Alasan pembredelan Pers Selama Berlakunya Undang-Undang Pokok

Tabel 2 di atas mencoba menjelaskan tindakan anti pers yang dilakukan pemerintah dengan cara pembatalan SIUPP, peraturan mengenai SIUPP terdapat dalam UU PP No.21 tahun 1982 pasal 13 ayat 5 berbunyi: setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers selanjutnya disingkat SIUPP yang dikeluarkan oleh pemerintah. Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan diatur oleh pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers. 98 Meskipun peraturan mengenai SIT telah dihapus dalam UU PP No.21 tahun 1982, namun sejatinya pembatalan SIUPP terhadap surat kabar merupakan cara pembredelan dalam bentuk lain yang dilakukan oleh pemerintah, agar pers tetap patuh. Tabel di atas telah memaparkan pelarangan terbit terhadap surat kabar, tabloid dan majalah selama berlakukanya UU PP No.21 tahun 1982, pembredelan dilakukan pemerintah terkait isi berita yang dimuat oleh surat kabar dan majalah yang dianggap dapat menganggu kestabilan nasional dengan berbagai alasan seperti dijelaskan di bawah ini: a. Berita majalah Tempo berjudul “Buntut Benteng Jadi Panjang”. 99 Peristiwa kerusuhan di lapangan Banteng merupakan suatu rencana yang telah disiapkan sebelumnya. Tujuan pengacauan: selain menggagalkan kampanye Golkar di lapangan Banteng Jakarta dan demoralisasi Golkar, juga untuk mencapai sasaran 98 T.Atmadi.op.cit.hlm. 120. 99 Tempo. 3 April 1982. Jumlah Pencabutan SIUPP 11 yang bersifat strategis politis-subversif. Sasaran tersebut antara lain: sebagai bunga api yang diharapkan dapat meledakan kekacauan yang sama di seluruh Indonesia dengan tujuan menggagalkan pemilu 1982. Kedua menggoyahkan pemerintahan dan mendiskreditkan pemerintah, sehingga tercipta kondisi dimana rakyat tidak lagi percaya kepada pemerintah makin meningkat untuk selanjutnya menggulingkan dan mengganti pemerintah. Kerusuhan terjadi antara dua kubu partai Golkar dan PPP. Isi berita terkait peristiwa kerusuhan di lapangan Banteng Jakarta, mengakibatkan pembatalan SIUPP oleh Menteri Penerangan dengan alasan politik dan keamanan, dan telah melanggar peraturan Kode Etik Jurnalistik pasal 2 ayat 2a berbunyi: wartawan Indonesia tidak menyiarkan hal-hal yang dapat menimbulkan kekacauan. b. Majalah Monitor, angket kagum 5 juta. Isi dari angket tersebut ialah: Presiden Soeharto menduduki urutan pertama, baru menyusul B.J. Habibie dan Bung Karno. Menteri Penerangan Harmoko berada diurutan nomor kesembilan, Arswendo Atmowiloto di urutan ke sepuluh dan Nabi Muhammad SAW berada diranking ke sebelas. Dan dibawah Nabi terdapat nama bintang film Christine Hakim yang menduduki urutan ke dua belas. Pembatalan SIUPP Monitor dapat terkena pasal 156 dan 157 KUHP tentang penghinaan terhadap agama dengan ancaman hukuman selama 2 tahun enam bulan dan penjara selama 10 tahun. Pembredelan dengan cara membatalkan SIUPP setelah di hapuskannya SIT dalam UU PP No.21 tahun 1982, kasus pembredelan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Monitor karena memang tingkat valid atau tidaknya sumber berita tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh penulis. Penulisan berita hanya sesuai dengan keinginan penulis belaka tidak mempertimbangkan bagaimana reaksi para pembaca ketika angket tersebut di muat dalam majalah Monitor, sehingga menimbulkan berbagai aksi protes dari penganut agama Islam. Alasan pembredelan majalah Monitor adalah terkait SARA, selain dikenakan pasal KUHP juga melanggar peraturan Kode Etik Jurnalistik pasal 3 ayat 2 berbunyi: Wartawan Indonesia meneliti kebenaran sesuatu berita atau keterangan sebelum menyiarkannya, dengan juga memperhatikan kredibilitas sumber berita yang bersangkutan. Serta pasal ayat 3: di dalam menyusun suatu berita, wartawan Indonesia membedakan antara kejadian Fakta dan pendapat opini, sehingga tidak mencampur-baurkan fakta dan opini. 