KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM MENANGANI PERMOHONAN EKSEKUSI SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN BANK BUKOPIN SYARIAH CABANG SURABAYA.

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur

Oleh : NPM. 0771010101 DEWI MARHAR YANTI

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA


(2)

junjungan besar Nabi Muhammad SAW, yang telah melimpahkan berkah, rahmat, dan hidayahNya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skiripsi ini. Disini peneliti mengambil judul: ” Kewenangan Peradilan Agama Sidoarjo dalam menangani permohonan Eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan Bank Bukopin Syariah Cabang Surabaya”.

Penyusunan skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan sesuai kurikulum yang ada di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Disamping itu dapat memberikan hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmu dalam mengadakan penelitian dalam mengadakan penelitian guna penyusunan Skripsi.

Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan, dan dorongan oleh beberapa pihak. Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.M selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Sutrisno, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dan Selaku Dosen Pembimbing Utama.

3. Bapak Subani, S.H., M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

4. Bapak Wiwin Yulianingsih, S.H., M.kn Selaku Dosen Pembimbing Pendamping, yang telah membimbing dan mengarahkan peneliti dalam pembuatan skripsi


(3)

melakukan penelitian.

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

7. Bapak Sariyanto selaku Kepala Bagian Tata Usaha beserta seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

8. Kedua orang tua tercinta, Papa, Mama, Mbak Nevy, Adik Yudo tersayang dan seluruh saudara-saudara yang telah memberikan dukungan moriil maupun materiil serta doa dan restunya selama ini.

9. Ucapan terimakasih buat yang tersayang Trinova Laksana yang selalu memberikan motivasi.

10. Teman-teman seperjuangan Puji, Renni, Rina, Tian, Ndower, Erick, Mbak Ita dan seluruh Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun peneliti harapkan guna perbaikan dan penyempurnaan sehingga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak.

Surabaya, November 2010


(4)

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI .. ii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

HALAMAN REVISI PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI . iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

ABSTRAKSI ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Kajian Pustaka ... 9

1.6 Metodologi Penelitian ... 22

1.7 Sistematika Penelitian ... 27

BAB II KEWENANGAN PERADILAN AGAMA DALAM PENYELESAIAN PERKARA EKONOMI SYARIAH 2.1 Ruang lingkup kewenangan peradilan agama di bidang Bank Syariah meliputi semua perkara Perbankan Syariah di bidang perdata ... 31


(5)

2.6 Reksadana Syariah ... 48

2.7 Pengadaian Syariah ... 48

2.8 Dana Pensiun ... 51

BAB III PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 DALAM PELAKSANAAN PERMOHONAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN 3.1 Prinsip-prinsip Operasional Bank Syariah ... 55

3.2 Kegiatan Usaha Bank Umum Syariah ... 58

3.3 Kegiatan-Kegiatan yang Dilarang Bagi Bank Syariah ... 60

3.4 Bank Syariah Tidak Menerapkan Sistem Bunga ... 61

3.5. Pembiayaan dalam Perbankan Syariah dengan menggunakan Prinsip Jual Beli ... 62

3.6 Penerapan UU No. 21 Tahun 2008 dalam Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan ... 65

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ... 74

4.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76 LAMPIRAN


(6)

Lampiran 2: Berita Acara Sita Eksekusi Lampiran 3: Penetepan

Lampiran 4: Akta Pemberian Hak Tanggungan

Lampiran 5: Sertifikat Hak Tanggungan (SHT No. 4032/2005) Lampiran 6: Sertifikat Hak Tanggungan (SHT No. 6051/2005) Lampiran 7: Turunan Pengakuan Hutang

Lampiran 8 : Turunan Akta Akad Jual beli Al- Murabaha No. 8 Lampiran 9 : Surat Keterangan Penelitian


(7)

Nama Mahasiswa : Dewi Marhar Yanti

NPM : 0771010101

Tempat/Tanggal Lahir : Surabaya, 15 Juni 1989 Program Studi : Strata 1 (S1)

Judul Skripsi :

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM MENANGANI PERMOHONAN EKSEKUSI SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN

BANK BUKOPIN SYARIAH CABANG SURABAYA

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang kewenangan Pengadilan Agama dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah dan mengettahui penerapan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dalam menyelesaikan perkara permohonan Eksekusi Hak Tanggungan. Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif yaitu Penelitian hukum yang dilakukan berdasarkan norma dan kaidah dari peraturan perundangan. Sumber data diperoleh dari literatur-literatur, perundang-undangan yang berlaku dan data dari Pengadilan Agama Sidoarjo tentang Ekonomi syariah. Analisis data menggunakan metode deskriptif analisis. Hasil penelitian yang dapat di simpulkan adalah ruang lingkup peradilan agama dalam bidang ekonomi syariah beserta dan penyelesaian perbankan syariah di peradilan agama harus mengikuti prinsip-prinsip yang sesuai dengan UU Perbankan Syariah.


(8)

1.1Latar Belakang Masalah

Ahmad Rafiq mengungkapkan istilah hukum merupakan Istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari Al-Fiqh Al-Islamy, istilah ini dalam wacana ahli hukum Barat digunakan Islamic Law. Dalam Alquran maupun As-Sunnah, istilah Al-Hukm Al-Islam tidak dijumpai, yang digunakan adalah kata syariat yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fikih.1

Pada mulanya kata syariah meliputi aspek ajaran agama, yakni akidah, syariah (hukum), dan akhlak. Ini terlihat pada syariat setiap agama yang diturunkan sebelium islam. Karena bagi setiap umat, Allah memberikan syariat dan jalan yang terang (QS. Al-Maa’idah (5) ayat 48). Mahmud Syaltut dalam bukunya Al-Islam ‘Akidah wa Syariah mendefinisikan syariah adalah peraturan yang diturunkan Allah kepada manusia agar dipedomani dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan sesamanya, dengan lingkungan, dan dengan kehidupan.2

Gemala Dewi mengungkapkan bahwa keberedaan Komite Fatwa Perbankan Syariah yang bertugas untuk menerbitkan fatwa-fatwa atau opini mengenai produk-produk jasa Perbankan Syariah yang keanggotaan dari komite tersebut dipilih dan ditetapkan oleh Bank Indonesia sendiri yang akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Bank Indonesia. Di samping itu, diatur       

1

Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. 6, 2003, h. 3 2


(9)

juga mengenai Jaring Pengaman Sistem Perbankan Syariah yang tunduk pada undang-undang mengenai jaring pengaman sektor keuangan (financial safety

net).3

Farida Prihantini mengugkapkan bahwa pengelolahan harta benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang pengelolahan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi syariah.4

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen menentukan dalam pasal 24 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut :

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 5

Selain itu Peradilan Agama termasuk juga salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan guna menengakkan hukum dan keadilan.

Musthofa mengungkapkan bahwa Kompetensi (wewenang) Peradilan Agama terdiri atas kompetensi relative dan kompetensi absolute. Kompetensi

       3

Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, h. 250

4

Farida Prihantini dkk., Hukum Islam Zakat dan Wakaf Teori dan Praktiknya di Indonesia, Jakarta: Papan Sinar Sinanti & FHUI 2005. h. 135

5

Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang telah Di Amandemen I, II, III, IV, Appolo, Surabaya.


(10)

absolute adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili berdasarkan materi hukum (Hukum Materi).6

Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah berdasarkan hukum Islam. Adanya ketentuan tersebut dan dipertegas dengan ketentuan beberapa pasal dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, selanjutnya berbunyi sebagai berikut :7 Pasal 1 Menyatakan bahwa :

1) Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang –orang yang beragama islam

2) Pengadilan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dilingkungan Peradilan Agama.

3) Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Agama dan Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama.

4) Pegawai Pencatat Nikah adalah Pegawai Nikah pada Kantor Urusan Agama.

5) Juru Sita atau Juru Sita Pengganti adalah Juru Sita dan Juru Sita Pengganti pada Pengadilan Agama.

