suami subjek selalu mendahulukan emosinya daripada logikanya.
Suami subjek dalam mengelola emosinya termasuk rendah. Suami subjek sering mudah tersinggung oleh gurauan-
gurauan teman-temannya dan pada akhirnya selalu terjadi perkelahian. Kelemahan suami subjek dalam mengelola emosi
membuat subjek selalu menjadi korban kekesalan hati. Suami subjek seringkali merasa setiap orang harus mengikuti
keinginannya. Kedua orang tua suami selalu memenuhi semua
keinginan suami subjek dan akhirnya suami subjek tumbuh menjadi orang yang egois. Dalam keluarga suami subjek,
apabila suami melakukan tindak kekerasan terhadap istrinya adalah sesuatu hal yang wajar. Hal tersebut terjadi pada hampir
seluruh laki-laki yang berumah tangga yang memiliki satu garis keturunan dengan suami subjek. Perilaku orang yang lebih tua
dari suami subjek membuatnya menganggap bahwa itu sesuatu yang bisa dilakukan untuk menaklukkan istri.
b. Faktor-Faktor Pendukung Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1 Fakta Sebelum Pernikahan Subjek dan calon suami berpacaran sejak mereka duduk
di bangku SMA kelas 3. Subjek sudah mengetahui bahwa
pacarnya saat itu sering melakukan kekerasan terhadap orang lain. Calon suami subjek mulai berhenti melakukan kekerasan
pada orang lain saat mereka sama-sama bekerja di pabrik. Subjek beranggapan bahwa pacarnya sudah berubah. Subjek
juga merasa bahwa dia sudah cukup mengenal pacar dan akhirnya mereka memutuskan untuk menikah setelah dua tahun
bekerja pada satu perusahaan yang sama. 2 Faktor lain
Keluarga besar calon suami memiliki kebiasaan yang sama yakni memperlakukan istri mereka dengan semena-mena.
Hampir semua pria dalam keluarga suami subjek melakukan hal tersebut bahkan ada yang hingga lumpuh atau meninggal.
Perilaku demikian ini dicontoh oleh suami subjek dan dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar.
Subjek tinggal di rumah mertua setelah menikah. Suami subjek mendapat dukungan penuh atas apa yang dilakukan.
Kedua orang tua dan adik ipar subjek cenderung selalu menempatkan subjek di posisi yang salah sehingga wajar bila
diperlakukan demikian. Kedua orang tua suami subjek selalu memenuhi segala
keinginan suami subjek sehingga perilakunya terus berkembang. Mertua subjek selalu membiarkan perilaku
anaknya dan tidak menegur sama sekali bahkan ketika kepala
bapak mertua subjek dipukul, keluarga suami subjek menganggap seperti tidak terjadi sesuatu.
c. Analisis Hasil Penelitian 1 Problem Focused Coping
a Active Coping Subjek menggunakan perilaku coping ini saat
menghadapi kekerasan fisik, ekonomi dan psikologis. Subjek menghadapi kekerasan dari suaminya dengan cara
diam, menghindar dan bekerja untuk mendapatkan uang. Pada saat subjek menghadapi kekerasan ekonomi, subjek
memilih untuk bekerja. Hal tersebut seperti tertera pada kutipan berikut:
“aku cari uang sendiri dengan bekerja dan ada juga nyari sambilan dengan menjual
seprei jadi saya engga harus bergantung sama gaji suami saya S3.W1. 38-41, 48-49,
171-172 saya kerja, untungnya saya itu dipercaya sama orang yang di Psr.Klwn
untuk kelola tokonya jadinya saya bisa dapat uang dari situ dan saya juga membuat seprei
ya untuk biaya tambahan” S3.W1.51-54.
Subjek memilih untuk menyelesaikan masalah keuangan dengan bekerja. Subjek tetap dapat bertahan dan
mampu menghidupi keluarga meskipun suami subjek tidak bekerja. Kedua orang tua subjek mampu mendidik dan
membesarkan subjek menjadi pribadi yang mandiri. Hal ini membantu subjek untuk menyelesaikan masalah ekonomi
yang dialami. Ibu subjek mengemukakan hal yang sama yang menyatakan bahwa subjek bekerja untuk menghidupi
keluarga dan Ibu subjek juga sering membantu subjek menjahit seprei.
b Assertive Confrontation Pada fase awal pernikahan, subjek tidak mau
membalas perlakuan kasar suami. Subjek mulai berani membalas perlakuan suami pada saat mengandung anak
pertama karena subjek merasa sudah tidak bisa lagi menerima semua perlakuan suami. Pernyataan ini tertera
pada kutipan: “saya mulai membalas karena saya juga
engga mau kalau diperlakukan seperti itu terus menerus makanya saya beranikan diri
untuk membalas dia” S3.W1.157-160
Subjek mulai merasa tidak mampu menahan rasa sakitnya, karena itu subjek memutuskan untuk membalas
perilaku kasar suami. Sikap assertive dan kemandirian subjek, mampu membuat subjek menurunkan frekuensi
kekerasan dari suami. Ibu subjek pernah mengingatkan subjek agar diam saja dan jangan membalas, tetapi subjek
memberanikan diri untuk membalas perilaku suaminya. Subjek merasa tidak bisa terima diperlakukan demikian.
