Industri Pers DAMPAK PEMBREDELAN PERS MASA ORDE BARU

bawah tanah mereka. Akibat psikologis lain terhadap para wartawan, antara lain timbul rasa ketidakpastian dalam profesi. Juga dalam melakukan tugas sehari-hari sebagai wartawan, selalu mengalami kesulitan dalam menentukan berita mana yang boleh dan tidaknya, sumber-sumber berita pun ikut tidak pasti karena takut memberikan informasi. Kerugian material sudah jelas, dengan tidak terbitnya surat kabar sampai waktu yang tidak ditentukan. Karena mengambangnya berita-berita akibat ketidakpastian para wartawan menyebabkan isi surat kabar tidak menarik, sehingga para langganan kehilangan minat untuk membaca surat kabar, maka turunlah tiras surat kabar setelah terjadinya pembredelan. 109 Pencabutan SIUPP Tempo, Editor, Detik pada tanggal 21 Juni 1994, memberikan pukulan berat bagi pemimpin redaksi dan para wartawan yang hidup dibawah naungan majalah yang telah dicabut SIUPPnya, reaksi solidaritas sesama wartawan membanjiri demonstrasi untuk membantalkan pencabutan SIUPP terhadap tiga majalah tersebut. Namun apalah arti kebebasan pers bagi penguasa yang ada hanyalah alasan kenapa SIUPP ketiga majalah tersebut dicabut salah satunya karena sudah berani mengangkat perkembangan politik, serta sosial dan pelanggaran HAM. Dengan alasan-alasan pencabutan SIUPP yang sebenarnya sama dengan pembredelan hanya itu pembredelan secara legal agar bisa berlindung di bawah peraturan Menpen ttng SIUPP. Wartawan yang mencoba berjuang membela harkat pers kini makin mengalami berbagai represi. Hal ini telah ditunjukan secara berlebihan oleh aparat berseragam loreng. Terutama saat membungkam “aksi 27 109 Abdurrachman Surjomihardjo, op.cit.hlm. 202. Juni” para wartawan dihadapi dengan tindak kekerasan. Beberapa wartawan menjadi korban pemukulan. Sikap saling pengertian antara wartawan dengan aparat keamanan yang terjadi selama ini, pupus sudah. Tekanan terhadap para wartawan saat ini memang besar. Di tingkat intern, para wartawan yang terlibat aksi mendapat berbagai tekanan dari pimpinannya. 110 Jadi bisa dimaklumi bila tidak ada pemimpin redaksi yang berani menghadapi desingan “peluru”. Pemimpin redaksi kini lebih banyak yang bersembunyi dalam berbagai pembelaan dan siasat untuk terus berjuang dengan cara moder at, dari pada “sesekali berani mati”. Mereka bisa menindas diri sendiri lewat self sensorship yang merusak jiwa, semangat dan hati nurani wartawan. 111 Pencabutan SIUPP yang memiliki kekuatan di bawah peraturan Menpen yang mulanya menjadi suatu peristiwa yang bisa dipahami bagi kalangan konglomerat, bagi para wartawan yang memperjuangakan kebebasan pers dan idealisme sebagai seorang wartawan sesuai dengan kode etik jurnalistik, pemberdelan dibalik pencabutan SIT, SIC dan setelah diberlakukannya UU PP No.11 tahun 1982, dengan di tambahkannya pasal tentang wajib memiliki SIUPP, pencabutan izin terbit yang telah berubah-ubah hanya menjadi topeng dibalik pembredelan, izin terbit yang harus dimiliki oleh Pers hanya sebagai alat untuk melegalkan pembungkaman pembritaan pers yang dapat menggangu kestabilan politik dan keamanan. Tindakan pemerintah terhadap pencabutan ataupun pembatalan izin terbit sudah cukup dipahami oleh pers, namun pembatalan SIUPP Tempo, Detik, Editor 110 Ayu Utami ,et al,1994, Bredel 1994:Kumpulan tulisan tentang pembredelan Tempo, Detik, Editor,Jakarta:Aliansi Jurnalis Independen.hlm. 17. 