Penerapan UU No 21 Tahun 2008 Dalam Permohonan Eksekusi Hak Tanggungan

Menurut J. Satrio bahwa suatu perikatan yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, mempunyai dua sudut: sudut kewajiban-kewajiban obligations yang dipikul oleh suatu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat, yang diperoleh oleh lain pihak, yaitu hak-hak menurut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu. Jadi hak tanggungan merupakan jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberi kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya. 9 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian hak tanggungan, seorang kreditur diberikan hak untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari pihak pemberi tanggungan selain itu, pihak kreditur dapat pula mengajukan hak Kreditur sebagai pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahului dari pada kreditur-kreditur yang lain untuk mengambil pelunasan dari penjualan tersebut. Selain itu hak tanggungan akan tetap membebani obyek hak tanggungan ditangan siapapun benda itu berada, ini berarti bahwa kreditur pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain. Dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizin pihak kreditur maka kreditur dapat mengajukan upaya hukum untuk membatalkan seluruh tindakan deditor yang dianggap merugikan. Dengan demikian, dalam perjanjian tanggungan, pihak kreditur tetap diberikan hak-hak yang dapat menghindarkannya dari praktek-praktek “nakal” debitur atau kelalaian debitur. 9 httpwww. Dampak Penyalahgunaan Perjanjian Kredit. html mendahuluinya, dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan oleh debitur tanpa izin kreditur. 10 1 Tn. Muhammad Aziz Sudirman, ST, dalam hal ini sebagai Debitur bertempat tinggal di Jl. Gubernur Priyo Sudarmo No. 23 Krian Sidoarjo, sebagai Termohon Eksekusi I…………….. Sehubungan dengan hak tanggungan atas tersebut di atas, sering terdapat kasus- kasus terkait dengan hak tanggungan yang muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain harga tanah yang meningkat dengan cepat, kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentinganhaknya, iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah. Pada hakikatnya, kasus tersebut merupakan benturan kepentingan conflict of interest antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan, perorangan dengan badan hukum, badan hukum dengan badan hukum, dan lain sebagainya. Kasus yang menjadi fokus pembahasan penulis dalam penulisan ini adalah kasus perdata tanah mengenai kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji sebagaimana diputuskan oleh Pengadilan Agama tanggal 12 Juni 2009 tentang Perkara Permohonan Eksekusi Hak Tanggungan No. 02EKSEKUSI2009PA. Sengketa Sertifikat hak tanggungan atas tanah ini terjadi antara : 10 Ibid 2 Ny. Suparni, selaku Penjamin, bertempat tinggal di Jl. Gubernur Priyo Sudarmo No. 23 Krian Sidoarjo, sebagai Termohon Eksekusi II…………………………………………. 3 Dr. Rokim Winarno, selaku Penjamin, bertempat tinggal di Jl. Gubernur Priyo Sudarno No. 23 Krian Sidoarjo, sebagai Termohon Eksekusi III………………………………………… 4 Ny. Rini Sugih Arti, selaku Penjamin, bertempat tinggal di Jl. Gubernur Priyo Sudarno No. 23 Krian Sidoarjo, sebagai Termohon Eksekusi IV………………………………………… 5 Ny. Rini Endrin Hindarti, selaku Penjamin, bertempat tinggal di Jl. Gubernur Priyo Sudarno No. 23 Krian Sidoarjo, sebagai Termohon Eksekusi V;...