Profesi Wartawan DAMPAK PEMBREDELAN PERS MASA ORDE BARU

sekedar menjadi alat politik pemerintah. Melalui deklarasi tersebut, para wartawan juga memproklamirkan sebuah organisasi baru yang disebut Aliansi Jurnalis Independen AJI. Kehadiran AJI akan menguji dan mempertanyakan kembali keberadaan PWI sebagai satu-satunya organisasi profesi resmi wartawan. Jelas dalam kasus pembredelan, PWI lebih meyuarakan kepentingan birokrat Departeman Penerangan dari pada anggotnya. Rasanya aneh, bila ada ratusan wartawan kehilangan pekerjaan akibat medianya dibredel tanpa proses peradilan, PWI hanya berkata bisa memaklumi, sikap PWI yang lebih memihak para pemegang kekuasaan dari pada solidaritas terhadap sesama wartawan, membuat seroang Mochtar Lubis keluar dari keanggotaan PWI karena ketika ia di penjara tidak ada tindakan yang dilakukan oleh PWI. Sikap berani PWI inilah yang memberikan suatu kesadaran bagi para wartawan yang masih memperjuangkan kebebasan pers meskipun di bawah tekanan pemerintah, bergabung dalam AJI yang memberikan mereka ruang baru untuk memperjuangkan kebebasan pers. Setelah G 30 S, Orde Baru menggunakan PWI sebagai alat untuk membersihkan pers nasional dari anasir-anasir Orde Lama. PWI ganti memecati para wartawan yang dituduh terlibat gerakan makar itu atau dekat dengan PKI. Pada tahun-tahun pemantapan kekuasaan Orde Baru. PWI sudah tak berdaya lagi sebagai organisasi independen. PWI tak bisa lagi membela anggotanya ketika pemerintah membreidel puluhan surat kabar terkait dengan peristiwa Malari 1974. PWI digunakan juga sebagai alat konsolidasi politik, yaitu dengan meresmikannya sebagai organisasi wartawan satu-satunya di Indonesia, tepatnya pada 20 Mei 1975. Peresmian itu memudahkan pemerintah untuk melakukan “Golkarisasi” di tubuh PWI, terutama ketika PWI diketuai Harmoko. Harmoko sendiri memang tercatat sebagai ironi dalam sejarah pers nasional. Pada masa-masa awal Orde Baru, ia adalah wartawan yang paling sengit menolak keinginan pemerintah untuk menjadikan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan Indonesia. PWI semakin “jinak” setelah pemerintah berhasil mendudukan Harmoko sebagai ketua PWI dan Menteri Penerangan. Sehingga PWI dapat memaklumi ketika menyikapi pembredelan tiga media pada tahun 1994. Kooptasi negara Orde Baru ke dalam tubuh PWI sedemikian parah sehingga pemerintah membuatnya menjadi alat adu domba antar wartawan. Tercatat, PWI terlibat konflik permanen dangan AJI. Konflik bahkan sampai pada tingkat pengingkaran, di mana PWI tak mengakui kewartawanan yang menjadi anggota AJI. 113 Tidak banyak wartawan yang ikut bergerak menentang pembredelan. Di bagian redaksi, wartawan justru mendapat himbauan untuk tidak ikut bergerak, yang nekad harus menanggung resiko dan beberapa konsekuensi. Tampaknya era pers industri yang lebih mementingkan tiras dari pada idealisme berhasil mempolarisasi wartawan dalam kotak-kotak kepentingan bisnis perorangan yang bertopeng di balik kepentingan lembaga. Erosi tak hanya memudarkan etos pers Indonesia, tapi juga memudarkan solidaritas wartawan Indonesia.

