Kebebasan Pers Landasan Teori

Namun selama Orde Baru tindakan pembredelan sering terjadi bahkan ketika larangan sensor dan pembredelan tercantum dalam UU PP No.11 Tahun 1966, bab II tentang fungsi, kewajiban dan hak pers, pasal 4 berbunyi: terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Serta perturan mengenai izin terbit yang memiliki makna ganda dalam UU PP No.11 Tahun 1966, Bab IV tentang hak penerbitan dan fasilitas pers, pasal 8 ayat 1 berbunyi: setiap warga mempunyai hak penerbitan pers yang bersifat kolektif sesuai dengan hakekatnya Demokrasi Pancasila dan Pasal 8 ayat 2 berbunyi: untuk ini tidak diperlukan Surat Izin Terbit SIT. Namun ketentuan ini di kaburkan dengan Bab IX tentang peralihan pasal 20 ayat 1 a. Dalam masa peralihan keharusan mendapatkan Surat Izin Terbit masih berlaku sampai ada keputusan pencabutannya oleh Pemerintah atau DPRGR. Pasal 20 1 b. Ketentuan-ketentuan mengenai Surat Izin Terbit dalam masa peralihan diatur oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pers. selama berlakunya UU PP No.11 Tahun 1966, selain peraturan mengenai SIT peraturan lain yang digunakan untuk membredel pers adalah Surat Izin Cetak SIC yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus Laksus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah Kopkamtibda. Ketentuan mengenai SIT dalam masa peralihan di atur dalam, peraturan Menteri Penerangan Republik Indonesia No.03PERMENPEN1969 tentang Lembaga Surat Izin Terbit dalam masa peralihan bagi penerbitan pers yang bersifat umum. Bab III tentang pencabutan surat izin terbit. 47 Pasal 7 berbunyi: 47 Abdurrachman Surjomiharjo, op.cit, hlm. 384. Surat Izin Terbit dicabut akibat dari larangan terbit terhadap penerbitan pers sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 UU PP No.11 Tahun 1966 yang dikenakan kepada: a. Penerbitan pers yang bertolak dari ajaran KomunismeMarxisme- Leninisme. b. Penerbitan pers yang cenderung kepada pornografi. c. Penerbitan pers yang cenderung kepada sadisme dan lain-lain. d. Penerbitan pers yang bertentangan dengan Pancasila, seperti halnya yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial yang menyangkut tanggung jawab moral terhadap keselamatan generasi muda bangsa. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Pers 1966 dan Undang-Undang PP No.21 tahun 1982 maka bentuk atau larangan penerbitan dapat dirinci sebagai berikut: a Pencabutan Surat Izin Cetak. Bentuk pembredelan dengan bantuk pencabutan SIC terhadap surat kabar seperti harian Indonesia Raya. Dapat kita lihat dari surat Pelaksana Khusus Panglima Komando dan Ketertiban Daerah Keamanan dan Ketertiban Daerah Jakarta Raya dan Sekitarnya, SK No:KEP-007-PK11974 tentang pencabutan izin cetak surat kabar harian Indonesia Raya. 48 dengan pertimbangan. Bahwa dipandang perlu untuk mengambil tindakan terhadap surat kabar harian Indonesia Raya dengan pencabutan SIC No.KEP.063.PK1CVIII1973 tanggal 1 Agustus 1973 yang diberikan kepada PT.Badan penerbit “Indonesia Raya” Jln.Veteran I No.28 Jakarta. Tindakan pencabutan Surat Izin Cetak tersebut atas pertimbangan- 48 Ibid, hlm. 396. pertimbangan sebagai beritkut: a. Surat kabar harian Indonesia Raya telah melanggar semangat dan jiwa dari ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam TAP.MPR.No.IVMPR1973 dan UU No.11 tahun 1966. b. Surat kabar harian Indonesia Raya telah memuat tulisan yang dapat merusak kewibawaan kepercayaan kepemimpina nasional. b Pencabutan Surat Izin Terbit. Pembredelan selama berlakunya UU PP No.11 tahun 1966 dilakukan dengan pencabutan SIC, setelah itu dilanjutkan dengan pencabutan SIT. Harian Indonesia Raya setelah dicabut SICnya oleh Pangkopkamtibda, harian Indonesia Raya SITnya dicabut oleh Menteri Penerangan Republik Indonesia, surat keputusan Menteri Penerangan RI No.20SKDIRJEN-PGK1974 tentang