Pasal 2 :

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang bearagama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 49 ayat (1) :       

6

Musthofa, Sy, Kepaniteraan Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 9 7

Team Media, Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Media Centre, h. 14


(11)

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, antara orang-orang yang beragama islam di bidang :

a. perkawinan;

b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam;

c. wakaf dan shadaqoh.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (selanjutnya disingkat dengan UU No. 7 Tahun 1989) jelaslah bahwa kini berlaku asas personalitas keislaman,8 asas ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 diubah dan ditambah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (Selanjutnya disingkat UU Peradilan Agama). Walupun subyeknya tidak beragama islam maka penyelesaiannya tetap di Pengadilan Agama. Hal tersebut terkait dengan kewenangan Pengadilan Agama yang bertugas untuk memeriksa dan memutus perkara orang-orang beragama Islam Tingkat I, meliputi :

1)Perkawinan 2)Waris 3)Wasiat 4)Hibah 5)Wakaf 6)Zakat 7)Infak 8)Shodakoh

       8

Sulistyono, Handout Mengenai Azas Peradilan Agama, dalam mata kuliah Hukum Peradilan Agama h. 4


(12)

9)Ekonomi Syariah

Perubahan yang nampak dan signifikan adalah masuknya perkara ekonomi syariah dalam lingkup kewenangan Peradilan Agama yang sebelumnya tidak termasuk dan diselesaikan sendiri berdasarkan lembaga-lembaga yang membawahinya di luar Peradilan Agama, yang sebelumnya kewenangan peradilan agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebut termasuk pelanggaran atas undang-undang tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan

qanun. Berdasarkan Pasal 49 UU Peradilan Agama dalam bidang ekonomi

syariah merupakan langkah yang tepat dalam meng-akomodir kebutuhan masyarakat muslim yang sebagian besar dianut oleh masyarakat Indonesia.

Penataan di bidang kekuasaan kehakiman dimulai dengan diubahnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang kini kembali diganti menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Selanjutnya disingkat UU Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa:


(13)

1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

2) Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Dengan pengaturan di atas berarti bahwa dilakukan penyatuan seluruh badan peradilan menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung, yaitu yang semula Departemen Agama untuk Peradilan Agama, dan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia untuk Peradilan Militer, kini disatukan dibawah naungan Mahkamah Agung.

Penggantian dan perubahan kedua Undang-Undang tersebut secara tegas telah mengatur peralihan organisasi, adminitrasi, dan finansial, dari semua lingkungan peradilan ke Mahkamah Agung termasuk yang ada di lingkungan Peradilan Agama yang sebelumnya masih berada dibawah Departemen Agama berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 juga dialihkan ke Mahkamah Agung. Untuk memenuhi ketentuan tersebut perlu pula diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Untuk itulah pada tanggal 20 Maret 2006 diundangkanlah UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Persoalannya sampai saat ini belum ada aturan hukum positife yang secara terperinci mengatur tentang hukum acara penyelesaian sengketa ekonomi syariah, namun demikian bukan berarti tidak ada aturan hukumnya


(14)

atau dengan kata lain telah terjadi “kekosongan hukum” dalam persoalan ini. Karena pada asasnya pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili. Oleh karena itu walau pun aturan formal yang berkenaan dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah belum ada, pengadilan agama sebagai lembaga yang diberi wewenang oleh negara untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah sudah seharusnya mengerahkan segenap potensinya untuk menjawab tantangan tersebut.

Untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah ini kiranya pengadilan agama harus berani dan mampu menggali nilai-nilai maupun norma-norma hukum Islam, baik yang terdapat dalam kitab Al-Qur’an, al-Sunnah maupun kitab-kitab fiqh

/ushul fiqh serta fatwa-fatwa Majelis Ulama’ yang dalam hal ini melalui

Dewan Syariah Nasional yang berkaitan dengan persoalan-persoalan diseputar ekonomi syariah.

1.2Perumusan Masalah

Sesuai dengan uraian latar belakang tersebut, maka pembahasan dalam Skripsi yang berjudul “ Kewenangan Peradilan Agama Sidoarjo dalam menangani permohonan Eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan Bank


(15)

Bukopin Syariah Cabang Surabaya “, akan dibatasi pada permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1)Bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah ?

2)Bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dalam Pelaksanaan Permohonan Eksekusi Hak Tanggungan?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk :

1) Mengetahui tentang kewenangan Pengadilan Agama dalam penyelesaian perkara-perkara ekonomi syariah.

2) Mengetahui bagaimana penerapan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dalam menyelesaikan perkara Permohonan Eksekusi Hak Tanggungan .

1.4Manfaat Penelitian 1) Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan hukum perdata, khususnya terkait mengenai kewenangan Peradilan Agama dalam penanganan Ekonomi Syariah.


(16)

2) Manfaat Praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi informasi konkrit bagi usaha pembaharuan hukum perdata khususnya bagi hakim, pengacara, pengugat, ketika mengajukan upaya eksekusi Hak Tanggungan.

1.5Kajian Pustaka

1.5.1 Kewenangan Pengadilan Agama dalam Menangani Perkara-Perkara Ekonomi Syariah

Kompetensi (wewenang) Peradilan Agama terdiri atas kompetensi absolut. Kompetensi Absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili berdasarkan materi hukum (hukum materi). Kompetensi relative peradilan agama merujuk pada 118 HIR atau 142 Rbg jo. 66 dan Pasal 73 UU No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama berdasarkan pada ketentuan Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989, yaitu acara yang berlaku pada lingkungan peradilan agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan peradilan umum.

Pasal 118 ayat (1) HIR menganut asas actor sequitur forum rei (bahwa yang berwenang adalah pengadilan di tempat kediaman tergugat). Namun, ada beberapa pengecualian, yaitu yang tercantum dalam Pasal 118 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), yaitu sebagai berikut.


(17)

1) Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan yang diajukan kepada pengadilan di tempat tinggal Penggugat.

2) Apabila tempat tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada pengadilan di tempat tinggal Penggugat.

3) Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada peradilan di wilayah hukum di mana barang itu terletak.

4) Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang dipilih dalam akta tersebut.9

Berdasarkan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tetang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam, hanyalah mengenai perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqoh saja. Perkara–perkara ini adalah perkara-perkara yang bersifat individual yaitu perkara yang hanya menyangkut hubungan perorangan saja. Kewenangan Pengadilan Agama yang semacam ini berlangsung selama kurun waktu dari tahun 1989 sampai tahun 2006, sehingga bisa dikatakan Pengadilan Agama terbiasa menangani perkara-perkara yang bersifat       

9


(18)

individual semacam ini. Sedangkan kita ketahui bahwa perkara ekonomi syariah tidak hanya bersifat individual tetapi menyangkut berbagai pihak. Selain itu ekonomi syariah bukan hanya sekedar perbankan dan asuransi syariah saja yang sudah dikenal masyarakat luas selama ini, tetapi ekonomi syariah lebih luas lagi ruang lingkupnya yaitu menyangkut segala hal selama hal itu dikelolah berlandaskan aturan dan etika syariah.

Dalam Pasal 50 UU No. 3 Tahun 2006 ditentukan, bahwa pengadilan agama berwenang untuk sekaligus memutus sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subjek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam. Hal ini menghindarkan upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya segketa milik atau keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di pengadilan agama. Sebalinya, apabila subjek yang mengajukan sengketa hak mililk atau keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek bersengketa di pengadilan agama ditunda untuk menunggu ke pengadilan di lingkungan peradilan umum. Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke pengadilan agama bahwa telah didaftarkan gugatan di pengadilan negeri terhadap


(19)

objek sengketa yang sama di pengadilan agama. Dalam hal objek sengketa yang diajukan keberatannya, peradilan agama tidak perlu menangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa yang tidak terkait.

1.5.2 Ekonomi Syariah

Pengertian Ekonomi syariah berdasarkan penjelasan Pasal 49 UU Peradilan Agama adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, re-asuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pengadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.

Menurut pendapat H. Muchlas Ni’am, selaku panitera sekertaris di Pengadilan Agama Sidoarjo, bahwa ekonomi syariah adalah Suatu kegiatan dimana debitur melakukan pinjaman di suatu bank syariah dan terjadi wan prestasi sehingga terjadi suatu sengketa antara kedua belah pihak tersebut, apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan melalui cara arbitrase ,maka sengketa tersebut baru bisa didaftarkan di Pengadilan Agama.10

       10

Wawancara dengan H. Muchlas Ni’am selaku Panitera Sekretaris Pengadilan Agama Sidoarjo tanggal 31 Agustus 2010


(20)

Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pasal 15 ayat (2) bahwa pengadilan syariah islam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum. 1.5.3 Penyelesaian Sengketa Bank Syariah dan Nasabahnya melalui

Perdamaian atau yang dikenal ADR (Alternative dispute Resolution)

Penyelesaian segketa bisnis melalui mekanisme ADR dalam bentuk konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli atau melalui mekanisme arbitrase, banyak dipilih oleh para pihak yang berselisih karena beberapa alasan, diantaranya: kesukarelaan dalam proses, prosedur cepat, rahasia (confidential), hemat waktu, hemat biaya, keputusan non yudisial, fleksibel dalam merancang syarat-syarat penyelesaian sengketa, win-win solution, tetap terpeliharanya hubungan baik antar pihak yang bersengketa Para Arbiter adalah orang-orang yang memilki keahlian (expertise) dan putusan arbitrase bersifat final serta mengikat para pihak. Selain itu tidak ada kemungkinan banding dan kasasi terhadap putusan arbitrase.