C. Tenaga Kerja Pers.

Ketidakpastian lamanya waktu pembredelan, telah memberikan dampak terhadap tenaga kerja pers, ada yang beralih kepenerbitan lain, di PHK, dan tetap 113 Taufik Rahzen, et.al, 2007,Tanah air bahasa: seratus jejak pers Indonesia,Jakarta: I:BOEKOE,hlm. 193. bekerja dengan resiko penurunan gaji, hal inilah yang dirasakan karyawan pers, penulis mengambil dua contoh penerbitan pers yang sudah cukup mapan ketika dibredel seperti harian Kompas dan majalah Tempo. Selanjutnya penulis mencoba memberikan gambaran dampak pembredelan terhadap tenaga kerja Kompas namun dalam pemaparan data penulis tidak dapat memberikan data secara rinci karena data tentang karyawan Kompas tidak diarsipkan oleh penerbit Kompas ketika pembredelan tahun 1978, penulis memaparkan data sesuai hasil wawancara dengan pihak Kompas terkait pembredelan tahun 1978. 114 Serta perkiraan jumlah karyawan Kompas 2.500 termasuk wartawan yang dipaparkan Jakob Oetama. Tabel. 3 Tenaga kerja Kompas Oplah 275.000 setiap terbit Pemimpin Umum P.K Ojong Pemimpin Redaksi Jakob Oetama Wakil Pemimpin Redaksi P.Swantoro Sumber: St. Sularto. 2007. Kompas menulis dari dalam. Jakarta: Kompas Media Nusantara.hlm. 135. Dapat kita tarik kesimpulan bahwa ketika pada tahun 1978 harian Kompas sudah memiliki jumlah oplah dan karyawan yang tidak sedikit jumlahnya, oleh sebab itu pembredelan yang dilakukan oleh pemerintah akan sangat menyedihkan bagi kelangsungan nasib karyawan yang bernaung di bawah harian Kompas pada saat itu, sehingga pemimpin redaksi harus memilih jalur berkompromi dengan Presiden Soeharto agar bisa terbit kembali, karena mempertimbangkan faktor kemanusiaan oleh sebab itu pihak Kompas tidak dapat menerima begitu saja pembredelan yang terjadi. 114 Hasil wawancara dengan Ibu Laurensia Fransiska Humas Kompas Gramedia Jakarta, 12 Januari 2017. Selain pemaparan tentang tenaga kerja Kompas penulis juga memaparkan penjelasan mengenai jumlah karyawan Tempo penulis mengambil dari halaman redaksi edisi juni 1994 adapun daftar karyawan Tempo pada saat diberedel dipaparkan dalam tabel.4 di bawah ini: Tabel.4 Tenaga kerja Tempo Oplah 180.000 setiap terbit Pemimpin Umum Eric Samola,S.H. Wakil Pemimpin Umum Harjoko Trisnadi Pemimpin Perusahaan Harjoko Trisnadi Pemimpin Redaksi Goenawan Mohamad Wakil Pemimpin Redaksi Fikri Jufri Sumber: Tempo 11 Maret 1994 Tabel.4 di atas mencoba memberikan sedikit gambaran tentang jumlah tenaga kerja pada Juni 1994 menjelang pembredelan. Dalam buku putih Tempo dibagian pengantar Goenawan Mohamad mengatakan bahwa hanya sepucuk surat keputusan Menteri Penerangan, tiba-tiba lebih dari satu juta pembaca Tempo kehilangan hak untuk mendapatkan informasi pilihan mereka. Sebanyak 300 orang lebih putus dari pekerjaan. Sekitar 300 agen dan 6.000 pengecer tak punya lagi barang dagangan. Kira-kira 50 biro iklan luput dari pendapatan. Tabel tenaga kerja Tempo di atas merupakan gambaran dari sebagain kecil karyawan yang pada saat dibredel mengalami nasib yang tidak pasti.

