”REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM FILM PASIR BERBISIK” (Study Semiotik Representasi Perempuan dalam Film Pasir Berbisik).

(1)

 SKRIPSI

 

 

     

 

   

Oleh : 

MERRY PRAMESTA WIRAYANTI  0743010053 

 

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNI VERSI TAS PEMBANGUNAN NASI ONAL “VETERAN” JAWA TI MUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2011


(2)

  viii

”REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM FILM PASIR BERBISIK” (Study Semiotik Representasi Perempuan dalam Film Pasir Berbisik).

Oleh :

Merry Pramesta Wirayanti 0743010053

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal

Pembimbing Tim penguji:

1. Ketua

Dr. Catur Suratnoaji, M.Si Dr.Catur Suratnoaji, M.Si NPT. 3 6804 94 0028 1 NPT. 3 6804 94 0028 1

2. Sekretaris

Dra. Dyva Claretta, MSi

NPT. 3 6601 94 0025 1 3. Anggota

Yuli Candrasari, Msi NPT. 3 7107 94 0027 1 Mengetahui,

DEKAN

Dra. Hj. Suparwati, M. Si NIP. 195507181983022001


(3)

  ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan karunia – Nya kepada penulis sehingga Skripsi dengan judul

:”PEREMPUAN DALAM

FILM PASIR BERBISIK” (Study Semiotik Representasi Perempuan dalam Film Pasir Berbisik) dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. Catur Surotnoadji, M.si selaku Dosen Pembimbing utama yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, nasehat serta motivasi kepada penulis. Dan penulis juga banyak menerima bantuan dari berbagai pihak, baik itu moril, spiritual maupun materiil. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Allah SWT karena telah melimpahkan segala karunia – Nya, sehingga peneliti mendapatkan kemudahan selama proses penulisan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Ir. Teguh Sudarto, MP. Rektor UPN “Veteran” Jawa Timur. 3. Ibu Dra. Hj. Ec. Suparwati, MSi. Dekan Fisip UPN “Veteran” Jawa

TImur.

4. Bapak Juwito, S.Sos, MSi. Ketua Program Studi Studi Ilmu Komunikasi. 5. Bapak Drs. Syaifuddin Zuhri, MSi. Sekretaris Program Studi Ilmu

Komunikasi.

6. Seluruh dosen – dosen Ilmu Komunikasi yang telah banyak memberikan ilmu selama perkuliahan dan dalam menyelesaikan proposal maupun skripsi. Seluruh Staff dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi.


(4)

  iii

Serta tak lupa peneliti memberikan rasa terima kasih secara khusus kepada : 1. Lovely My Momm…  atas segala bantuan, dukungan dan doanya.. Amiien..

mudah – mudahan anakmu menjadi orang yang sukses di dunia akhirat dan bisa membahagiakan keluarga . Amiin…. 

2. Kakakku Bunda Pindy & Te ta serta adek – adek aku Puput, Yaya, Nadya, terima kasih atas kasih sayang dan dukungannya selama ini..  truuss.... buat Tante, Om yang udah baik ngasih aku tinggal di surabaya.. n Mas Deni yang selalu bantu aku kalau mbenerin komputernya pas lagi henk.... hhe . Thx U so much... I love U my Family.... 

3. Teman-temanku (Suliez, Nelly, Rizky, Ovi’) terima kasih buat supportnya. 4. Teman seperjuangan Sasya, Rizka n Rizka  , Novi’, Mirna, Dian, Ajeng,

Lussy, makasih atas dukungannya.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih banyak memiliki kekurangan. Penulis berharap kritik dan saran yang membangun agar Skripsi ini dapat menjadi lebih baik.

Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi teman-teman Jurusan Ilmu Komunikasi dan semua mahasiswa yang melakukan penelitian serta bagi penulis khususnya.

Terima kasih

Surabaya, Juni 2011

Penulis  


(5)

  iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

ABSTRAKSI ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 7

1.3.Tujuan Penelitian ... 7

1.4.Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori ... 9

2.1.1 Film ... 9

2.1.2. Representasi ... 16

2.1.3. Jenis Kelamin, Gender dan Feminitas ... 20

2.1.4. Perempan dan Media ... 25

2.1.5. Sejarah Perempuan Indonesia di Media ... 27 iii 


(6)

  v

2.1.6. Film Sebagai Media Massa dalam Masyarakat ... 34

2.1.7. Pendekatan Semiotik dalam Film ... 37

2.2. Kerangka Berpikir ... 42

BAB III METODE PENELITIAN 3. 1. Metodelogi Penelitian ... 44

3.1.1. Waktu Penelitian ... 44

3. 2. Definisi Operasional ... 45

3.2.1. Film ... 45

3.2.2. Representasi ... 47

3.1.3. Perempuan ... 48

3.2. Jenis Data ... 48

3.3. Corpus ... 49

3.4. Unit Analisis ... 49

3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 52

3.6. Teknik Analisis Data ... 53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Objek dan Penyajian Data ... 55

4.1.1. Gambaran Umum Objek ... 55 iv 


(7)

  vi

4.1.2. Penyajian Data ... 56

4.2. Analisa Data ... 59

4.2.1. Level Realitas ... 59

4.2.1.1. Kostum dan Make up ... 59

4.2.1.2. Setting ... 62

4.2.1.3. Dialog ... 64

4.2.2. Level Representasi ... 78

4.2.2.1 Teknik Kamera ... 83

4.2.2.2. Pencahayaan ... 84

4.2.3. Level Ideology ... 86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 91

5.2. Saran ………... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 95

Lampiran ... 98


(8)

  vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gb. Representasi Perempuan pada Film ………45 - 47 Gb. Analisa Data pada Level Realitas …………...………... 59 - 77 Gb. Analisa Data pada Level Representasi ………...…… 77 - 85 Gb. Analisa Data pada Level Ideologi ………...…. 88 - 89 Gb. Beberapa Scene lain yang Berhubungan dengan

Representasi Perempuan dalam Film Pasir Berbisik ... 98 - 103  

     

   

       

 

 


(9)

ABSTRAKSI

MERRY PRAMESTA WIRAYANTI, REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM FILM PASIR BERBISIK (Study Semiotik Representasi Perempuan Dalam Film Pasir Berbisik).

Film Pasir Berbisik menceritakan perjuangan perempuan melawan keterikatn pada hubungan kekuasan yang menempatkan kedudukan yang lebih rendah dari pada laki – laki. Nilai, mitos, dan norma yang berkembang melali proses sosialisasi dalam keluarga maupun masyarakat pada umumnya sangat tidak menuntungkan posisi perempuan dalam sebuah relasi gender.

Kajian ini bertujuan menginterpretasikan atau memahami makna symbol – symbol dalam gambar film Pasir Berbisik dengan menggunakan teori John Fiske dimana ia menganalisis berdasarkan system realitas, representasi, dan ideology yang mengarahkan pada makna – makna cultural yang melibatkan symbol – symbol, histories, dan hal yang berhubungan dengan emosional, sehingga tafsiran makna yang tersurat dan tersirat dalam film Pasir Berbisik dapaat dihasilkan.

Pengambilan keputusan yang tidak rasional banyak digambarkan dalam film ini, yakni ketika seorang gadis harus aborsi karena takut ketahuan orang tuanya dan dari laki laki yang menghamili tidak mau bertanggung jawab. Pada penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode semiotik. Pendekatan semiotikyang dikemukakan oleh John Fiske dengan analisis sinema film (grammar and tv culture) melalui level realitas, level representasi, dan level ideology.

Peran – peran produktif yang tecermin dalam film ini, ketika muncul kesatuan seksual yaitu lingkungan yang tak berujung, perempuan dikodratkan untuk hamil dan melahirkan. Secara social perempuan adalah nomor dua dibawah laki – laki, secara spiritual dia menerima dan mendukung laki – laki.

Film Indonesia merepresentasikan perempuan dalam perannya yang tergantung pad laki – laki dan film Indonesia harus dpat mengubah stereotype tersebut. Meskipun gambaran perempuan dalam film Indonesia yang hanya ada pada dua titik ekstrim yaitu lemah dan perkasa. Mungkin lebih disebabkan oleh “miskin”nya pola pikir tentang pemahaman tentang realitas, tak mengenal konsep perubahan dan lebih menikmati terhadap apa yang ada didalam benaknya sendiri.

Hasil temuan data menyimpulkan bahwa dalam Film Pasir Berbisi perempuan digambarkan sebagai sosok yang mandiri. Digambarkan sosok Berlian yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari dan sekaligus menjadi kepala rumah tangga.

Di dalam film ini sosok laki – laki hanya digambarkan sebagai subjek yang dijadikan pemuas nafsu, pemunculan karakter laki – laki menambah stereotype bahwa kaum laki – laki dapat berbuat apa saja demi tersalurkan semua keinginannya.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perjuangan perempuan melawan keterkaitan pada hubungan kekuasaan yang menempatkannya pada kedudukan yang lebih rendah di bandingkan laki-laki, memang merupakan suatu perjuangan yang tiada henti. Pada dasarnya perempuan Indonesia mempunyai kesulitan dan pengalaman yang getir yang sama seperti saudara – saudaranya di negara – negara terbelakang yang masih mempertahankan system patriarki atau struktur sosial yang menempatkan kekuasaan terpusat di tangan laki – laki yang juga bergandengan dengan system budaya, ekonomi, sosial, dan politik setempat.

Nilai, norma, serta mitos – mitos yang berkembang melalui proses sosialisasi dalam keluarga maupun masyarakat pada umumnya, sangat tidak menguntungkan posisi perempuan dalam sebuah relasi gender di masyarakat. Nilai – nilai tersebut sangat kuat, sehingga menjadi hegemoni yang sangat sulit diubah tanpa upaya kontruksi dari warga masyarakat. Terutama kaum perempuan menjadi syarat mutlak untuk menghadapi tantangan tersebut.

Tidak adanya kesadaran perempuan akan posisisnya dalam relasi gender, membuka peluang terjadinya penindasan, baik dalam bentuk fisik maupun mental. Sebagian besar perempuan dalam masyarakat patriarki ini mengannggap ketidakadilan yang terjadi pada diri mereka sebagai kodrat. Amat disayangkan


(11)

penafsiran terhadap norma-norma agamapun di jadikan dasar – dasar memperkuat dominasi patriarki atas diri perempuan.

Idiologi patriarki terus melekat dalam masyarakat dan bahkan di pelihara secara sadar, oleh kaum perempuan sendiri dan kaum laki – laki perempuan menjadi sosok yang lemah. Di mata kaum laki – laki dia patut dan taat pada laki – laki. Sehingga terkadang mereka hanya menumpang dalam dunia yang seutuhnya didominasi oleh pria.

Berbicara tentang perempuan memang merupakan topik yang menarik karena perempuan selalu menampakkan sisi- sisi yang dapat dijadikan objek untuk disimak. Bahkan fenomena tentang perempuan sangat menarik untuk divisualisasikan dalam bentuk film.

Film Pasir Berbisik menceritakan hubungan ibu dan anak yang sejak kecil ditinggalkan ayahnya. Sebagai orang tua tunggal, ibunya sangat protektif terhadap anak yang sudah mulai dewasa. Sang anak merasa terkungkung dengan keadaan yang seperti ini. Hingga pada saat kedatangan Agus ayahnya, Berlian ibunya terpaksa menerima. Karena ia tak kuasa melihat kegembiraan yang luar biasa terpancar dari wajah anaknya.

Namun kedatangan sang ayah ibarat memperpanjang mimpi buruk. Melihat situasi yang demikian Berlian kemudian mengatasi situasi tersebut dengan caranya sendiri. Film ini mengisahkan bagaimana cinta ibu mengkungkung sekaligus membebaskan jiwa seseorang, tetapi juga menggambarkan kekuatan dan keputusan seseorang dalam menempuh hidupnya yang kadang kala tidak sesuai dengan norma yang berlaku.


(12)

Dari gambaran sekilas film tersebut di atas telah di ketahui bahwa karakter dari citra perempuan yang digambarkan begitu kuat. Pembentukan citra baru ataupun lama tentang perempuan akan ditemui meskipun latar belakangnya menunjukkan cerita dimasa lampau, dengan kebudayaan tradisional. Gambaran karakter yang kuat dalam film Pasir Berbisik membuat penulis tretarik untuk melakukan penelitian atau analisis tentang penggambaran perempuan dan kedudukannya di film – film sekarang ini.

Film merupakan gambar bergerak, film dapat disebut sebagai transformasi kehidupan masyarakat, karena dalam film kita dapat melihat gambaran atau cerminan yang sebenarnya, yang bahkan kita terkadang tidak menyadarinya sebagai gambar yang bergerak. Film adalah reproduksi dari kenyataan seperti apa adanya.

Kebanyakan alur cerita di dalam film, menampilkan kehidupan nyata dominasi simbolik laki – laki atas perempuan juga tampak dalam penilaian, bahwa perempuan yang baik adalah yang berumah tangga, melahirkan, mendidik anak, dan merawat rumah tangga. Tidak ada tempat bagi perempuan yang tidak kawin. Karena itu, orang tua segenap kekuasaan yang dibungkus sopan santun adat atau tradisi merasa berhak memaksa anak –anak perempuan mereka yang masih sangat muda untuk kawin ( subandy, 1998:29 ).

Dalam karya sastra Indonesia, sosok perempuan sering muncul sebagai simbol kehalusan, sesuatu yang bergerak lamban bahkan kadang berhenti. Perempuan dengan idiom – idiom seperti keterkungkungan, ketertindasan dan bahkan pada konsep yang terlanjur diterima dalam kultur masyarakat kita bahwa mereka adalah ”objek” dan bukan subjek.


(13)

Perempuan dalam kesenian kita ( film, sinetron, kesustraan, dan karya sastra lainnya ) selalu ditempatkan pada posisi yang lemah, seakan – akan tidak ada sisi yang menunjukkan perempuan sebagai subjek kehidupan ynag mendudukkan pada titik yang ordinat. Kelemahan, ketertindasan yang menjadi alur dari cerita yang selalu berkepanjangan, menjadikan perempuan layak untuk dijadikan obyek yang selalu mengeluarkan air mata, berfikir keras untuk melakukan sesuatu yang terindah dari kaum laki –laki.

Khrisna Sen dalam Prisma no. 7, Juli 1981 menjelaskan bahwa mayoritas ”genre” film Indonesia berkenaan dengan laki – laki dan apa yang didefinisikan film sebagai dunia laki – laki adalah dunia tindakan. Meskipun setiap film menampilkan karakter perempuan, namun dalam genre tersebut, lewat praktiknya produksi film yang sudah berjalan lama tempat bagi perempuan hanyalah peran tambahan. Sehingga citra dan tindakan perempuan fungsinya kecil dan tidak penting dalam narasi. Dalam narasi – narasi trersebut perempuan tidaklah bertindak, melainkan hanya bagian dari konteks dan rasional tindakan laki – laki.

Namun dalam film tersebut ada dua ” genre ” yang sangat penting yang mempunyai bagian fundamental dalam dialog dan gambar yang membangun sebuah film, yakni kisah cinta, remaja dan drama atau melodrama. Jadi dalam konteks cinta romantis keluarga dapat ditemukan konstruksi utama feminitas, sambil menyerahkan seluruh bidang lain tindakan sosial kepada protagonist laki – laki. Film – film perempuan tersebut memiliki garapan yang sama, baik ”genre” kisah cinta maupun drama secara keseluruhan, yakni mendefinisikan sifat perempuan. Sifat berarti nasib dan watak perempuan serta unsur utama dalam hal ini yang membuat perempuan


(14)

menjalankan fungsi sebagai ibu terkunci dalam lingkungan keluarga ( Subandy, 1998:256 – 266 ).

Mencari tahu bagaimana wajah perempuan dalam perfilman Indonesia bukanlah sesuatu yang susah, karena perempuan merupakan faktor yang mempuanyai ”kedudukan” yang sangat penting dalam setiap film dan perempuan merupakan komoditi yang penting dalam sebuah film. Walaupun dalam prakteknya perempuan hanya diposisikan sebagai subjek.

Posisi perempuan dalam perfilman Indonesia sudah direflesikan dari tahun 1970 – 1933 ( data diambil berdasarkan film yang laris di pasaran ) terdapat 100 lebih film yang laris, diantaranya adalah film komedi, yang didominasi oleh film warkop. Dalam film ini, perempuan ditampilkan lebih sebagai objek pemuas hawa nafsu.

Film komedi seperti itu menjadikan perempuan sebagai objek pemuas ketawa dengan penyalahgunaan atas tubuh perempuan itu sendiri. Film Warkop dihiasi perempuan – perempuan cantik, montok, yang bersedia menjadikan tubuhnya sebagai seksualitas dan di permainkan.

Film yang laris lainnya adalah ”Inem Pelayan Seksi”. Film ini merupakan film yang melekat di masyarakat dan menjadikan julukan para pembantu. Inem adalah pembantu rumah tangga yang seksi, yang kemudian menikah dengan tuannya. Dalam film ini ditonjolkan tokoh Inem dengan belahan dada yang tampak separuh dan goyangan pantat sewaktu mengepel. Hal ini menunjukkan betapa tubuh perempuan dapat digunakan sebagai alat pancing kepuasan dari penontonnya, dan alhasil film ini sukses karena penampilan dari tokoh yang memberikan kepuasan mata para penontonnya.


(15)

Gambaran perempuan yang banyak terdapat di industri perfilman Indonesia, diharapkan akan memperoleh simpati & cucuran air mata dari para penontonnya. Miskinnya gambaran perempuan dalam film Indonesia yang hanya mengibaratkan pada dua unsur yaitu lemah dan perkasa mungkin disebabkan karena kemiskinan pola pikir para pembuat film, yang seolah – olah tidak mengenal realitas, tak mengenal konsep perubahan, dan hanya meneruskan pola pikir masyarakat Indonesia (Subandy, 1998:29).

Indonesia mempuanyai sineas, novelis dan pengarang perempuan yang cukup banyak, tetapi jarang dari mereka yang mampu menampilkan hasil karya yang dibuat untuk menunjukkan posisi / tingkatan yang tinggi. Bahkan banyak dari mereka yang secara tidak langsung mendukung adanya potret perempuan sebagai kaum lemah, terindas oleh kaum laki – laki, perjuangan yang ditujukan oleh sastrawan perempuan Indonesia sendiri belum tampak. Kalaupun ada sangatlah sederhana bentuknya dan ini merupakan perjuangan simbolik sebagaimana ditunjukkan pada karya – karya mereka. Para novelis, pengarang perempuan kita belum terlatih untuk memikirkan persoalan kemasyarakatan yang ditinjau dari suatu pendekatan structural kemasyarakatan dan kebudayaan kita.

Profesi sutradara bagi kaum perempuan memang dapat dibilang suatu hal yang langka. Namun pada kenyataannya sineas perempuan mampu berebicara dalam hal pembuat film. Berbicara tentang mimpinya, obsesinya, visi dan perpektifnya kemudian diterjemahkan dalam bentuk penyutradaraan, pengadegaan, perspektif artistik, angel dan gerakan dalam pola editing, musikal dan visual. Jelas perspektif ini


(16)

akan berbeda dengan apa yang dikembangkan oleh sutradara pria (www.sinarharpan.com).

Di era kebangkitan kita (* disebut era kebangkitan karena begitu lama perfilman Indonesia mengalami keterpurukan *). Penulis mengambil sampel film untuk dijadikan objek penelitian yakni Film Pasir Berbisik. Banyak beberapa prestasi membanggakan telah mampu diraih Film Pasir Berbisik. Dalam ajang perhargaan yang didapatkan antara lain seperti Festival Film Asia Pasific di tahun 2001, Festival Film Internasional Singapura di tahun 2002 , Festival Film Asia di Deauville, Perancis di tahun 2002, Festival Film Indonesia di tahun 2004.

1.2 Rumusan Masalah

Berangkat dari fenomena yang telah disebutkan diatas maka dapat diambil rumusan sebagai berikut :”Bagaimana perempuan disimbolkan dalam ”Film Pasir Berbisik”.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggambaran perempuan dalam pentokohan disimbolkan dalam ”Film Berbisik”. Memahami tentang hubungan kekuasaan antara laki – laki dan perempuan dalam film sejajarkah kedudukannya dengan laki – laki?


(17)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Kegunaan Praktis

a. Diharapkan penelitian ini dapat menumbuhkan kesadaran tentang perempuan dalam media film khususnya tentang keberadaan perempuan.

b. Dapat menjadi kontribusi bagi sineas muda agar melahirkan film yang peka gender.

1.4.2 Kegunaan Teoritis

a. Memperkaya pengetahuan terutama yang terkait dengan semotik atas film kontemmporer Indonesia.

b. Memperkaya wawasan tentang perpektif perempuan dalam film, khususnya film Indonesia.

c. Menjadi landasan penelitian bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian tentang semiotik.


(18)

Bab II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Film

a. Perkembangan Dalam Film

Para teorikus film menyatakan, film yang kita kenal dewasa ini merupakan perkembangan lanjut dari fotografi dan pada perjalanan penyempurnaan – penyempurnaan fotografi, yang kemudian mendorong rintisan penciptaan film alias gambar hdup. Dua nama yang penting dalam rintisan penemuan film ialah Thomas Alva Edison dan Lumiere bersaudara.

Thomas Alva Edison ( 1847 – 1931 ) pada tahun 1887 merancang alat untuk merekam dan memproduksi gambar, alat itu mirip dengan fungsi fonograf ( phonograph ) atau piringan hitam, untuk suara. Namun walaupun sudah tercipta mekanisme, ia belum menemukan bahan dasar untuk membuat gambar. Akhir masalah ini terpecahkan dengan bantuan George Eastman yang menawarkan gulungan pita seluloid, mirip plastik tembus pandang yang cukup ulet sekaligus mudah digulung. Ciptaan Edison itu disebut kinetoskop ( kinetoskope ). Bentuknya menyerupai sebuah kotak berlubang untuk mengintip pertunjukan. Setelah kinetoscope populer di Amerika Serikat pada tahun 1894 dan menyebar ke negara – negara Eropa, Lumiere bersaudara mulai memikirkan kemungkinan untuk membuat film – film mereka sendiri dengan peralatan kinetoscope.


(19)

Bahkan mereka juga merancang perkembangan kinetoscope berupa piranti yang mengkombinasikan kamera alat memproses film proyektor menjadi satu. Piranti ini disebut sinematograf ( cinematographe ). Alat ini dipatenkan pada 28 Desember 1895, di sebuah ruang bawah tanah sebuah kafe di Paris, Perancis. Lumiere bersaudara “memproyeksikan” hasil karya mereka di depan publik dengan membeli tiket masuk. Inilah awal mula bioskop pertama di dunia lahir.

Konsep pertunjukan bioskop ( penayangan film ke layar dalam sebelah ruangan yang gelap ), lambat laun menyebar ke seluruh dunia. Sekitar tahun 1905, bioskop dengan sebutan nickleodeon tumbuh subur di Amerika Serikat.

Pengertian ”nickle” berkaitan dengan penonton yang harus membayar lima sen atau nickel dan ”odeon” yang mempunyai arti dari kata latin yaitu gedung kecil pertunjukan. (Marselli Sumarno, 1994:4)

Di masa depan, produksi film tidak akan menggunakan pita seluloid (proses kimiawi), tapi memanfaatkan teknologi video (proses elektronik). Nmaun sekarang masyarakat modern sudah mengembangkan memory card (proses digital) sebagai media perekamnya. Perubahan proses produksi ini tentunya mempengaruhi konsep bioskop masa depan. Namun apapun yang terjadi, yang akan dipertontonkan dan menyerap perhatian publik tetap sama yaitu gambar hidup.

Setelah film ditemukan pada akhir abad 19, film mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan teknologi yang mendukung. Mula – mula hanya dikenal film hitam putih dan tanpa suara. Pada akhir tahun 1920 – an. mulai di kenal film suara dan menyusul film warna pada tahun 1930 – an. Peralatan produksi film yang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga sampai sekarang tetap


(20)

mampu menjadikan film sebagai tontonan yang menarik khalayak luas. Dalam hal ini, ketika film ditemukan tidak langsung dianggap sebagai karya seni. Mula – mula film hanya dianggap sebagai tiruan mekanik dari kenyataan atau paling – paling sebagai sarana untuk memproduksi karya – karya seni yang telah ada sebelumnya seperti teater.

Pencapaian film sebagai karya seni terjadi melalui pencapaina dalam perjalanan sejarah film. Mula – mula dikenal pembuat – pembuat ffilm awal, seperti George Melies dari Perancis, Edwin S Porter ( juru kamera Thomas Alva Edfison ) dan DW Grifth dari Amerika Serikat, seta RW Paul dan GW Smith dari Inggris, menyusul dalam kurun waktu berlainan lahirlah gerakan – gerakan film seni secara internasional, seperti di Jerman, Perancis, Rusia, Swedia, da Italia.

Pengakuan film sebagai karya seni selanjutnmya diperkuat denagn lahirnya seniman – seniman film dari berbagai negara, dari dulu hingga sekarang seperti Akira Kurosawa dari Jepang, Satyajit Ray dari India, Federico Fellini dari Italia, Jhon Ford dari Ameriak Serikat, Ingmar Bergman dari swedia dan Umar Ismail dari Indonesia.

Dewasa ini terdapat berbagai ragam film. Meskipun cara pendekatannya berbeda – beda, semula film dapat dikatakan mempunyai sasaran, yaitu menarik perhatian orang terhadap muatan masalah –a masalkah yang dikandung. Selain itu, film dapat dirancang untuk melayani keperluan publik yang seluas – luasnya.

Pada dasarnya film dapat dikelompokkan ke dalam dua pembagian besar yaitu kategori film cerita dan film non cerita. Pendapat lain suka menggolongkan menjadi film fiksi dan film non fiksi.


(21)

Film cerita adalah film yang di produksi berdasarkan cerita yang dikarang, dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya film cerita bersifat komersial, pertunjukan di bioskop dengan harga karcis tertentu atau di putar di televisi dengan dukungan sponsor iklan tertentu. Film non ceriat merupakan kategori film yang mengambil kenyataan sebagai subjeknya, artinya merekam kenyataan cerita yang benar – benar terjadi.

Film memiliki dua unsur utama di dalamnya yaitu gambar dan dialog. Film disini dapat disebut citra (image) berbentuk visual bergerak dan suara dalam dialog didalamnya. Citra menurut Barthes merupakan amanat ikronik (iconic massage) yang dapat di lihat berupa adegan (scene) yang terekam (www.aber.ac.uk).

Kode – kode dalam film terbentuk dari kondisi sosial budaya dimana film tersebut dibuat, serta sebaliknya kode tersebut dapat berpengaruh pada masyarakatnya ketika seseorang menonton film, ia memahami gerakan, aksen, dialog, mencontohkan gaya pakaian dan gaya hidup, kemudian disesuaikan dengan karakter untuk memperoleh posisi struktur kelas atau dengan mengkonstruksikan apa yang ada di film dengan lingkungannya (Graeme, 1999:79).

Kode dalam film merupakan serangkaian aturan, konvensi dan assosiasi yang dianggap mampu mengkomunikasikan ide – ide atau emosi, perilaku, gaya pakaian, logat bicara, arsitektur bangunan, suasana gerak, serta komposisi. Selain itu film memiliki kode yang khas yang hanya dimiliki oleh film yaitu mise – en – seene dan montage. Mise – en – seene berguna untuk menjawab pertanyaan apa yang harus di shot, dan bagaimana menshotnya, sedangkan montage untuk menjawab pertanyaan bagaimana shoot yang disajikan (James, 1984:184).


(22)

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural dan semiotik, seperti dikemukakan Van Zoest (Zoest, 1993:109). Film dibangun sistem tanda yang bekerjasama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan.

Dijelaskan oleh Van Zoest menegenai hierarki antara sistem tanda yang satu dengan yang lain yaitu :

” disini tentunya harus dibedakan antara suara yang langsung mengiringi gaambar (kata – kata yang diucapkan, deret pintu, dsb) dan musik film yang mengiringinya. Suara tipe pertama sebenarnya secara semiotika berfungsi tidak terlalu berbeda dengan gambar – gambarnya. Suara yang sama dengan gambar merupakan unsur dalam cerita film yang dituturkan dan dapat disebutkan. Dikategorikan dan dianalisis dengan cara sebanding. Suara sebagai tanda terjalin denagn sangat erat dengan tanda gambarnya. Suara bersama dengan tanda gambar ini memang membentuk tanda – tanda kompleks. Tanda – tanda kompleks ini memang ikonis, tetapi kekuatan keberadaanya pada akhirnya di peroleh di indekidikalitas”.

SCENE, SHOT, DAN SEQUENCE Definisi scene :

Tempat atau setting dimana kejadian dilangsungkan jika didalam produksi teater sebuah babak biasanya dibagi dalam sejumlah scene. Masing – masing dilangsungkan pada sebuah lokasi yang berbeda. Satu scene atau sejumlah shot yang menggambarkan peristiwa yang berkesinambungan.

Definisi Shot :

Suatu rangkaian gambar hasil rekaman kamera tanpa intrupsi. Tiap shot adalah satu take. Bila dibuat shot tambahan dari set up yang sama ( dikarenakan ada


(23)

kesalahan teknik yang dramatis ) short ini dinamakan re – take. Jika set – up diubah, kamera berpindah, lensa berubah atau action lain yang diambil bukan dinamakan re – take.

Sequence :

Serangkaian atau shot – shot yang merupakan suatui kesatuan utuh. Sequence biasanya berlangsung pada suatu setting atau beberapa setting, action harus berkaitan secara tepat dalam sebuah sequence manakala terdiri dari sejumlah shot yang runtut, sebuah sequence dapat dimulai sebagian adegan eksekutor (diluar) dan dilanjutkan ke interior (dalam).

b. Film Suatu Cerminan Budaya

Film merupakan tranformasi dari kehiduapn manusia. Diamna gambaran – gambaran nilai manusia terlihat jelas. Kehidupan manusia penuh dengan nilai simbol – simbol yang mempunyai makna dan arti yang berbed – beda. Lewat simbol – simbol tersebut film memberikan pesan melalui bahasa visualnya agar mempunyai makn yang lain. Film juga merupakan sarana ekspresi indrawi yang jelas dan efisisen, antara lain : mampu mengekspresikan emosi, aksi dan karakterisasi yang dikomunikasikan dengan kemahiran mengekspresikan image – image yang ditampilkan dalam film ynag kemudian menghasilkan makna – makna tertentu secara konteksnya.

Film menjadi media yang menarik untuk menjadi bahan kajian tentang berbagai hal yang terdapat didalamnya. Kajiannya terhadap film dilakukan karena film memberikan kepuasan dan arti tentang budaya mupun lingkungannya. Terhadap


(24)

hubungan – hubungan antara image dan penonton, industri dan khalayak, narasi dan budaya. Langkah yang dapat dilkukan dalam mengkaji film adalah dengan menganalisis bahasa film sehingga dapat menghasilkan makna. ( Graemer, 1993:41 )

Tidaklah mengherankan bahwa film merupakan bidang kajian penerapan semiotika. Film dibangun dengan tanda – tanda tersebut sebagai sistem tanda yang bekerjasama dengan baik dalam rangka mencapai efek yang diharapkan. Dan yang paling penting ialah gambar dan suara, kata yang diucapkan ( ditambah yang suara – suara lain yang serentak mengiringi gambar – gambar ) dan musik film.

Dalam hal ini yang paling penting dalam sistem semiotika adalah proses kerjanya timbul dari silih bergantinya gambar – gambar, pada film digunakan tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkna sesuiatu. Ciri – ciri gambar film adalah pesamaan dengan realita yang ditunjukan

Dalam study semiotika sinema, bukan berfokus pada pembuatan film atau kehidupan bintang permainannya atau dukungan teknologi pada pembuatan film, melainkan pada pemaknaan cerita dan penerimaannya juga teks sebagai system penandaan, yang dikemas dalam bentuk sebuah film.

Christian Metz mengemukakn pendapat yang menyebutkan bahwa teks film ditimbang sebagai satu kesatuan. Setiap film memiliki struktur khusus dimana memiliki jaringan makna yang mengelilingi. ( Robert, 1992:50 ) Teks merupakan kajian dalam analisis ”bahasa” film, yaitu teks dijelaskan sebagai system penandaan ( Signfiying system ) ( Greme, 1999:48 ). Film sebagai teks akan memberikan makna berdasarkan kode – kode yang dimilikinya, sehingga film dapat dijadikan media


(25)

untuk mengkontribusikan pandangan seseorang terhadap dunia, makna berdasarkan kode – kode ini dapat diinterpretasi dengan kajian semiotik.

Semiotics offer us access to such activity because it allows us to separate ideas from their representation (at least, theoretically ) in order to see how our view of the word, or film construed, if does this by closely analysis a film ( or a view of the word ) as the teks a set of from, relationships and meaning”. ( Greame, 1999:49 )

Image dalam film tidak berada dalam hubungan yang sewenang – wenang terhadap objeknya, sebuah image tetaplah image yang lain tersendiri darinya. Image yang termotivasi artinya signifier ditentukan oleh signified, mereka hamp[ir dapat ditukar. Tanda yang termodifikasi merupakan sesuatu yang kroni. ( Graeme, 1999:15)

Hal – hal yang memiliki arti simbolis tidak terhitung dalam film,banyak cara yang diberikan untuk memberikan muatan simbolis dalam film yaitu antara lain lewat tokoh dalam film. ( Booggs, 1986:243 – 244 )

2.1.2. Representasi

Menurut Stuart Hall (1997), Representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkaut ’pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia – manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode – kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ’bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep – konsep yang sama (Juliastui, 2000:http://kunci.or.id/teks/04rep1.htm).


(26)

Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia beroprasi sebagai suatu sistem representasi. Lewat bahasa (simbol – simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengungkapkan pikira, konsep, dan ide- ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita merepresentasikannya. Dengan mengamati kata – kata dan imej – imej yang kita gunakan dalam merepresentasikan sesuatu, bisaa terlihat jelas nilai – nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut (Juliastuti, 2000:http://kunci.or.id/teks/04re1.htm).

Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, kita bisa memakai tiga teori representasi. Pertama adalah pendekatan reflektif. Disini bahasa berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah pendekatan Internasional, dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstruksionis. Dalam pendekatan ini kita percayabahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai (Juliastuti, 200 : http//kunci.or.id/teks/04rep2.htm).

Bagi Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang ’sesuatu’ yang ada dikepala kita masing – masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, ’bahasa’ yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ’bahasa’ yang lazim, supaya


(27)

kita dapat menghubungkan konsep dan ide – ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol – simbol tertentu (Juliasti,2000:htttp://kunci.or.id/teks/04rep2.htm).

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem’peta konseptual’ kita. Dalam proses kedua, kita mengkostruksi seperangkat rantai korespondensi antara ’peta konseptual’ dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep – konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara ’sesuatu’, peta konseptual’, dan ’bahasa/simbol’ adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama – sama

itulah yang dinamakan representasi (Juliasti, 2000:http://kunci.or.id/teks/04rep2.htm)

Konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada pengertian tentang bagaimana seseorang, sebuah kelompok,atau sebuah gagasan ditunjukkan dalam media massa (Eriyanto, 2001:113). Dalam film, alat – alat representasi itu bisa berupa narasi besar (grand naration), cara bercerita, skenario, penokohan, dialog, dan beberapa unsur lain dalam fil. Menurut Graeme Turner (1991:128), makna film sebagai representasi dari realtas masyarakat berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar memindah realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara, sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode – kode, konvensi – konvensi, dan ideologi kebudayaanya (Irawanto, 1999:15).

Dalam perspektif Marxian, film sebagai institusi sosial dianggap memiliki aspek ekonomis sekaligus ideologis. Representasi merupakan tindakan yang


(28)

menghadirkan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol (Piliang, Yasraff Amir, 2006:24). Representasi memiliki materialitas tertentu, yang melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah, dan program televisi. Representasi diproduksi, ditampilkan, digunakan, dan dipahami dalam konteks tertentu (Barker, Chris, 2004:9).

Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep – konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk – bentuk yang kongkret. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film, fotografi, dsb. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi .htm diakses 19 April 2011, 14:30 WIB).

Representasi merupakan salah satu proses dalam sirkuit budaya (circuit of culture). Melalui representasi, maka makna (meaning) dapat berfungsi dan pada akhirnya diungkap. Representasi disampaikan melalui tanda – tanda (signs). Tanda – tanda (signs) tersebut seperti bunyi, kata – kata, tulisan, ekspresi, sikap, pakaian, dsb merupakan bagian dari dunia material kita (Hall, 1997).tanda – tanda tersebut merupakan media yang membawa makna – makna tertentu dan merepresentasikan ’meaning’ tertentu yang ingin disampaikan kepada dan oleh kita. Melalui tanda – tanda tersebut, kita dapat merepresentasikan pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Pembacaan terhadap tanda – tanda tersebut tentu saja dapat dipahami dalam konteks


(29)

(http://www.readingculture.net/index.php?option=comcontent&task=view&item.id =43 diakses 19 April 2011, 15:01 WIB).

Representasi dalam film merupakan penggambaran suatu objek yang ditampilkan dalam film. Penggambaran ini ditampilkan melalui serangkaian tanda – tanda, tanda – tanda yang dimaksudkan berarti tanda yang menjadi unsur sebuah film. Unsur tersebut berupa dialog, sikap pemain, angel, kamera hingga musik. Tanda dan unsur – unsur film ini akan dianalisis dan dicari maknanya, sehingga makna dibalik tanda tersebut dapat diungkap.

Film dan televisi mempunyai bahasanya sendiri dengan susunan kalimat dan tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa ini terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan (cut), pengambilan gambar jarak dekat (close up), pengambilan gambar dari dua arah (two shot), dll. Namun bahasa tersebut juga mencakup kode – kode representasi yang lebih halus, yang mencakup dalam komplekstivitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol – simbol yang paling abstrak dan arbiter (berubah-ubah) (Sardar, 2001:156 dalam Sobur 2003:130).

2.1.3. Jenis kelamin, Gender, dan Feminitas

Banyak sekali penelitian ataupun analisis serta studi tentang gender yaitu salah satu teknik yang memberi gambaran tentang adanya perbedaan maupun saling ketergantungan peran perempuan dan laki – laki.

Adapun teknik gender memungkinkan kita untuk menunjukkan peran reproduktif perempuan sebagai hal yang penting bagi peran produktif keluarga, mengungkapkan profil aktivitas perempuan dalam rumah tangga, mengidentifikasi


(30)

faktor – faktor sosial budaya yang menghambat dan mendorong kelangsungan dan kehidupan perempuan dan laki – laki, melihat betapa pentingnya pengelola proyek – proyek, mengerti peran gender agar dapat secara tepat menentukan masukan diintevensi yang dibutuhkan ( ihromi, 1995 : 173 – 174 ).

Ada dua konsep yang harus dimengerti dalam usaha menelaah kaum perempuan, yaitu membedakan dan memahami antara konsep jenis kelamin ( seks ) dan konsep gender. Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang tertentu. Misalnya, bahwa manusia laki – laki adalah manusia yang memiliki sifat seperti berikut ini : laki – laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala, dan memproduksi sperma. Perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat untuk menyusui. Alat – alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki – laki, artinya tidak bisa dipertukarkan dan tidak berubah sesuai dengan ketentuan Tuhan daan kodrat.

Gender adalah interpretasi mental karena perbedaan fisikal ini, laki – laki cenderung didudukan secara antagonis. Sikap pasif emosional, mudah menangis dan tergantung pada lawan jenisnya, dianggap sebagai ciri yang melekat pada perempuan. Sementara laki – laki dipandang kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Kedua : perubahan yang terjadi dari waktu dan dari tempat ke tempat lain; misalnya zaman dahulu perem[puan kuat dan sebaliknya, ketiga : adalah dari kelas – kelas masyarakat yang lain dan juga berbeda. Pada perempuan kelas bawah di pedesaan pada tempat lain, serta dari kelas – kelas lainnya, itulah yang disebut dengan konsep gender. ( Fakih, 1996; 8-9 )


(31)

Kadang – kadang interpretasi mental ini lebih merupakan keadaan yang idela daripada apa yang seesungguhnya dilakukan dan dapat dilihat. Gender biasanya digunakan untuk menunjukkan pembagian kerja dianggap tepat bagi pria dan perempuan, sering kali kegiatan didefinisikan sebagai milik laki – laki dan perempuan yang diorganisasikan dalam hubunngan saling ketergantungan. ( Ihrohim, 1995:171 )

Konsep gender merupakan sifat melekat pada kaum laki – laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan dikenal lemah lembut, emosional dan keibuan, sementara laki – laki dianggap kuat, rasional, dan perkasa.

