Berbagai Pola, Dampak Positif, Keragaan dan Filosofi Kemitraan
2 Subkontrak Menurut penjelasan Pasal 27 huruf b Undang - Undang Nomor. 9 Tahun
1995 bahwa “Pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha
Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya
.” Dapat pula dikatakan bahwa dalam pola subkontrak, usaha kecil memproduksi barang dan atau jasa yang
merupakan komponen atau bagian produksi usaha menengah atau usaha besar.
Gambar 2.2 Pola Kemitraan Subkontrak Direktorat Pengembangan Usaha, 2002.
3 Dagang Umum Menurut penjelasan Pasal 27 huruf c Undang - Undang Nomor. 9 Tahun
1995, pola dagang umum adalah “Hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha
Menengah atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah
atau Usaha Besar mitranya.
Gambar 2.3 Pola Kemitraan Dagang Umum Direktorat Pengembangan Usaha, 2002.
Dalam pola dagang umum, usaha menengah atau usaha besar memasarkan produk atau menerima pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk
memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar mitranya.
4 Keagenan Pola kemitraan keagenan merupakan bentuk kemitraan yang terdiri dari
pihak perusahaan mitra dan kelompok mitra atau pengusaha kecil mitra. Pihak perusahaan mitra perusahaan besar memberikan hak khusus
kepada kelompok mitra untuk memasarkan barang atau jasa perusahaan yang dipasok oleh pengusaha besar mitra. perusahaan besar atau
menengah bertanggung jawab atas mutu dan volume produk barang dan jasa, sedangkan usaha kecil mitranya berkewajiban memasarkan produk
atau jasa. Di antara pihak - pihak yang bermitra terdapat kesepakatan tentang target - target yang harus dicapai dan besarnya fee atau komisi yang
diterima oleh pihak yang memasarkan produk. 5 Kerjasama Operasional Agribisnis
Dalam pola ini, perusahaan mitra akan menyediakan lahan, sarana dan tenaga, biaya atau modal dan sarana kepada kelompok mitra untuk
mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas pertanian yang telah disepakati bersama oleh kedua belah pihak.
Gambar 2.4 Pola Kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis Direktorat Pengembangan Usaha, 2002.
b. Dampak Positif Kelembagaan Kemitraan Sumardjo 2004, pengembangan kelembagaan kemitraan dalam sistem
agribisnis ternyata
menimbulkan dampak
positif bagi
keberhasilan pengembangan sistem agribisnis di masa depan. Dampak positif yang timbul
adalah sebagai berikut : 1 Adanya keterpaduan dalam sistem pembinaan yang saling mengisi antara
materi pembinaan dengan kebutuhan riil petani. Sistem pembinaan terpadu ini meliputi permodalan, sarana, teknologi, bentuk usaha bersama atau
koperasi, dan pemasaran. Kondisi pembinaan yang sinergis juga dapat menimbulkan dampak positif, seperti Sumardjo 2004 :
a Kepastiaan pemasaran. b Komoditas yang bernilai tinggi.
c Budidaya yang berpedoman dasar pada ketepatan waktu, kontinuitas, volume, dan mutu serta ketepatan ukuran, warna, dan rasa.
d Kerjasama yang serasi antara pelaku agribisnis hulu - hulu pengaturan pola tanam atas komoditas primadona dan hulu hilir kuantitas dan
kualitas.
e Pengembangan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan riil. 2 Adanya kerjasama aturan atau kesepakatan sehingga menumbuhkan
kepercayaan dalam hubungan kemitraan bisnis yang ada. Kesepakatan tentang aturan, perubahan harga, dan pembagian hasil harus dibuat adil oleh
pihak - pihak yang bermitra. Jika salah satu pihak lemah maka harus ada pihak ketiga yang netral untuk melakukan pengawasan. Dengan demikian
tujuan, kepentingan, dan kesinambungan bisnis dari kedua pihak dapat terlaksana dan saling menguntungkan Sumardjo, 2004.
3 Ada keterkaitan antar pelaku dalam sistem agribisnis hulu-hilir yang mempunyai komitmen terhadap kesinambungan bisnis. Komitmen ini
menyangkut kualitas dan kualitas serta keinginan saling melestarikan hubungan dengan menjalin kerjasama saling menguntungkan secara adil.
