Faktor – faktor Pendukung Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga Faktor – Faktor Pendukung Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga

b. Faktor – faktor Pendukung Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1 Fakta Sebelum Pernikahan Subjek bersimpatik terhadap sikap baik calon suami. Hal tersebut yang mendasari pernikahan subjek dengan calon suaminya. Subjek sempat menjalin hubungan selama 1 bulan sampai akhirnya keduanya menikah. Subjek masih berstatus sebagai pacar sahabat calon suami saat menerima lamaran calon suami. Subjek merasa telah mengenal calon suaminya dengan baik dan merasa sangat cocok. Calon suami subjek belum bekerja saat melamar subjek. Subjek tidak mempertimbangkan resikonya di masa yang akan datang akan hal itu. Subjek merasa dapat mengandalkan penghasilannya saja untuk menghidupi rumah tangganya. 2 Faktor Lain Kedua mertua subjek mendidik calon suami dengan cara selalu memenuhi keinginan suami subjek. Hal tersebut dilakukan karena merasa bahwa suami subjek adalah anak terakhir dalam keluarga. Hal tersebut menjadikan suami subjek tidak mandiri dan menganggap bahwa setiap orang akan melakukan hal yang sama. Subjek dibesarkan dalam keluarga yang kental akan budaya Jawa dimana salah satu budayanya adalah nerimo menerima. Hal tersebut membuat subjek mudah menerima segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya. Subjek memilih menerima dan tidak ingin melakukan perlawanan apabila ada bahaya yang mengancam.

c. Analisis Hasil Penelitian 1 Problem Focused Coping

a Active Coping Subjek melakukan coping ini ketika mengalami kekerasan fisik, ekonomi, maupun psikologis. Subjek lebih banyak menggunakan coping ini saat mengalami kekerasan ekonomi. Subjek cenderung menggunakan Active Coping untuk menghindari adanya kekerasan lebih lanjut. Hal tersebut seperti yang ada dalam ungkapan berikut ini: “saya kerja di karanganyar untuk membiayai hidup” S1.W1.133 Subjek bekerja untuk menghidupi keluarga dan seringkali suami subjek meminta uang pada subjek. Ibu subjek mengemukakan hal yang sama dengan menyatakan bahwa menantunya tidak mencari pekerjaan bahkan setelah menikah. Pekerjaan menantunya hanya berjudi dan minum- minuman keras. b Planning Coping Subjek melakukan Planning Coping pada saat menghadapi kekerasan fisik. Subjek melakukan coping ini dengan tujuan untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Hal tersebut seperti yang terdapat pada kutipan berikut ini: “saya selalu ingin gimana untuk berpisah, saya pernah bertanya kepada pak Bayan bagaimana kalau rapak bagaimana kalau cerai” S1.W1.595-598 Subjek merencanakan menghentikan kekerasan suami dengan cara berencana untuk bercerai dari suaminya. Subjek berencana bercerai dengan suaminya dengan cara mengumpulkan informasi mengenai prosedur perceraian. Hal tersebut dapat dilihat melalui pemahaman subjek tentang prosedur perceraian yang cukup jelas dipahami. c Excercision Restraint Coping Subjek menggunakan perilaku Excercision Restraint Coping saat menghadapi kekerasan fisik, ekonomi, dan psikologis. Subjek paling sering menggunakan coping ini saat menghadapi kekerasan ekonomi. Subyek menunggu waktu yang tepat untuk bekerja, sesuai dengan kutipan berikut ini: “saya hanya diam saja dan tidak menjawab, nanti kalau dia sudah tidur saya lanjutkan yang menjahit atau kalau dia pergi tapi waktu dimarahi ya saya berhenti dulu sejenak daripada dipukul” S1.W1.396-399 Suami subjek tidak mengijinkan subjek untuk bekerja dan seringkali memarahi subjek jika bekerja hingga larut. Subjek menggunakan coping ini dengan cara mencari waktu dimana subjek dapat bekerja dan mendapat uang. Subjek memiliki waktu yakni saat suaminya pergi. Ibu subjek mengemukakan hal yang sama, ia menyatakan bahwa anaknya selalu bekerja jika suaminya sedang pergi apalagi kalau malam hari. d Assertive Confrontation Subjek tidak begitu berani mengemukakan keinginannya. Hal tersebut sesuai dengan apa yang tertera pada latar belakang subjek. Pada saat subjek menghadapi kekerasan fisik yang terjadi berulang-ulang membuat subjek mulai berani mengemukakan keinginannya kepada suaminya . Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut ini: “pernah menyampaikan keluhan pada suami tentang perilakunya yang menurut saya keterlaluan sekali, S1.W1.481-483 Saya bilang “mas, mbok aku ojo dikepruki terus” “S1.W1.488-489 Subjek melakukan hal tersebut sebagai bentuk pembelaan diri karena pada saat itu subjek merasa sudah lelah dan tidak mampu lagi menerima perlakuan suaminya. Ibu subjek kurang begitu mengerti mengenai hal ini mengingat ini dilakukan oleh subjek saat berada di kamar sehingga tidak mungkin bagi ibunya untuk ikut campur. 2 Emotion Focused Coping a Positive Reinterpretation Subjek dapat mengambil hikmah kekerasan yang dialami ketika suaminya pergi dan meninggalkan rumah karena menjadi buronan polisi. Subjek dapat melihat bahwa ada hal positif yang bisa diambil walaupun subjek harus hidup sendiri, seperti kutipan berikut: “ Semua terasa jadi lebih ringan karena sudah tidak perlu lagi waspada kalau nanti akan dipukul lagi.”S1. W1. 584 – 586 Suami subjek memperkosa anak gadis tetangganya dan kemudian kabur. Subjek memaknai kepergian suaminya sebagai sesuatu yang dapat membuat subjek merasa lebih ringan menjalani hidupnya sekarang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan ibu subjek yang menyatakan bahwa subjek sekarang ini lebih mudah bersosialisasi dan lebih bisa menikmati hidup. b Acceptance Subjek menggunakan coping ini saat menghadapi kekerasan psikologis dan fisik, yang terakhir adalah yang paling dominan. Subjek menghadapi kekerasan fisik antara lain dihajar, diinjak–injak, dipukul, dikunci di kamar. Pada saat menghadapi kekerasan fisik, subjek memilih untuk berserah diri pada kehendak Yang Kuasa. Hal tersebut seperti yang terdapat pada kutipan berikut ini: “ Setiap kali saya mau membalas memukul, saya tidak pernah bisa “lemah teles sing kuasa sing mbales” tanah basah yang kuasa yang membalas. “ S1. W1. 307 – 309 Budaya nrimo tampaknya melekat cukup kuat pada pribadi subjek. Seringkali subjek memilih untuk menerima perlakuan suami karena merasa diri tidak mampu. Ibu subjek juga menyatakan hal yang sama. Ibu subjek mengemukakan bahwa kakak subjek yang memiliki kondisi berbeda dari subjek sering membujuk subjek untuk membalas perbuatan suaminya tetapi subjek selalu menolak. c Denial Perilaku coping ini dilakukan subjek saat menghadapi kekerasan psikologis, yakni ketika subjek menerima kabar bahwa suaminya memperkosa anak tetangganya. Subjek menolak mengakui bahwa suaminya melakukan tindak perkosaan atas kehendak sendiri melainkan itu terjadi atas bujukan teman – temannya. Hal tersebut seperti yang ada dalam kutipan berikut ini: “Hal – hal seperti itu kayaknya tidak pernah, kayak gitu “main wedokan main perempuan” itu lhoh paling ya hanya diajak. Kejelekan dia itu hanya sering memukul saya, kalau yang seperti itu kayaknya engga pernah, main perempuan atau memperkosa, paling – paling dia hanya dihasut.” S1. W1. 351 – 357 Subjek menolak mengakui bahwa kenyataannya suami memperkosa anak tetangganya. Dengan mengungkapkan hal tersebut membuat subjek merasa bahwa suaminya tetap menghargai pernikahan mereka. Subjek merasa tidak mampu menerima kenyataan bahwa suaminya melakukan kejahatan seperti itu. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ibu subjek yang menyatakan bahwa awalnya subjek masih menolak mengakui apabila ada tetangga yang mencoba mengklarifikasi berita yang beredar di lingkungan setempat. Subjek biasanya akan mengatakan bahwa suaminya hanya dibawa-bawa dalam kasus tersebut. d Escape – Avoidance Perilaku coping ini dilakukan oleh subjek saat menghadapi kekerasan fisik dan psikologis. Pada saat subjek sudah mampu menerima kenyataan bahwa suaminya memperkosa anak tetangganya, hal yang dilakukan oleh subjek adalah menjahit. Subjek memilih untuk melakukan hal tersebut dengan tujuan untuk menghindar dari memikirkan suaminya. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut ini: “Saya menjahit terus menerus sampai saya sudah tidak ingat.” S1. W1. 708 – 709 , S1. W2. 409 Subjek memilih untuk menjahit dengan tujuan agar dia dapat melupakan perbuatan suaminya. Hal ini merupakan cara subjek menghindar dari kenyataan yang sedang dihadapinya. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Ibu subjek yang menyatakan bahwa subjek biasanya mengurus anak sampai anaknya berangkat ke sekolah, terus juga nanti kalau anaknya berangkat dia itu jahit baju di rumah, intinya seperti mencari-cari pekerjaan. Kadang bersih-bersih rumah sampai benar-benar bersih dan semua mainan anak-anaknya dibereskan. e Controlling Feeling Pada saat subjek menghadapi perilaku suaminya yang semena-mena, subjek seringkali mengelola perasaannya untuk dapat bertahan dalam menghadapi kekerasan baik fisik, psikologis, maupun ekonomi. Subjek mencoba mengatur emosinya dengan menangis sehingga perasaannya bisa normal kembali, seperti pada kutipan berikut: “biasanya saya baru nangis di kamar, kalau sudah menangis itu perasaan saya rasanya lega dan rasa kesal itu bisa hilang dengan sendirinya” S1.W2.48-50, 56 Subjek memahami hal tersebut saat subjek dipukul dan dianiaya oleh suami. Ibu subjek menyatakan hal yang sama bahwa subjek seringkali meminta ibunya untuk membiarkan subjek berada di kamar sendirian untuk menangis. Ibu subjek juga mengatakan bahwa setelah subjek keluar dari kamar, subjek bisa kembali normal seperti tidak terjadi sesuatu. 3 Seeking Social Support a Help and Guidance Pada saat subjek menghadapi kekerasan fisik, subjek masih dapat bertahan. Subjek pernah meminta bantuan pada Pak RT untuk menjadi penengah. Pada saat subjek dihadapkan pada kondisi dimana dia akan kehilangan anaknya, saat itu subjek merasa dia membutuhkan bantuan orang lain. Keberadaan anak bagi subjek sebagai sumber kekuatan dalan menghadapi kehidupan rumah tangganya. Subjek memutuskan untuk melapor pada polisi. Hal tersebut seperti yang tertera pada kutipan berikut ini: “ Saya waktu itu melapor polisi dan juga membawa surat surat ancaman yang menyatakan kalau dia mau membunuh anak saya supaya suami saya dipukuli oleh polisi, agar dia bisa juga merasakan bagaimana rasanya dipukuli dan anak – anak saya bisa selamat.” S1. W2. 155 – 158, 377 Subjek tidak mau kehilangan anak–anaknya karena bagi subjek, anak adalah kekuatan untuk bertahan hidup. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan Ibu subjek yang menyatakan bahwa suami subjek akan membunuh anak subjek apabila subjek tidak mau kembali pulang ke rumah suami. Rekan subjek menyarankan agar subjek melapor pada polisi karena sebelumnya ia pernah alami hal yang sama dan sekarang kondisi dalam rumah tangganya mulai membaik. Subjek akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan pada polisi, tetapi tidak ada tanggapan dari polisi. Akhirnya subjek memutuskan untuk pulang ke rumah mertuanya agar anaknya tidak dibunuh.