111 Ibid. Hlm. 19. sudah tidak lagi dapat memaksakan para wartawan untuk hidup selalu penuh dengan kompromi di bawah pemerintahan otoriter. Kehidupan pers yang serba kompromi dengan penguasa mengakibatkan terjadinya perpecahan dikalangan pemerintah, ada wartawan yang masih berjuang demi kebebasan pers meskipun penuh dengan akibat yang membahayakan, dan adapula wartawan yang lebih memilih kehidupan aman dan mengabaikan kebebasan serta solidaritas sesama wartawan dengan hidup diantara para pejabat pemerintah. Wartawan-wartawan yang sudah tidak lagi bisa memahami pemberdelan ditengah isu perpecahan ditubuh intern wartawan, sejumlah wartawan dari berbagai kota di Jawa berkumpul, dan kemudian memproklamirkan “Deklarasi Sirnagalih pada 7 Agustus 1994 yang berisikan sebagai berikut: 112 “Bahwa seungguhnya kemerdekaan berpendapat, memperoleh informasi, dan kebebasan berserikat adalah hak asasi setiap warga negara. Bahwa sejarah pers Indonesia berangkat dari pers perjuangan yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan serta melawan kesewenang-wenangan. Dalam melaksanakan misi perjuangannya, pers Indonesia menempatkan kepentingan dan keutuhan bangsa di atas kepentingan pribadi maupun golongan. Indonesia adalah negara hukum, karena itu pers Indonesia melandaskan perjuangannya pada prinsip-prinsip hukum yang adil dan bukan pada kekuasaan. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka kami menyatakan: menolak segala bentuk campur tangan, intimidasi, sensor dan pembredelan yang mengingkari kebebasan berpendapat dan ak warga negara memperoleh informasi. Menolak segala upaya mengaburkan semangat pers Indonesia sebagai pers perjuangan. Menolak pemaksaan informasi sepihak untuk kepentingan pribadi dan golongan, yang mengatasnamakan kepentingan bangsa. Menolak penyelewengan hukum dan produk-produk hukum yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Menolak wadah tunggal profesi kewartawanan. Memproklamirkan pendirian Aliansi Jurnalis Independen sebagai salah satu wadah perjuangan pers Indonesia. Deklarasi yang dikeluarkan 7 Agustus 1994 itu, mencoba merevitalisasi peranan pers sebagai kekuatan pembangun, kekuatan pengontrol, yang bukan 112 Ibid, hlm. 122. sekedar menjadi alat politik pemerintah. Melalui deklarasi tersebut, para wartawan juga memproklamirkan sebuah organisasi baru yang disebut Aliansi Jurnalis Independen AJI. Kehadiran AJI akan menguji dan mempertanyakan kembali keberadaan PWI sebagai satu-satunya organisasi profesi resmi wartawan. Jelas dalam kasus pembredelan, PWI lebih meyuarakan kepentingan birokrat Departeman Penerangan dari pada anggotnya. Rasanya aneh, bila ada ratusan wartawan kehilangan pekerjaan akibat medianya dibredel tanpa proses peradilan, PWI hanya berkata bisa memaklumi, sikap PWI yang lebih memihak para pemegang kekuasaan dari pada solidaritas terhadap sesama wartawan, membuat seroang Mochtar Lubis keluar dari keanggotaan PWI karena ketika ia di penjara tidak ada tindakan yang dilakukan oleh PWI. Sikap berani PWI inilah yang memberikan suatu kesadaran bagi para wartawan yang masih memperjuangkan kebebasan pers meskipun di bawah tekanan pemerintah, bergabung dalam AJI yang memberikan mereka ruang baru untuk memperjuangkan kebebasan pers. Setelah G 30 S, Orde Baru menggunakan PWI sebagai alat untuk membersihkan pers nasional dari anasir-anasir Orde Lama. PWI ganti memecati para wartawan yang dituduh terlibat gerakan makar itu atau dekat dengan PKI. Pada tahun-tahun pemantapan kekuasaan Orde Baru. PWI sudah tak berdaya lagi sebagai organisasi independen. PWI tak bisa lagi membela anggotanya ketika pemerintah membreidel puluhan surat kabar terkait dengan peristiwa Malari 1974. PWI digunakan juga sebagai alat konsolidasi politik, yaitu dengan meresmikannya sebagai organisasi wartawan satu-satunya di Indonesia, tepatnya pada 20 Mei 1975.