Perempuan dalam Film Landasan Teori

dibangun sebelumnya. Tampilan substansi media itu bukan sesuatu yang baru, mungkin yang baru hanya pada tingkatan performance-nya, bukan isinya. Adakah media yang menampilkan laki – laki yang mengasuh dan mengajari anak yang memasak atau mencuci pakaian, dan yang sedang membersihkan rumah? Sangat jarang sekali untuk tidak menyebutkan tidak ada. Dengan demikian, media tampak lebih merepresentasikan citra yang sudah dibuat masyarakat, yang mengisahkan identitas mental feminism dan maskulin dan pembagian kerja seksual ranah domestic dan rana public antara laki – laki dan perempuan. Itu berarti ikut memperkuat pembakuan stereotype yang sudah dikonstruksi masyarakat. Suatu analisis mengenai peran media menyebutkan, media cenderung lebih banyak memperkuta perilaku dari pada mengubahnya. Bahkan aktivitas suatu media bisa saja tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan pada orang yang menjadi sasarannya. Perubahan yang kecil sekalipun dapat terjadi tanpa aktivitas komunitas.

2.1.5. Perempuan dalam Film

Film merupakan bagian dari media massa yang menstranformasikan kehidupan masyarakat kita didalamnya. Harus kita akui hubungan antara film dan kehidupan masyarakat memiliki sejarah yang panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Dijelaskan pula oleh Dennis Mc. Quail; sebagai media massa, film mempunyai fungsi penyebar hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknik lainnya kepada masyarakat umum Dennis, 1994 : 13 – 14 . Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Dewasa ini sangat gencar dibicarakan tentang sosok perempuan mengenai keberadaannya dalam film Indonesia. Film sebagai tempat yang memungkinkan untuk mempertanyakan dominasi nilai – nilai yang diacu oleh ideology dominan dalam masyarakat, termasuk nilai – nilai patriarkhi. Film – film Indonesia dinilai terpaku pada satu wajah yang sama Krishna Sen, Prisma 7 Juli 1981 : 31 . Perempuan dalam pandangan kebudayaan Indonesia menurut Krisna Sen adalah perempuan yang kawin yang bernaung di bawah laki – laki. Citra perempuan sebagai kaum yang lemah dan sebagi korban dalam kehidupan adalah suatu citar yang ditempa sejak ratusan tahun silam. Budaya film Indonesia pun melestarikan citra tersebut. Subandy, 1998 : 107 Film yang dipopulerkan tahun 70-an sudah menunjukkan bahwa keberadaan perempuan selalu berada pada posisi yang dirugikan, misalnya dalam film ”Suci Seorang Primadona” karya Arifin C Noer. Dalam film ini, suci menjadi bintang penghibur dan penyayi yang mengadu nasib, menjadi objek ynag dikhianati oleh pria dan mengarah pada suatu pelacuran. Subandy, 1998 : 270 Dalam film Indonesia terlihat sangat miskin perpektif tentang keberadaan perempuan. Apabila kita lihat, kecenderungan penggambaran perempuan dalam film – film produksi beberapa tahun belakang ini, gambaran yang muncul masih selalu seputar perempaun yang beraitamnn dengan lingkungan domestiknya saja yang akhirnya membawa mereka pada suatu kondisi yang merugikan karena intinya mereka ingin berontak dan beanjak dari posisi yang membosankan bagi mereka. Perempuans sering tampak menangis bila menghadapi maasalah, terlalu banyak Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. bicara dan kuarang panjang akal, hal ini menjadi ciri yang utama bagi perempuan. Subandy, 1998 : 295 Tetapi Pasir Berbisik mengawali sebuah babak baru dalam film Indonesia yaitu lahirnya fim Perempuan. Dalam kajian – kajian gender dan budaya, film perempuan women’s cinema mendapat sebuah tempat sendirri. Pembuatan film perempuan lahir sejak adanya industri film Barat. Pada tahun 1920-an dan 1930-an lahir film perempaun melalui tanagn Dorothy Arzner dan Ida Lupino, misalnya. Keinginan membuat film perempaun itu berangkat dari kenyatan bahwa film menjadi sebuah industri yang dikuasai laki – laki. Perempaun, kalaupun ia tampil