(21)

1.5.4 Penyelesaian Sengketa Bank Syariah dan Nasabahnya Melalui Arbitrase

Hal-hal yang berkaitan dengan prosedur dan proses penyelesaian sengketa lembaga keuangan syariah melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional biasa disingkat dengan (Basyarnas) harus didasarkan dengan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Peraturan Prosedur Basyarnas. Adapun ketentuan-ketetuan umum yang terkait prosedur penyelesaian sengketa UU No. 3 Tahun 1999 sebagai berikut :

1) Pemeriksaan sengketa harus diajukan secara tertulis, namun demikian dapat juga secara lisan apabila disetujui para pihak dan dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbiter.

2) Arbiter atau Majelis Arbiter terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara pihak yang bersengketa.

3) Pemerikasaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak Arbiter atau Majelis Arbiter terbentuk, namun demikian dapat diperpanjang apabila diperlukan dan disetujui para pihak.

4) Putusan arbiterase harus memuat kepada putusan yang berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” nama singkat sengketa, uraian singkat sengketa, pendirian cara pihak,


(22)

nama lengkap, dan alamat Arbiter, Pertimbangan dan kesimpulan Arbiter atau Majelis Arbiter mengenai keseluruhan sengketa, pendapat masing-masing Arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam Majelis Arbiterase, amar putusan, tempat dan tanggal putusan, dan tanda tangan Arbiter atau Majelis Arbiter. 5) Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut

harus dilaksanakan.

6) Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemerikasaan harus ditutup dan ditetapkan dalam waktu paling lamam 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup.

7) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan diterima, para pihak dapat megajukan permohonan kepada Arbiter atau Majelis Arbiter untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan

Ketentuan-ketentuan prosedur di atas dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase termasuk juga arbitrase syariah menjadi berlarut-larut, sehingga dengan demikian dalam arbitrase tidak terbuka lagi upaya hukum banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.


(23)

Mekanisme penyelesaian sengketa bisnis selain ADR dan Arbitrase syariah dapat pula melalui jalur peradilan agama. Berdasarkan revisi UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tanggal 26 Maret 2006 yang kemudian menjadi UU No. 3 Tahun 2006 yang sekarang ini kewenangannya diperluas dalam bidang Lembaga Keuangan Syariah meliputi: perbankan syariah, asuransi, dana pensiun syariah, obligasi syariah, dan seterusnya.

1.5.5 Eksekusi

Secara etimologis eksekusi berasal dari bahasa belanda yang berarti menjalankan putusan hakim atau pelaksanaan putusan hakim atau pelaksanaan putusan (tenuitvoer lengging van vonnissen) secara terminilogis eksekusi ialah melaksanakan putusan (vonis) pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu putusan yang bersifat

condemnatoir, sedangkan putusan yang declaratoir dan constitutive

tidak memerlukan eksekusi dalam menjalakannya.11

Permohonan Eksekusi biasanya terjadi apabila nasabah tidak mempunyai itikad baik untuk membayar maupun mengangsur pembayaran terhadap bank syariah, sehingga bank tersebut meminta

       11


(24)

bantuan kepada pihak Pengadilan Agama untuk memberikan peringatan sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku, bila sampai tiga kali nasabah tidak menghiraukan peringatan tersebut, maka proses permohonan eksekusi yang harus dijalankan agar nasabah mau membayar semua hutang-hutang maupun tanggungan pada bank syariah tersebut.12Bila melalui jalur Pengadilan Negeri pihak yang menang dalam perkara harus mengajukan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri, setelah adanya permohonan itu Ketua Pengadilan Negeri memanggil pihak yang kalah untuk diberikan peringatan (aanmaning) agar yang bersangkutan melaksanakan bunyi putusan secara sukarela.13

Eksekusi di bawah tangan pimpinan Ketua Pengadilan sebelum melaksanakan eksekusi Ketua Pengadilan Agama terlebih dahulu mengeluarkan penetapan yang ditunjukkan kepada panitera atau juru sita untuk melaksanakan eksekusi dan pelaksanaan eksekusi dipimpin oleh Ketua Pengadilan Agama yang berwenang mengekseusikan adalah Pengadilan Agama yang menjatuhkan putusan tersebut atau Pengadilan agama yang diberi delegasi wewenang oleh Pengadilan Agama yang memutusnya.

       12

Wawancara dengan Zainul Hidayah selaku wakil panitera muda di Pengadilan Agama Sidoarjo pada tanggal 25 Oktober 2010.

13


(25)

1.5.6 Sita Eksekusi atau Penyitaan Eksekusi (Executorial Beslaag)

Penyitaan ini bertujuan untuk menjamin agar putusan pengadilan dapat dipenuhi dan dilaksanakan dengan baik. Bila ada barang-barang yang telah disita dan phak yang kalah tidak bersedia memenuhi dengan dengan sukarela, maka barang-barang yang telah dista akan dijual atau dilelang dan hasilnya dipergunakan untuk memenuhi putusan pengadilan.

Upaya hukum Peyitaan ini bertujuan supaya pihak tergugat selama pemerikasaan perkara tidak dapat menghindari dari putusan perkara dengan cara memindahkan atau menyembunyikan barang atau harta bendanya. Harta benda atau barang yang disita itu tidak dapat dipindah tangankan atau dijual, kecuali atas ijin pengadilan.14

Sita eksekusi merupakan sita yang dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan putusan, yakni sita yang dilakukan setelah ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga sita tersebut dinyatakan sah dan berharga bila sudah ada penetapan Pengadilan Agama.15

1.5.7 Hak Tanggungan

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang       

14

Ibid, h.49 15


(26)

berkaitan dengan tanah, definisi Hak Tanggungan adalah sebagai berikut :

Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasas Pokok Agraria, berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

kreditur-kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.16

1.5.8 Eksekusi Hak Tanggungan

Menurut Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, mengenai Eksekusi Hak Tanggungan, berbunyi sebagai berikut :

1) Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan :

a) Hak pemegang Hak Tanggungan pertama unuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 , atau b) Title eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak

Tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditur-kreditur lainnya. 2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan,

penjulan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang mengguntungkan semua pihak.

3) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan di umumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar       

16


(27)

di daerah yang bersangkutan dan media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) batal demi hukum.

5) Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan. 17

1.5.9 Debitur

Pengertian Debitur menurut Pasal 1 ayat (18) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.18

1.5.10 Kreditur

Pengertian Kredit menurut Pasal 1 ayat (11) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Pengertian dari Kreditur sendiri adalah Orang atau lembaga keuangan (Bank) yang menyediakan uang maupun bentuk pinjaman lainnya berdasarkan       

17

Ibid, h 167. 18


(28)

Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan kesepakatan antara bank dengan pihak lain.19

1.6.11 Akta Akad Jual Beli Al Murabaha

Menurut Pasal 1 ayat (9) Peraturan Bank Indonesia Nomor 5 Tahun 2003 tentang Kualitas Aktiva Produktif Bagi Bank Syariah, definisi dari Murabaha, berbunyi sebagai berikut :

Murabaha adalah Perjanjian jual beli antara bank dan nasabah dimana Bank Syariah membeli barang yang diperlukan oleh nasabah dan kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin atau keuntungan yang disepakati antara Bank Syariah dan nasabah.20

Murabaha juga bisa diartikan sebagai jual beli atau pertukaran harta dengan harta lainnya, berdasarkan ketentuan syariah yang mempergunakan uang sebagian alat atau media pertukaran.

Menurut Pasal 19 ayat (1) huruf (d) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, definisi dari akad murabaha, berbunyi sebagai berikut :

Definisi dari “Akad murabahah” adalah Akad Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.

      

19

Ibid h. 85 20

H. Ahmad Kanil, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 299


(29)

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis dan Tipe Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan berdasarkan norma dan kaidah dari peraturan perundangan, khususnya yang berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Agama yaitu Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.21

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum deskriptif analisis. Dalam artian penelitian ini diharapkan mampu melukiskan gambaran secara sistematis, terperinci dan menyeluruh tentang “Kewenangan Peradilan Agama Sidoarjo dalam menangani permohonan Eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan Bank Bukopin Syariah Cabang Surabaya”. Dalam hal ini pembahasan analisis menganai ruang lingkup ekonomi syariah dimaksudkan untuk dapat memperoleh pembahasan tentang pokok permasalahan yang ada di Pengadilan Agama mengenai Ekonomi Syariah.