pencabutan Surat Izin Terbit SIT surat kabar harian Indonesia Raya. Bahwa tindakan pencabutan SIT tersebut didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: 49 i. Surat kabar harian Indonesia Raya telah melanggar semangat dari ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ketetapan MPR No.IVMPR1973 dan Undang-Undang Pokok Pers No.11 Tahun 1966,di mana dijelaskan bahwa mass media umumnya dan sarana pers khususnya harus menjadi sarana pembinaan partisipasi rakyat dalam pembangunan dan sebagai saluran pendapat rakyat yang konstruktif. ii. Surat kabar harian Indonesia Raya telah memuat tulisan-tulisan: 49 Ibid, hlm. 399. 1. Pada hakekatnya menjurus ke arah usaha-usaha untuk melemahkan sendi- sendi kehidupan negara danatau ketahanan nasional. Dengan jalan mengobarkan isu-isu seperti modal asing,korupsi, dwifungsi, kebobrokan-kebobrokan aparat pemerintah, masalah asisten pribadi Aspri, Kopkamtib. 2. Merusak kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan nasional. 3. Mendengungkan kepekaan- kepekaan tanpa memberikan pemecahan yang tepat dan positif, yang dapat diartikan menghasut rakyat untuk bangkit bergerak untuk mengambil tindakan- tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap ketertiban dan keamanan negara. 4. Menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus kepada perbuatan makar. Bahwa perbuatan harian Indonesia Raya bertentangan dan merupakan pelanggaran terhadap fungsi dan tanggung jawab pers sebagai mana dimaksud dalam TAP MPR No.IVMPR1973, UU PP No.11 Tahun 1966, Kode Etik Jurnalistik dan Peraturan Menteri Penerangan RI No.031963. Bab III pasal 7d. Bahwa tindakan pencabutan surat izin terbit terhadap penerbitan yang bersangkutan tidak bertentangan dengan kebebasan pers, melainkan justru menegakan kebebasan pers dalam arti sebenarnya dalam rangka tertib demokrasi Pancasila, dimana pers yang sehat dicita-citakan oleh rakyat Indonesia telah dirumuskan dalam konsensus nasional, TAP MPR No.IVMPR73, yaitu pers yang bebas dan bertanggung jawab. Bentuk pembredelan selama berlakunya UU PP No.11 Tahun 1966 seperti surat izin cetak maupun surat izin terbit merupakan kontrol terhadap pers oleh pemerintah, bahwa Menteri Penerangan memiliki wewenang yang lebih kuat, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dimana sebuah surat izin cetak serta izin terbit dapat dicabut hanya dengan peraturan yang tingkatannya lebih rendah dari Undang-Undang Pokok Pers yang lebih tinggi kedudukannya menjadi tidak berarti, seperti pasal 4 sudah jelas mengatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan, pasal tersebut menjadi tidak bermakna, karena masih saja terjadi pelarangan terbit dalam bentuk pencabutan surat izin cetak dan surat izin terbit. c Pencabutan SIUPP. Undang-Undang Pokok Pers No.21 Tahun 1966 tentang perubahan atas Undang-Undang Pokok Pers No.11 Tahun 1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Pokok Pers No.4 Tahun 1967. Peraturan mengenai izin terbit di hapus seperti yang tercantum dalam UU PP No.21 tahun 1982 pasal 8 ayat 2 dihapus diganti dengan keterangan cukup jelas. Dan pasal 20 ayat 1 dihapus. Kedua ayat yang dihapus dalam UU PP No.21 tahun 1982 peraturan mengenai surat izin terbit yang digunakan selama berlakunya UU PP No.11 tahun 1966. Peraturan mengenai surat izin terbit dihapus dan digantikan dengan peraturan baru yang ditambahkan dalam Bab V tentang perusahaan pers, pasal 13 ditambah ayat 5: setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers selanjutnya disingkat SIUPP yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan diatur oleh Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan pers. 50 Peraturan mengenai SIUPP juga dikeluarkan oleh Menteri Penerangan RI No.01PERMENPEN1984. Tentang surat izin usaha penerbitan pers. Bab I 50 Undang-Undang Pokok Pers No.21 Tahun 1982.