2. Subjek II a. Latar Belakang

1 Subjek Subjek memiliki latar belakang pendidikan SMA. Subjek sempat memperoleh pendidikan di Perguruan Tinggi tetapi terpaksa berhenti karena diperkosa dan hamil. Subjek berasal dari keluarga yang cukup terpandang dan memiliki jabatan penting di masyarakat. Subjek sendiri memiliki jabatan di Pemerintahan. Kedua orang tua subjek cukup mampu membiayai pendidikan anak–anaknya sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ketiga adik subjek mendapatkan pendidikan sampai ke tingkat Perguruan Tinggi. Subjek sempat hendak melanjutkan pendidikannya ketika hamil, hanya dilarang oleh suaminya. Dalam menjalin hubungan dengan relasi sosialnya, subjek cukup pandai bergaul. Subjek memiliki keakraban dengan tetangga dan teman–temannya di kantor dengan cukup baik. Hal tersebut membantu subjek untuk dapat bertahan menghadapi penganiayaan dari suaminya karena sikapnya yang terbuka, sehingga ia merasa tidak sendirian. Pola pikir Ibu Br tidak terlalu rumit, seperti pola pikir setiap wanita kebanyakan. Subjek sering memilih untuk membantah apabila itu tidak berkenan dengan dirinya meskipun ia menyadari bahwa mungkin orang lain akan marah. Hal tersebut berlangsung terus menerus sampai ia memiliki anak–anak dan bahkan cucu. Pola pikir yang demikian ini sering membuat orang yang ada di sekitarnya merasa bahwa ia adalah orang yang sulit dimengerti. Proses pengelolaan emosi subjek cukup baik, hanya dalam kondisi tertentu ia merasa perlu mengungkapkan perasaannya, maka dia akan mengatakan apa saja yang dia rasakan. Dalam kesehariannya, apabila subjek ingin marah maka hal yang dilakukan oleh subjek adalah jalan – jalan keluar dan menyenangkan dirinya sendiri, seperti berbelanja atau makan makanan yang dia sukai. Kedua orang tua subjek dalam mendidik dan membesarkan subjek cukup ketat baik dalam menjaga martabat, kehormatan, ataupun nama baik keluarga. Kedua orang tua subjek menjunjung tinggi nilai – nilai budaya, salah satunya budaya patriarkhi. Pernikahan subjek dengan suaminya juga dikarenakan menjaga nama baik keluarga karena keluarga subyek tidak ingin menanggung malu karena ada anaknya yang diperkosa. 2 Suami Suami subjek memiliki latar belakang pendidikan yang sedikit berbeda dengan subjek. Suami subjek tidak begitu berminat untuk melanjutkan pendidikannya meskipun kedua orang tuanya mampu menyekolahkan suami subjek tersebut. Suami subjek menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas SMA dengan ujian persamaan. Saat ini suami subjek telah pensiun dari pekerjaannya. Orang tua suami memiliki usaha sendiri. Suami subjek memiliki status sosial ekonomi yang lebih rendah dibandingkan subjek. Hal tersebut yang menjadi salah satu perbedaan dalam menjalani pernikahan. Dalam menjalani relasi dengan lingkungan sosialnya, suami subjek lebih senang bergaul dengan orang yang berlainan jenis. Suami subjek cukup familiar di antara wanita yang ada di kantor dan lingkungannya. Hal ini didukung oleh penampilan suami subjek yang cukup menarik. Hal tersebut yang seringkali dibanggakan oleh suami subjek. Dalam bergaul dengan masyarakat, suami subjek seringkali ingin mendapatkan apa yang diinginkannya dan ingin selalu menang sendiri. Hal yang demikian dibawa hingga ke pernikahan dan membina rumah tangga. Suami subjek memiliki wawasan yang sempit, sehingga dalam memandang sebuah masalah