Jadi dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan tipe penelitian menggunakan penelitian hukum deskriptif analisis.

       21


(30)

1.6.2 Pendekatan Masalah

Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan melakukan pengkajian peraturan perundang-undanagn yang berhubungan dengan tema sentral penelitian.22

1.6.3 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu menggunakan data sekunder adalah data dari penelitian kepustakaan di mana dalam data sekunder terdiri dari 2 (dua) bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder sebagai berikut :

1) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas terdiri dari :

a) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang telah di Amandemen I, II, III, IV.

b)Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

c) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.

       22


(31)

d)Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

e) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum.

f) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Abritrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

g)Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berupa buku literatur, hasil karya sarjana untuk memperluas wawasan penulis mengenai bidang penulisan.

1)Adolf, Huala. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika. Jakarta, 2004.

2)Ahmad, Kanil. Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan

Ekonomi Syariah. Kencana. Jakarta, 2007.

3)Boedi, Harsono. Hukum Agraria Indonesia,Djambatan, Jakarta, 2004.

4)Burharuddin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, Graha Ilmu. Yogyakarta, 2010.


(32)

5)Chariruman, Pasaribu. Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika. Jakarta, 2004.

6)Cik, Basir. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, Kencana. Jakarta, 2009.

7)Ismet, Baswedan. Hukum Acara Perdata Peradilan Umum, Unair Press. Surabaya, 2004.

8)Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan

Mahkamah Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

9)R.Soesilo, RIB/HIR, Politeia. Bogor, 1995.

10)Sentosa, Sembiring, Hukum Perbankan, Mandar Maju. Bandung, 2000.

11)Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika. Jakarta, 2004.

12)Sulistyono, Handout Mengenai Azas Peradilan Agama, mata

kuliah Hukum Pearadilan Agama. Surabaya, 2009.

13)Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Rajawali Pres. Jakarta, 2007.

14)Team Media, Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7

tahun 1989 dan Kompilsasi Hukum Isalam Di Indonesia,


(33)

15)Zainuddin, Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika. Jakarta, 2009.

16)Zainudin, Ali. Hukum Perdata Islam, Sinar Grafika. Jakarta, 2006.

1.6.4 Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

Untuk mendapatkan bahan hukum yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini diperoleh dengan cara melakukan studi kepustakaan, perolehan bahan hukum melalui penelitian kepustakaan dikumpulkan dengan cara mencari dan mempelajari serta memahami buku-buku ilmiah yang memuat pendapat beberapa sarjana.

Selain itu, peraturan perundang-undangan yang erat kaitannya dengan pembahasan skripsi ini juga dikumpulkan, bahan hukum yang telah berhasil dikumpulkan tersebut selanjutnya akan dilakukan penyuntingan bahan hukum, pengklasifikasian bahan hukum yang relevan dan penguraian secara sistematis.

1.6.5 Metode Analisis Data

Berdasarkan bahan hukum yang diperolah, maka penulisan skripsi ini menggunakan metode content analysis, yaitu metode yang menganalisis data yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif, yang memenafaatkan peraturan perundang-undangan sebagai hal umum, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Selanjutnya


(34)

dibahas, disusun, diuraikan, dan ditafsirkan, serta dikaji permasalahan sehingga diperoleh suatu kesimpulan sebagai upaya pemecahan masalah.

1.7Sistematika Penulisan

Skripsi ini nantinya disusun dalam empat bab. Tiap-tiap bab dibagi beberapa subbab yang saling mendukung. Bab-bab yang tersusun tersebut nantinya merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain.

Bab I, Pendahuluan Didalamnya terdiri dari tujuh sub bab yaitu sub bab pertama menguraikan tentang latar belakang masalah, kemudian sub bab kedua menguraikan tentang perumusan masalah. Selanjutnya di sub bab ketiga disajikan tujuan dan sub bab keempat mengenai manfaat penelitian sebagai harapan yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Pada bagian sub bab kelima mengenai kajian pustaka yang merupakan landasan dari penulisan skripsi. Kemudian diuraikan beberapa konsep definisi yang berkaitan dengan judul penelitian. Selanjutnya sub bab keenam diuraikan tentang metode penelitian yang merupakan salah satu syarat dalam setiap penelitian. Intinya mengemukakan tentang tipe penelitian dan pendekatan masalah, sumber bahan hukum, langkah penelitian, dan sub bab ketujuh merupakan sub bab terakhir ini dakhiri dengan sistematika penulisan.


(35)

Bab II, menguraikan tentang Kewenangan Peradilan Agama dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah secara umum dalam bab ini terdapat delapan sub bab yakni yang pertama mengenai ruang lingkup kewenangan Peradilan Agama dalam Bidang Bank Syariah meliputi semua perkara perbankan syariah di bidang perdata, sub bab yang kedua tentang sub bab kedua mengenai Sengketa Antara Bank Syariah dengan Pihak Non-Islam, sub bab ketiga membahas tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui Arbitrase, sub bab keempat mengenai asuransi syariah, sub bab kelima mengenai pasar modal syariah, sub bab keenam mengenai reksa dana syariah, sub bab ketujuh membahas tentang pengadian syariah, dan sub bab yang terakhir mengenai dana pensiun.

Bab III, Menguraikan tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 dalam Pelaksanaan Permohonan Eksekusi Hak Tanggungan dalam bab ini terdapat enam sub bab yang terdiri dari yang pertama mengenai prinsip-prinsip operasional bank syariah, sub bab kedua membahas tentang kegiatan usaha bank umum syariah, sub bab ketiga mengenai kegiatan yang dilarang bagi bank syariah, sub bab kekempat membahas tentang bank syariah tidak menerapkan sistem bunga, sub bab kelima mengenai pembiayaan dalam perbankan syariah dengan menggunakan prinsip jual beli, sub bab yang terakhir membahas tentang penerapan UU No. 21 Tahun 2008 dalam permohonan eksekusi hak tanggungan.


(36)

Bab IV, berdasarkan uraian-uraian dalam bab II dan bab III diatas tentang jawaban dari rumusan masalah yang dijadikan obyek penulisan, selanjutnya di Bab IV merupakan Bab penutup yang terdiri dari dua sub bab yaitu sub bab pertama mengenai kesimpulan dan sub bab kedua membahas tentang saran.


(37)

EKONOMI SYARIAH

Ruang lingkup kewenangan peradilan agama berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 adalah meliputi bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah, ditambah dengan bidang zakat, infak dan bidang ekonomi syariah. Selanjutnya, dalam undang-undang tersebut telah pula dipertegaskan mengenai jangkauan kewenangan mengadili lingkungan peradilan agama terutama dalam bidang ekonomi syariah.1

Adapun mengenai kewenangan mengadili lingkungan peradilan agama dalam bidang ekonomi syariah dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 49 huruf i UU No. 3 Tahun 2006. Penjelasan pasal tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

Penegasan mengenai kewenangan mengadili peradilan agama terutama dalam bidang ekonomi syariah sangat penting, agar tidak terjadi persentuhan (titik singgung) kewenangan mengadili terutama antara lingkungan peradilan agama maupun lingkungan peradilan umum sama-sama mengadili perkara dalam bidang ekonomi, hanya saja pada objek personalitas yang berbeda. Lingkungan peradilan agama hanya berwenang mengadili perkara pada objek personalitas yang beragama islam, sedangkan lingkungan peradilan umum pada objek personalitas selain islam.

Yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi : bank syariah , lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah,


(38)

pembiayaan syariah, pengadian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah.

Dari penjelasan pasal tersebut dapat diketaui bahwa kewenangan mengadili lingkungan peradilan agama dalam bidang ekonomi syariah sudah meliputi keseluruhan bidang ekonomi syariah. Hal ini dapat dipahami dari maksud kata ekonomi syariah itu sendiri yang dalam penjelasan pasal tersebut diartikan sebagai perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip dalam bidang ekonomi syariah. Artinya, seluruh perbuatan atau kegiatan usaha apa saja dalam bidang ekonomi yang dilakukan menurut prinsip syariah semuanya termasuk dalam kewenangan mengadili lingkungan peradilan agama. Adapun jenis-jenis yang disebutkan dalam pasal tersebut, tidak menutup kemungkinan adanya kasus-kasus dalam bentuk lain di bidang ekonomi syariah.

2.1 Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Agama di Bidang Bank Syariah meliputi semua Perkara Perbankan Syariah di Bidang Perdata.