………………………………………. Dengan PT. Bank Bukopin Cabang Syariah Surabaya, berkantor di Jl. Raya Darmo No. 136 Surabaya, sebagai Pemohon Eksekusi;……………….. Kasus ini berawal dari perjanjian kredit antara Tn. Muhammad Azis Sudirman dengan Bank Bukopin Syariah masa berlakunya kredit ini efektif mulai berlaku pada tanggal 31 Agustus 2006 dan harus dilunasi pada tanggal 31 Agustus 2007. Namun setelah pinjaman kredit diterima oleh Tn. Muhammad Azis Sudirman. ternyata nasabah tidak memuhi kewajibannya untuk membayar hutangnya yang harus dilakukan hanya satu kali dan tidak ada tunggakan. Salah satu persyaratan dalam perjanjian kredit investasi adalah kewajiban dari Tn. Muhammad Azis Sudirman, untuk menyerahkan sebagai jaminan yaitu 2 dua bidang tanah Sertipikat Hak Milik, antara lain: 1 Sertipikat Hak Milik SHM No. 117Kraton, luas 550 m2, gambar situasi tanggal 25 Mei 1991 No. 19271991 yang tercatat atas nama Dokter Rokim Winarno ; 2 Sertipikat Hak Milik SHM No. 118Kraton, luas 590 m2, gambar situasi tanggal 25 Mei 1991 No. 19271991 yang tercatat atas nama Gofur ; Sertipikat Hak Milik SHM milik Tergugat tersebut diatas telah dijadikan sebagai jaminan karena berdasarkan kesepakatan bersama yang tertuang dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh Notaris Ika Ismanijarti, SH. Oleh karena Tn. Muhammad Azis Sudirman tidak melaksanakan Pembayaran sebagaimana yang tertuang dalam persetujuan kredit antara Bank Bukopin dengan Tn. Muhammad Azis Sudirman. Maka seluruh jumlah pinjaman baik karena hutang pokok, bunga, provisi, fee dan biaya lainnya wajib dibayarkan kembali dengan seketika dan seluruhnya kepada Bank Bukopin, karena kelalaian dari Tn.Muhammad Azis Sudirman tersebut. Oleh karena Tn. Muhammad Azis Sudirman terhitung sejak Agustus 2007 tidak melakukan pembayaran atas kelalaiannya tersebut kepada Bank Bukopin. Dengan berdasar pada Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPer dan Pasal 6 UUHT, Bank Bukopin melakukan tindakan penyitaan atas harta milik Tergugat berupa Sertipikat Hak Milik No. 117, No. 118 atas bidang tanah dan bangunan milik suami istri yang tercatat atas nama dr. Rokim Winarno dan Gofur. Dengan berdasar pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 49PRP1960 yang mengatur mengenai penyelesaian kredit macet menyatakan bahwa penyelesaian kredit macet harus diadakan kesepakatan terlebih dahulu antara debitur dengan Panitia Urusan Piutang Negara PUPN yang menghasilkan surat pernyataan bersama yang berkepala ‘Atas Nama Keadilan’. Kemudian surat pernyataan bersama ini mempunyai kekuatan eksekutorial sebagai landasan hukum untuk melakukan penyitaan barang agunan dan pelelangan, serta Pasal 12 UUHT yang menyebutkan bahwa “pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk membeli tanah dimaksud dari pelelangan, jadi ikut dalam pelelangan apa akibatnya, pasti bahwa hal-hal yang sangat memprihatinkan akan terjadi dan yang menjadi korban adalah rakyat”. Dalam perkara ini dengan mendasarkan Pasal 12 Ayat 1 UU No. 10 Tahun 1998 yang berbunyi “Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual diluar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya; Penjelasan dari pasal ini menyatakan bahwa “Pembelian agunan oleh bank melalui pelelangan dimaksudkan untuk membantu bank agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah Debiturnya. Bank sebagai pembeli agunan Nasabah Debiturnya, mempunyai status yang sama dengan pembeli dalam hal ini adalah bank lainnya. Bank dimungkinkan membeli agunan diluar pelelangan dimaksudkan agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah Debiturnya. Bank Bukopin melakukan permohonan eksekusi secara lisan pada tanggal 12 Juni 2009 yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Sidoarjo, permohonan mana disertai dengandiikuti oleh obyek sita yang memuat alasan-alasan yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 30 September 2009. Kemudian surat pernyataan bersama ini mempunyai kekuatan eksekutorial sebagai landasan hukum untuk melakukan penyitaan barang agunan dan pelelangan. Apakah hal ini dapat menyebabkan proses kepemilikan tanah Serfikat Hak Milik No. 117 dan No. 118 yang di beli melalui pelelangan tersebut menjadi cacat hukum. 