Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dunia kini sedang dihadapkan pada upaya transformasi menuju globalisasi. Baik individu, kelompok, maupun sebuah kesatuan negara yang berdaulat, tidak satu pun yang dapat mengelak dari proyek besar bertaraf internasional ini. Segala macam aspek kehidupan seperti ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya bahkan peradaban pun terkena dampak yang cukup nyata dari proyek globalisasi ini. Sebagian masyarakat menganggap sistem yang berasal dari dunia Barat ini sebagai prospek, dan sebagian masyarakat lain merasa cemas karenanya, dan mungkin sebagian masyarakat lainnya bersifat acuh tak acuh terhadap tema besar ini, meskipun pada kenyataannya, baik secara langsung maupun tak langsung mereka telah merasakan dampaknya. Bagaimana pun globalisasi adalah sebuah bentuk orientasi baru yang lahir atas respon dari teori dan praktik modernisasi. Globalisasi merupakan sebuah konsep yang berasal dari perkembangan sistem di Barat, maka ide-ide di luar dunia Barat tidak punya pilihan kecuali menyesuaikan dengan ide Barat ini. Kemunculannya berbarengan dengan kemunculan paham Neo- Liberalisme di Amerika Serikat, tepatnya pada pertengahan 1980-an. Globalisasi yang menekankan pada privatisasi, anti intervensi negara dalam ekonomi, dan kepercayaan absolut pada mekanisme pasar ini, diimplementasikan lewat badan-badan dunia seperti World Trade Organization WTO, International Monetery Fund IMF, dan World Bank atau Bank Dunia. Globalisasi yang menandakan bahwa tidak ada kejadian di planet kita yang terbatas hanya pada situasi lokal satu negara, bahwa semua temuan, kemenangan, dan bencana mempengaruhi seluruh dunia, mungkin merupakan sisi positif dari globalisasi. Namun, proyek besar bertaraf internasional ini, ternyata telah membuat cemas banyak negara. Kecemasan yang paling besar telah menghinggapi kawasan negara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Banyak negara yang berdaulat kini layaknya macan ompong baca: tidak berdaya menghadapi proyek globalisasi ini. Kebanyakan dari mereka tidak bisa mengelak darinya kerena globalisasi membawa kekuatan besar seperti legitimasi internasional, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang informasi, komunikasi, dan transportasi, dan lain sebagainya. Namun demikian sebagian masyarakat dunia yang merasa cemas terhadap sistem globalisasi ini, tetap melakukan protes-protes berupa demonstrasi massal khususnya ketika terdapat event pertemuan tingkat tinggi organisasi global seperti WTO atau IMF. Kecemasan mereka bukannya tak beralasan. Paling tidak ada dua hal dominan yang menjadi kegelisahan utama mereka. Yang pertama yaitu karena globalisasi menerapkan sistem ekonomi kapitalis, dan yang kedua karena melihat ideologi neo-liberal yang menopangnya. Kedua hal tersebut menjadi ancaman bagi eksistensi negara-negara miskin dan berkembang yang terkelompokkan ke dalam negara Dunia Ketiga. Yang pertama merujuk pada konsep kapitalisme yang berorientasi pada bagaimana memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dan meminimalisir kerugian, serta mengakumulasi modal. Ketika orientasi tersebut telah tercapai, maka pemilik modal akan dengan sendirinya memiliki otoritas politik dan kekuasaan. Hal tersebut tentu sangat membuat resah sebagian besar negara-negara di Dunia Ketiga. Asumsinya adalah ketika modal yang sudah jelas kepemilikannya didominasi oleh perusahaan- perusahaan multinasional yang sebagian besar berpusat di wilayah negara- negara maju, sebut saja Amerika Serikat, tentu melalui mekanisme globalisasi pendapatan mereka akan semakin meningkat, mereka menjadi semakin kaya, dan leluasa menghegemoni kehidupan negara lain, guna merealisasikan kepentingan mereka. Sedangkan negara-negara miskin dan berkembang akan tetap pada kategori dan berstatus sebagai negara dengan ”tangan di bawah” dan bergantung pada kebijakan negara-negara Adi Daya. Pada tahun-tahun awal bergulirnya program globalisasi, negara-negara industri yang jumlah penduduknya hanya 26 dari penduduk dunia ternyata menguasai lebih dari 78 produksi, menguasai 81 perdagangan dunia, 70 pupuk, dan 87 persenjataan dunia. Sementara 74 penduduk di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang dimasukkan ke dalam Dunia Ketiga, hanya menikmati sisanya, yakni seperlima produksi dan kekayaan dunia. 