cenderung dari sudut pandang yang juga sempit. Suami subjek cenderung memikirkan segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. Pada saat suami subjek masih remaja, cenderung menyelesaikan masalah dengan cara yang praktis dan memiliki keinginan yang berbeda–beda. Emosi yang dimiliki suami subjek cenderung tidak stabil dan sering berubah – ubah. Perubahan emosi suami subjek sangat cepat, bahkan anggota keluarganya tidak ada yang menduga dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah berubah emosinya. Suami subjek sendiri jarang mengemukakan perasaannya dan lebih senang memendam sendiri apa yang dirasakannya. Namun, bentuk perilaku yang dimunculkan tampak seperti tidak ada masalah. Kedua orang tua suami subjek bercerai sejak suami subjek masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama SMP kelas I. Suami subjek memilih untuk tinggal bersama dengan ayah dan neneknya yang selalu mengikuti semua keinginannya. Sedangkan saudara–saudaranya tinggal bersama dengan ibunya. Hal tersebut membuat suami subjek merasa setiap orang harus memperlakukan dia dengan cara yang sama. Suami subjek tumbuh tanpa kasih sayang ibunya, dan ayahnya adalah orang yang sibuk bekerja. Keadaan seperti itu membuat suami subjek lebih senang bermain dengan teman–temannya daripada tinggal di rumah.

b. Faktor – Faktor Pendukung Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1 Fakta Sebelum Pernikahan Subjek dan calon suaminya semula hanyalah teman biasa. Sebelum menikah dengan suaminya yang sekarang, subjek sudah memiliki seorang tunangan. Pada saat subjek masih berstatus sebagai tunangan orang lain, calon suami subjek yang sekarang menjadi suaminya memperkosa subjek sampai mengalami pendarahan. Calon suami subjek dan keluarganya ingin mempermalukan subjek dan keluarganya dengan cara memperkosa subjek. Pernikahan subjek sekarang dengan suaminya tidak didasari rasa cinta. Orang tua dan nenek subjek yang memaksa subjek untuk menikah demi menutupi aib keluarga. Pada saat hari pernikahan, calon suami subjek sebenarnya ingin mempermalukan subjek lagi dengan cara pergi dan tidak jadi menikah, akan tetapi rencana tersebut gagal. 2 Faktor Lain Subjek dan calon suami memiliki status sosial ekonomi yang berbeda, dan subjek memiliki status yang lebih tinggi. Pada saat menikah, calon suami subjek belum memiliki pekerjaan dan berlangsung samapai 11 tahun kemudian, sementara subjek sendiri memiliki penghasilan yang cukup. Hal tersebut menyebabkan harga diri calon suami menjadi rendah. Subjek dan calon suami subjek juga memiliki pendidikan yang juga berbeda, dimana calon suami subjek hanya selesai pada Sekolah Menengah Pertama SMP yang kemudian mengikuti ujian persamaan sehingga menjadi Sekolah Menengah Atas SMA. Subjek sendiri sempat mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi sampai 2 semester, akan tetapi berhenti karena hamil. Calon suami subjek adalah orang yang mau menang sendiri dan subjek adalah seorang yang kritis pola pikirnya, sehingga keduanya jarang bisa berdamai. Kedua orang tua suami subjek mendidik suami subjek dengan cara selalu mengikuti semua keinginan suami subjek. Nenek suami sangat memanjakannya dan selalu berharap agar cucunya jangan sampai hidup susah baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan berumah tangga.

c. Analisis Hasil Penelitian 1 Problem Focused Coping