menjadi tokoh utama film itu, menyampaikan dan menstranformasikan ideology yang seksis dan membuatnnya tidak tampak, dan karenanya tampak alamiah. Claire Johnstan dalam woman’s cinema as counter cinema 1999 menelusuri akar stereotype perempuan didalam film melalui sejarah film itu sendiri di Hollywood. Pertanyaan besarnya adalah mengapa stereotype primitive perempuan tidak banyak berubah meskipun ada modifikasi, sementara laki – laki mengalami diferensiasi sangat cepat. Banyak kajian tentang penstereotipan perempuan di dalam film mengambil pandangan monolitik tentang media sebagai titik awalnya yaitu media bersifat represif dan manipulatif. Johnston meyebutkan stereotype didalam film ini berawal dari mulainya cerita film. Pada massa awal penonton mengalami kesulitan mengartikan apa yang muncul di layar. Pengikonan yang pasti dan tetap lalu diperkenalkan untuk memberikan kepada penonton fakta – fakta dasar untuk memahami cerita. Pengikonan sebagai sebuah tanda khas berdasrkan konvensi tertentu di dalam genre – genre fim Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Hollywood menurut Johston ikut bertanggungjawab terhadap terjadinya penstereotipan di dalam film komersial. Ketika dalam kenyataannya penstereotipan perempuan dalam film tidak banyak beranjak dari film cerita pertama – tama diperkenalkan taplak bermotif kotak – kotak menggambarkan keadaan miskin tetapi jujur, perkawinan yang berbahagia tetapi terancam oleh peristiwa di masa lau digambarkan dengan istri menuangkan kopi untuk suaminya, ciuman pertama disimbolkan oleh perempuan memainkan dasi kekasihnya berhubungan dengan ideology yang seksis di Hollywood. Menurut Johston mitos – mitos yang mengusai fim tidak berbeda dari mitos – mitos yang berhubungan dengan produk budaya lainnya, yaitu berhubungan dengan system nilai standar didalam sebuha system budaya di sebuha masyarakat tertentu. Dengan mengutip penelitian Roland Barthes mengenai mitos sebagai penanda sebuah ideology, Johnseston menjelaskan bagaimana sebuah mitos tentang perempuan dipandang sebagai hal yang sebenarnya. Tnada bisa dihilangkan dari tempat awalnya dan sebuah pengertian baru ditempelkan di tempat itu. Dengan cara ini sebuah konotasi baru secara salah dipandang sebagai tanda yang dialami. Christine Hakim mengatakan keinginannya membuat sebuah film perempuan terbangkitkan ketika ia mengujungi Festival Film Kyoto tahun 1993, dan kemudian seminar tiga hari tentang perempuan di dalam film dan televisi yang diadakan di Australia. Di Australia menurut Christine ternyata 30 persen dari pekerjaan film yang menduduki posisi kunci mengambil keputusan dipegang oleh perempuan. Bila lebih banyak perempuan duduk dalam posisi pengambil keputusan, Christine berharap film Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. yang diproduksi juga akan lebih imbang dalam menyuarakan peran perempuan dalam kehidupan. Film Pasir Berbisik menuturkan apa yang Christine sebutkan sebagai suara perempuan. Kekuatan perempaun digambarkan melalui keberanian Berlian untuk meninggalkan kampungnya yang dibakar entah oleh siapa dan atas alasan apa, pada keteguhannya untuk menyambung kehidupan dengan bekerja membuka warung dan menyediakan jamu. Melindungi anak perempuannya tidak mengikuti jejak adik perempuan berlin yang menjadi penari keliling dengan resiko harus dengan anak perempuannya sendiri yang merindukan kehidupan baru. Berlian adalah seorang peramu jamu, pekerjaan ini dilakukan banyak perempuan melahirkan kehidupan baru. Dua pekerjaan itu dekat sekali dengan perempuan karena perempuan memilik raim yang menggendong kehidupan. Film ini menampilkan multidimensi perempuan yang hidup dalam system patriarkhi. Pada Pasir Berbisik peran Suwito digambarkan sebagai seorang yang baik hati dan sinterklas yang siap menolong. Bahkan keinginan seksualnya kepada Daya pun tidak tersalurkan melalui