Pasal 49 huruf i UU No. 3 Tahun 2006 murni kewenangan absolute Peradilan Agama di bidang Bank Syariah. Dari ketentuan tersebut dapat dipahami berkaitan dengan kewenangan peradilan agama di bidang bank syariah, maka kewenangan untuk mengadili di bidang bank syariah adalah meliputi semua perkara perbankan syariah di bidang perdata. Selain itu menyatakan bahwa” penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya”, sehingga dapat dipahami bahwa perkara atau sengketa yang menjadi kewenangan absolute lingkungan peradilan agama adalah perkara atau sengketa di bidang hukum perdata saja.2


(39)

Asas personalitas keislaman yang merupakan salah satu asas sentral yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2006 merupakan pedoman khusus dalam menentukan kewenangan lingkungan peradilan agama. Asas personalitas keislaman merupakan asas pemeberlakuan hukum islam terhadap orang yang beragama islam. Terrmasuk dalam pengertian asas ini semua badan hukum islam yang ada dalam sistem hukum di Indonesia, termasuk bank syariah.

2.2 Sengketa Antara Bank Syariah dengan Pihak Non-Islam

Berkaitan dengan kewenangan Absolut lingkungan peradilan agama, salah satu asas penting yang baru diberlakukan dalam UU No. 3 Tahun 2006 adalah asas penundukan diri terhadap hukum islam. Asas ini didasarkan pada penjelasan Pasal 49 undang-undang tersebut menyatakan bahwa” Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama islam“ adalah termasuk orang-orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan ketentuan pasal ini”.3

2.3Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Arbitrase

Atas dasar ketentuan tersebut jelas dapat dipahami bahwa para pihak yang dapat berperkara di pengadilan agama tidak hanya terbatas mereka yang beragama islam saja, melainkan juga yang bukan beragama islam.

Kewenangan lingkungan peradilan agama di bidang syariah tidak menjangkau sengketa perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase. Seperti yang kita ketahui arbitrase merupakan suatu badan swasta, di luar Badan Peradilan Negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk menyelesaikan perkara atau sengketa yang


(40)

terjadi di antara anggota masyarakat atas dasar perjanjian atau kesepakatan yang telah mereka buat sebelumnya dalam suatu perjanjian arbitrase (klausula arbitrase).4

Kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank syariah dengan pihak mitra usaha atau nasabahnya, selalu didasarkan pada suatu perjanjian atau akad (agreement) tertulis yang mereka buat dan mereka sepakati sebelumnya. Perjanjian atau akad tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak,5

Untuk mengantisipasi jika terjadi suatu perselisihan atau sengketa (disputes) di antaranya kedua belah pihak mengenai perjanjian atau akad tersebut, lazimnya dalam setiap perjanjian yang dibuat selalu disertai dengan suatu klausula yang berupa persetujuan atau kesepakatan dari kedua belah pihak mengenai cara penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul dari perjanjian atau akad tersebut disepakati bahwa apabila terjadi perselisihan atau sengketa di antara mereka mengenai perjanjian tersebut akan diselesaikan dengan cara melalui suatu badan arbitrase.

dimana dalam melaksanakan kegiatan usaha atau transanksi yang telah disepakati itu, masing-masing pihak terikat dengan isi perjanjian yang telah dibuat.

6

4

Ibid. h. 105

5

Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1338, Pradnya Paramita, Jakarta. h. 342

Atas dasar klausula tersebut mereka sepakat untuk tidak membawa perselisihan atau sengketa yang terjadi dari perjanjian tersebut ke suatu badan peradilan negara. Klausula semacam inilah yang


(41)

dinamakan dengan klausula arbitrase (arbitration clause) atau sering disebut juga dengan perjanjian arbitrase.7

Secara yuridis pencantuman klausula arbitrase tersebut memang dibenarkan , hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 yang menytakan bahwa “ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan Negara melalui perdamaian atau arbitrase.” Ketentuan ini menjadi landasan hukum dibolehkannya para pihak mencantumkan klausula arbitrase dalam perjanjiannya, dengan syarat pencantuman klausula tersebut memang dilakukan atas dasar kesepakatan atau persetujuan bersama dari pihak itu sendiri bahwa apabila terjadi perselisihan mengenai perjanjian tersebut akan diselseaikan melalui arbitrase dalam suatu perjanjian jelas tidak dapat dilakukan secara sepihak atau tanpa kerelaan dan kesepakatan semua pihak terkait. Faktor kerelaan dan kesepakatan bersama dari semua pihak bersangkutan merupakan landasan utama keabsahan suatu klausula arbitrase. Memperjelaskan sebagai suatu perjanjian, untuk keabsahannya klausula arbitrase tetap berpedoman sepenuhnya kepada asas umum perjanjian yang diatur dalam pasal 1320- 1321 KUH Perdata.

8

Adapun konseptual yuridis dari adanya klausula arbitrase tersebut, apabila terjadi perselisihan atau sengketa mengenai perjanjian atau akad tersebut, maka penyelesaiannya harus dilakukan melalui forum arbitrase itu sendiri, sesuai dengan yang telah ditentukan oleh para pihak tersebut dalam akad. Dalam hal penyelesaian sengketa perbankan syariah, hal itu dipertegas dalam Pasal 55 Ayat (1) dan (2) UU No. 21 Tahun 2008 bahwa

7


(42)

apabila penyelesaian sengketa telah diperjanjikan dalam akad, maka jika terjadi sengketa penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan isi akad. Dalam akad antara bank syariah dengan nasabahnya badan arbitrase yang dipilih biasanya selalu Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), sedang klausula dalam perjanjian tersebut biasanya berbunyi “ segala sengketa yang timbul berkaitan dengan perjanjian ini akan diselesaikan melalui BASYARNAS. Dengan demikian, yang berwenang secara absolut menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam hal ini tidak lain adalah badan arbitrase tersebut. Para pihak bersangkutan tidak diperbolehkan lagi mengajukan perselisihan atau sengketa yang terjadi ke badan peradilan Negara. Sebab menurut hukum, dengan adanya klausula arbitrase dalam perjanjian tersebut, maka akan hilang hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa tersebut ke lembaga peradilan Negara. Sebaliknya, badan-badan peradilan Negara pun tidak berwenang untuk mengadili perkara-perkara yang timbul dari suatu perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase. Kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul dari perjanjian tersebut menjadi yuridiksi absolute arbitrase.9

Kewenangan absolute seluruh badan-badan peradilan Negara, termasuk lingkungan peradilan agama tidak dapat menjangkau sengketa attau perkara yang timbul dari perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase. Dengan demikian, terhadap perkara atau sengketa perbankan syariah yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase, lingkungan peradilan agama tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya karena kewenangan absolute lingkungan peradilan agama tidak menjangkau perkara atau sengketa perbankan syariah yang timbul dari perjanjian yang terdapat klausula arbitrase.


(43)

Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa apabila perkara-perkara perbankan syariah yang diajukan ke pengadilan agama ternyata merupakan sengketa perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase, maka pengadilan agama secara absolute tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Namun, tidak demikian halnya dengan putusan abritrase, khususnya dalam hal ini putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional di bidang perbankan syariah. Terhadap putusan abritrase syariah tersebut jika para pihak ternyata tidak mau melaksanakannya secara sukarela, maka sesuai dengan ketentuan undang-undang, peradilan agama yang berwenang untuk memerintahkan pelaksanaan putusan tersebut. Karena badan arbitrase itu sendiri tidak punya kewenangan untuk menjalankan atau mengeksekusi putusannya sendiri.10

Dengan demikian putusan arbitrase syariah akan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Agama berdasarkan permohonan salah satu pihak yang bersengketa, sesuai dengan ketentuan Pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999 dan juga Surat Edaran Mahkamah Agung (Selanjutnya disingkat SEMA No. 8 Tahun 2008) tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah. Oleh karena itu, putusan arbitrase syariah merupakan salah satu cara dalam hal menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah Dengan demikian putusan arbitrase syariah tersebut akan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Agama atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, sesuai dengan ketentuan pasal 61 UU NO. 30 Tahun 1999, yang berbunyi :

“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”. Khusu untuk putusan arbitrase syariah kata “Ketua Pengadilan Negeri” dalam pasal tersebut harus dibaca “ Ketua Pengadilan Agama .”


(44)

khususnya di bidang perbankan syariah yang menjadi kewenangan absolute lingkungan peradilan agama, termasuk dalam melaksanakan putusan arbitrase yang tidak dilaksanakan oleh para pihak, sesuai dengan ketentuan Pasal 57 UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diterapkan UU No. 3 Tahun 2006,pengadilan agama harus menetapkan ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 tersebut, di samping ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 195-208 dan Pasal 224 HIR atau Pasal 206-240 dan Pasal 258 Rbg yang merupakan dasar dalam melaksanakan eksekusi terhadap putusan tersebut. 2.4Asuransi Syariah (Takaful)

Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu.