100 c. Pembredelan majalah Tempo tahun 1994. Majalah Tempo , memuat laporan utama tentang “pembelian 39 kapal eks Jerman Timur. Laporan utama Tempo pada tanggal 11 Juni, mengulas tentang pro dan kontra pembelian kapal bekas dari Jerman Timur. KRI Teluk Lampung yang nyaris tenggelam mengakibatkan segala hal tentang kapal tersebut di ulas, dari harga kapal, biaya perbaikan serta penyebab hampir tenggelamnya kapal itu. Tempo juga mengulas kontroversi pembelian 39 kapal eks Jerman Timur tersebut, antara Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J Habibie dengan Menteri Keuangan Mar‟ie Muhammad, harga 39 kapal itu dianggap terlalu mahal oleh 100 Oemar Seno Adji,1990, Perkembangan Delik Pers Di Indonesia.Jakarta: Erlangga.hlm.154. Menteri Keuangan, sehingga 3 kali pengajuan anggaran pembelian oleh tim pembelian B.J Habibie ditolak. 101 pembredelan Tempo dengan alasan kemanan menyangkut substansi berita, Tempo di tutup dengan Surat Keputusan Nomor 123KEPMENPEN1994 tidak menyelenggarakan kehidupan pers Pancasila yang sehat dan bertanggung Jawab sehingga menganggu stabilitas nasional. 102 Peraturan tersebut tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara GBHN tentang penerangan dan pers bagian d. Dalam rangka meningkatkan peranan pers dalam pembangunan perlu ditingkatkan usaha pengembangan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab, yaitu pers yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang obyektif, melakukan kontrol sosial yang konstruktif, menyalurkan aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini maka perlu dikembangkan interaksi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat. 101 Tempo.11 Juni 1994. 102 Didi Prambadi,et.al,1994,Buku Putih Tempo: Pembredelan itu,Jakarta:Alumni Majalah Tempo,hlm. 2.

BAB IV DAMPAK PEMBREDELAN PERS MASA ORDE BARU

A. Industri Pers

Kebijakan pemerintah terhadap pers masa Orde Baru mengakibatkan pers tidak merasakan kebebasan pers yang telah tercantum dalam UUD 1945 pasa 28, kuatnya kebijakan terhadap pers yang represif melemahkan posisi pers dan mengharuskan industri pers melakukan sikap kompromi terhadap Presiden Soeharto dan Menteri Penerangan yang memiliki kekuasaan mutlak dalam pengendalian ruang gerak pers. Pada masa Orde Baru dikenal pers bebas dan bertanggung jawab, kebebasan harus disertai dengan tanggung jawab sehingga terdapat suatu keseimbangan. Akan tetapi dalam praktiknya di Indonesia, konsepsi pers bebas dan bertanggung jawab ini tidak pernah mempunyai kejelasan, khususnya mengenai batasan kebebasan dan tanggung jawab. Akibat tidak adanya kejelasan batas-batas dan pengertian pers bebas dan bertanggung jawab, beberapa penerbitan acapkali tersandung dan dipandang pemerintah melakukan pemberitaan yang bertentangan dengan konsepsi pers bebas dan bertanggung jawab. Dalam praktik, tidak sedikit sanksi yang diberikan oleh pemerintah dengan mencabut izin terbit dan pembatalan SIUPP dan ini dialami surat kabar Sinar Harapan dan Proritas, tabloid Monitor, majalah Tempo, Editor dan Detik 1994 103 Pers bebas dan bertanggung jawab yang tidak memiliki acuan bagi pers dan hanya slogan dari pemerintah bahwa pers bebas. Namun harus penuh tanggung 103 Sularto,op.cit, hlm. 95. jawab ketika pers melakukan pelanggaran sebagai pers yang bebas dan konsepsi seperti itu dapat merugikan bagi industri pers pada umumnya. Kerancuan antara pers bebas menurut pemerintah dan menurut insan pers pun acapkali terjadi, menimbulkan keragu-raguan, bahkan ketakutan pers dalam menentukan pola, corak dan isi pemberitaan. Perbedaan penafsiran mengenai kesesuaian suatu berita dengan konsepsi pers bebas dan bertanggung jawab, pihak pers pasti berada dalam posisi yang semakin