Gender terbagi dari beberapa elemen : ( 1 ) peranan gender yaitu peranan sosial yang ditentukan oleh perbedaan kelamin; ( 2 ) pembagian kerja gender, yaitu pola pembagian kerja dimana pria dan perempuan melakukan jenis kerja tertentu sering menimbulkan ketimpangan yang merugikan; ( 3 ) diskriminasi gender, yaitu system sosial dan budaya, peraturan – peraturan serta hukum dalam masyarakat yang melegimitasi berdasarkan jenis kelamin; ( 4 ) ketimpangan struktural gender, yaitu system diskriminasi gender yang dipengaruhi oleh adanya legitimasi oleh adat, peraturan administrasi ataupun perundang – uindangan. ( Astuti, 1995: 2 – 3 )

Terbentukknya perbedaan gender dikarenakan beberapa hal, diantaranya dibentuk melalui disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural. Kaum laki – laki harus bersifat kuat dan agresif, maka kaum laki – laki kemudian terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju kesifat gender yang ditentukan oleh suatu masyarakat tersebut, sebaliknya kaum


(32)

perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi serta ideology kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis selanjutnya. Karena proses sosialisasi tersebut, mnejdai sulit dibedakanapakah sifat – sifat gender itu, seperti kaum perempuan lemah lembut dan kaum laki – laki perkasa, dikonstruksikan atau dibentuk oleh masyarakat atau kodrat biologis yang ditetapkan oleh Tuhan.

Perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan gender (gender inegualities), baik bagi kaum laki – laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan system dan struktur, bagi kaum laki – laki dan perempuan menjadi korban dari system tersebut. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan yakni:

a). Gender dan marginalisasi perempuan : proses marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan, sesungguhnya banyak sekali terjadi dalm masyarakat dan negara yang menimpa laki – laki dan perempuan yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi. Marginalisasi kuam perempuan tidak saja terjadi ditempat kerja, juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara.

b). Gender dan subordinasi : anggapan bahwa perempuan tidak bisa tampil dalam memimpin. Berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Adanya anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah yang tinggi. Hal ini berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil.

c). Gender dan beban kerja : adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, seta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat


(33)

bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan konsekuensinya banyak kaum perempuan bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya.

d). Gender dan kekerasan : kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, nmaun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu adalah disebabkan oleh gender. ( Fakih, 2001: 7 – 13 )

Ada beberapa macam dan bentuk kekerasan gender, diantaranya : (1) Bentuk pemerkosaan, termasuk perkosaan dalam perkawinan, perkosaan ini terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelan yang bersangkutan. (2) Tindakan pemukulan dan serasngan fisik yang terjadi dalam rumah tangga dan penyiksaan terhadap anak. (3) Bentuk penyiksaan mengarah pada organ vital. (4 ) Kekerasan dalam bentuk pelacuran, pelacuran merupakan bentuk pelacuran, pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh mekanisme ekonomi ynag merugikan kaum perempuan. (5) Kekerasan dalam bentuk pornografi, pornografi merupakan kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk nonfisik, yakni pelecehan terhadap tubuh perempuan yang dijadikan sebagai objek demi keuntungan seseorang. (6) Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalalm keluarga berencana. (7) Jenis kekerasan terselubung (molestation) yakni memegang dan menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dimasyarakat yang dikenal dengan pelecehan seksual atau sexsual and emotional harassment. ( Fakih, 2001 : 18 – 20 )

Tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik itu secara domestik maupun publik, secara individu maupun kelompok, perempuan tidak pernah mendapatkan


(34)

perhatian secar proposional. Masalah ini yang merupakan pelanggaran hak asasi perempuan sebagai manusia, tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang serius. Aturan yang melindungi kaum perempuan masih sangat lemah. ( Imam, 2004 : 43 )

2.1.4. Perempuan dan Media

Citra perempuan ( image of women ) dengan tugasnya sebagai pengurus rumah tangga yang sudah jauh lebih dahulu terbentuk ketimbang kemunculan media massa. Ketika kita melihat iklan di televisi yang menayangkan perempuan sedang memasak dengan memakai bumbu masak tertentu. Disitu kita disuguhi citra tentang posisi sosial perempuan yang sudah baku dalam kehidupan masyarakat, yakni sebagai pengelola utama kebutuhan konsumsi rumah tangga.

Tayangan iklan ini itu tidak menampilkan sesuatu yang baru tentang citra perempuan. Iklan itu hanya ”mengambilalih” sesuatu yang dianggap wajar dan seharusnya terjadi dalam kehidupan, yakni salah satu jenis pekerjaan yang melekat pada perempuan sebagai pemasak makanan untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga. Meskipun mungkin perempuan yang memasak itu memakai pakaian yang bersih, baru dan modis, peralatan masaknya serba barucanggih, serta dapur yang luas dan bersih, secara subtansial iklan itu tidak mengubah atau membuat kreasi baru tentang citra perempuan. Iklan itu tidak hanya memperlihatkan tiruan langsung, kemasan dari pola pembagian kerja antara laki – laki dan perempuan dalam realitas histories masyarakat. Media, disana katakanlah hanya sekedar perpanjangan tangan atau instrument yang dipakai untuk menyebarluaskan citra tentang perempuan yang sudah terbentuk dalam kenyataan tidak bermasyarakat. Dengan katalain, media


(35)

tersebut lebih merepresentasikan sisi normatif pandangan masyarakat tentang citra perempuan. Media hanya menayangkan atau menggambarkan kembali melalui iklan, berita, features, dan sebagainya. Sifat – sifat feminim yang dilekatkan pada diri perempuan. Umpamanya keharusan untuk lebih mempertimbangkan emosi ketimbang pikiran, berperilaku halus dan lemah lembut daripada kasar, serta peran sosialnya yang mesti berkiprah rumah tangga ( domestik ) bukan di publik yang sejak lama dibentuk masyarakat.

Melalui ragam media, citar perempaun ditampilkan dengan berbagai daya tarik feminitasnya, apakah itu tubuhnya yang langsing, suaranya yang merdu, pakaiannya yang modis dan up to date, serta perilaku yang mengesankan keanggunan. Kalaupun ditampilkan maskulin, seperti agresif dan kasar serta berpakaian layak laki – laki, hak itu akan dianggap sebagai penyimpangan belaka. Demikian juga, kerapkali kita melihat ragam media yang menghidangkan tampilan aktivitas perempuan yang sedang mencuci, mengasuh anak, memasak, serta menyapu dan mengepel rumah dengan penuh keceriaan. Dan jika ditampilkan peekerjaan perempuan di luar rumah, kalupun tidak disosialisakan dalam penyimpangan, selalu dikaikan dengan pengertian seperti membantu menambah pendapatan suami atau sekedar mengisi waktu senggang setelah pekerjaan di rumah selesai. Tetapi yang lebih tendensius, perempuan yang bekerja di luar rumah itu digolongkan sebagai ”wanita karier” ambisius tidak peduli suami dan keluargaanya dan hanya mengerjakan kepentingan sendiri.

Dengan mengambarkan atau menceritakan perilaku dan aktivitas perempuan sepereti itu, media tanmpak hanya memperkuat citra perempauan yang sudah


(36)

dibangun sebelumnya. Tampilan substansi media itu bukan sesuatu yang baru, mungkin yang baru hanya pada tingkatan performance-nya, bukan isinya. Adakah media yang menampilkan laki – laki yang mengasuh dan mengajari anak yang memasak atau mencuci pakaian, dan yang sedang membersihkan rumah? Sangat jarang sekali untuk tidak menyebutkan tidak ada. Dengan demikian, media tampak lebih merepresentasikan citra yang sudah dibuat masyarakat, yang mengisahkan identitas mental ( feminism dan maskulin ) dan pembagian kerja seksual ( ranah domestic dan rana public ) antara laki – laki dan perempuan. Itu berarti ikut memperkuat pembakuan stereotype yang sudah dikonstruksi masyarakat.

Suatu analisis mengenai peran media menyebutkan, media cenderung lebih banyak memperkuta perilaku dari pada mengubahnya. Bahkan aktivitas suatu media bisa saja tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan pada orang yang menjadi sasarannya. Perubahan yang kecil sekalipun dapat terjadi tanpa aktivitas komunitas.

2.1.5. Perempuan dalam Film

Film merupakan bagian dari media massa yang menstranformasikan kehidupan masyarakat kita didalamnya. Harus kita akui hubungan antara film dan kehidupan masyarakat memiliki sejarah yang panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Dijelaskan pula oleh Dennis Mc. Quail; sebagai media massa, film mempunyai fungsi penyebar hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknik lainnya kepada masyarakat umum ( Dennis, 1994 : 13 – 14 ).


(37)

Dewasa ini sangat gencar dibicarakan tentang sosok perempuan mengenai keberadaannya dalam film Indonesia. Film sebagai tempat yang memungkinkan untuk mempertanyakan dominasi nilai – nilai yang diacu oleh ideology dominan dalam masyarakat, termasuk nilai – nilai patriarkhi. Film – film Indonesia dinilai terpaku pada satu wajah yang sama ( Krishna Sen, Prisma 7 Juli 1981 : 31 ). Perempuan dalam pandangan kebudayaan Indonesia menurut Krisna Sen adalah perempuan yang kawin yang bernaung di bawah laki – laki.

Citra perempuan sebagai kaum yang lemah dan sebagi korban dalam kehidupan adalah suatu citar yang ditempa sejak ratusan tahun silam. Budaya film Indonesia pun melestarikan citra tersebut. ( Subandy, 1998 : 107 )

Film yang dipopulerkan tahun 70-an sudah menunjukkan bahwa keberadaan perempuan selalu berada pada posisi yang dirugikan, misalnya dalam film ”Suci Seorang Primadona” karya Arifin C Noer. Dalam film ini, suci menjadi bintang penghibur dan penyayi yang mengadu nasib, menjadi objek ynag dikhianati oleh pria dan mengarah pada suatu pelacuran. ( Subandy, 1998 : 270 )

Dalam film Indonesia terlihat sangat miskin perpektif tentang keberadaan perempuan. Apabila kita lihat, kecenderungan penggambaran perempuan dalam film – film produksi beberapa tahun belakang ini, gambaran yang muncul masih selalu seputar perempaun yang beraitamnn dengan lingkungan domestiknya saja yang akhirnya membawa mereka pada suatu kondisi yang merugikan karena intinya mereka ingin berontak dan beanjak dari posisi yang membosankan bagi mereka. Perempuans sering tampak menangis bila menghadapi maasalah, terlalu banyak


(38)

bicara dan kuarang panjang akal, hal ini menjadi ciri yang utama bagi perempuan. ( Subandy, 1998 : 295 )

Tetapi Pasir Berbisik mengawali sebuah babak baru dalam film Indonesia yaitu lahirnya fim Perempuan. Dalam kajian – kajian gender dan budaya, film perempuan (women’s cinema) mendapat sebuah tempat sendirri. Pembuatan film perempuan lahir sejak adanya industri film Barat. Pada tahun 1920-an dan 1930-an lahir film perempaun melalui tanagn Dorothy Arzner dan Ida Lupino, misalnya.

