diri dengan tekanan. Tekanan itu dapat berupa tekanan fisik maupun psikologis yang secara khusus dinilai melebihi kemampuan seseorang.
Tekanan itu muncul sebagai akibat adanya persepsi terhadap ketakutan dan kecemasan. Coping stress merupakan suatu proses yang akan
dilakukan oleh setiap orang secara terus menerus sampai tahap individu tidak lagi mengalami tekanan atau dapat kembali menemukan
kenyamanan dalam hidupnya.
B. Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1. Pengertian
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan hal yang sulit untuk didefiniskan mengingat batasan yang kurang jelas tentang suatu
tindakan dinyatakan sebagai bentuk kekerasan. Kesulitan untuk mendefinisikan dikarenakan pelaku tindak kekerasan biasanya adalah
orang terdekat yakni suami dan dalam ikatan perkawinan yang sah. R. Langley Richard D dan Levy C dalam Prastyowati 2003
mengemukakan bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah tindakan individu yaitu suami yang dilakukan terhadap individu istri,
baik sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak langsung telah menimbulkan rasa sakit pada istri baik fisik maupun non fisik.
Poerwandari dalam Roechaeti 2005 mengartikan kekerasan dalam
rumah tangga sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu anggota keluarga kepada anggota keluarga lain yang
melanggar hak individu lain. KDRT adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
danatau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga Pasal 1 Undang- undang No 23 th 2004 dalam Rochaeti 2005.
Kekerasan terhadap istri semata-mata bukan karena latar belakang pendidikan, gaji yang lebih tinggi tetapi lebih dikarenakan
budaya patriarkhi yang menganggap bahwa wanita adalah orang kelas dua dan pria adalah pihak yang mendominasi. Budaya patriarkhi
membuat masyarakat melegalkan tindak kekerasan terhadap istri dan menganggap kekerasan sebagai hal yang wajar. Hasil penelitian dari
Prastyowati 2003 mendukung pernyataan tersebut. Ia menyebutkan bahwa kekuasaan dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami
didukung oleh norma sosial dan norma agama. Pada norma-norma tersebut cenderung mempertahankan dominasi laki-laki dalam budaya
patriarkhi. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa seorang istri harus tunduk dan menerima perlakuan apa pun dari suami.
Anggapan masyarakat tersebut membuat suami merasa berhak melakukan tindak kekerasan terhadap istri. Para akhirnya aparat
penegak kebenaran mengalami kesulitan untuk memberikan dakwaan kepada para suami yang melakukan tindak kekerasan.
2. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Masyarakat menganggap bahwa tindak kekerasan baru bisa dianggap tindak kekerasan apabila meninggalkan luka secara fisik.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh R. Langley Richard D dan Levy C dalam Prastyowati, 2003 menyatakan
bahwa terdapat empat aspek kekerasan antara lain : a. Kekerasan Fisik
Meliputi dipukul, ditampar, dilempar, dijambak, ditendang yang dilakukan dengan sengaja baik secara langsung
atau tidak langsung dan akibatnya dirasakan langsung oleh istri. Seorang perempuan beranggapan bahwa dirinya
mengalami tindak kekerasan jika mereka mengalami kekerasan ini, sehingga jarang yang berani melapor kepada pihak
berwajib jika tidak sampai mengalami luka secara fisik. b. Kekerasan Psikologis
Meliputi hinaan, pengabaian bersikap masa bodoh, penolakan, tuduhan, ejekan, melarang bergaul dengan teman
laki-laki, termasuk menerima telepon dan lain sebagainya yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan bagi istri, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Perlakuan suami yang demikian sering dianggap wajar oleh masyarakat dan korban
melakukan internalisasi terhadap kondisi tersebut. Kondisi
demikian membuat para korban KDRT menganggap bahwa dirinya memang pantas direndahkan.
c. Kekerasan Ekonomi Kekerasan ini meliputi perilaku suami yang tidak jujur
atau tidak adil dalam memberikan uang gaji kepada istri, menyembunyikan sebagian penghasilannya, mengambil harta
istri tanpa ijin. Perilaku yang lain yakni memberi uang belanja yang tidak seimbang dengan kebutuhan atau tidak memberi
uang sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan yang lebih tinggi dan tidak membenarkan istri mendapatkan karir.
d. Kekerasan Seksual Meliputi :
1 Pelecehan seksual, baik dengan kata-kata maupun perbuatan yang merendahkan kemampuan seksual perempuan,
melakukan perbuatan yang tidak senonoh. 2 Kekerasan seksual, melakukan hubungan seksual tanpa
persetujuan istri yang oleh sebagian orang dikatakan sebagai tindakan perkosaan
3 Tidak memenuhi kebutuhan seksual istri. Suami mau melakukan hubungan seksual hanya jika menginginkan
untuk memuaskan kebutuhan seksual suami sendiri dan tidak memikirkan keinginan dari pihak istri.
