Kehidupan Pers Mahasiswa DAMPAK PEMBREDELAN PERS MASA ORDE BARU
lama. Masyarakat dan pers sangatlah erat kaitannya, karena pers adalah bentuk dari aspirasi rakyat yang disampaikan terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa.
Pemerintahan otoriter penuh dengan tindakan represif, dan pengekangan tehadap kebebasan menyebabkan kemiskinan budaya dan kemampuan masyarakat.
Pembredelan pers merupakan pengasingan secara spiritual tehadap para jurnalis tindakan tersebut bagaikan pencorengan muka Orde Baru dan politik
pembangunannya. Jika kita dapat belajar dari sejarah, ada beberapa hal yang mencolok: rezim-rezim represif berakhir karena disintegrasi politik negaranya.
Contoh dari luar seperti sejarah Shah Reza Pahlevi di Iran, meskipun memiliki tentara yang kuat, intelijen Savak yang terorganisir dan dikenal ganas, dan sumber
keuangan berlimpah, toh berhasil digoyahkan oleh gerakan yang dipimpin ulama- ulama tua, mahasiswa, buruh dan kaum pedagang. Lebih mengherankan lagi
negara-negara bekas Uni Soviet dan negara-negara satelitnya di Eropa Timur, negara-negara yang didirikan melalui revolusi itu, khususnya negara induknya yaitu
Uni Soviet sendiri, mempunyai kekuatan militer dalam sekala super power, hasil rezim represif itu adalah disintegrasi sistem politik dan ekonomi.
118
Singkatnya tindakan-tindakan represif rezim Orde Baru, baik dalam bentuk berbagai pencabutan izin terbit yang pada akhirnya berbentuk pembatalan SIUPP
ataupun perlakuan terhadap para demonstran sangatlah menghawatirkan bagi perkembangan demokrasi negeri ini. Tindakan itu diperlihatkan kepada kita bahwa
118
Ibid,hlm. 46.
suksesi yang kelak pasti akan terjadi nanti, akan lebih disebabkan faktor-faktor alamiah, bukan karena konstitusional.
119
Fakor-faktor alamiah yang akan muncul adalah akibat dari tindakan represif pemerintah hampir dalam segala bidang, tapi pada masa Orde Baru bidang yang
hanya menjadi fokusnya adalah pembangunan ekonomi serta kestabilan politik, oleh sebab itu selama Orde Baru demonstrasi yang telah terjadi tidak lain karena
isu-isu politik serta gagalnya pemerintah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, seperti Peristiwa Malari 1974 adalah demonstrasi yang cukup besar dan
berhasil mengejutkan penguasa bahwa jika, wartawan, cendikiawan dan masyarakat secara umum jika bergabung menentang pemerintah, pemerintahan yang represif
tidaklah seberapa kekuatannya. Hanya saja aksi tersebut belumlah matang yang pada akhirnya harus tunduk terhadap pemerintah yang represif kembali.
Corak pemerintahan otoriter hampir mewarnai segala bidang, seperti halnya terhadap kehidupan pers dipegang penuh oleh Presiden Soeharto dan Menteri
Penerangan, hal ini tercermin dari kebijakan terhadap pers serta lembaga pers hanya sebagai boneka saja untuk mengontrol pers agar tetap menjaga kestabilan politik
dan keamanan. Selama rezim Orde Baru pers Indonesia hidup dibawah slogan pers bebas dan bertanggung jawab, dan dibawah bayang-bayang pembredelan. Pada
dasarnya pers dapat menentang budaya politik yang tidak sejiwa dengan falsafah dan ideologi yang tercantum dalam konstitusi. Walaupun demikian, corak isi dan
pola penyajian berita tetap akan mencerminkan budaya politik yang tumbuh dan berkembang selama rezim Orde Baru.
119
Idem.
Euforia menuju pers bebas mulai dirasakan sejak berlangsungnya demokratisasi kehidupan sosial politik pada awal masa pemerintahan Presiden B.J.
Habibie pertengahan tahun 1998 setelah rezim represif Presiden Soeharto dan Orde Barunya runtuh, pandangan mengenai peranan pers, turut mengalami perubahan.
Seiring dengan adanya perubahan tersebut, peraturan Menteri Penerangan No. 01 tahun 1984 dicabut dengan peraturan Menteri Penerangan No.01 tahun 1998,
sehingga pers nasional mulai memperoleh kebebasan melakukan pengumpulan berita news gathering, pengolahan news editing dan penyajian bahan berita
news presenting serta kebebasan dari berbagai tekanan dan ancaman pihak luar sewaktu melaksanakan tugas jurnalistik.
Sesuai dengan ketentuan pasal 23 Peraturan Menteri Penerangan No. 01 tahun 1998, kewenangan Menteri Penerangan dibatasi pada pengenaan sanksi
administratif, yakni pemberian peringatan tertulis, pembekuan SIUPP untuk waktu tertentu dan penyelesaian melalui pengadilan. Meskipun masih memberikan
kewenangan kepada Menteri Penerangan membekukan SIUPP, secara formal, pencabutan sanksi pembatalan SIUPP yang mempunyai akibat yang sama dengan
akibat pembredelan, akan mengurangi kesenjangan antara undang-undang yang memuat ketentuan pokok dan peraturan Menteri yang memuat ketentuan
pelaksanaan mengenai pers. Pencabutan sanksi pembatalan SIUPP ini dengan sendirinya pula
menempatkan pers nasional pada jalur menuju pers yang bebas dan merdeka. Hilangnya sanksi pembatalan SIUPP, langsung disikapi pengelola penerbitan pers
dengan melakukan penyesuaian corak dan pola pengumpulan, mengolah berita yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengandung pro dan kontra, kritik fakta yang tidak sesuai dengan demokrasi, penyimpangan dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan aparatur pemerintah,
ketidakadilan di berbagai bidang, pengingkaran dan penindasan hak-hak asasi masyarakat dsb. Berita-berita itu ditulis dalam semangat keterbukaan dan perubahan
yang diorientasikan pada upaya menciptakan kehidupan sosial, politik demokratis dan pencepatan pemulihan perekonomian nasional yang sedang mengalami krisis.
Perubahan tahun 1998 sungguh-sungguh perubahan besar yang bahkan menyentuh sendi kehidupan masyarakat bangsa dan negara, ikut dirombak ,diubah,
direposisikan kembali. Benar-benar euforia demokrasi, partai-partai mulai berdiri kembali, pers bebas tidak lagi memerlukan izin terbit, pemilihan umum yang
demokratis diselenggarakan, pemerintah baru, Presiden dan wakil Presiden dipilih oleh MPR, hasil pemilihan umum.
120
120
Jakob Oetama, 2000, Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus. Jakarta, Kompas Media Nusantara, hlm.74.
106