Keinginan membuat film perempaun itu berangkat dari kenyatan bahwa film menjadi sebuah industri yang dikuasai laki – laki. Perempaun, kalaupun ia tampil menjadi tokoh utama film itu, menyampaikan dan menstranformasikan ideology yang seksis dan membuatnnya tidak tampak, dan karenanya tampak alamiah. Claire Johnstan dalam woman’s cinema as counter cinema (1999) menelusuri akar stereotype perempuan didalam film melalui sejarah film itu sendiri di Hollywood.

Pertanyaan besarnya adalah mengapa stereotype primitive perempuan tidak banyak berubah meskipun ada modifikasi, sementara laki – laki mengalami diferensiasi sangat cepat. Banyak kajian tentang penstereotipan perempuan di dalam film mengambil pandangan monolitik tentang media sebagai titik awalnya yaitu media bersifat represif dan manipulatif.

Johnston meyebutkan stereotype didalam film ini berawal dari mulainya cerita film. Pada massa awal penonton mengalami kesulitan mengartikan apa yang muncul di layar. Pengikonan yang pasti dan tetap lalu diperkenalkan untuk memberikan kepada penonton fakta – fakta dasar untuk memahami cerita. Pengikonan sebagai sebuah tanda khas berdasrkan konvensi tertentu di dalam genre – genre fim


(39)

Hollywood menurut Johston ikut bertanggungjawab terhadap terjadinya penstereotipan di dalam film komersial.

Ketika dalam kenyataannya penstereotipan perempuan dalam film tidak banyak beranjak dari film cerita pertama – tama diperkenalkan taplak bermotif kotak – kotak menggambarkan keadaan miskin tetapi jujur, perkawinan yang berbahagia tetapi terancam oleh peristiwa di masa lau digambarkan dengan istri menuangkan kopi untuk suaminya, ciuman pertama disimbolkan oleh perempuan memainkan dasi kekasihnya berhubungan dengan ideology yang seksis di Hollywood.

Menurut Johston mitos – mitos yang mengusai fim tidak berbeda dari mitos – mitos yang berhubungan dengan produk budaya lainnya, yaitu berhubungan dengan system nilai standar didalam sebuha system budaya di sebuha masyarakat tertentu.

Dengan mengutip penelitian Roland Barthes mengenai mitos sebagai penanda sebuah ideology, Johnseston menjelaskan bagaimana sebuah mitos tentang perempuan dipandang sebagai hal yang sebenarnya. Tnada bisa dihilangkan dari tempat awalnya dan sebuah pengertian baru ditempelkan di tempat itu. Dengan cara ini sebuah konotasi baru secara salah dipandang sebagai tanda yang dialami.

Christine Hakim mengatakan keinginannya membuat sebuah film perempuan terbangkitkan ketika ia mengujungi Festival Film Kyoto tahun 1993, dan kemudian seminar tiga hari tentang perempuan di dalam film dan televisi yang diadakan di Australia.

Di Australia menurut Christine ternyata 30 persen dari pekerjaan film yang menduduki posisi kunci mengambil keputusan dipegang oleh perempuan. Bila lebih banyak perempuan duduk dalam posisi pengambil keputusan, Christine berharap film


(40)

yang diproduksi juga akan lebih imbang dalam menyuarakan peran perempuan dalam kehidupan.

Film Pasir Berbisik menuturkan apa yang Christine sebutkan sebagai suara perempuan. Kekuatan perempaun digambarkan melalui keberanian Berlian untuk meninggalkan kampungnya yang dibakar entah oleh siapa dan atas alasan apa, pada keteguhannya untuk menyambung kehidupan dengan bekerja membuka warung dan menyediakan jamu. Melindungi anak perempuannya tidak mengikuti jejak adik perempuan berlin yang menjadi penari keliling dengan resiko harus dengan anak perempuannya sendiri yang merindukan kehidupan baru.

Berlian adalah seorang peramu jamu, pekerjaan ini dilakukan banyak perempuan melahirkan kehidupan baru. Dua pekerjaan itu dekat sekali dengan perempuan karena perempuan memilik raim yang menggendong kehidupan. Film ini menampilkan multidimensi perempuan yang hidup dalam system patriarkhi.

Pada Pasir Berbisik peran Suwito digambarkan sebagai seorang yang baik hati dan sinterklas yang siap menolong. Bahkan keinginan seksualnya kepada Daya pun tidak tersalurkan melalui sentuhan fisik sama sekali.

Boleh jadi sutradara tidak ingin menampilkan kekerasan secara telanjang dalam film ini, tetapi komentar dari sejumlah orang yang juga menonton film ini bisa menjadi bahwa pesan yang sampai bisa membingungkan bahkan menyesatkan.

Pada akhir cerita Berlian memutuskan untuk menyelesaikan persoalan dengan mengakhiri hidup Agus yang dimunculkan melalui pemberian jamu dan keudian gubuk tempat Agus tinggal tertimbun pasir. Tetapi, tidak ada penyelesaian untuk Suwito, si pemilik modal yang bisa melakukan lagi hal yang sama kepada perempuan


(41)

muda lain selama ia memiliki uang dan ada orang yang juga seperti Agus yang tega berbuat apa saja demi uang.

Keinginan untuk menampilkan film yang lahir dari tangan perempuan dan menyuarakan perempuan, merupakan sebuah tandingan terhadap budaya patriarkhi yang mendominasi media ini seperti yang dengan telanjang kita bisa lihat di media elektronik dan cetak kita saat ini. Film, khususnya memiliki kekuatan untuk menyeimbangkan gambaran tentang perempuan. Hal ini penting dalam membicarakan film perempuan adalah ideology.

Menurut Johnston alat dan teknik didalam film itu sendiri, sebagai bagian dari kenyataan, merupakan sebuah ekspresi dari ideology: mereka tidak netral, seperti yang tmapaknya diyakini banyak pembuat film ” revolusioner ”. Menurut para idealis bahwa kebenaran bisa ditangkap melalui kamera, atau sebuah kondisi pembuatan film, misalnya film yang secara kolektif oleh para perempuan bisa dengan sendirinya merefleksikan keadaan film yang diproduksi.

Sebuah arti baru, demikian Johnston mengatakan, harus diproduksi dalam teks film. Lebih lanjut, bila pandangan bahwa film melibatkan produksi tanda – tanda, maka pendapat bahwa tidak boleh ada campur tangan, menjadi tidak bisa diterima karena tanda selalu merupakan sebuah produk apa yang ditangkap secara ”netral” oleh kamera..

Johnston mencontohkan film yang dibuat oleh Dorothy Arzner pada tahun 1940 – an berjudul ”Dance, Girl, Dance ” ceritanya tentang gadis penari. Pemeran utama, Bubbies dan Judy, menggambarkan ikonografi yang primitive tentang perempuan, yaitu perempuan penggoda dan heteroseksual.


(42)

Pemeran utama itu dimunculkan dalam dua stereotype keperempuanan yang berhadapan, seksualitas versus keangguann dan kenaifan. Kontradiksi itu dituturkan dalam film melalui hal yang akan dikenali semua perempuan yaitu kontradiksi antara hasrat untuk menyenangkan ( laki – laki sebagai penonton ) dan hasrta menari sebagai ekspresi diri.

Bubbles memilih untuk menyenangkan penontonnnya, sementara Judy memilih ekspresi diri. Menjelang akhir cerita film Arzner menunjukkan apa yang ingin disampaikan film itu : Judy dalam kemarahan berbalik kearah penontonnya dan mengatakan apa yang dilihatnya dari penonton laki – lakinya.

Menurut Johnston ini adalah sebuah proses satu arah yang menunjukkan serangan langsung kepada penonton di dalam / film dan penonton film itu, dengan efek secara langsung menantang seluruh gagasan / tentang perempuan sebagai penonton yang di dalam film mendominasi laki – laki dipandang tidak hadir. Dan untuk bisa berhasil sebagai sebuah tontonan, film perempuan harus menyatukan ide film sebagai alat politik sekaligus film sebagai hiburan.

Dalam hal ini Pasir Berbisik sedikit banyak telah mencoba melakukannya : seksualitas perempuan tidak seluruhnya ditekan karena juga dimunculkan dalam peran penari adil Berlian, gambar – gambar yang indah sepanjang film, dan kekuatan perempuan ditampilkan pada puncaknya ketiak Berlian memutuskan bahwa ada akhir kejahatan yang dilakukan Agus dan ia membunuh egoismenya dengan menyuruh Daya pergi intuk sebuah kehidupan yang lebih baik. ( kompas_online.com )


(43)

2.1.6. Film Sebagai Media Massa dalam Masyarakat

Film dan masyarakat mempunyai hubungan yang dipandang linier, artinya film selalu memepengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksiknnya kelayar (Irawanto, 1999:13).

Film sebagai refleksi dari masyarakat, tampaknya menjadi perspektif yang secara umum lebih mudah disepakati, sebagaimana yang dikemukakan Garth Jowett (1971), yaitu :

”It’s more generally agr that mass media are capable of ’reflecting’ society because they are forced by their commercialnature to provide alevel of content which will guarantes the widest possible audience”

Proposisi Jowett ini menunjukkan bahwa kepentingan komersial justru menjadi imperative bagi isi media massa (film) agar memperhitungkan khalaknya, sehingga dapat diterima secara luas. Karakteristik film sebagai media massa mampu membentuk semacam visual public consensus. Hal ini disebabkan karena isi film selalu bertautan dengan nilai yang ada dalam masyarakatnya. Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial membuat para ahli percaya bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya (Jowett, dalam Irawanto, 1999:13).