lemah dengan kebijakan pemerintah tentang bagaimana pers bebas dan bertanggung jawab masa kepemimpinan Orde Baru dengan bayang-bayang pembredelan ketika pers mulai dirasa dapat menganggu kestabilan politik. Menghadapi keadaan semacam ini, kebanyakan penerbitan pers memilih menerapkan jurnalisme petunjuk yang mengutamakan berita-berita yang berasal dari pemegang otoritas kekuasaan. Berita-berita yang berasal dari pemegang otoritas kekuasaan ini pada umumnya memperlihatkan keberhasilan dan kebaikan pemerintah serta menyiratkan imbauan kepada masyarakat untuk berperan serta dalam program yang dilaksanakan. Disamping itu, pers juga terpaksa melakukan sensor diri terhadap bahan berita yang berhasil dikumpulkan. Bahan berita yang factual dan menarik namun diperkirakan dapat menyinggung kepentingan pemegang otoritas kekuasaan dan berpotensi menimbulkan dampak terhadap kehidupan sosial politik, tidak akan disiarkan. Dengan bersikap demikian pers akan terhindar dari kemungkinan pembredelan dengan cara pencabutan izin terbit maupun SIUPP yang menjadi landasan kebijakan terhadap pers. 104 104 Ibid, hlm. 96. Pasca peristiwa Malari 1974 pemerintah semakin mengekang tali kontrol terhadap pers, karena pers dapat menggoyahkan kestabilan politik yang sejak awal sudah dengan susah payah dibangun oleh Presiden Soeharto agar tidak ada lagi kekuatan-kekuatan selain pemerintah yang dapat menyerang penguasa. Sikap kritis pers dan mahasiswa telah menjadi ancaman menurut penguasa Orde Baru, banyak kejadian-kejadian yang menghangatkan tajuk-tajuk dalam surat kabar, sejak periode awal Orde Baru seperti isu-isu tentang korupsi dikalangan pejabat, serta keluarga Presiden yang ikut memegang proyek yang cukup benyak menyerap dana Ny.Tien Soeharto dengan proyek TMII, bulog dan fakta-fakta lain tentang penyelewengan kekuasaan oleh para pejabat. Jika penguasa dengan represif berupa pembredelan itu merupakan birokrasi untuk melenyapkan suara sumbang yang dinilai membahayakan stabilitas politik, dan menimbulkan kerawanan sosial, maka sebagai bentuk lain untuk mempersempit kebebasan pers yaitu dengan mengadakan seleksi ketat terhadap permohonan SIUPP yang akan menjadi penerbit dan menjalankan profesi sebagai wartawan. 105 Kebijakan pemerintah tentang SIUPP yang terdapat dalam Undang-undang pokok pers No.21 tahun 1982 bentuk lain dari SIC dan SIT yang telah dihapus dari Undang-undang pokok pers sebelum tahun 1982, adanya SIUPP semakin memperluas industri pers bukan hanya pemilik modal dari kalangan industri pers melainkan juga dari non-pers menumbuhkan sistem kapitalis muda, bahwa dengan SIUPP sebagai alat kontrol pemerintah juga dapat memberikan keuntungan dengan berkompetisi agar mendapat SIUPP yang sudah ada. Pada gilirannya dengan 105 Hotman,M. Siahaan, op.cit.hlm. 445. membuka industri pers kepada pendatang dari sektor bisnis murni non-pers, maka justru kekuatan pers professional bisa terdesak, sementara pers lemah akan semakin tersisih dari jajaran pers nasional kita yang semakin mundur dan mengalami degenerasi. 106

B. Profesi Wartawan

Umumnya bahwa kedudukan pers dimata hukum itu sama hal ini yang berlaku pers Liberal ala barat, seperti pers di Amerika, dan di semua negara yang disebut Barat, tunduk dan sering diseret ke meja hijau oleh pemerintah, birokrat ataupun oleh dunia bisnis dan masyarakat dengan tuntutan pidana maupun perdata, karena dianggap merugikan kepentingan pihak yang terkena pemberitaan negatif pers. Di depan hakim, hukum dan pengadilan pers itu sama saja derajatnya dan bukan diistimewakan. Yang membedakan dengan negara berkembang, seperti Indonesia di negara yang bercorak manunggal, kekuasaan kehakiman dan yudikatif maupun cabang legislatif masih sangat resesi posisinya terhadap kuasa eksekutif yang dominan. Karena itu eksekutif merasa perlu mengambil jalan pintas, pencabutan SIUPP dan membredel pers, padahal antara 1966-1974, lembaga eksekutif Indonesia juga sudah pernah berani menghormati kekuasaan yudikatif dan peradilan, yaitu ketika pemimpin redaksi surat kabar harian Nusantara, Mr. T.D Hafas, dihadapkan ke meja hijau atas pelanggaran pasal yang terkenal sebagai haatzai artikelen. 