11 Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk Obyek Hak Tanggungan. Kreditur berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan ini lebih besar dari pada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi Hak Tanggungan. Disamping itu penjualan Obyek Hak Tanggungan dalam hal penjualannya melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, maka kemungkinan bisa melakukan eksekusi melalui penjualan dibawah tangan, asalkan hal tersebut disepakati oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, dengan persyaratan untuk melindungi pihak-pihak yang Pasal 12 Undang-Undang Hak Tanggungan selanjutnya disingkat UUHT yang berbunyi “Janji yang memberi kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila cidera janji, akan batal demi hukum”. Penjelasan dari pasal ini menyatakan bahwa ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi kepentingan kreditur dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai obyek Hak tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin. Pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk serta merta menjadi pemillik obyek Hak Tanggungan karena debitur cidera janji. Walaupun demikian tidak dilarang bagi pemegang Hak Tanggungan untuk menjadi pembeli Obyek Hak Tanggungan asalkan melalui prosedur yang diatur. 11 Ibid berkepentingan misalnya pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga, dan kreditur lain dari pemberi Hak Tanggungan, dan hanya dapat dilaukan setelah lewat waktu 1 satu bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikti-dikitnya dalam 2 dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan media massa setempat serta tidak ada pihak yang menyatakan surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan media massa setempat serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan hal ini dilakukan untuk mempercepat penjualan Obyek Hak Tanggungan dengan harga penjualan tertinggi. 50

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1 Ruang lingkup kewenangan peradilan agama dalam bidang ekonomi syariah, meliputi: bank syariah , lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pengadian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah. Dalam hal ini seluruh sengketa perdata yang terjadi antara bank syariah dengan pihak manapun, termasuk yang terjadi antara bank syariah dengan pihak non-Islam, adalah kewenangan lingkungan peradilan agama untuk mengadilinya, kecuali terhadap sengketa perbankan syariah yang timbul dari perjanjian yang mengandung klausul arbitrase. Dalam hal ini pengadilan agama tidak berwenang mengadilinya, namun penyelesaian sengketa perbankan juga bisa diselesaikan melaui arbitrase. 2 Penyelesaian perkara perbankan syariah di peradilan agama harus mengikuti prinsip- prinsip yang sesuai dengan UU Perbankan Syariah dalam melaksanakan kegiatan usaha bank umum syariah dan juga tidak menjalankan kegiatan usaha yang dilarang bagi bank syariah tersebut. Untuk menjalankan fungsi pembiayaan perbankan syariah menggunakan perjanjian hutang piutang, dalam hal ini bank syariah tidak menerapkan sistem bunga sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sehingga penerapan UU No. 21 Tahun 2008 dalam permohonan eksekusi hak tanggungan bisa terjadi karena perjanjian hutang piutang diganti dengan perjanjian akta Jual Beli 74 sehingga menerapkan sistem bunga, karena pembiayaan dalam perjanjian hutang piutang berbeda dengan pembiayaan akta jual beli.

4.2 Saran

1 Dengan semakin luasnya ruang lingkup kewenangan peradilan agama, khususnya dalam bidang ekonomi syariah, diharapkan dalam proses penyelesaian bisa lebih cepat dan murah, sehingga mempermudah para tergugat maupun penggugat dalam menyelesaikan perkara di bidang tersebut. 2 Agar pemegang Hak Tanggungan dapat memiliki obyek hak tanggungannya dalam hal ini salah satu pihak cidera janji dapat mendaftarkan permohonan eksekusi hak tanggungan di pengadilan agama, karena dapat ditempuh dengan dua cara yaitu melalui proses perdamaian apabila perdamaian tidak berhasil, dapat diselesaikan melalui proses persidangan.