D. Kehidupan Pers Mahasiswa

Pada tahun 1966, ketika dirasakan bahwa kelompok mahasiswa itu berguna bagi kalangan militer di sekitar Mayor Jenderal Soeharto untuk menjatuhkan kekuasaan Presiden Soekrano, maka kelompok tersebut dipakai untuk kepentingang itu. Namun ketika mahasiswa mulai bersikap kritis terhadap pemerintahan Orde Baru, tak segan-segan kakitangan Soeharto bertindak dan menggunakan kekerasan. Pada Februari 1970 tentara menduduki kampus ITB, karena adanya rangkaian melawan pemerintah sejak bulan sebelumnya. 115 Aksi kritis mahasiswa terkait kinerja pemerintah yang tidak sesuai dengan asas keadilan serta demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat melalui mahasiswa, telah memberikan ketidaknyamanan dikalangan para pejabat, dan aksi-aksi mahasiswa tersebut dalam menganggu kestabilan politik jika terus dibiarkan. Setelah saling bekerjasama ikut membangun Orde Baru, aksi mahasiswa mulai dianggap sebagai ancaman hal ini semakin memperkokoh keinginan pemerintah untuk membatasi pers mahasiswa setelah peristiwa Malari 1974 aksi demonstrasi mahasiswa terkait modal asing, asisten pribadi, dan Undang-undang perkawinan. Setelah peristiwa Malari dan pembredelan terhadap pers nasional dan beberapa pers mahasiswa, masih terus melakukan kritik terhadap pemerintah atas fenomena-fenomena ketidakadilan yang dirasakan masyarakat. Menjelang sidang umum MPR tahun 1978, pemerintah melakukan tindakan pembredelan terkait pemberitaan tentang demonstrasi mahasiswa anti Soeharto dicalonkan kembali menjadi Presiden. Pemerintah memberlakukan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus NKK merupakan kebijakan yang sangat fenomenal. kebijakan yang dikeluarkan tahun 1978 tersebut tidak hanya berhasil 115 Asvi Warman Adam,et.all. 2006. Soeharto Sehat. Yogyakarta:Galangpress, hlm. 29. membungkam dan mematikan kegiatan kemahasiswaan saat itu, tetapi dampaknya juga terasa hingga saat ini. 116 NKK telah berhasil membalikan aktivitas kemahasiswaan yang semula peduli terhadap persoalan-persoalan kebangsaan menjadi mahasiswa yang lebih asik dengan duniannya sendiri. Mahasiswa yang semula merasa dekat dan mau mendengar keluh kesah masyarakat kini menjadi mahasiwa yang terkurung dalam aktivitas akademik kampus. Kalaupun ada mahasiswa yang perduli pada persoalan- persoalan politik dan kebangsaan, hal itu lebih pada aktivitas sporadis, seperti unjuk rasa sebagian kecil mahasiswa. Itupun menjadi terasa aneh bagi lingkungan sekitarnya. Kebijakan NKK tidak muncul tiba-tiba. Kebijakan ini melalui rangkaian peristiwa yang sangat panjang dan penuh dinamika. Bisa dikatakan tahun 1966 ketika mahasiswa membantu militer berhasil menumbangkan Orde Lama menjadi momentumnya. Setelah peristiwa, mahasiswa seperti mempunyai kekuatan moral untuk terus mengontrol pemerintahan. Tak heran ketika pemerintah melakukan penyimpangan, terutama korupsi di tahun 1970-an, beberapa organisasi dan pers mahasiswa mulai mengkritik pemerintah melalui berbagai demonstrasi. Pemerintah pun menanggapi kritik tersebut masih dengan halus. Begitu juga ketika sebagian mahasiswa mengampayekan golongan putih atau golput karena mereka menilai pemilu tahun 1971 tidak jujur dan tidak adil, pemerintah menanggapinya dengan sikap yang tidak terlalu represif. 117 116 Bambang Sigap Sumantri, et.al. 2015. 50 Tahun Kompas Memberi Makna. Jakarta:PT.Kompas Media Nusantara.hlm. 71. 117 Bambang Singap Sumantri.et.al.op.cit.hlm. 72. Namun ketika aksi-aksi mahasiswa semakin meluas,terutama saat pemerintah akan membangun Taman Mini Indonesia Indah TMII di tahun 1973, reaksi pemerintahan yang dipimpin Presiden Soeharto mulai bertindak keras. Sejumlah tokoh mahasiswa ditangkap dan sejumlah pers nasional dan pers mahasiswa dibredel. Reaksi semakin keras ketika di tahun 1974 mahasiswa mulai memprotes kesenjangan ekonomi dan dominasi modal asing di Indonesia. Puncaknya terjadi saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Jakarta pada 15 Januari 1974 dan mahasiswa melakukan aksi demonstrasi serta massa ada yang membakar mobil-mobil Jepang, pemerintah tidak bisa lagi berdiam diri. Pemerintah bersikap sangat represif. Ratusan tokoh mahasiswa ditangkap dan pers dituding sebagai pengahasut. Tak cukup itu setelah peristiwa yang disebut “Malapetaka 15 Januari “ MALARI, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 028 tahun 1974 yang isinya sangat tegas, melarang kegiatan politik di kampus. Upaya membungkam suara kritis mahasiswa tersebut sangat nyata, dampaknya pun terasa, karena sejak 1974 tidak ada lagi aksi-aksi mahasiswa yang bersifat massal. Mahasiswapun tiarap menghadapi rezim penguasa yangs semakin kuat dengan dukungan militer. Sekilas pemerintah berhasil meredam suara kritis mahasiswa. Padahal, kekecewaan dan ketidakpercayaan mahasiswa terhadap pemerintah semakin meluas. Pada awal tahun 1978 mulai muncul berbagai bentuk unjuk rasa yang mengekspresikan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Apalagi partai Golkar yang dikendalikan oleh Presiden Soeharto berhasil meraih kemenangan mutlak dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI