Pembredelan Pers. Landasan Teori

dimana sebuah surat izin cetak serta izin terbit dapat dicabut hanya dengan peraturan yang tingkatannya lebih rendah dari Undang-Undang Pokok Pers yang lebih tinggi kedudukannya menjadi tidak berarti, seperti pasal 4 sudah jelas mengatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan, pasal tersebut menjadi tidak bermakna, karena masih saja terjadi pelarangan terbit dalam bentuk pencabutan surat izin cetak dan surat izin terbit. c Pencabutan SIUPP. Undang-Undang Pokok Pers No.21 Tahun 1966 tentang perubahan atas Undang-Undang Pokok Pers No.11 Tahun 1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Pokok Pers No.4 Tahun 1967. Peraturan mengenai izin terbit di hapus seperti yang tercantum dalam UU PP No.21 tahun 1982 pasal 8 ayat 2 dihapus diganti dengan keterangan cukup jelas. Dan pasal 20 ayat 1 dihapus. Kedua ayat yang dihapus dalam UU PP No.21 tahun 1982 peraturan mengenai surat izin terbit yang digunakan selama berlakunya UU PP No.11 tahun 1966. Peraturan mengenai surat izin terbit dihapus dan digantikan dengan peraturan baru yang ditambahkan dalam Bab V tentang perusahaan pers, pasal 13 ditambah ayat 5: setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers selanjutnya disingkat SIUPP yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan diatur oleh Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan pers. 50 Peraturan mengenai SIUPP juga dikeluarkan oleh Menteri Penerangan RI No.01PERMENPEN1984. Tentang surat izin usaha penerbitan pers. Bab I 50 Undang-Undang Pokok Pers No.21 Tahun 1982. tentang ketentuan umum pasal 1 ayat a Surat izin usaha penerbitan pers selanjutnya disingkat SIUPP adalah surat izin yang diberikan oleh Menteri Penerangan kepada perusahaanpenerbit pers untuk menyelenggarakan penerbitan pers. Bab II tentang persyaratan umum pemberian SIUPP pasal 2 berbunyi: setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan penerbitan pers harus memiliki SIUPP yang dikeluarkan oleh Menteri Penerangan. Bab VII tentang Sanksi, pasal 13 berbunyi SIUPP yang telah diberikan kepada perusahaanpenerbit pers dapat dibatalkan oleh Menteri Penerangan setelah mendengar Dewan Pers apabila: a. Perusahaanpenerbitan pers melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut dalam bab IV tentang permodalan dan pemilikan persuahaanpenerbitan pers. b. Perusahaan pers melakukan tindakan-tindakan yang tanpa persetujuan Menteri Penerangan menyalahi ketentuan-ketentuan adsministratif sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Penerangan. Pembredelan yang dilakukan oleh Menteri Penerangan dapat diambil contoh dari pencabutan SIUPP majalah mingguan Tempo Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No.123KEPMENPEN1994,Tgl.21 Juni 1994. Adapun salah satu yang menjadi pertimbangan pencabutan majalah Tempo ialah seperti yang tercantum dalam bagian f bahwa penilaian terhadap isi penerbitan Tempo selama ini ada beberapa kasus pemberitaan Tempo yang menunjukan itikad tidak sejalan dengan pengarahan Dewan harian Dewan Pers tgl.13 Mei 1982 yang telah diketahui dan ditandatangani oleh Direktur Utama PT.Grafiti Pers dan Pemimpin Redaksi Tempo. g. Berdasarkan kenyataan sebagaimana tersebut di atas, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pemuatan isi beberapa penerbitan Tempo tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang bebas dan bertanggung jawab, sehingga sesuai dengan pasal 33 huruf h Peraturan Menteri Penerangan No.01PERMENPEN1984 dapat dikenakan sanksi pembatalan SIUPP. Pasal 33 huruf h berbunyi: menurut penilaian dimana Dewan Pers sebagaimana dimaksud, perusahaanpenerbitan pers dan penerbitan pers yang bersangkutan dalam penyelenggarakan penerbitannya tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab. Inilah pasal yang digunakan oleh Menteri Penerangan dalam mencabut SIUPP, seperti yang dijelaskan bahwa SIUPP merupakan bentuk lain dari pembredelan setelah dihapuskannya SIT dalam UU PP No.21 tahun 1982. Digantikannya SIT dengan SIUPP merupakan peraturan yang penuh dengan keritik, sebab SIUPP tidak dapat digunakan untuk membredel pers, sebab fungsi antara SIT dan SIUPP sangat berbeda. Memperjelas kedudukan antara izin terbit dan izin usaha penerbitan pers Oemar Seno Adji mengatakan, SIT dalam sistematika dan kategori hukum pers, termasuk Code of Publication. sedangkan SIUPP, masuk dalam kategori Code of Enterprise. Artinya, SIT mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pernyataan pendapat, melalui pers. SIUPP banyak mengatur faktor ekonomis, yang tidak boleh berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat melalui pers. SIUPP lebih merupakan perizinan berdirinya sebuah perusahaan pers. SIUPP banyak berkaitan dengan hukum dagang, perdata, perpajakan, dan perburuha. Jadi ia tidak langsung berhubungan dengan hal-hal yang fundamental, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI seperti kebebasan berekspresi melalui pers, yang digolongkan dalam Code of Publication. 51 SIUPP digunakan untuk membredel pers merupakan hal yang rancu, sebab SIUPP mengatur masalah bagaimana perusahan pers itu supaya berdiri. Jika syarat-syarat berdirinya perusahaan pers belum terpenuhi, misalnya modal, maka SIUPP dapat dibatalkan untuk diberikan. Bukan dibatalkan karena masalah isi beritanya. Ini menunjukan kekacauan setelah SIT dihapus dan diganti dengan SIUPP diperkuat dengan peraturan Menteri Penerangan. Ketika kita melihat ketentuan yang tercantum dalam UU PP No.21 tahun 1982 dengan Peraturan Menteri Penerangan, yang lebih digunakan untuk alasan dalam membredel pers ialah peraturan Menteri Penerangan. Fakta yang terdapat dalam surat keputusan pencabutan majalah Tempo karena pertimbangan isi majalah tersebut dianggap dapat menganggu kestabilan nasional. Serta yang melakukan pembredelan adalah Menteri Penerangan, padahal yang berwenang mencabut SIUPP adalah pemerintah sebab pemerintahlah yang mengeluarkan SIUPP seperti yang tercantum dalam pasal 13 ayat 5.

6. Bahasa Jurnalistik Indonesia

Bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Bahasa pers ialah salah satu ragam bahasa. Bahasa Jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu: singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan 51 Tempo, 11 April 1987. menarik. Akan tetapi, jangan dilupakan, bahasa jurnalistik harus didasarkan pada bahasa Indonesia baku. 52 Wojowarsito menjelaskan : bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian dan majalah-majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa tersebut haruslah jelas dan mudah dibaca oleh mereka dengan ukuran intelek yang minimal. Sehingga sebagian besar masyarakat yang melek huruf dapat menikmati isinya. Menurut Yus Badudu: bahasa surat kabar harus singkat, padat, sederhana, jelas, lungas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh pemakaian bahasa dalam surat kabar mengingat bahwa surat kabar dibaca oleh lapisan- lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. 53 Karya Latihan Wartawan IKLW XVII PWI pusat yang diselenggarakan atas kerja sama dengan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia YLTKI dan Friedrich Stiftung FES di Jakarta tanggal 6- 10 November 1975 bertema “ Bahasa Jurnalistik dan Pewartaan” menyetujui sebuah pedoman pemakaian bahasa Indonesia dalam pers. Pedoman pemakaian bahasa Indonesia dalam pers sebagai berikut: 54 1. Wartawan hendaknya secara konsekuen melaksanakan pedoman ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Hal ini juga harus diperhatikan oleh para korektor oleh karena kesalahan paling menonjol dalam penerbitan pers sekarang. Ini ialah kesalahan ejaan. 52 Rosihan Anwar, 2004, Bahasa Jurnalistik dan Komposisi, Yogyakarta, Media Abadi, hlm. 3. 53 Ibid, hlm. 4. 54 Ibid, hlm. 140. 2. Wartawan hendaknya membatasi diri dalam singkatan atau akronim. Kalaupun harus menulis akronim, maka satu kali dia harus menjelaskan dalam dalam tanda kurung kepanjangan akronim tersebut supaya tulisannya dapat dipahami oleh khalayak ramai. 3. Wartawan hendaknya jangan menghilangkan imbuhan, bentuk awalan atau prefix. Pemenggalan kata awal m-e dapat dilakukan dalam kepala berita mengingat keterbatasan ruangan. Akan tetapi pemenggalan jangan sampai disamaratakan sehingga mempengaruhi pula dalam isi berita. 4. Wartawan hendaknya menulis dengan kalimat-kalimat pendek pengutaraan pikirannya harus logis, teratur, lengkap dengan kata pokok, sebutan dan kata tujuan subyek, predikat, obyek.Menulis dengan induk kalimat dan anak kalimat yang mengandung banyak kata mudah membuat kalimat tidak dipahami. Lagipula prinsip yang harus dipegang ialah “satu gagasan atau satu ide dalam satu kalimat.” 5. Wartawan hendaknya menjatuhkan diri dari ungkapan klise atau stereotype yang sering dipakai dalam transisi berita seperti kata-kata “sementara itu”, “dapat ditambahkan”, “perlu diketahui”, “dalam rangka”, “selanjutnya”. Dengan demikian dia menghilangkan monotomi keadaan atau bunyi yang selalu sama saja, dan sekaligus dia menerapkan ekonomi kata atau penghematan dalam bahasa. 6. Wartawan hendaknya menghilangkan kata mubazir seperti: adalah, telah, untuk, dari, bahwa dan bentuk jamak yang tidak perlu diulang. 7. Wartawan hendaknya mendisiplinkan pikirannya supaya jangan campur-aduk dalam satu kalimat bentuk pasif di dengan bentuk aktif me. Sebab kalimat aktif terasa lebih hidup dan kuat dari kalimat pasif. 8. Wartawan hendaknya menghindari kata-kata asing dan istilah-istilah yang terlalu teknis ilmiah dalam berita. Kalaupun terpaksa menggunakannya, maka satu kali harus dijelaskan pengertian atau maksud. 9. Wartawan hendaknya sedapat mungkin mentaati kaidah tata bahasa. 10. Wartawan hendaknya ingat bahasa jurnalistik ialah bahasa yang komunikatif dan spesifik sifatnya, dan karangan yang baik dinilai dari tiga aspek yaitu: isi, bahasa dan teknik persembahan.