Dalam keadaan bisnis yang berkesinambungan, kedua pihak mengalami beberapa hal positif sebagai berikut Sumardjo, 2004 :
a Kesinambungan informasi, baik di tingkat hulu maupun hilir. b Informasi di tingkat hilir misalnya informasi tentang kebutuhan konsumen
dan kualitas produk yang dibutuhkan pasaran. Sementara informasi di tingkat hulu yang dapat diperoleh, misalnya teknologi dan sarana yang
sesuai untuk menghasilkan produk yang berkualitas tersebut. c Tersedianya sarana secara tepat waktu, baik itu input maupun output yang
telah disepakati bersama sesuai dengan periode pergiliran komoditas. d Terhindarnya manipulasi dari pihak - pihak tertentu yang dapat
menimbulkan penggunaan sarana produksi palsu. e Tersedianya modal sesuai dengan kebutuhan dan penggunaan secara
efektif. f Dapat menghasilkan produk usaha tani yang sesuai dengan kebutuhan
pasar.
g Terjadinya penyerapan tenaga kerja yang cukup banyak dan berkesinambungan di sektor pertanian.
c. Keragaan dan Filosofi Kemitraan Usaha Agribisnis 1 Keragaan Kemitraan Usaha Agribisnis
Dalam era globalisasi, pengembangan kemitraan usaha agribisnis dihadapkan pada beberapa peluang antara lain peningkatkan volume
pemasaran, harga jual produk yang lebih kompetitif, harga sarana produksi yang lebih terjangkau, IPTEK yang lebih maju dan efisiensi, dan akses terhadap
permodalan yang semakin terbuka. Peluang - peluang tersebut menuntut para pelaku kemitraan usaha agribisnis mampu menghasilkan produk yang memiliki
keunggulan kompetitif secara sinergis. Dengan demikian, maka kemitraan usaha agribisnis harus dikembangkan secara efektif dan adil melalui integrasi dan
sinkronisasi kegiatan usaha kelompok tani, gapoktan, dan koperasi tani serta pelaku usaha agribisnis lainnya, dimulai dari penyediaan sarana produksi,
pelaksanaan usaha budidaya, penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran baik domestik maupun internasional Direktorat, Pengembangan
Usaha, 2011. Beberapa kemitraan usaha agribisnis yang berkembang saat ini dilakukan
berdasarkan pola hubungan antar pelaku usaha yang satu sama lain tidak memiliki ikatan formal kontrak atau perjanjian yang kuat. Hal ini mengakibatkan
kurangnya komitmen dari masing - masing pihak yang bermitra. Hubungan kemitraan yang terjadi hanya mengikuti mekanisme pasar secara umum,
sehingga setiap pelaku usaha yang bersangkutan hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Dalam kondisi tersebut, pelaku kemitraan seolah
tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka saling membutuhkan Direktorat, Pengembangan Usaha, 2011.
Sebagai ilustrasi dari pola hubungan diatas, misalnya model kemitraan pada agribisnis sayuran antara petani dengan pasar swalayan. Manfaat dari
program kemitraan tersebut belum mampu meningkatkan secara mendasar ketidakberdayaan petani, kelompok tani, dan gapoktan sebagai produsen
sayuran. Perlakuan yang diterima sebagian produsen sayuran tersebut terkadang hanya bersifat produsen semata, belum sebagai produsen sekaligus
pemasok. Dalam pada itu, pihak petani, kelompok tani, dan gapoktan juga sering tidak menepati komitmen. Pada saat harga diluar lebih tinggi, kadang - kadang
pihak petani secara diam - diam menjual kepada pihak lain diluar sistem kemitraan yang dibangun. Namun demikian, banyak juga kemitraan usaha
agribisnis yang telah berhasil. Kemitraan usaha agribisnis ini dikembangkan berdasarkan sinergi dan kesadaran saling membutuhkan dan saling memperkuat
pada masing - masing pihak yang bermitra, sehingga menjadi kerja sama bisnis yang berkesinambungan. Sebagai contoh adalah kemitraan petani sayuran dan
buah - buahan dengan pengusaha eksportir. Sinergi yang dibangun dalam bentuk, petani menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja, sedangkan
pengusaha eksportir menyediakan modal, bimbingan teknis dan jaminan pemasaran. Hal ini dapat terwujud apabila sistem kemitraan dilaksanakan
dengan baik dan konsisten Direktorat, Pengembangan Usaha, 2011. 2 Filosofi Kemitraan Usaha Agribisnis
Konsep dasar kemitraan sebenarnya telah tercantum dalam Undang - Undang Nomor 9 tahun 1995 yang menyebutkan, “kerja sama antara usaha kecil
dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling
memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan”. Konsep tersebut diperjelas pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1997 yang menjelaskan
bahwa bentuk kemitraan yang ideal adalah saling memperkuat, saling
menguntungkan, dan saling menghidupi. Tujuan kemitraan ialah meningkatkan kualitas sumber daya dan usaha kelompok mitra, meningkatkan pendapatan atau
keuntungan masing - masing pihak yang bermitra Direktorat, Pengembangan Usaha, 2011.