1 Untuk alasan yang kedua, menyangkut ideologi neo-liberal yang menopang globalisasi, masyarakat dunia ketiga melihatnya sebagai ancaman 1 Arief Budiman, Pembangunan dalam Krisis: Teori Pembangunan Dunia Ketiga Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, h. 113-120. lebih luas pada peradaban mereka. Ideologi ini secara umum dipahami sebagai ide yang membawa nilai hak dan kebebasan individual melalui mekanisme pasar bebas, menjunjung tinggi rasionalitas, dan mendistorsi peran agama dalam masyarakat dan politik. Dengan adanya globalisasi, maka gerbang bagi penyebarluasan paham ini di berbagai penjuru dunia semakin terbuka lebar. Padahal tiap negara yang berdaulat memiliki batasan nilai dan landasan moral tersendiri, yang tidak bisa begitu saja menerima nilai-nilai baru. Kedua faktor utama tersebutlah yang secara umum mengusik ketenangan negara-negara Dunia Ketiga. Hizbut Tahrir meneropong proyek globalisasi ini sebagai salah satu bentuk neo-imperialisme. Hizbut Tahrir menyebutnya sebagai bentuk penjajahan baru negara-negara Adi Daya terhadap negara-negara Dunia Ketiga, dan lebih spesifiknya lagi penjajahan terhadap negara-negara berbasis Islam. Hizbut Tahrir adalah partai politik Internasional yang berdiri sejak tahun 1953. Partai politik ini dipelopori dan dibangun berdasarkan paradigma pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani. Dahulu Hizbut Tahrir tampil sebagai kekuatan politik revolusioner yang menentang rezim Daulah Utsmaniyah yang dianggapnya lalim. Kini mereka tampil sebagai kekuatan politik reaksioner yang dihadapkan pada kemelut globalisasi. Di satu sisi mereka menilai globalisasi dan segala nilai-nilai yang dibawa oleh Barat telah gagal membawa kesejahteraan serta perdamaian pada masyarakat dunia. Namun di sisi lain mereka menilai dan mungkin meramalkan bahwa globalisasi merupakan salah satu indikator kebangkitan khilafah Islamiyah. Pandangan mereka setidaknya telah dirumuskan oleh Beck yang menyatakan bahwa globalitas atau globalisasi berarti denasionalization dan berarti pula bangkitnya organisasi transnasional dan mungkin negara transnasional. 2 Di mata kelompok Hizbut Tahrir, khilafah Islamiyah yang merupakan bentuk dari negara transnasonal adalah sistem yang khaffah atau sempurna. Khilafah Islamiyah adalah sistem pemerintahan Islam yang menegakkan hukum berdasarkan syariat Islam kepada rakyatnya, dan menjalani misi dakwah dengan hujjah dan jihad ke seluruh penduduk dunia. 3 Sejarah Islam klasik mencatat bahwa sistem khilafah Islamiyah pernah tegak berdiri dan berkuasa selama kurang lebih 13 abad lamanya, yaitu sejak masa kekhilafahan Abu Bakar As-Shiddiq, yaitu pada 632 M, dan berakhir pada masa kekhilafahan Utsmani, yaitu pada tahun 1924. Kini, tema kebangkitan khilafah Islamiyah yang menekankan pada bagaimana menegakkan serta menerapkan syariat Islam di seluruh penjuru dunia, menjadi tema sentral perjuangan kelompok Hizbut Tahrir. Dalam pandangan partai politik internasional yang membentuk kekuatan politik regional di Indonesia ini, khilafah Islamiyah menjadi sistem yang rasional untuk di terapkan, ketika melihat dampak globalisasi yang menyebabkan meningkatnya homogenitas. Mereka mengambil contoh, bagaimana dollar dijadikan mata uang internasional, atau bahasa Inggris dijadikan bahasa internasional, atau terbentuknya Uni Eropa yang menunjukkan integritas negara-negara Eropa. Lantas mengapa sistem khilafah Islamiyah yang 2 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern. Penerjemah Alimandan Jakarta: Kencana, 2004, h.593. 