Pendekatan Semiotika Dalam Film

2.1.7. Pendekatan Semiotika Dalam Film

Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural and Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektifdalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif yang pertama melihat komunikasi sebagai transisi pesan. Sedangkan perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Bagi perspektif yang kedua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika. Ilmu tentang tanda dan makna, Fiske, 2006:9 Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya untuk dapatmenghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam budaya kita. Perspektif ini sering kali menimbulkan kegagalan berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan. Untuk itulah pendekatan yang berasal dariperspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan semiotik. Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda – tanda Chandler, 2002:www.aber.ac.uk studi ini tidak hanya mengarah pada ’tanda’ dlam kehidupan sehari – hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda – tanda tersebut. Bentuk – bentuk tanda disini antara lain berupa kata – kata, images, suara, gesture, dan objek. Bila kita mempelajari tanda tidak biasa memisahkan tanda yang satu dengan tanda yang lain membentuk suatu sistem, dan kemudian disebut sistem tanda. Lebih sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. John Fiske dan John Hartlye, konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda – tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode – kode. Chandler, 2002: www.aber.ac.uk Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analiisis struktural atau semiotika. Seperti dikemukakan Van Zoest, 1993:109 dalam Sobur, 2004 : 128. Film dengan tanda semata – mata tanda – tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Karena itu, menurut Van Zoest, bersamaan dengan tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tnada yang menggambarkan sesuatu Van Zoest, 1993:109 dalam Sobur 2004:128. Memang ciri dari gambar – gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar – gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikan. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda – tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang digunakn. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara, kata yang diucapkan ditambah dengan suara – suara lain yang serentak mengiringi gambar – gambar dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting dalam film adalah digunakannya tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu. Sobur, 2004:128 Menurut Fiske dala bukunya berjudul Television Cultural, analisis semiotik pada sinema atau film layar lebar wide screen disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televisi. Fiske mengkategorikan sign pada kode representasi Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. representational codes. Kode – kode tersebut bekerja dalam sebuah struktur hirarki yang kompleks. Fiske, 1990:40 dalam Mawardhani, 2006:39. Analisis yang dilakukan pada film Pasir Berbisik ini dapat terbagi menjadi beberapa level, yaitu : 1. Level Realitas Reality Pada level ini, realitas dapat berupa penampilan, pakaian dan make-up yang digunakan oleh pemain, lingkungan, perilaku, ucapan, gesture, ekspresi, suara dan sebagainya yang dipahami sebagai kode-kode teknis http:www.questia.com . Kode – kode sosial yang merupakan realitas yang akan diteliti dalam penelitian ini, dapat berupa : a. Penampilan, kostum dan meke-up yang digunakan oleh pemain di film ”Pasir Berbisik”. Dalam penelitian ini pemeran yang menjadi objek penelitian adalah Berlian, Daya, serta para kaum perempuan yang ada dalam Film tersebut. Bagaimana pakaian dan tata rias yang digunakan, serta apakah kostum dan make-up yang ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan kultural. b. Lingkungan atau setting, yang ditampilkan dari cerita tokoh Berlian, Daya, serta para kaum perempuan yang ada dalam Film tersebut, bagaimana simbol- simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan makna didalamnya. c. Dialog, berupa apa makna dari kalimat – kalimat yang diucapkan dalam dialog. 2. Level Representasi represetation Level representasi meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, dan suara yang ditransmisikan sebagai kode – kode representasi yang bersifat Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. konvensional. Bentuk – bentuk representasi dapat berupa cerita, karakter, action, dialog, setting, casting, dan sebagainya. http:www.questia.com Level representasi meliputi : a. Teknik Kamera : Jarak dan sudut pengambilan. 1. Long shot : Pengambilan yang menunjukkna semua bagian dari objek, menekankan pada background. Shot ini biasanya dipakai dalam tema – tema sosial yang memperlihatkan banyak orang dalam shot yang lebih lama dan lingkungannya dari pada individu sebagai fokusnya. 2. Medium shot : Menunjukkan subjek atau aktornya dan lingkungannya dalam ruang yang sama. Biasanya digunakan untuk memperlihatkan kehadiran dua atau tiga aktor secara dekat. 3. Close up : menunjukkan sedikit dari scene, seperti karakter wajah dalam detail sehingga memenuhi layar, dan mengaburkan objek dengan konteksnya. Pengambilan ini memfokuskan pada perasaan dan reaksi dari seseorang, dan kadangkala digunakan dalam percakapan untuk menunjukkan emosi seseorang. c. Pencahayaan : Macamnya soft and hard lighting, dan backlighting. Cahaya menjadi unsur media visual, karena cahayalah informasi bisa dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsur teknis yang membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga, pada mulanya disebut sebagai “painting withlight”, melukis dengan cahaya. Namur dalam perkembangannya bertutur dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semaking banyak. Yakni mampu menjadi informasiwaktu, Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang dramatik adegan. Biran, 2006:43 3. Level Ideologi Ideology Level ideology di organisasikan kedalam kesatuan coherens dan penerimaan sosial social acceptability seperti individualisme, kelas patriarki, gender, ras, materialisme, capitalisme, dsb. Hal ini didasrkan pada pernyataan yang diungkapkan oleh Gianetti, 1996:392 : “the term ideology is generally associated with politics and party platforms, but it also mean a given set of values that are implicit in any human enterprise – including film making. Virtually every movie presents us with role models, ideal ways of behaving negative traits, and an implied morality based on the film makers sense of right and wrong”.

2.2 Kerangka Berpikir