Dampak yang terjadi pada para istri yang mengalami tindak kekerasan seksual ini adalah adanya perasaan rendah diri
dan merasa diri tidak berguna.
3. Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga tidak serta merta muncul begitu saja. Beberapa orang menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan
oleh suami mungkin memang sifat pelaku demikian. Secara umum terdapat beberapa faktor yang dimungkinkan menjadi faktor
munculnya tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dikemukakan oleh Lori Heise 1998:
a. Personnel History Latar belakang keluarga tempat pelaku suami dan
korban istri dibesarkan. Proses belajar dari ayah yang sering melakukan tindak kekerasan pada istri atau pada anak, sehingga
pelaku tindak kekerasan berpikir bahwa tindakan kekerasan merupakan pemecahan masalah yang paling mudah termasuk
untuk “menaklukkan” istri. b. Micro system
Dominasi figur keluarga, konflik dalam rumah tangga dan alkohol. Hal yang seringkali menjadi pemicu yakni adanya
masalah-masalah dimana suami tidak dapat memecahkannya dan berakhir dengan minum-minuman beralkohol sehingga
membuat pelaku kehilangan kontrol terhadap dirinya sendiri.
Hilangnya kontrol diri membuat suami semakin mudah melakukan tindak kekerasan terlebih jika keinginannya tidak
terpenuhi. c. Exo system
Status sosial ekonomi dan pengaruh lingkungan. Adanya perbedaan status sosial ekonomi, baik yang wanita lebih kaya
atau yang pria lebih kaya. Pada intinya kekerasan yang dilakukan oleh suami untuk menunjukkan kekuasaannya
terhadap hidup istrinya. d. Macro system
Dominasi budaya patriarkhi dan toleransi terhadap kekerasan. Sebagian besar masyarakat Indonesia menganut
budaya patriarkhi. Pada budaya ini masyarakat menganggap bahwa pria memiliki status yang lebih tinggi sehingga harus
disegani dan diikuti kemauannya. Budaya ini membuat kekerasan yang dilakukan oleh suami semakin dilegalkan.
Pada pembahasan yang lebih luas terdapat beberapa faktor yang mendukung terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dalam
Rini, 2006 antara lain: a. Hasil belajar sosial Social Learning
Klein, dkk 1997 berpendapat bahwa suami yang melakukan tindak kekerasan terhadap istri seringkali adalah anak yang
dibesarkan dalam keluarga dimana kekerasan pernah terjadi
baik menimpa dirinya atau orang di lingkungannya. Suami yang sebelumnya berperan sebagai anak memandang bahwa
kekerasan sebagai satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah.
b. Hasil sosialisasi peran gender Chusairi 2000 mengemukakan bahwa kekerasan terhadap
istri merupakan gambaran adanya ketidakadilan gender yang menempatkan perempuan subordinat suami. Istri dianggap
sebagai milik suami. c.
Adanya sifat-sifat tertentu yang menyebabkan suami cenderung lebih sering melakukan kekerasan terhadap istri
Suami yang bertindak sebagai pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga biasanya memiliki penerimaan diri yang rendah.
Suami yang demikian cenderung membenarkan tindakan yang telah dilakukan dengan alasan untuk memberikan pelajaran
bagi korbannya Langley dan Levy, 1987. Lebih lanjut dikemukakan bahwa suami memiliki sifat-sifat tertentu antara
lain sulit berkomunikasi, kurang kontrol terhadap impuls, penerimaan diri yang rendah, kebutuhan untuk mengontrol
orang lain. d. Adanya dukungan budaya
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Levinson dan Campbell dalam Chusairi, 2000, hasil yang
diperoleh yakni faktor-faktor sosial sangat mempengaruhi KDRT. Faktor-faktor itu tidak dapat dilepaskan dari
keyakinan serta kebiasaan yang hidup dalam masyarakat tersebut.
e. Adanya penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang Pada saat suami kehilangan kontrol diri akan mudah
melakukan tindak kekerasan terhadap istri. Langley dan Levy 1987 menemukan bahwa terdapat 45 sampai 90 kasus
kekerasan terhadap istri dikarenakan adanya pengaruh alkohol. f.