a Azas Kemitraan Usaha Agribisnis Kemitraan yang tercantum dalam UU No. 9 Tahun 1995 mengandung makna
sebagai tanggung jawab moral. Pengusaha menengah atau besar melakukan bimbingan dan pembinaan kepada pengusaha kecil mitranya, dalam hal ini
adalah kelompok tani atau gapoktan dan kopersai tani agar mampu mengembangkan usahanya, sehingga mampu menjadi mitra yang handal
untuk meraih keuntungan dan kesejahteraan bersama. Hal ini berarti, masing - masing pihak yang bermitra harus menyadari bahwa memiliki perbedaan dan
keterbatsan, baik dibidang manajemen, penguasa IPTEK maupun sumber daya, sehingga harus mampu saling mengisi dan melengkapi kekurangan
masing - masing. Azas kemitraan yang dikembangkan harus menjamin terciptanya suasana
adil, keseimbangan, keselaraan, dan keterpaduan dangan penjabaran sebagai berikut Direktorat, Pengembangan Usaha, 2011.
1 Kedudukan antara kelompok tani atau gapoktan dan koperasi tani sebagai kelompok mitra dengan perusahaan mitra haruslah setara dan
menghindari adanya hubungan seperti atasan dan bawahan. 2 Saling percaya dengan cara memegang teguh komitmen kesepakatan
dalam kontrak atau perjanjian kerjasama antara para pihak. 3 Saling menguntungkan secara adil bagi kelompok mitra dan perusahaan
mitra.
4 Saling memegang dan mematuhi etika bisnis, antara lain dengan mematuhi dan melaksanakan secara konsisten kesepakatan yang telah
ditetapkan bersama. 5 Saling memberikan masukan yang konstruktif, dengan cara melakukan
koordinasi, komunikasi, evaluasi dan monitoring, serta keterbukaan dari masing - masing pihak.
6 Saling memerlukan, dalam arti perusahaan mitra memerlukan produk atau jasa dari kelompok mitra, sedangkan kelompok mitra memerlukan
modal, jaminan pemasaran, dan bimbingan atau pembinaan. b Konsep Kemitraan Usaha Agribisnis
Kemitraan usaha agribisnis merupakan strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan
bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan suatu strategi bisnis, maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan
oleh adanya kepatuhan antara yang bermitra dalam menjalankan perannya masing
– masing dengan berpegang kepada etika bisnis. Hal ini berarti, pelaku usaha agribisnis yang terlibat langsung dalam kemitraan harus memiliki dasar
– dasar etika bisnis yang dipahami bersama dan dianut bersama sebagai titik
dalam menjalankan kemitraan. Pemahaman etika bisnis sebagai landasan moral dalam melaksanakan kemitraan usaha agribisnis merupakan suatu solusi dalam
mengatasi kurang berhasilnya kemitraan yang ada selama ini. Terdapat enam dasar etika bisnis yang dapat menjadi penopang dalam membangun suatu
kemitraan. Keenam dasar etika bisnis tersebut ialah Direktorat, Pengembangan Usaha, 2011 :