2 Emotion Focused Coping
a Acceptance Subjek melakukan coping ini pada awal-awal
pernikahan. Subjek belum tahu benar apa yang harus dilakukan selain menerima perlakuan suami. Perlakuan
kasar dari suami seringkali membuat subjek merasa rendah diri dan bahkan tidak jarang menyalahkan diri sendiri. Hal
ini sesuai dengan pernyataan subjek berikut: “waktu awal-awal dulu saya terima kadang
malah saya berpikir apa saya yang salah” S3.W1.82-84
Pemikiran subjek yang demikian membuat subjek harus berpikir ulang apabila hendak melakukan sesuatu.
Subjek secara tidak langsung mengalami ketakutan apabila melakukan kesalahan karena takut dimaki-maki oleh
suaminya. Ibu subjek menyatakan bahwa subjek seringkali menanyakan apakah tindakannya benar atau salah. Hal ini
memperkuat pernyataan subjek. b Controlling feeling
Subjek mencoba memahami keadaan suami agar dapat menenangkan dirinya sendiri. Subjek melakukan hal
ini saat pertama kali mengalami kekerasan secara fisik. Pada awal pernikahan suami masih bekerja dan kadang
sampai pagi, hal itu menjadi alasan mengapa subjek tidak
marah atau membalas perilaku suami. Subjek mencoba memahami kondisi suami, seperti tertera pada kutipan
berikut: “Saya hanya berpikir kalau dia mungkin
masih lelah habis pulang dari kerja” S3.W1.378-380
Pada saat suami masih berstatus sebagai pegawai, subjek seringkali mengelola perasaannya sendiri dan
menganggap bahwa mungkin suaminya sudah lelah sehingga wajar jika marah-marah. Ibu subjek menyatakan
bahwa adik subjek seringkali meminta subjek untuk membalas perlakuan suami, tetapi subjek justru
memberikan penjelasan seperti tertera di atas.
3 Seeking Social Support
a Help and Guidance Subjek merupakan orang yang tegar dan mandiri.
Namun demikian, subjek tetap membutuhkan bantuan orang lain minimal untuk bisa berbagi cerita. Subjek
melakukan hal ini untuk mengurangi beban dalam hati. Dukungan dan arahan dari orang lain sangat membantu
subjek dalam menjalani kehidupannya, seperti pada kutipan berikut:
“saya akan bilang sama tetangga saya atau teman di pabrik biar beban saya agak
berkurang dan siapa tahu dapat solusi saya harus gimana. S3.W1.382-385 Tetangga
saya dari dulu itu bilang suruh lapor sama polisi biar suami saya ngrasain gimana
berurusan sama kepolisian, rasanya dipenjara. Tetangga mendukung saya
semua”. S3.W1.387-390
Dukungan dan solusi pada subjek memberikan kekuatan bagi subjek dalam menjalani rumah tangganya.
Subjek juga memiliki keberanian untuk melaporkan suami pada pihak berwenang perihal penganiayaan yang dialami.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Ibu subjek yang menyatakan bahwa ibu-ibu pengajian juga tahu tentang
kondisi anaknya dan mereka sering memberikan arahan kepada subjek.
C. PEMBAHASAN
Ketiga subjek paling banyak menggunakan Problem Focused Coping dengan bentuk perilaku yang digunakan Active Coping dan
Assertive Confrontation Coping. Strategi coping yang kedua yang cukup dominan adalah Seeking Social Support dengan bentuk perilaku Help and
Guidance dan mekanisme coping yang terakhir adalah Emotion Focused Coping dengan perilaku Escape Avoidance.
Ketiga subjek paling dominan menggunakan Problem Focused Coping dengan perilaku Active dan Assertive Confrontation. Ketiga subjek
menggunakan coping ini untuk menghadapi kekerasan fisik yang menimbulkan luka memar dan menimbulkan rasa sakit yang bertahan
lama. Perilaku coping ini juga berlaku untuk menghadapi kekerasan ekonomi dari suami yang melalaikan tanggung jawab seperti tidak
memberi uang serta pembatasan hak istri. Ketiga subjek juga melakukan hal yang sama saat menghadapi kekerasan dalam aspek psikologis seperti
pemberian ancaman. Ketiga subjek melakukan Active Coping dengan cara menghindari kekerasan lebih lanjut dan memperoleh penghasilan.
Perilaku-perilaku para subjek yang tersebut di atas tergolong dalam Active Coping karena ketiga subjek mengambil keputusan itu agar bisa
melepaskan diri dari suami sehingga kekerasan itu tidak berlanjut. Ketiga subjek memilih melakukan perilaku tersebut yang kemudian akan diikuti
oleh perilaku coping lanjutan. Hal tersebut yang dilakukan oleh subjek selama bertahan dalam menghadapi kekerasan.