Lahirnya Orde Baru LATAR BELAKANG PEMBREDELAN PERS DI MASA ORDE

dukungan secara penuh dengan Jendral Soeharto diangkat sebagai Presiden secara resmi bulan Maret 1968, ketika Sidang Umum MPRS V mengangkatnya sebagai Presiden Republik Indonesia yang kedua. 65 Semboyan pemerintah terhadap pers dimasa Orde Lama adalah pers terpimpin, maka semboyan pemerintah bagi pers dimasa Orde Baru ialah “pers bebas dan bertanggung jawab”. Era Orde Baru pers boleh bebas membemberitakan isu-isu terkini, tetapi harus bertanggung jawab. Bebas dalam pengertian ini bukanlah makna yang sebenarnya, ini terlihat dari sikap pemerintah terhadap pers yang mulai kritis, bayang-bayang bredel di masa Orde Baru semakin menghantui mereka setiap saat ketika mereka memberitakan isu-isu terkini, apakah hal tersebut bisa dikatakan kebebasan pers. Seperti yang dikatakan Mochtar Lubis bahwa hubungan baik pemerintah terhadap pers bulan madu yang singkat 66 . “Media massa memperlihatkan kesegaran bersikap dan berpikir, serta keberanian untuk berterus terang. Kemunafikan yang selama ini amat menonjol di bawah rezim Soekarno seakan telah dihilangkan. Alangkah segarnya membaca kembali media massa Indonesia selama beberapa tahun pertama Orde Baru. Akan tetapi “bulan madu” hanya berlangsung beberapa tahun saja, penguasa bertambah peka terhadap kritik-kritik dalam pemberitaan media massa. Dikalangan penguasa semakin banyak diperlihatkan sikap kurang senang dengan terus terangnya kritik-kritik yang diberitakan media massa khususnya surat kabar dan majalah.” Setelah PKI dan rezim Demokrasi Terpimpin berakhir, sikap dan perlakuan penguasa Orde Baru terhadap pers mulai berubah. Hal ini terutama disebabkan kekuasaan Orde Baru semakin bertambah kuat dan besar setelah rezim Presiden Soekarno tumbang, tidak ada lagi penghalang atau pun lawan politik Angkatan Darat atau ABRI pada umumnya untuk memperkuat kekuasaanya. Sejak tahun 65 Harold Crouch, op.cit, hlm. 244. 66 Mochtar Lubis, 1978, Etos Pers Indonesia” Prisma, No.11, LP3ES, hlm. 35. 1966, pers Indonesia mulai lebih kritis terhadap kekuasaan Orde Baru, terutama ditujukan pada fenomena korupsi dalam birokrasi negara Orde Baru. 67 Sorotan surat kabar terhadap korupsi semakin sering mewarnai isi berita dalam surat kabar harian yang sangat dikenal kritis terhadap perkembangan isu terkini pemerintahan. Sikap pemerintah yang mulai berubah mengakibatkan pemerintah semakin berhati-hati terhadap pers dan mulai melakukan tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindakan anti pers, seperti imbauan atau peringatan agar pers lebih bertenggang rasa dalam melakukan kritiknya terhadap penguasa. Selain itu juga penguasa melakukan intropeksi diri sebagai reaksi positif dari kritik yang dilontarkan terhadap dirinya. 68 Sementara itu pemerintah yang menghadapi suasana pers yang kritis terus berkembang tampak merisaukan pemerintah, karena pers sempat diberikan kebebasan dalam memberitakan isu-isu politik, tetapi sikap pers yang kritis tidak lagi bisa dibiarkan oleh pemerintah, kebebasan atau keterbukaan ruang bagi pers dalam memberitakan isu-isu politik, membuat pemerintah menjadi khawatir dapat membahayakan kestabilan politik yang masih diperlukan untuk melaksanakan pembangunan Orde Baru. 69 Sikap pemerintah yang memperlakukan pers terkadang sangat sulit untuk mencari perubahan secara fundamental, tetapi perubahan sikap pemerintah dalam memperlakukan pers dapat kita lihat seiring dengan dinamika politik yang sedang berkembang. 67 Akhmad Zaini Abar, op.cit, hal. 69. 68 Ibid, hlm.68. 69 Alfian, 1991, Komunikasi Politik dan Sistem Politik di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hlm. 65. Menghadapi sikap pers yang kritis mulai bangkit kembali, pemerintah tidak langsung melakukan tindakan anti pers, hal ini masih ditanggapi secara toleransi oleh pemerintah masih bermanfaat untuk mengintropeksi diri sesuai dengan harapan masyarakat 70 . Pada periode awal pemerintahan Orde Baru tindakan anti pers yang dilakukan oleh pemerintah masih dianggap dalam batas-batas yang bisa ditoleransi. Misalnya saja, sebagian besar beberapa surat kabar yang dibredel dimasa Orde Baru adalah dengan alasan pornografi. Begitu pula, beberapa kasus pelanggaran yang dilakukan pers telah diselsaikan lewat jalur hukum dan pengadilan bukan diselesaikan secara politis lewat pembredelan. Sebagai contoh, harian Nusantara yang dituduh “menghina pemerintah Republik Indonesia dan Presiden Soeharto”, kemudian penanggung jawab redaksionalnya diajukan ke pengadilan, sedangkan hariannya tetap boleh terbit. Pada periode tersebut penguasa Orde Baru cenderung menahan diri untuk melakukan tindakan anti pers. Bahkan pemerintah masih tetap memberikan suasana kondusif bagai kebebasan pers. Pada mulanya pers dianggap pemerintah Orde Baru sebagai partner dan masih memberikan ruang yang bebas tapi pemerintah tidak lagi bisa menahan diri untuk melakukan tindakan anti pers yang lebih keras terhadap surat kabar yang sangat kritis terhadap segala isu-isu terkait dengan rezim Orde Baru, pers yang begitu bebas menurut pemerintah dapat mengakibatkan terganggunya kestabilan politik. Sikap kritis pers inilah yang dianggap pemerintah harus dibatasi agar tidak menggangu kestabilan politik akibat pemberitaan yang kritis. 70 Akhmad Zaini Abar, op.cit, hlm. 70.