Problema seksual Penelitian yang dilakukan oleh Retnowati dan Sulastri 2003
menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga seringkali terjadi karena adanya ketidakpuasan dalam kehidupan
seksualnya. g. Kondisi ekonomi keluarga
Perekonomian keluarga seringkali menjadi pemicu munculnya pertengkaran yang pada akhirnya berujung pada tindak
kekerasan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Tarigan, dkk dalam Retnowati dan Sulastri, 2003 mengemukakan bahwa
kesulitan ekonomi menjadi salah satu faktor pemicu kekerasan terhadap istri. Suami yang menganggur, suami di PHK serta
beban hutang besar seringkali menjadi pemicu adanya tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri.
h. Kurangnya komunikasi Kurangnya komunikasi menyebabkan hal-hal kecil yang
seharusnya dapat dibicarakan secara baik-baik menyebabkan munculnya pertengkaran yang hebat.
4. Hal-hal yang Mempengaruhi Keakraban Suami-istri
Wibowo 2003 mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan wanita dalam menikmati
keakraban suami istri antara lain a. Kesehatan Fisik, orang yang sehat secara fisik akan lebih
dapat menikmati dan dapat mendukung kehidupan pasangannya.
b. Keadaan Mental atau intelek yang mencakup cara pandang terhadap sesuatu. Hal ini juga berkaitan dengan keadaan
imajinasi ini, seseorang dapat bersikap objektif saat menghadapi masalah atau lebih cenderung menggunakan
simbol-simbol emosional. c. Cara pemecahan masalah dan cara pengambilan keputusan
terhadap suatu hal. Pasangan yang dapat mengambil keputusan dengan tepat dimana bisa mencapai kesepakatan di
antara kedua belah pihak akan bisa menikmati kehidupan dengan pasangannya.
d. Keadaan emosi, termasuk cara mengekspresikan emosi dan kemampuan bergaul. Kemampuan mengekspresikan emosi
dengan tepat dan sesuai pada kondisi akan membantu pasangan dalam menanggapi perasaan pasangannya.
e. Tingkat religiusitas atau spiritualitas, setiap pasangan yang memiliki kedekatan dan tekun melakukan ibadahnya akan
mudah menjalani kehidupan rumah tangganya dan disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada pada keyakinannya.
f. Pengalaman masa lalu, yang mencakup hubungan seseorang dengan orang tuanya. Khususnya hubungan masa kanak-
kanak dan masa gadis dengan sang ibu, yang bisa menciptakan rasa aman.
g. Lamanya pernikahan, semakin lama pernikahan seseorang akan membantu dalam proses pengenalan dan penerimaan
pribadi pasangan yang lain. Hal ini akan berujung pada kemampuan seseorang untuk menjalani kehidupan dengan
pendampingnya. h. Budaya Suku bangsa, pada suatu budaya dan suku bangsa
tertentu ada yang menentukan peraturan mengenai kehidupan berumah tangga. Apabila peraturan ini dijalankan dan ditaati
akan sangat membantu dalam menjalani kehidupan rumah tangganya.
i. Keadaan ekonomi penghasilan, ketimpangan penghasilan seringkali menjadi pemicu pertengkaran dan kesalah
pahaman dalam rumah tangga.
33
BAB III METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah studi deskriptif fenomenologi. Fenomenologi adalah metode penelitian
dimana tujuan utama adalah mendeskripsikan makna pengalaman hidup beberapa orang tentang suatu konsep atau fenomena yang dalam hal ini
adalah perilaku coping Cresswell, 1997. Peneliti akan melihat aktivitas subjek terutama berkaitan dengan teknik coping yang digunakan oleh
perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian
dengan menggunakan
metode kualitatif tidak mengenal validitas dan reliabilitas. Pada penelitian ini validitas dikenal dengan
kredibilitas yang terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mendeskripsikan proses coping yang dilakukan oleh subjek. Peneliti akan
mendeskripsikan secara mendalam mengenai perilaku coping dan dikaitkan dengan konteks kekerasan dalam rumah tangga. Peneliti juga
akan melakukan wawancara pada keluarga subjek atau orang-orang yang dekat dengan subjek untuk memperoleh kebenaran dari pernyataan subjek.
Pada penelitian kualitatif, reliabilitas dikenal dengan transferability yakni hasil penelitian dapat diterapkan pada situasi lain yakni perilaku coping
dalam konteks kekerasan tetapi pada subjek yang berbeda. Lincoln Guba dalam Poerwandari, 2005 Peneliti akan melihat transferability