106 Ibid, hlm. 452. Pembredalan merupakan mimpi buruk bagi pers Indonesia masa Orde Baru, kehidupan para wartawan pun harus selalu bersikap kompromistis agar surat kabar tidak dibredel, sehingga kompromi menjadi hal yang biasa masa Orde Baru agar pers tetap bertahan. Kehidupan para wartawan demi memperjuangkan kebebasan pers masa Orde Baru bukanlah hal yang mudah dan berjalan begitu saja, semuanya penuh dengan tekanan dan bayang-bayang pembredelan, yang bahkan bisa menyebabkan mereka dipenjara dan kehilangan pekerjaan. 107 Sebagian dari mereka, yang pendirian bebasnya bertentangan dengan kebijakan pemerintah dan organisasi wartawan tunggal, harus diungsikan oleh pimpinannya. Mereka harus digeser dari kedudukan semula di bidang redaksi ke bidang yang mungkin sama sekali tidak pernah menjadi cita-cita seumur hidup, seperti perpustakaa, penelitian dan pengembangan atau tata usaha. Beberapa orang masih boleh mengerjakan karya-karya jurnalistik, tetapi tidak boleh mencantumkan namanya. Mereka seolah-olah hanyalah sejumlah angka di tengah seonggojan manusia. Ad a pula yang harus bersembunyi “di bawah tanah” untuk menghindari kejaran polisi yang akan menangkapnya, walaupun pimpinan redaksinya berusaha membujuk wartawan itu supaya menyerahkan diri. 108 Sejumlah wartawan ditangkap, kemudian diintrogasi oleh kepolisian dan diperiksa oleh kejaksaan, mereka harus divonis pengadilan seolah-olah selalu harus di penjarakan. Mereka dihukum karena menerbitkan majalah tanpa mendapat surat izin usaha penerbitan pers SIUPP dari Departemen Penerangan atau karena memuat tulisan yang tidak menyenangkan para pejabat pemerintah dalam terbitan 107 Mochtar Lubis,2008, Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,Hlm. 15. 108 Sularto,op.cit hlm. 110. bawah tanah mereka. Akibat psikologis lain terhadap para wartawan, antara lain timbul rasa ketidakpastian dalam profesi. Juga dalam melakukan tugas sehari-hari sebagai wartawan, selalu mengalami kesulitan dalam menentukan berita mana yang boleh dan tidaknya, sumber-sumber berita pun ikut tidak pasti karena takut memberikan informasi. Kerugian material sudah jelas, dengan tidak terbitnya surat kabar sampai waktu yang tidak ditentukan. Karena mengambangnya berita-berita akibat ketidakpastian para wartawan menyebabkan isi surat kabar tidak menarik, sehingga para langganan kehilangan minat untuk membaca surat kabar, maka turunlah tiras surat kabar setelah terjadinya pembredelan. 109 Pencabutan SIUPP Tempo, Editor, Detik pada tanggal 21 Juni 1994, memberikan pukulan berat bagi pemimpin redaksi dan para wartawan yang hidup dibawah naungan majalah yang telah dicabut SIUPPnya, reaksi solidaritas sesama wartawan membanjiri demonstrasi untuk membantalkan pencabutan SIUPP terhadap tiga majalah tersebut. Namun apalah arti kebebasan pers bagi penguasa yang ada hanyalah alasan kenapa SIUPP ketiga majalah tersebut dicabut salah satunya karena sudah berani mengangkat perkembangan politik, serta sosial dan pelanggaran HAM. Dengan alasan-alasan pencabutan SIUPP yang sebenarnya sama dengan pembredelan hanya itu pembredelan secara legal agar bisa berlindung di bawah peraturan Menpen ttng SIUPP. Wartawan yang mencoba berjuang membela harkat pers kini makin mengalami berbagai represi. Hal ini telah ditunjukan secara berlebihan oleh aparat berseragam loreng. Terutama saat membungkam “aksi 27 109 Abdurrachman Surjomihardjo, op.cit.hlm. 202.