1 Karakter, integritas, dan kejujuran. 2 Kepercaayaan.
3 Komunikasi yang terbuka.
4 Semangat kebersamaan antara pihak yang bermitra. 5 Keseimbangan antara insentif dan resiko.
Apabila pemahaman etika bisnis telah diterapkan sebagai landasan awal dalam pelaksanaan kemitraan,selanjutnya kemitraan usaha agribisnis dapat
dilaksanakan sebagai suatu proses. Proses yang dimulai dengan perencanaan, kemudian rencana tersebut diimplementasikan dan selanjutnya dimonitor serta
dievaluasi secara terus menerus oleh pihak - pihak yang bermitra. Dengan demikian, terjadi alur tahapan pekerjaan yang jelas dan teratur sesuai dengan
sasaran yang ingin dicapai. Oleh karena kemitraan merupakan suatu proses, maka keberhasilannya secara optimal tentu tidak selalu dapat dicapai dalam
waktu yang singkat. Keberhasilan suatu kemitraan diukur dengan pencapaian nilai tambah yang diperoleh oleh pihak yang bermitra dari berbagai aspek seperti
manajemen, teknologi, permodalan, pemasaran, dan pendapatan. Besarnya nilai tambah yang diperoleh akan tergantung pasa sejauh mana kemampuan untuk
mengembangkan strategi yang disusun secara bersama dan dilaksanakan secara konsisten sesuai peran masing - masing pihak Direktorat,
Pengembangan Usaha, 2011. Hubungan kemitraan akan berkesinambungan apabila hasil kerjasama
terjadi secara berulang - ulang dan saling menguntungkan secara adil. Proses tersebut terus dilakukan sampai melahirkan suatu aturan norma hubungan bisnis
dalam pola perilaku pelaku kemitraan, sehingga tercipta hubungan kemitraan yang melembaga dan berkelanjutan. Salah satu bentuk interaksi yang positif
antara kelompok mitra dengan perusahan mitra dapat dilihat pada Gambar 2.5 dimana terjadi proses perkembangan kemitraan dari tipe A yaitu perusahaan
mitra yang bekerjasama dengan beberapa kelompok tani. Kemudian, berubah menjadi tipe B yaitu terjadi hubungan yang lebih erat antara kelompok -
kelompok tani tersebut menjadi gapoktan yang merupakan kelompok mitra yang
mengadakan kemitraan dengan perusahaan mitra Direktorat, Pengembangan Usaha, 2011.
Gambar 2.5 Salah Satu Interasi Positif antara Kelompok Mitra dan Perusahaan Mitra dalam Kemitraan Direktorat
Pengembangan Usaha, 2011. Pelaksanaan hubungan kemitraan melibatkan kelompok mitra dan
perusahan mitra yang berlangsung dalam suatu sistem kerjasama usaha yang harus memiliki unsur - unsur sebagai berikut Direktorat, Pengembangan Usaha,
2011 : 1 Input, yaitu sumberdaya alam yang digerakkan oleh sumberdaya manusia.
2 Output berupa produk dan pelayanan atau jasa. 3 Teknologi meliputi metode dan proses yang dapat mengubah input menjadi
output. 4 Lingkungan, yaitu keadaan di sekitar kelompok mitra dan perusahaan mitra.
5 Keinginan, yaitu strategi, tujuan, rencana dari pihak yang bermitra. 6 Perilaku, yaitu hubungan antar kelompok atau organisasi.
7 Budaya, berupa norma, kepercayaan dan nilai - nilai yang berlaku dalam kelompok mitra dan perusahaan mitra.
8 Struktur, yaitu hubungan antar individu, kelompok dan unit yang lebih besar.
Dasar hukum yang dapat dijadikan acuan dalam melakukan hubungan kemitraan bagi kelompok mitra dan perusahaan mitra antara lain Direktorat,
Pengembangan Usaha, 2011 : 1 UU No. 9 tahun 1995 tentang usaha kecil, yang menerangkan bahwa
kemitraan adalah kerja sama usaha kecil dengan uasaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang
berkelanjutan oleh
usaha menengah
atau usaha
besar dengan
memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
2 PP Republik Indonesia No. 44 tahun 1997 tentang kemitraan, yang menjelaskan bahwa kemitraan ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan
meningkatkan peranan usaha kecil sebagai usaha yang tangguh dan mandiri, yang mampu menjadi tulang punggung dan mampu memperkokoh struktur
perekonomian nasional. 3 Keputusan Menteri Pertanian No. 940KptsOT.210997 tentang pedoman
kemitraan usaha pertanian, yang menerangkan bahwa bentuk kemitraan yang ideal adalah saling memperkuat, saling menguntungkan, dan saling
menghidupi, yang bertujuan meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumber daya kelompok mitra, peningkatan
skala usaha, serta menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok usaha mandiri.
4 Keputusan Menteri Pertanian No.940KptsOT.210997 tentang pedoman penetapan tingkat hubungan kemitraan usaha pertanian, merupakan petunjuk
untuk melakukan hubungan kemitraan bagi petani dan pengusaha akan semakin jelas, serta kedudukan dan posisi masing - masing pihak pada
tingkat - tingkat hubungan kemitraan lebih dapat dipahami.