2.4.1 Fatwa Dewan Syariah Majelis Ulama (DSN-MUI) tentang Asuransi Syariah Untuk pengembangan produk hukum Asuransi Syariah (takaful), keberadaan fatwa DSN-MUI mempunyai fungsi yang sangat fundamental. Sehingga, fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan DSN-MUI yang berkaitan dengan upaya pengembangan Asuransi Syariah intinya adalah sebagai berikut :

1)Fatwa No. 21/ DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah Pertama : Ketentuan Umum


(45)

a) Asuransi Syariah (ta’min, takaful atau yaddhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

b) Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada poin (a) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba (bunga),

zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang dan maksiat.

c) Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.

d)Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.

e) Premi adalah kewajiban peserta unuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

f) Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi dengan kesepakatan dalam akad.

Kedua : Akad dalam Asuransi

a) Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad

tijarah dan akad tabarru’.

b) Akad tijarah yang dimaksud dalam huruf (a) adalah mudharabah, sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.


(46)

akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Ketiga : Kedudukan para pihak akad Tijarah dan Tabarru’

a) Dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak sebagai Mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis). b)Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang digunakan

untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.

Keempat : Ketentuan akad Tijarah dan Tabarru’

a) Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.

b)Jenis akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah Kelima : Jenis Asuransi dan Akadnya

a) Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri dari atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.

b)Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan

hibah.

Keenam : Premi

a) Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan akad tabarru’. b)Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat


(47)

c) Premi berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.

d)Premi yang berasal dari jenis akad tabarru’ dapat diinvestasikan. Ketujuh : Klaim

a) Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian. b) Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan. c) Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakann

kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.

d) Klaim atas akad tabarru’ merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.

Kedelapan : Investasi

a) Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.

b) Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah. Kesembilan : Re-asuransi

Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah.

Kesepuluh : Pengelolahan

a) Pengelolahan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfiungsi sebagai pemegang amanah.


(48)

b)Perusahaan asuransi syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolahan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).

c) Perusahaan asuransi syariah memperoleh ujrah (feel) dari pengelolahan dana akad tabarru’ (hibah).

Kesebelas : Ketentuan tambahan

a) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

b) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

2.4.2 Pengaturan Asuransi

Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalisasinya pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 Perasuransian yang sebenarnya kurang mengakomodasi asuransi syariah. Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi dan re-asuransi syariah masih menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) melalui fatwa.

Dalam tata hukum nasional, fatwa belum mempunyai kekuatan hukum yang bersifat mengikat. Karenanya agar bersifat mengikat, fatwa DSN MUI ke depan perlu diadopsi ke dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku


(49)

syariah sementara ini baru diwujudkan dalam bentuk dengan asuransi syariah sementara ini baru diwujudkan dalam bentuk beberapa Keputusan Menteri Keuangan, yaitu sebagai berikut :11

1) Keputusan menteri keuangan Republik Indonesia No.426/KMK.06/2003 tentang perizinan Usaha dan kelembagaan perusahaan Asuransi dan perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasr untuk mendirikan asuransi sayriah sebagaimana ketentuan (Pasal 3- 4) terkait dengan perizinan syariah, (Pasal 32) mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan reasuransi dengan prinsip syariah.

2) Keputusan Menteri keuangan Republik Indonesia No.424/KMK.06/2003 tentang kesehatan keuangaan perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam (pasal 15- 18) mengenai kekayaan yang diperkenakan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusaahn asuransi dan reasurasi dengan prinsip syariah. 3) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 422/ KMK 06/2003

tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah di antaranya tercantum dalam (Pasal 3) tentang pengesahan oleh Dewan pengawas syariah bagi perusahaan asuransi atau kantor cabang perusahaan asuransi yang

11


(50)

diselenggarakan dengan prinsip-prinsip syariah (Pasal 30 ayat 3) mengenai laporan operasional yang disertai pernyataan Dewan Pengawas Syariah.

4) Keputusan Direktur Jenderal lembaga keuangan No.Kep.4499/LK/2000 tentang jenis, penilaian dan pembatas perusahaan Asuransi dan perusahaan Reasuransi dengan prinsip syariah.

2.5Pasar Modal Syariah

Pasar modal merupakan salah satu tonggak penting dalam perekonomian dunia saat ini. Banyak perusahaan yang menggunakan institusi pasar modal sebagai media untuk menyerap investasi dalam memperkuat kondisi keuangannya. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Pasal 1 angka 13, yang berbunyi sebagai berikut : pengertian pasar modal ialah “kegiatan yang berkaitan dengan penawaran umum dan perdagangan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.

Kegiatan di pasar modal syariah berkaitan dengan perdagangan surat berharga (efek syariah) yang telah ditawarkan kepada masyarakat dalam bentuk penyertaan kepemilikan saham atau penerbitan obligasi syariah. Menurut fatwa no. 40/DSN-MUI/X/2003, yang dimaksud efek syariah adalah efek sebagaimana di maksud dalam peraturan perundang-undangan dibidang pasar modal yang akad, pengelolahan perusahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi prinsip-prinsip syariah.12

1) Dasar Hukum

Lembaga yang memiliki kewenangan memfatwakan hukum-hukum syariah terkait dengan lembaga ekonomi dan keuangan adalah para ulama yang terkoordinasi


(51)

di bawah Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Dalam kepengurusan DSN-MUI , terdapat Badan Pelaksana Harian (BPH) yang keanggotaanya terdiri dari para pakar yang bukan hanya ahli di bidang masing-masing, tetapi juga memiliki komitmen dan pemahaman tentang hukum syariah. Adapun fatwa DSN-MUI yang terkait dengan pengembangan pasar modal syariah adalah sebagai berikut :

a) Nomor 05/DSN-MUI/IV/2000 Tentang jual beli saham.

b) Nomor 20/DSN-MUI/XI/2000 Tentang pedoman pelaksanaan investasi untuk reksa dana.

c) Nomor 32/DSN-MUI/IX/2002 Tentang obligasi syariah

d) Nomor 33/DSN-MUI/IX/2002 Tentang pedoman umum penerapan.

e) Nomor 40/DSN-MUI/IX/2003 Tentang pedoman umum penerapan prinsip syariah di pasar modal.

f) Nomor 41/DSN-MUI/III/2004 Tentang obligasi syariah ijarah.

g) Nomor 59/DSN-MUI/VI/2007 Tentang obligasi mudharabah konversi. 2) Instrumen Pasar Modal Syariah

Instrumen pasar modal pada prinsipnya adalah semua surat-surat berharga (efek) yang umum diperjual belikan melalui pasar modal, seperti saham syariah, obligasi syariah. Pasar modal sebagai salah satu kegiatan ekonomi modern dapat termasuk dapat dikonversikan ke dalam lembaga keuangan syariah yang merupakan bagian dari system ekonomi islam. Untuk dapat menjadi bagian dari lembaga keuangan syariah, pasar modal perlu dilakukan pembenahan baik dari segi cara


(52)

bersangkutan. Salah satu upaya pembenahan dari segi akad yang dijalankan di antaranya terkait dengan instrument yang digunakan pasar modal itu sendiri.

2.6Reksadana Syariah

Menurut fatwa No. 20/DSN-MUI/VI/2001, yang dimaksud dnegan Reksadana Syariah adalah reksadana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip-prinsip syariah islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (shabib al mal/rabb

al-mal) dengan manajer investasi, maupun antara manajer investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi.

Reksadana syariah merupakan salah satu lembaga keuangan yang dapat dijadikan alternatif berinvestasi bagi masyarakat yang menginginkan penambahan (return) dari sumber usaha yang bersih dan dapat dipertanggung jawabkan secara syariah. Tujuan utama reksadana syariah bukan semata-mata hanya mencari keuntungan, tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial terhadap lingkungan, komitmen pada nilai-nilai religiusitas, meskipun tanpa harus mengabaikan kepentingan para investor.13

2.7Pengadaian Syariah

Pengadaian syariah sebagai lembaga keuangan alternative bagi masyarakat guna menetapkan pilihan dalam pembiayaan di sektor rill. Biasanya kalangan yang berhubungan dengan pengadaian adalah masyarakat menengah kebawah yang membutuhkan pembiayaan jangka pendek dengan margin yang rendah. Karena itulah pengadaian syariah harus lebih akomodatif dalam menyelesaikan persoalan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat.


