning sebagai warna naga langit, dan merah sebagai naga darat. Dan kedua warna lainnya, putih dan biru atau dapat juga digantikan warna hitam, melambngkan Yin Yang

(keseimbangan).

16.Tanya: Apa yang membedakan antara Peh Chun dengan Twan Yang?

Jawab: Peh Chun (pesta air) dirayakan untuk mngenang jasa Khut Gwan yang telah banyak berkorban untuk negaranya dan setelah negeri tercintanya hancur, Khut Gwan merelakan dirinya mati dengan cara menceburkan diri ke Sungai Bek Lo. Kejadian tersebut bertepatan dengan hari raya Twan Yang. Jadi, sebelum adanya Peh Chun, masyarakat Cina sudah lebih dulu merayakan hari Twan Yang.

17.Tanya: Menurut Anda, apakah pengertian dan makna “keramat”?

Jawab: Keramat adalah mensaksalkan sesuatu, baik berupa benda suci atau yang mempunyai kekuatan supranatural, atau mensucikan orang yang telah meninggal dunia dan telah berjasa kepada masyarakat sekitar selama hidup di dunia.

18.Tanya: Mengenai kawin campur, perkawinan yang terjadi antara orang Cina dengan masyarakat lokal, bagaimana hal itu bisa terjadi?

Jawab: Sebelumnya, saya akan menjelaskan bagaimana awal kedatangan orang-orang Cina ke Tangerang. Karena hal ini sangat berhubungan erat dengan terjadinya kawin campur antara Cina Benteng dengan penduduk lokal. Pada tahun 1407 terdampar sebuah peraahu di Teluk Naga yang dibawa oleh Tjen Tji Lung (Ha Lung). Perahu tersebut mengalami kerusakan dan juga kehabisan perbekalan. Menurut kitab Babad Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (catatan dari Parahnyangan), Ha Lung membawa 9 orang gadis dari Cina dan para gadis itu dinikahi oleh pegawainya yang berpenduduk lokal, Anggalarang, aeorang wakil adipati. Dan yang laki-laki dari Cina menikah dengan wanita pribumi atau yang disebut kawin campur. Seiring berjalannya waktu desa teluk Naga tersebut berkembang, setelah berkembang mereka pindah ke desa Pangkalan, di sana mereka semakin berkembang dan pindah lagi ke tempat lainnya.


(4)

19.Tanya: Sebenarnya, dalam agama Cina apakah ada larangan kawin campur?

Jawab: Tidak ada

20.Mengenai Cina Benteng, bagaimana asal usul penyebutan Cina Benteng itu? Jawab: Dahulu di sepanjang pesisir Sungai Cisadane dari Babakan sampai

Benteng Makasar ada sebuah benteng yang dibangun oleh colonial Belanda, benteng itu dibangun untuk tempat perlindungan atau benteng pertahanan Belanda ketika berperang dengan kerajaan Banten. Tapi sekarang benteng itu sudah hancur, ada yang bilang hancur karena terkikis erosi. Di daerah tersebut dijadikan tempat pengungsian orang-orang Cina samapai sekarang banyak komunitas Cina yang tinggal di sana. Orang-orang itulah yang disebut komunitas Cina Benteng karena tinggal di benteng.

21.Menurut Anda, apakah yang menjadi daya tarik atau ciri khas masyarakat Cina Benteng Tangerang?

Jawab: Komunitas Cina Benteng ciri-cirinya berkulit hitam, bahasa sehari-harinya berlogat Betawi-Sunda dan bicaranya canderung kasar, perekonomiannya pas-pasan.

22.Apa sebutan orang yang memimpin upacara agama dalam hal ini upacara tradisi pemandian perahu keramat?

Jawab: Dalam upacara pemandian perahu keramat, tidak ada sebutan tertentu untuk sebutan orang yang memimpin upacara.

23.Tanya: Dalam hal bahasa, apakah ada pengaruh bahasa lokal yang mesuk ke dalam dialektika bahasa Cina (Cina Benteng)?

Jawab: Jelas ada. Orang Cina Benteng mendapat pengaruh bahasa dari bahasa Sunda dan Betawi. Mayoritas masyarakatnya sudah tidak bisa berbahasa Hokkian (Cina), termasuk saya, saya tidak bisa berbahasa Cina, tetapi kalau bahasa mandarin saya masih bisa.

24.Tanya: Apakah dalam keseharian masyarakat Cina Benteng menggunakan abahasa Cina untuk berintegrasi dengan sesame Cina?

Jawab: Mayoritas menggunakan bahasa lokal

25.Sebagian besar komunitas Cina Benteng itu mata pencahariannya sebagai apa?


(5)

Jawab: Mayoritas komunitas Cina Benteng pekerjaannya sebagai pedagang dan ada juga yang berprofesi sebagai nelayan di Sungai Cisadane, tukang becak. Sebagian besar komunitas Cina di Indonesia terdiri atas orang Hokkian, yang biasanya berprofesi sebagai petani, nelayan, ahli perkebunan, pedagang. Kemudian ada juga orang Hakka, biasanya sebagai bekas kuli tambang batu bara,orang Tio Tjiu, biasanya sebagai juru masak, kemudin ada orang Kong Hu, sebagai ahli pahat, orang Hai Lan (Hinan), itu menurut Yan Qi Kwang, seorang guru besar universitas di Cina.


(6)