Sikap Pemerintah Orde Baru terhadap Pers

Menghadapi sikap pers yang kritis mulai bangkit kembali, pemerintah tidak langsung melakukan tindakan anti pers, hal ini masih ditanggapi secara toleransi oleh pemerintah masih bermanfaat untuk mengintropeksi diri sesuai dengan harapan masyarakat 70 . Pada periode awal pemerintahan Orde Baru tindakan anti pers yang dilakukan oleh pemerintah masih dianggap dalam batas-batas yang bisa ditoleransi. Misalnya saja, sebagian besar beberapa surat kabar yang dibredel dimasa Orde Baru adalah dengan alasan pornografi. Begitu pula, beberapa kasus pelanggaran yang dilakukan pers telah diselsaikan lewat jalur hukum dan pengadilan bukan diselesaikan secara politis lewat pembredelan. Sebagai contoh, harian Nusantara yang dituduh “menghina pemerintah Republik Indonesia dan Presiden Soeharto”, kemudian penanggung jawab redaksionalnya diajukan ke pengadilan, sedangkan hariannya tetap boleh terbit. Pada periode tersebut penguasa Orde Baru cenderung menahan diri untuk melakukan tindakan anti pers. Bahkan pemerintah masih tetap memberikan suasana kondusif bagai kebebasan pers. Pada mulanya pers dianggap pemerintah Orde Baru sebagai partner dan masih memberikan ruang yang bebas tapi pemerintah tidak lagi bisa menahan diri untuk melakukan tindakan anti pers yang lebih keras terhadap surat kabar yang sangat kritis terhadap segala isu-isu terkait dengan rezim Orde Baru, pers yang begitu bebas menurut pemerintah dapat mengakibatkan terganggunya kestabilan politik. Sikap kritis pers inilah yang dianggap pemerintah harus dibatasi agar tidak menggangu kestabilan politik akibat pemberitaan yang kritis. 70 Akhmad Zaini Abar, op.cit, hlm. 70. Peristiwa 15 Januari 1974 menjadi titik tolak rezim orde baru melakukan politik represif terhadap pers seperti yang dikatakan oleh Rizal Mallarangeng dalam program Melawan Lupa Metrotv 71 : “Pada tanggal 15 Januari 1974 pemerintah Orde Baru dikejutkan dengan demonstrasi mahasiswa berujung kerusuhan massa. Para mahasiswa menganggap kebijakan pemerintah telah menyimpang, kebijakan pemerintah tidak ditujukan untuk mensejahterakan rakyat. Peristiwa 15 Januari atau lebih dikenal sebagai peristiwa MALARI menjadi titik tolak politik represif rezim Orde Baru.” Sikap pemerintah yang mulai melakukan sikap represif terhadap pers semakin dirasakan oleh insan pers, seperti yang juga dikatakan oleh Asvi Warman Adam dalam program Melawan Lupa bahwa peristiwa Malari menjadi tonggak perubahan sikap pemerintah Orde Baru terhadap pers: 72 “ Pasca Peristiwa tersebut beberapa surat kabar dibredel oleh pemerintah, kondisi keamanan menurut hemat saya mulai berubah dalam arti Presiden Soeharto benar-benar sangat waspada, didalam memilih para pembantunya atau yang sering disebut dengan Asisten Pribadi ASPRI melakukan represi yang sangat keras terhadap mereka yang bersifat kritis terhadap pemerintah. Rezim Presiden Soeharto juga mulai bertindak represif terhadap setiap bentuk demonstrasi dan gerakan sipil serta terhadap para tokoh yang bersikap kritis terhadap pemerintah, politik keluarga, aktivitas bisnis dan krabat Presiden Soeharto. Rezim Orde Baru yang nyaris tanpa kontrol dan anti kritik ini dalam perkembangannya juga menyebabkan timbulnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme akibatnya dalam bidang ekonomi pembangunan nasional tidak merata dan gagal mensejahterakan rakyat. Gerakan- gerakan yang sifatnya kritis dihadapi dengan sangat keras oleh pemerintah pasca peristiwa Malari 1974 sejak tahun tersebut, peristiwa Malari bukan hanya sekedar kerusuhan tapi merupakan tonggak Pemerintahan Presiden Soeharto bersikap lebih represif.” 71 Melawan Lupa, 16 Januari 2016. Melawan lupa adalah sebuah program acara documenter di Metro Tv yang akan mengulas berbagai peristiwa bersejarah yang turut membentuk mengenai sebuah entitas yang hari ini dikenal sebagai Indonesia. Tayangan ini, seperti judulnya, sedikit banyak berupaya menjadi narasi tanding atas apa yang selama ini mendifinisikan diri sebagai sejarah nasional Indonesia dengan menyajikan narasi- narasi kecil di balik peristiwa-peristiwa besar yang terjadi, melawan lupa ditunjukan bagi siapa saja yang menolak lupa atas segala hal yang pernah terjadi dalam riwayat Indonesia. 72 Idem.

C. Kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap Pers

Upaya memahami pola dan gaya pers dan kebijakan pemerintah terhadap pers pada suatu negara, banyak dilatari falsafah dan ideologi negara tersebut. langkah ini dilaksanakan bertolak dari anggapan bahwa falsafah mengejawantah dalam berbagai produk perundang-undangan yang mengatur sistem sosial politik dan kebijaksanaan informasi negara. Selanjutnya ketentuan dalam undang-undang tersebut dijabarkan dalam peraturan-peraturan pelaksanaan secara langsung mengatur dan mempengaruhi budaya politik dan kehidupan pers. Demikian juga prinsip-prinsip yang terdapat dalam undang-undang tersebut, tidak selalu mengejawantah dalam peraturan- peraturan pelaksanaanya secara menyeluruh. Acapkali terjadi, ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam peraturan pelaksanaan atau petunjuk pelaksanaan undang- undang, hanya menjadi bagian tertentu saja. Sedangkan bagian lain yang mungkin kurang menguntungkan bagi pemegang otoritas kekuasaan, tetap dibiarkan hanya bersifat formal dan tidak mempunyai kaitan dengan praktik kehidupan pers itu sendiri. 73 Tidak sedikit negara menyatakan diri sebagai negara demokratis, tetapi dalam kenyataannya mempraktikkan cara berbangsa dan bermasyarakat yang justru bertentangan dengan asas-asas demokrasi. Banyak negara mempunyai konstitusi dan undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, tetapi dalam praktik pemerintahannya menerapkan tindakan otoriter, 73 St.Sularto, Humanisme dan Kebebasan Pers. op.cit, hlm. 91. melakukan pengekangan terhadap kebebasan berpendapat, bahkan pembrangusan pers yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan pemegang otoritas kekuasaan. 74 Keadaan semacam itulah yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru atau kurun waktu tahun 1966-1998. Konstitusi memberikan perlindungan dan jaminan kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan pers, tetapi dalam kenyataan, kebebasan pers yang terwujud hanya terbatas pada hal-hal yang tidak mendasar. Terlihat dari kebijakan pemerintah yang represif terhadap pers, semakin membuat ruang gerak pers menjadi terbatas dan kebijakan pers tersebut menggambarkan bahwa pers yang diterapkan oleh penguasa adalah tindakan otoritarian. Kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap pers masa Orde Baru dapat diuraikan sebagai berikut yang terdapat dalam UU PP No.11 tahun 1966, UU PP No.4 tahun 1967 penambahan UU No. 1 tahun 1966, UU PP No.21 tahun 1982 perubahan atas UU PP No.11 tahun 1966, adapun beberapa kebijakan terhadap pers yang terdapat dalam Undang-Undang pokok pers yang beberapa kali mengalami perubahan pada masa Orde Baru tersebut dapat diuraikan di bawah ini: 1. Surat Izin Terbit SIT UU Pokok Pers No.11 tahun 1966, Pasal 20 1 a. dalam masa peralihan keharusan mendapat Surat Izin Terbit masih berlaku sampai keputusan pencabutannya oleh pemerintah atau DPR GR. 75 Ketentuan mengenai SIT dalam UU Pokok Pers diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Penerangan No.03PerMenpen1969. 76 Didalam peraturan ini dikemukakan secara terperinci syarat-syarat untuk mendapatkan SIT beserta cara-caranya. Juga mengenai soal 74 Ibid, hlm. 92. 75 T. Atmadi, Sistem Pers Indonesia, Jakarta, Gunung Agung, hlm. 131. 76 Abdurrachman Surjomihardjo, op.cit, hlm. 186. pencabutannya antara lain ditegaskan bahwa permohonan SIT harus disertai “pernyataan bahwa penerbitan pers tersebut mengutamakan idiil dengan menguraikan mission-nya dalam bentuk usaha pengabdiannya terhadap negara dan bangsa”. Kesanggupan yang perlu di tanda tangani sebelum mendapatkan izin tertuang dalam sembilan belas yang perlu disetujui oleh penerbit surat kabar di tahun 1960 sebagai beriktu: 1. Kami sanggup mematuhi pedoman-pedoman yang telah dan atau akan dikeluarkandiberikan oleh penguasa perang Tertinggi dan lain-lain instansi pemerintah yang berwenang mengenai penerbitan. 2. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Manifesto Politik Republik Indonesia secara keseluruhan. 3. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela program pemerintah. 4. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Dekrit Presiden 5 Juli 1959. 5. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela UUD 1945. 6. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Pancasila. 7. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Sosialisme Indonesia. 8. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Demokrasi Terpimpin. 9. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela ekonomi terpimpin. 10. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela kepribadian nasional indonesia 11. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela martabat negara Republik Indonesia. 12. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung alat untuk memberantas imperialisme dan kolonialisme, liberalisme, federalisme dan sparatisme. 13. Penerbitan kami wajib menjadi pembela pendukung dan alat pelaksana dari politik bebas dan aktif negara Republik Indonesia serta tidak menjadi pembelapendukung dan alat dari pada perang Dingin antara blok negara asing. 14. Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat Indonesia terhadap Pancasila. 15. Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat Indonesia terhadap manifesto politik Republik Indonesia. 16. Penerbitan kami wajib membantu usaha penyelenggaraan ketertiban dan keamanan umum serta ketenangan politik. 17. Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan atau gambar-gambar yang bersifat sensasional dan merugikan akhlak. 18. Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan atau gambar-gambara yang mengandung penghinaan terhadap kepala negara atau kepala pemerintahan dari negara asing yang bersahabat dengan Republik Indonesia. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 19. Penerbitan kami akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan atau gambar- gambar yang mengandung pembelaan terhadap organisasi yang dibubarkan atau dilarang berdasarkan penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 dan Peraturan Presiden No. 13 tahun 1960. Juga harus disertai dalam permohonan itu, susunan pengasuh penerbitan pers yaitu: pimpinan umum, pimpinan perusahaan dan pimpinan redaksi, dilengkapi dengan riwayat hidup masing-masing dan riwayat hidup ini harus telah disahkan oleh Komando Daerah Angkatan Kepolisian bagian Intel, beserta clearance dari pihak berwenang, yang menyatakan “tidak berindikasi tersangkut GestapuPKI atau aksi-aksi kontra revolusi lainnya dan tidak melakukan tindak pidana yang dapat dijatuhi hukuman tambahan sebagaimana tersebu t dalam pasal 33 KUHP”. Beberapa ketentuan lain yang juga harus dipenuhi yaitu: mendapat rekomendasi tertulis dari Persatuan Wartawan Indonesia PWI baik daerah maupun pusat mengenai bidang kewartawanannya, rekomendasi tertulis dari Serikat Penerbitan Surat kabar SPS daerah dan pusat mengenai bidang perusahaannya, pernyataan tertulis dari percetakan tentang kesanggupannya mencetak surat kabar harian atau penerbitan berkala yang bersangkutan, dengan mengemukakan kapasitas cetaknya. 77 Mengenai SIT dalam UU Pokok Pers No.11 tahun 1966 ada ketentuan yang semu yaitu ketentuan pasal 8 untuk ini tidak diperlukan izin terbit, ketentuan tersebut dikaburkan dengan pasal 20 1 a. seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa pada masa peralihan SIT diperlukan. Sampai masa Orde Baru hampir 77 Ibid, hlm. 187. berakhir keputusan pencabutan pasa 20 UU Pokok Pers itu belum pernah dilakukan. Berarti pemerintah masih mengkategorikan masa Orde Baru membutuhkan masa transisi yang cukup lama sebagai masa peralihan. Menanggapi suara-suara dari kalangan pers agar SIT dicabut, Menteri Sekretaris Negara saat itu Sudharmono, yang juga merangkap sebagai Menteri Penerangan, hanya mengatakan 8 November 1977 bahwa soal SIT sudah diatur dalam undang-undang . Menpen Sudarmono berkata: 78 “Mengubah undang-undang itu tidak mudah, dan pemerintah tetap bermaksud menjalankan undang-undang yang ada dengan sebaik-baiknya.sikap pemerintah adalah akan mendengar dan menampung suara atau usul mengenai SIT.” Lembaga SIT masih tetap dipertahankan “dalam masa peralihan” pasal 20 UU Pokok Pers 1966 dan ada kemungkinan mencabut izin itu, lagi pula dalam praktiknya juga terjadi persbredel dan izin terbit dimungkinkan berlakukanya dalam keadaan yang dianggap darurat. SIT adalah sebagai kebijakan pemerintah terhadap pers sebagai alat kontrol politik dan besar wewenang penguasa untuk membredel pers yang dianggap salah satu ciri khas yang menonjol, dan dasar dari wewenang itu selalu untuk menjaga ketertiban umum. 2. Surat Izin Cetak SIC Pasca peritiwa September 1965 berlaku pula Surat Izin Cetak SIC, yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus Laksus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah Kopkamtibda. Namun SIC ditiadakan sejak 3 Mei 1977. Peniadaan SIC ini dengan pertimbangan, keterangan pers Kepala Staf 78 Akhmad Zaini Abar, op.cit, hlm. 56.