G. Metodologi Penelitian

Penelitian sejarah pada dasarnya memiliki tahapan yaitu: 1 Pemilihan Topik, 2 pengumpulan sumber, 3 verifikasi, 4 interpretasi, 5 penulisan. 55 1. Pemilihan Topik Pemilihan topik merupakan langkah pertama dalam penelitian sejarah. Topi k penelitian ini adalah “Pembredelan Pers Masa Orde Baru 1966-1998. Sikap pemerintah terhadap kebebasan pers di masa Orde Baru menarik untuk dibahas. Sikap pemerintah semakin berubah ketika pers semakin kritis dalam 55 Kuntowijoyo, 2005, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta, Bentang Pustaka, hlm. 69. menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang tidak adil terhadap masyarakat. Topik yang telah dipilih ini memberikan daya tarik tentang kehidupan pers masa Orde Baru yang semula menjanjikan kebebasan pers, tetapi nyatanya pers hanya sebagai alat pemerintah untuk memperkuat konsolidasi kekuasaan Orde Baru, setelah pemerintahan Orde Baru sudah cukup kuat, pemerintah mulai melakukan tindakan represi terhadap pers. Kebebasan pers masa Orde Baru semakin sulit, namun setelah berakhirnya Orde Baru kebebasan pers mulai tumbuh kembali di era reformasi. 2. Pengumpulan Sumber Setelah pemilihan topik dilakukan, tahap berikutnya adalah pengumpulan sumber heuristik. Pengumpulan sumber harus relevan dan sesuai berdasarkan dengan topik yang akan ditulis. Ada beragam jenis sumber yaitu sumber tertulis, sumber lisan, benda tinggalan dan sumber kuantitatif 56 . Pada penelitian ini penulis menggunakan sumber yang berupa buku, jurnal, surat kabar dan majalah. Karena sumber yang dicari sangat terbatas di perpustakaan Sanata Dharma, penulis juga mencari sumber-sumber primer di perpustakaan dan museum lain yang terkait. Namun penulis sangat mengalami kesulitan dalam mendapatkan sumber primer berupa surat kabar dan majalah yang terkait dengan topik. Oleh sebab itu sumber primer berupa surat kabar hanya beberapa saja yang menjadi bahan penulisan skripsi ini. Lebih banyak menggunakan sumber sekunder berupa buku untuk lebih memperlengkap sumber primer yang sangat terbatas jumlahnya. 56 Suhartono W. Pranoto, 2010, Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta, Graha Ilmu,hlm. 30. 3. Kritik Sumber Verifikasi Kritik sumber sejarah adalah upaya untuk mendapatkan otentisitas dan kredibilitas sumber. Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah untuk mendapatkan objektivitas suatu kejadian. 57 Umumnya kritik sumber dilakukan terhadap sumber-sumber pertama. Kritik ini meliputi verifikasi sumber, yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan akurasi dari sumber itu. Dalam metode sejarah ada dua jenis kritik sumber, yaitu kritik eksternal otentisitas dan integritas dan kritik internal. Kritik eksternal adalah kritik yang dilakukan untuk mengetahui keaslian sumber, kritik eksternal bertujuan untuk mengetahui ontetik tidaknya sumber yang kita miliki, serta harus menggunakan analisa sumber untuk mengetahui apakah suatu sumber itu asli ataukah turunan. Sumber asli sudah barang tentu lebih tinggi mutunya dari pada sumber turunan. Kritik ekstern digunakan untuk mengetahui utuh tidaknya sumber-sumber, harus diatasi dengan kritik isi sumber. Kecuali untuk mengetahui perubahan-perubahan apa yang dibuat di dalam teks dalam usahanya menyalinnya, kritik teks juga bertugas mengetahui bagaimana sesungguhnya isi sumber asli. Asli dalam arti kata yang sesungguhnya dari tangan pengarang dokumen. 58 Kritik Internal mulai bekerja setelah kritik ekstern selesai menentukan, bahwa dokumen yang kita hadapi memang dokumen yang kita cari. Kritik intern harus membuktikan, bahwa kesaksian yang diberikan oleh suatu sumber itu memang dapat dipercaya. Pertama, buktinya diperoleh dengan penilaian intrinsik, dimulai dengan menentukan sifat dari sumber-sumber itu. 57 Ibid, hlm. 35. 58 Nugroho Notosusanto, 1978, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta, Yayasan Indayu, hlm. 38.