(53)

Di Indonesia lembaga yang mempunyai kewenangan untuk memberikan fatwa adalah Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Terkait dengan gadai, fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan adalah :

a) Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn.

b) Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.

c) Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.

d) Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah.

e) Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No.43/DSN-MUI/VII/2004 tentang ganti rugi.

2)Rukum dan Syarat Gadai

Dengan terpenuhinya rukun dan syarat-syaratnya, perjanjian gadai dapat dijalankan secara sah oleh para pihak yang berkepentingan. Pada prinsipnya, gadai merupakan akad yang bersifat tabi’iyah karena pelaksanaan perjanjiannya tergantung dari berlakunya akad lain yang dijalankan secara tunai. Untuk mencapai keabsahan, rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam perjanjian gadai adalah :14

a) Aqidain terdiri dari pihak yang menggadaikan (rahin) dan penerima gadai (murtahin). Agar keabsahan gadai dapat tercapai, maka masing-masing pihak


(54)

harus memenuhi syarat sebagai subjek hukum. Dalam dunia bisnis, pihak yang menerima gadai biasanya berupa perusahaan pengadaian

b) Objek rahn ialah barang yang digadaikan (marhun). Keberadaan marhun berfungsi sebagai jaminan mendapatkan pinjaman atau utang (marhun bih). Para fuqaha berpendapat, bahwa setiap harta benda (al-mal) yang sah diperjual belikan, berarti sah pula untuk dijadikan sebagai jaminan utang (marhun).

c) Adanya kesepakatan ijab qabul (sighat akad). Lafadz ijab qabul dapat saja dilakukan baik secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai mulai berlaku sempurna ketika barang yang digadaikan (marhun) secara hukum telah berada ditangan pihak berpiutang

(murtahin). Apabila barang gadai telah dikuasai (al-qabdh) oleh pihak

berpiuntang, begitu pula sebaliknya, maka perjanjian gadai bersifat mengikat kedua belah pihak. Pernyataan ijab qobul yang terdapat dalam gadai tidak boleh digantungkan dengan hakikat rahn.

2.8Dana Pensiun

Dana Pensiun adalah sekumpulan aset yang dikelolah dan dijalankan oleh suatu lembaga untuk menghasilkan manfaat pensiun, yaitu suatu pembayaran berkala yang dibayarkan kepada peserta dengan cara ditetapkan dalam ketentuan yang menjadi dasar penyelenggaraan program pensiun. Pembayaran manfaat tersebut dikaitkan dengan pencapaian usia tertentu. Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, Pasal 1 angka 1 yang berbunyi “Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun”.


(55)

Lembaga keuangan syariah hingga saat ini terus mengalami pertumbuhan yang pesat. Tentunya pertumbuhan lembaga keuangan syariah tersebut, secara lambat pasti juga akan mendorong perkembangan dana pensiun syariah. Sampai sekarang, meskipun ada perusahaan yang telah mengelola dan pensiun syariah, seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI), namun perkembanganya sangat lambat. Lambannya pertumbuhan dana pensiun syariah disebabkan beberapa faktor di antaranya ; keterbatassan regulasi, keterbatasan instrument investasi, belum jelasnya model tata kelola dan pensiun syariah serta kurangnya sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya dana pensiun syariah. Harus diakui bahwa perkembangan dana pensiun syariah relatif tertinggal bila dibandingkan dengan industri keuangan syariah yang lainnya. Kenyataan ini terjadi di antaranya disebabkan minimnya orentasi dukungan strategi dan regulasi. Hal ini dapat terlihat dalam beberapa hal :

a) Dalam konteks strategi pengembangan industri pengembangan industri. Ketika perbankan, asuransi dan pasar modal syariah sudah memilki dan masuk dalam

road map strategi pengembangan masing-masing industry, dan pensiun syariah

belum disentuh sedikitpun dalam kebijakan dan Strategi Pengembangan Industri Dana Pensiun Tahun 2007.

b) Dalam konteks regulasi. Jika perbankan, asuransi, obligasi dan reksadana syariah sudah banyak memiliki peraturan dan juga dukungan fatwa DSN-MUI, maka dana pensiunsyariah belum ada satupun peraturan dan fatwa yang mendukung. Sehingga regulasi sebagai kerangka operasional dan pensiun yang umum dan fatwa MUI yang juga umum, tidak bersifat khusus.


(56)

c) Ketentuan langsung dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Selama ini Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) syariah mengeluhkan tentang produk investassi terkait (Mudharabah

mukayyadah/restricted investement) yang berpotensi besar, tidak dapat dimasuki

oleh DPLK Syariah.15

15


(57)

(58)

BAB III

PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 DALAM PELAKSANAAN PERMOHONAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

Landasan utama beroperasinya bank syariah di Indonesia, selain Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, juga Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Kemudian sekarang telah diperkuat dengan lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Namun untuk mengetahui kedudukan bank syariah dalam sistem perbankan nasional terlebih dahulu harus memahami pengertian dari sistem perbankan itu sendiri, menurut UU Perbankan salah satu aspek yang perlu dipahami dalam sistem perbankan di Indonesia diakui adanya bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah disamping perbankan perbankan konvensional, saat ini eksistensi bank syariah di Indonesia sudah sedemikian kukuh dengan adanya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.1

Mengenai diakuinya keberadaan bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah dalam sistem perbankan nasional, antara lain dapat dipahami dari ketentuan Pasal 1 Ayat (3) dan (4) UU No. 10 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa :

Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.


(59)

Dari ketentuan pasal tersebutdapat dipahami bahwa suatu bank, yakni Bank Umum maupun Bank perkreditan Rakyat, dalam melaksanakan kegiatan usahanya selain dapat dilakukan secara konvensional, juga dapat dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Hanya saja perbedaannya, bagi Bank Umum dalam melaksanakan kegaiatan usahanya diperbolehkan memilih, yakni bisa melakukan kegiatan usaha secara konvensional maupun berdasarkan prinisp syariah saja, atau bisa dilakukan dengan menerapkan kedua-duanya secara bersamaan. Sedangkan bagi Bank Perkreditan Rakyat hanya diperbolehkan memilih salah satu dari kedua jenis kegiatan usaha perbankan yakni antara kegiatan usaha perbankan konvensional atau yang berdasarkan prinsip syariah saja, sehingga tidak bisa dilakukan secara bersamaan.

3.1Prinsip-prinsip Operasional Bank Syariah

Prinsip-prinsip yang menjadi dasar dalam menjalankan kegiatan usahanya bagi Bank Syariah, baik dalam hal menghimpun maupun menyalurkan dana dari ataupun kepada masyarakat, tidak lain adalah prinsip-prinsip yang sesuai dengan ketentuan Syariah Islam. Dalam hal ini prinsip-prinsip yang diterapkan tidak mengandung unsur-unsur seperti maksir (perjudian), gharar (spekulasi) dan riba (bunga). Prinsip tersebut menurut UU Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia, terdiri dari:

1) Wadi’ah (Akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang).

2) Mudharabah (Akad kerja sama antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau


(60)

bertindak sebagai pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad).

3) Musyarakah (akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu uasaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan).

4) Murabahah (Akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya

kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati) .

5) Salam (Akad pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga

yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati).2

6) Istishna’ (Akad pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang

tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni) dan penjual atau pembuat (shani)).

7) Qardh (Akad pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib

mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati).

8) Ijarah (Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transanksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri).

9) Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik (Akad penyediaan dalam rangka memindahkan hak

guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transanksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang).


(61)

10) Hawalah (Akad pengalihan hutang dari pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggung atau membayar).

11) Kafalah (Akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak kepada pihak lain,

dimana pemberi jaminan (kafil) bertanggung jawab atas pembayaran kembali hutang yang menjadi hak penerima jaminan (makful)).

12) Wakalah (Akad pemberian kuasa kepada penerima kuasa untuk melaksanakan suatu

tugas atas nama pemberi kuasa).

13) Rahn (Semacam jaminan utang atau gadai, dimana dalam akad ini nasabah (rahin)

akan menyerahkan barang atau harta (marhun) kepada pihak bank (murtahin) sebagai jaminan atas sebagian atau seluruh utang yang dipinjamnya).