(44)

Graeme Turner menyebut perspektif yang dominan dalam seluruh studi tentang hubungan film dan masyarakat diatas sebagai pandangan yang reflectionist. Pandangan ini melihat film sebagai cermin yang memantul kepercayaan – kepercayaan dan nilai dominan dalam kebudayaan. Perspektif ini dipandang sangat ’primitif’ dan mengemukakan metafor yang tidak memuaskan, karena menyederhanakan prosses seleksi dan kombinasi yang selalu terjadi dalam setiap komposisi ungkapan baik film, prosa atau bahkan percakapan. Diantara film dan masyarakat sesungguhnya terdapat kompetisis dan konflik dari berbagai faktor yang mnentukan baik bersifat kultural, subkultural, industrial, serta institusional (Irawanto, 1999:13).

Untuk itu dapat dipahami jika Turner (dalam Irawanto, 1999:14) menolak perspektif yang melihat film sebagai refleksi masyarakat dengan mengatakan bahwa:

”film does not reflect even record reality; like any other medium of representation, it construct and ’represent’ it’s picture of reality by way codes, conventioons, myths, and ideologies of it’s culture as well as by way of the specific signifying practices of the medium”.

Makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat, bagi turner, berbeda dengan sekedar refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar ’memindah’ realitas kelayar tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu, sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan ’menghadirkan kembali’ realitas berdasarkan kode – kode, konvensi – konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya.


(45)

Film merupakan salah satu media massa yang erat kaitannya dengan ’representasi’. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Graeme Turner bahwa film adalah representasi dari suatu realitas (Irawanto, 1999:13). Representasi mengacu pada konstruksi media massa, termasuk film, yang mengkonstruksikan aspek – aspek ’realitas’ seperti individu, tempat objek, peristiwa, identitas kultural dan konsep – konsep abstrak lainnya. Representasi ini dapat dituangkan ke dalam bentuk spech, writing, atau bahkan moving images yakni film. Representasi – representasi tersebut dibuat sedemikian rupa agr terlihat ’natural’ dan sistem – sistem yang ada pada representasi adalah inti yang termuati oleh ideologi – ideologi tertentu (http://www.aber.ac.uk/media/documents/s4B/sem12a.htm).

Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk imajinasi ataupun realitas dalamarti sebenarnya. Film menunjukkan pada kita jejak – jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan ’ citra bergerak’ (moving image), namun juga telah diikuti oleh muatan – muatan kepentingan tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup (http://situskunci.tripod.com/teks/victor1.htm).

Sebuah film membawa muatan – muatan ideologi yang mrupakan hasil kostruksi film makernya, seperti yang dinyatakan oleh Gianetti :

”... the term (ideology) is generally associated with politics and party platforms, but it can also mean a given set of values that are implicit in any human


(46)

enterprice – including film making. Virtually everyu movie presents us wih role models, ideal ways of behaving negative traits, and an implied morality based on the film maker’s sense of right and wrong” (ginetti, 1996:392).

Istilah ideology umumnya berkaitan dengan dunia politik dan program – program partai, namun bias juga diartikan dengan dunia politik dan program – program partai, namun bias juga diartikan sebagai bentuk penilaian yang tersirat dalam setiap hasil/produk manusia termasuk didalam pembuatan sebuah film. Setiap film menyajikan kepada kita model – model peran, nilai – nilai yang ideal dalam bertindak, perilaku – perilaku negative sserta nilai – nilai moral, berdasarkan rasa kebenaran dan kesalahan menurut si pembuat film tersebut.

Dalam perspektif Marxian, film sebagai institusi social dianggap memiliki aspek ekonomis sekaligus ideologis. Film senantiasa berkisar pada produksi representasi bagi masyarakat yang telah disiapkan untuk diharapkan memperoleh kesenangan didalam sistem yang menjamin berputarnya kapital. Menurut Claire Johnston (Turner, 1991), pentingnya kajian film dalam kebudayaan Marxist terletak pada lokus film dan hubungannya dengan produksi, alih – alih pada konsumsi. Film sebagai produksi makna melibatkan pembuat maupun penonton film. Bagaimana juga Graeme Turner memandang bahwa hubungan antara film dan ideologi kebudayaanya bersifat problematis, karena film adalah produk dari struktur sosial, politik, dan budaya, serta sekaligus membentuk dan mempengaruhi dnamika struktur tersebut (Irawanto, 1999:15).


(47)

2.1.7. Pendekatan Semiotika Dalam Film

Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural and Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektifdalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif yang pertama melihat komunikasi sebagai transisi pesan. Sedangkan perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Bagi perspektif yang kedua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika. (Ilmu tentang tanda dan makna, Fiske, 2006:9)

Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya untuk dapatmenghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam budaya kita. Perspektif ini sering kali menimbulkan kegagalan berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan. Untuk itulah pendekatan yang berasal dariperspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan semiotik.

Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda – tanda (Chandler, 2002:www.aber.ac.uk) studi ini tidak hanya mengarah pada ’tanda’ dlam kehidupan sehari – hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda – tanda tersebut. Bentuk – bentuk tanda disini antara lain berupa kata – kata, images, suara, gesture, dan objek. Bila kita mempelajari tanda tidak biasa memisahkan tanda yang satu dengan tanda yang lain membentuk suatu sistem, dan kemudian disebut sistem tanda. Lebih sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut


(48)

John Fiske dan John Hartlye, konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda – tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode – kode. (Chandler, 2002: www.aber.ac.uk)

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analiisis struktural atau semiotika. Seperti dikemukakan (Van Zoest, 1993:109 dalam Sobur, 2004 : 128). Film dengan tanda semata – mata tanda – tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Karena itu, menurut Van Zoest, bersamaan dengan tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tnada yang menggambarkan sesuatu ( Van Zoest, 1993:109 dalam Sobur 2004:128). Memang ciri dari gambar – gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar – gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikan.

Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda – tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang digunakn. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara, kata yang diucapkan (ditambah dengan suara – suara lain yang serentak mengiringi gambar – gambar ) dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting dalam film adalah digunakannya tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu. (Sobur, 2004:128)

Menurut Fiske dala bukunya berjudul Television Cultural, analisis semiotik pada sinema atau film layar lebar (wide screen) disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televisi. Fiske mengkategorikan sign pada kode representasi


(49)

((representational codes). Kode – kode tersebut bekerja dalam sebuah struktur hirarki yang kompleks. (Fiske, 1990:40 dalam Mawardhani, 2006:39). Analisis yang dilakukan pada film Pasir Berbisik ini dapat terbagi menjadi beberapa level, yaitu : 1. Level Realitas (Reality)

Pada level ini, realitas dapat berupa penampilan, pakaian dan make-up yang digunakan oleh pemain, lingkungan, perilaku, ucapan, gesture, ekspresi, suara dan sebagainya yang dipahami sebagai kode-kode teknis (http://www.questia.com). Kode – kode sosial yang merupakan realitas yang akan diteliti dalam penelitian ini, dapat berupa :

a. Penampilan, kostum dan meke-up yang digunakan oleh pemain di film ”Pasir Berbisik”. Dalam penelitian ini pemeran yang menjadi objek penelitian adalah Berlian, Daya, serta para kaum perempuan yang ada dalam Film tersebut. Bagaimana pakaian dan tata rias yang digunakan, serta apakah kostum dan make-up yang ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan kultural.

b. Lingkungan atau setting, yang ditampilkan dari cerita tokoh Berlian, Daya, serta para kaum perempuan yang ada dalam Film tersebut, bagaimana simbol-simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan makna didalamnya.

c. Dialog, berupa apa makna dari kalimat – kalimat yang diucapkan dalam dialog. 2. Level Representasi (represetation)

Level representasi meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, dan suara yang ditransmisikan sebagai kode – kode representasi yang bersifat


(50)

konvensional. Bentuk – bentuk representasi dapat berupa cerita, karakter, action, dialog, setting, casting, dan sebagainya. (http://www.questia.com)

Level representasi meliputi :

a. Teknik Kamera : Jarak dan sudut pengambilan.

1. Long shot : Pengambilan yang menunjukkna semua bagian dari objek,

menekankan pada background. Shot ini biasanya dipakai dalam tema – tema sosial yang memperlihatkan banyak orang dalam shot yang lebih lama dan lingkungannya dari pada individu sebagai fokusnya.

2. Medium shot : Menunjukkan subjek atau aktornya dan lingkungannya

dalam ruang yang sama. Biasanya digunakan untuk memperlihatkan kehadiran dua atau tiga aktor secara dekat.

3. Close up : menunjukkan sedikit dari scene, seperti karakter wajah dalam

detail sehingga memenuhi layar, dan mengaburkan objek dengan konteksnya. Pengambilan ini memfokuskan pada perasaan dan reaksi dari seseorang, dan kadangkala digunakan dalam percakapan untuk menunjukkan emosi seseorang.

c. Pencahayaan :

Macamnya soft and hard lighting, dan backlighting. Cahaya menjadi unsur media visual, karena cahayalah informasi bisa dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsur teknis yang membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga, pada mulanya disebut sebagai “painting withlight”, melukis dengan cahaya. Namur dalam perkembangannya bertutur dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semaking banyak. Yakni mampu menjadi informasiwaktu,


(51)

menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang dramatik adegan. (Biran, 2006:43)

3. Level Ideologi (Ideology)

Level ideology di organisasikan kedalam kesatuan (coherens) dan penerimaan sosial (social acceptability) seperti individualisme, kelas patriarki, gender, ras, materialisme, capitalisme, dsb. Hal ini didasrkan pada pernyataan yang diungkapkan oleh (Gianetti, 1996:392) :

“the term (ideology) is generally associated with politics and party platforms, but it also mean a given set of values that are implicit in any human enterprise – including film making. Virtually every movie presents us with role models, ideal ways of behaving negative traits, and an implied morality based on the film makers sense of right and wrong”.

2.2 Kerangka Berpikir

Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan maka dapat diketahui bahwa untuk mengerti dan memahami beberapa bentuk visual yang merepresentasikan keberadaan perempuan di dalam masyarakat dalam film “Pasir Berbisik” peneliti menggunakan teori analisis semiotic film oleh John Fiske, analisis semiotik pada sinema atau film layer lebar (wide screen) disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan ditelevisi yang dikemukakan olehh John Fiske. Analisis ini terbagi menjadi level realitas, level representasi, dan level ideology.


(52)

Dalam pengembangan kerangka berpikir peneliti menggunakan analisis berupa representasi terhadap scene – scene yang menunjukkan karakteristik yang lebih khususnya kepada perjuangan perempuan. Karena pada tokoh – tokoh wanitanya adalah sosok yang ingin memberontak terhadap kungkungan suatu ideology patriarki / lingkungan yang didominasi oleh laki – laki untuk mencari kebahagiaan diri, dan dalam kehidupannya ingin mencari keselarasan kesetaraan gender meski hidup dalam lingkungan yang tidak menentu.