sentuhan fisik sama sekali. Boleh jadi sutradara tidak ingin menampilkan kekerasan secara telanjang dalam film ini, tetapi komentar dari sejumlah orang yang juga menonton film ini bisa menjadi bahwa pesan yang sampai bisa membingungkan bahkan menyesatkan. Pada akhir cerita Berlian memutuskan untuk menyelesaikan persoalan dengan mengakhiri hidup Agus yang dimunculkan melalui pemberian jamu dan keudian gubuk tempat Agus tinggal tertimbun pasir. Tetapi, tidak ada penyelesaian untuk Suwito, si pemilik modal yang bisa melakukan lagi hal yang sama kepada perempuan Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. muda lain selama ia memiliki uang dan ada orang yang juga seperti Agus yang tega berbuat apa saja demi uang. Keinginan untuk menampilkan film yang lahir dari tangan perempuan dan menyuarakan perempuan, merupakan sebuah tandingan terhadap budaya patriarkhi yang mendominasi media ini seperti yang dengan telanjang kita bisa lihat di media elektronik dan cetak kita saat ini. Film, khususnya memiliki kekuatan untuk menyeimbangkan gambaran tentang perempuan. Hal ini penting dalam membicarakan film perempuan adalah ideology. Menurut Johnston alat dan teknik didalam film itu sendiri, sebagai bagian dari kenyataan, merupakan sebuah ekspresi dari ideology: mereka tidak netral, seperti yang tmapaknya diyakini banyak pembuat film ” revolusioner ”. Menurut para idealis bahwa kebenaran bisa ditangkap melalui kamera, atau sebuah kondisi pembuatan film, misalnya film yang secara kolektif oleh para perempuan bisa dengan sendirinya merefleksikan keadaan film yang diproduksi. Sebuah arti baru, demikian Johnston mengatakan, harus diproduksi dalam teks film. Lebih lanjut, bila pandangan bahwa film melibatkan produksi tanda – tanda, maka pendapat bahwa tidak boleh ada campur tangan, menjadi tidak bisa diterima karena tanda selalu merupakan sebuah produk apa yang ditangkap secara ”netral” oleh kamera.. Johnston mencontohkan film yang dibuat oleh Dorothy Arzner pada tahun 1940 – an berjudul ”Dance, Girl, Dance ” ceritanya tentang gadis penari. Pemeran utama, Bubbies dan Judy, menggambarkan ikonografi yang primitive tentang perempuan, yaitu perempuan penggoda dan heteroseksual. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Pemeran utama itu dimunculkan dalam dua stereotype keperempuanan yang berhadapan, seksualitas versus keangguann dan kenaifan. Kontradiksi itu dituturkan dalam film melalui hal yang akan dikenali semua perempuan yaitu kontradiksi antara hasrat untuk menyenangkan laki – laki sebagai penonton dan hasrta menari sebagai ekspresi diri. Bubbles memilih untuk menyenangkan penontonnnya, sementara Judy memilih ekspresi diri. Menjelang akhir cerita film Arzner menunjukkan apa yang ingin disampaikan film itu : Judy dalam kemarahan berbalik kearah penontonnya dan mengatakan apa yang dilihatnya dari penonton laki – lakinya. Menurut Johnston ini adalah sebuah proses satu arah yang menunjukkan serangan langsung kepada penonton di dalam film dan penonton film itu, dengan efek secara langsung menantang seluruh gagasan tentang perempuan sebagai penonton yang di dalam film mendominasi laki – laki dipandang tidak hadir. Dan untuk bisa berhasil sebagai sebuah tontonan, film perempuan harus menyatukan ide film sebagai alat politik sekaligus film sebagai hiburan. Dalam hal ini Pasir Berbisik sedikit banyak telah mencoba melakukannya : seksualitas perempuan tidak seluruhnya ditekan karena juga dimunculkan dalam peran penari adil Berlian, gambar – gambar yang indah sepanjang film, dan kekuatan perempuan ditampilkan pada puncaknya ketiak Berlian memutuskan bahwa ada akhir kejahatan yang dilakukan Agus dan ia membunuh egoismenya dengan menyuruh Daya pergi intuk sebuah kehidupan yang lebih baik. kompas_online.com Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2.1.6. Film Sebagai Media Massa dalam Masyarakat