3.2Kegiatan Usaha Bank Umum Syariah

Adapun kegiatan usaha Bank Umum Syariah (BUS) menurut ketentuan UU Perbankan Syariah adalah sebagai berikut :3

1)Menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa giro, tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

2)Menghimpun dana dalam bentuk investasi berupa deposito, tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad Mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

3)Menyalurkan pembiayaan bagi hasil beradasarkan Akad Mudharabah, Akad


(62)

4)Menyalurkan pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’

atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

5)Menyalurkan pembiayaan berdasarkan Akad qard atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

6)Menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan Akad ijarah dan sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiyah bil-tamlik atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

7)Melakukan pengambilalihan utang berdassarkan akad hawalah atau Akad lain yang tak bertentangan dengan prinsip syariah;

8)Melakukan usaha kartu kredit dan kartu pembiayaan berdasarkan prinsip syariah; 9)Membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri surat berharaga pihak ketiga yang

diterbitkan atas dasar transanksi nyata berdasarkan prinsip syariah, antara lain seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;

10)Membeli surat berharta berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkann oleh pemerintah dan Bank Indonesia;

11)Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharta dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip syariah;

12)Melakukan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah;4

13)Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan prinsip syariah;


(63)

14)Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;

15)Melakukan fungsi sebagai wali amanat berdasarkan Akad wakalah;

16)Memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; 17)Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan dibidang

sosial sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3.3Kegiatan–Kegiatan Yang Dilarang Bagi Bank Syariah

Menurut ketentuan Pasal 24 dan 25 UU Perbankan Syariah larangan bagi bank umum syariah, antara lain dilarang:5

1) Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;

2) Melakukan kegiatan jula beli saham secara langsung di pasar modal;

3) Melakukan penyertaan modal, kecuali sebagai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Ayat (1) huruf b dan huruf c; dan

4) Melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.

3.4Bank Syariah Tidak Menerapkan Sistem Bunga

Sebagaimana dipahami dari ketentuan Pasal 1 Ayat (3) dan (4) UU Perbankan, bahwa bank syariah merupakan bank yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Sehingga dapat dipahami bahwa meskipun antara bank syariah dengan


(64)

bank konvensional sama-sama merupakan lembaga perantara keuangan (intermediary financial institution) yang berorientsai pada keuntungan (profit oriented). Namun, dalam upaya untuk mencari keuntungan tersebut,bank syariah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan syariah islam.

Salah satu ketentuan syariah islam yang sangat prinsip dan erat kaitannya dengan dunia perbankan adalah mengenai larangan terhadap praktek riba dalam segala bentuk transanksi, seperti pembayaran dan penarikan bunga sebagaimana terjadi dalam sistem perbankan konvensional yang secara terang-terangan dilarang oleh Al-Qur’an. Oleh karena itu, bank syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya atau dalam mencari keuntungannya tidak menerapkan sistem bunga untuk mencari keuntugan, melainkan dengan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing principle), atau jual beli atau sewa menyewa. Sedangkan bunga (interest) dianggap identik dengan riba yang dilarang dalam Islam.6

3.5Pembiayaan dalam Perbankan Syariah dengan menggunakan Prinsip Jual Beli

Untuk menjalankan fungsi pembiayaan disini nasabah atau debitur menggunakan akad jual beli murabahah, dimana definisi dari pembiayaan murabahah

adalah penyediaan dana atas tagihan oleh bank syariah untuk transanksi jual beli barang sebesar harga pokok ditambah dengan margin atau keuntungan berdasarkan kesepakatan dengan nasabah yang harus membayar sesuai dengan akad, yang diawali dengan adanya pengajuan permohonan pembiayaan barang atau komoditas oleh nasabah selaku pembeli kepada pihak Bank Bukopin syariah selaku penjual, dengan spesifikasi tertentu.


(1)

surat pernyataan bersama ini mempunyai kekuatan eksekutorial sebagai landasan hukum untuk melakukan penyitaan barang agunan dan pelelangan. Apakah hal ini dapat menyebabkan proses kepemilikan tanah Serfikat Hak Milik No. 117 dan No. 118 yang di beli melalui pelelangan tersebut menjadi cacat hukum.11

Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk Obyek Hak Tanggungan. Kreditur berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan ini lebih besar dari pada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi Hak Tanggungan. Disamping itu penjualan Obyek Hak Tanggungan dalam hal penjualannya melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, maka kemungkinan bisa melakukan eksekusi melalui penjualan dibawah tangan, asalkan hal tersebut disepakati oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, dengan persyaratan untuk melindungi pihak-pihak yang Pasal 12 Undang-Undang Hak Tanggungan (selanjutnya disingkat UUHT) yang berbunyi “Janji yang memberi kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila cidera janji, akan batal demi hukum”. Penjelasan dari pasal ini menyatakan bahwa ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi kepentingan kreditur dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai obyek Hak tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin. Pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk serta merta menjadi pemillik obyek Hak Tanggungan karena debitur cidera janji. Walaupun demikian tidak dilarang bagi pemegang Hak Tanggungan untuk menjadi pembeli Obyek Hak Tanggungan asalkan melalui prosedur yang diatur.

11


(2)

berkepentingan misalnya pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga, dan kreditur lain dari pemberi Hak Tanggungan, dan hanya dapat dilaukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikti-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan media massa setempat serta tidak ada pihak yang menyatakan surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan media massa setempat serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan hal ini dilakukan untuk mempercepat penjualan Obyek Hak Tanggungan dengan harga penjualan tertinggi.


(3)

50

4.1Kesimpulan

1) Ruang lingkup kewenangan peradilan agama dalam bidang ekonomi syariah, meliputi: bank syariah , lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pengadian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah. Dalam hal ini seluruh sengketa perdata yang terjadi antara bank syariah dengan pihak manapun, termasuk yang terjadi antara bank syariah dengan pihak non-Islam, adalah kewenangan lingkungan peradilan agama untuk mengadilinya, kecuali terhadap sengketa perbankan syariah yang timbul dari perjanjian yang mengandung klausul arbitrase. Dalam hal ini pengadilan agama tidak berwenang mengadilinya, namun penyelesaian sengketa perbankan juga bisa diselesaikan melaui arbitrase.

2) Penyelesaian perkara perbankan syariah di peradilan agama harus mengikuti prinsip-prinsip yang sesuai dengan UU Perbankan Syariah dalam melaksanakan kegiatan usaha bank umum syariah dan juga tidak menjalankan kegiatan usaha yang dilarang bagi bank syariah tersebut. Untuk menjalankan fungsi pembiayaan perbankan syariah menggunakan perjanjian hutang piutang, dalam hal ini bank syariah tidak menerapkan sistem bunga sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sehingga penerapan UU No. 21 Tahun 2008 dalam permohonan eksekusi hak tanggungan bisa terjadi karena perjanjian hutang piutang diganti dengan perjanjian akta Jual Beli


(4)

sehingga menerapkan sistem bunga, karena pembiayaan dalam perjanjian hutang piutang berbeda dengan pembiayaan akta jual beli.

4.2Saran

1)Dengan semakin luasnya ruang lingkup kewenangan peradilan agama, khususnya dalam bidang ekonomi syariah, diharapkan dalam proses penyelesaian bisa lebih cepat dan murah, sehingga mempermudah para tergugat maupun penggugat dalam menyelesaikan perkara di bidang tersebut.

2)Agar pemegang Hak Tanggungan dapat memiliki obyek hak tanggungannya dalam hal ini salah satu pihak cidera janji dapat mendaftarkan permohonan eksekusi hak tanggungan di pengadilan agama, karena dapat ditempuh dengan dua cara yaitu melalui proses perdamaian apabila perdamaian tidak berhasil, dapat diselesaikan melalui proses persidangan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA Buku :

Adolf, Huala. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika. Jakarta, 2004.

Ahmad, Kanil. Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah. Kencana. Jakarta, 2007.

Boedi, Harsono. Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2004.

Burharuddin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, Graha Ilmu. Yogyakarta, 2010. Chariruman, Pasaribu. Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika. Jakarta, 2004. Cik, Basir. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, Kencana. Jakarta, 2009.

Ismet, Baswedan. Hukum Acara Perdata Peradilan Umum, Unair Press. Surabaya, 2004.

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah, Sinar Grafika,

Jakarta, 2009.

R.Soesilo, RIB/HIR, Politeia. Bogor, 1995.

Sentosa, Sembiring, Hukum Perbankan, Mandar Maju. Bandung, 2000.

Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika. Jakarta, 2004.

Sulistyono, HandoutMengenai Azas Peradilan Agama, mata kuliah Hukum Pearadilan Agama.

Surabaya, 2009.

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Rajawali Pres. Jakarta, 2007.

Team Media, Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 tahun 1989 dan Kompilsasi Hukum Isalam Di Indonesia, Media Centre

Zainuddin, Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika. Jakarta, 2009. Zainudin, Ali. Hukum Perdata Islam, Sinar Grafika. Jakarta, 2006.

Peraturan perundang-undangan :


(6)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Abritrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.