3 Saefuddin Zuhri, ed., Menjemput Kembalinya Sang Khalifah Jakarta: NizhamPress, 2007, h. 15-16. mempunyai kekuasaan sentral mustahil terwujud? Apa lagi, menurut mereka, globalisasi juga berdampak pada terciptanya ketidakadilan terhadap Islam dalam berbagai bentuk, seperti subordinasi, marginalisasi, stereotype atau pelabelan, dan lain sebagainya. Sebagai contoh kasus bagaimana Amerika dan sekutunya telah melabelkan keidentikan gerakan fundamentalisme Islam dengan terrorisme. Hal tersebut, secara langsung maupun tidak langsung, semakin menyudutkan posisi Islam di mata internasional. Mungkin benar jika dikatakan bahwa globalisasi dapat melanggengkan propaganda Amerika terhadap negara-negara Muslim. Asumsi itu didasarkan dengan melihat beberapa kasus yang menimpa negara-negara Muslim. Kebungkaman internasional terhadap serangan Amerika atas Irak tahun 2003 dengan alasan terdapat senjata pemusnah massal, yang ternyata belum terbukti keberadaannya, adalah salah satu buktinya. Sebelumnya pasca serangan di menara kembar World Trade Center WTC, Amerika Serikat, pada 11 September 2001, Afganistan telah menjadi bulan-bulanan invasi negara yang dikenal dengan sebutan negeri Paman Sam ini, dengan alasan untuk mencari markas Al-Qaida yang mereka klaim sebagai jaringan terroris internasional. Kebijakan-kebijakan internasional Amerika terhadap negara-negara berbasis Islam, cenderung tidak adil, menekan, dan banyak mengintervensi serta menghegemoni segala aspek kehidupan bernegara. Sebagai contoh terdekat bagaimana mereka mengawasi secara ketat kurikulum beberapa pesantren di Indonesia. Bagi para penentangnya, globalisasi dapat memperparah krisis nasional di negara-negara Dunia Ketiga. Di Indonesia, asumsi mereka didasarkan pada fakta bahwa sejak sistem globalisasi resmi masuk pada tahun 1998 melalui LOI Letter of Intent yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto, dan Camdessus, mewakili IMF, krisis moneter mulai melanda Indonesia. Globalisasi telah mengawali krisis nasional yang berkepanjangan, dari mulai penghapusan subsidi pupuk dan BBM, hingga liberalisasi sektor migas yang dilakukan melalui Undang-Undang Migas tahun 2001 yang memuat pasal penghentian peran monopoli Pertamina mulai tahun 2005. Penghapusan subsidi itu ternyata berujung pada masuknya perusahaan asing di dalam bisnis migas di Indonesia. Contoh lain dari dari makin merasuknya paham neo-liberal ke tubuh ekonomi Indonesia adalah Undang-Undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air SDA. Undang-Undang itu dalam banyak pasal membuka peluang terjadinya privatisasi sektor air, sekaligus memungkinkan pengalihan fungsi air secara fundamental dari fungsi publik yang bersifat sosial menjadi fungsi komoditas yang bersifat komersial. Juga perlu dicatat kebijakan pemerintah Indonesia yang tetap memperpanjang kontrak dengan Exxon Mobil di ladang migas di Blok Cepu yang dikabarkan mempunyai cadangan sebanyak 1,2 miliar barel, yang semestinya kontrak itu berakhir. Berdasarkan gambaran kemelut nasional yang dirasakan secara internasional oleh negara-negara Islam tersebut, maka menurut Hizbut Tahrir solusinya adalah kembali kepada sistem Islam yang benar. Sistem Islam yang mempu meng-counter segala kepentingan umat, dengan cara menegakkan syariat Islam di bawah kepemimpinan Khilafah Islamiyah. Dengan adanya perasaan senasib seperti itu, dan melihat makna homogenitas dari globalisasi, maka Hizbut Tahrir menganggap tidaklah utopis bila Khilafah Islamiyah bangkit dan ditegakkan di muka bumi ini. Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul: ”Globalisasi dan Kebangkitan Khilafah Islamiyah dalam Perspektif Pemikiran Hizbut Tahrir .”

B. Batasan dan Rumusan Masalah