Pada penelitian ini, pertama film akan di pilah penanda – penandanya ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun. Pada tahap kedua Film ”Pasir Berbisik” scene – scene yang sudah dipilah tersebut dianalisa secara mendalam dan dimaknai, yang menunjukkan adegan feminisme, menurut level realitas dan representasi menurut John Fiske.

Fenomena perihal kedudukan yang sejajar antara laki – laki dan perempuan dan efeknya pada generasi penerus sangat menarik untruk diangkat ke sebuah film. Mengingat pada era globalisasi seperti saat ini dimana faktor eksternal dalam lingkungan semakin banyak terdapat hal negatif, peran perempuan sangatlah penting. Penelitian ini menggunakan studi semiotik John Fike, mengingat film ini terdiri dari mitos yang mendasari tanda – tanda yang perlu dimaknai. Sehingga akhirnya diperoleh hasil dari interpretasi data mengenai representasi perempuan dalm film ini.


(53)

BAB III

Metodologi Penelitian

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan pnelitian deskristif dengan menggunakan semiotik. Semiottik yang digunakan dalam peenelitian ini merupakan bagian dari teori signs dan meaning, yang mana penggunaan pendekatan tersebut didasarkan pada tulisan Aart van Zoest yang menyatakan :

“Semiotik adalah ilmu tanda, studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungan dengan tanda – tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya (Zoest, 1996:5).”

Penelitian yang menggunakan semiotik merupakan penelitian pesan komunikasi yang bersifat eksploratif dengan metode kualitatif. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini observasi non partisipasi. Peneliti memusatkan perhatian pada analisis semiotik yaitu peneliti harus menggunakan symbol dan subjek yang terdapat dalam film yang akan digunakan. Peneliti kali ini difokuskan pada pemaparan simbol, pesan serta makna yang terdapat dalam film Pasir Berbisik tentang keberadaan perempuan.

3.1.1. Waktu penelitian


(54)

3.2Definisi Operasional 3.2.1. Film

Film yang dimaksud dalam penelitian ini adalah film teatrikal (layar lebar) jenis film cerita, yaitu yang menyajikan suatu cerita dan diproduksi secara khusus untuk dipertukkan digedung – gedunng bioskop/cinema (Effendy, 1986:222). Film jenis ini berbeda dengan fim televisi (television film) atau sinetron (sinema elektronika) yang khususnya dibuat untuk siaran televisi. Film teatrikal dibuat secara mekanik, sedangkan film televisi dibuat secara elektronik (Effendy, 1993:201). Berkaitan dengan penelitian ini, yang ingin diteliti ialah tentang penokohan dalam sebuah film layar lebar, yaitu penokohan Perempuan dalam film PASIR BERBISIK, dalam hal merepresentasikan keberadaan perempuan.

Gambar 1 & 2. Daya dan Ibunya, pada Scene 1 & 2

Ibunya yang merasa kasian dengan Daya anaknya yang merasa kesepian dan kurang kasih sayang dari seorang bapak yang pergi tanpa meninggalkan pesan / (laki – laki yang dengan seenaknya mencampakkan Istri dan anaknya).


(55)

Gambar 3. Daya dan Ibunya pada Scene 7

Ibunya menasehati daya dengan berpesan agar jangan pergi di padang rerumputan lagi seorang diri anak gadis, karena pantang bagi seorang gadis untuk pergi sendiri disana, karena menurut sang Ibu sang gadis dapat dianggap sebagai perempuan ‘nakal’ bila ada lelaki yang melihatnya. Dayapun masih membantah dan tidak mengerti maksud omongan Ibunya tersebut karena Ibunya pun tidak apa – apa walau pergi sendirian di tempat tersebut.(karena menurut diri sang Ibu dia lebih bisa menjaga diri dibanding dengan anaknya yang masih belum seberapa tahu kisah seluk beluk di desanya tersebut).

Gambar 4 & 5 Berlian dan Ibu Suri membantu proses Aborsi seorang gadis, pada Scene 8 & 9

Proses pengguguran yang kerap dilakukan di pedesaan tempat mereka tinggal itukarena memang sering terjadi adanya perilaku menyimpang antara seorang laki – laki


(56)

pada seorang gadis. Karena perempuan yang hanya dianggap sebagai alat pemuas nafsu birahi saja/perjuangan kehidupan perempuan untuk relasi kesetaraan gender yang menjadi kisah harus bisa diperjuangkan.

Gambar 6 & 7, Daya dan Ibunya (Berlian); perjalanan pada saat mencari tempat tinggal kembali pada scene 17 & 18

Betapa sulitnya perjalanan kehidupan ini tanpa ditemani seorang laki – laki, apalagi laki – laki tersebut pergi mencampakkan keluarga tidak peduli nasib keluarganya. Perjalanan Daya dan Ibunya hádala untuk mencari tempat tinggal dimana mereka ingin berteduh.

3.2.2 Representasi

’Representasi berasal dari kata dasar dalam bahasa Inggris ’represent’ yang bermakna ’stand for’, artinya ’berarti’, atau juga ’act as a delegate for’ yang berarti bertindak sebagai ’perlambang’ atas sesuatu (Krebs, 2001:456). Oleh karena itu, yang dimaksud dengan representasi perempuan melalui pentokohan perempuan dalam film ”Pasir Berbisik” berarti bahwa di dalam film ini terdapat sistem tanda pada tokoh yang memiliki makna tentang ide – ide keberadaan perempuan.


(57)

3.2.3 Perempuan

Dalam pandangan masyarakat Indonesia, kata perempuan mengalami degradasi semantis, atau peyorasi, penurunan nilai makna, arti lebih rendah dari arti dahulu (Kridalaksana, 1993). Di pasar pemakaian, terutama di tubuh birokrasi dan kalangan atas, nasib perempuan terpuruk di bawah kata wanita, sehingga yang muncul adalah Menteri Peranan Wanita, Pengusaha Wanita, Peranan Wanita dalam pembangunan, dan pastilah bukan *Menteri Peranan Perempuan, *Pengusaha Perempuan, *Peranan Perempuan dalam pembangunan. Sementara itu, kata keperempuanan berarti “perihal perempuan”, maksudnya adalah pastilah masalah yang berkenaan dengan keistrian dan rumah tangga. Dalam hal ini, meski tidak terlalu rendah, tetapi jelas bahwa kata ini menunjuk perempuan sebagai ‘penunggu rumah’.

3.3 Jenis Data a. Data Primer

Data yang diperoleh langsung dari peneliti melalui cara observasi terhadap objek penelitian dalam hal ini film Pasir Berbisik.

b. Data Sekunder

Data yang diperoleh melalui sumber – sumber lain yang sudah dikumpulkan dari berbagai sumber data antara lain buku, VCD film Pasir berbisik, dan Internet. Hal lain berita dengan kajian film dilakukan dengan penelusuran study pustaka.


(1)

Film – film Indonesia masih terpakai pada saat wajah perempaun yang sama. Perempuan yang diterima adalah perempuan yang menikah dan bernang dibawah laki – laki, perempuan yang menjadi kepenuhan pribadinya yaitu perempuan yang mandiri adalah perempuan terkutuk dan contoh kekalahan dalam hidup masyarakat berpijak pada stereotype yang lam yakni perempuan yang ideal adalah perempuan pasif, menderita tanpa protes, kuat perasaannya akan tetapi tidak mengungkap semuanya melainkan memendam di hati. Perempuan yang diterima adalah perempuan yang menikah, mengurus anak dan suami, mengurus rumah tangga atau seorang yang secara protektif demikian, dengan beberapa pengecualian yang sedikit jumlahnya.

Peran produktif sosial trcermin dalam film tersebut, ketika muncul kesatuan seksual yaitu lingkungan yang tak berujung, perempuan dikodratkan untuk hamil, dan melahirkan akan tetapi kehamilan yang tejadi karena tidak adanya batasan antara ruang dan waktu dan dilakukan dengan pasangan yang tidak melalui konvensi agama, dan hukum, maka perempuan yang tidak siap mengalami kenyataan bahwa ada benih dalam rahimnya, perempuan menjadi lemah kemudian mengambil jalan aborsi. Aborsi dilakukan karena tidak adanya pertanggung jawaban dari laki – laki atas perbuatannya. Hamil di luar nikah akan mendapat sangsi oleh masyarakat yang dikucilkan, maka aborsi dijadikan suatu kebudayaan bagi sebagian orang.

Secara sosial perempuan memang adalah nomor dua dari laki – laki, secara spiritual dia menerima dan mendukung laki – laki. Film Indonesia memotret perempuan didalam perannya yang tergantung pada laki – laki dan film Indonesia


(2)

harus bisa merubah stereotype tersebut. Meskipun gambaran perempuan dalam film Indonesia yang hanya ada pada dua titik ekstream yakni lemah dan perkasa. Mungkin lebih disebabkan karena “miskinnya” pola pikir para pembuat fim, yang seolah – olah tidak mengenal realitas, tak mengenal konsep perubahan dan asyik berkutat pada apa yang ada dalam benaknya sendiri saja tau boleh dikatakan bahwa film Indonesia juga merupakan cermin “miskinnya” pola pikir masyarakat indonesia.

Film Indonesia memotret perempuan dalam perannya yang tergantung pada laki – laki dan film Indonesia harus dapat merubah stereotype tersebut. Kita telah melihat perubahan di dalam peran sosial yang seluruhnya ditentukan oleh laki – laki dan perempuan tidak bisa menentukan keinginan hatinya sendiri.

Meskipun gambaran dalam film Indonesia hanya ada pada dua titik ekstream yaitu lemah dan perkasa. Mungkin lebih disebabkan oleh pola “miskinnya” pola pikir para sineas kita terhadap pemahamannya tentang realitas tak mengenal konsep perubahan dan lebih menikmati terhadap apa yang ada didalam benaknya sendiri. Atau boleh dikatakan bahwa film Indonesia merupakan cerminan “miskinnya” pola pikir masyarakat Indonesia.

5.2 Saran

Bagi para sineas kita, terlebih sineas muda, diharapkan penelitian ini dapat memeberikan masukan dan tambahan referensi tentang penggambaran keberadaan perempuan dalam perfilman Indonesia dan juga agar sineas muda kita mampu melahirkan warna baru yang memposisikan perempuan bukan hanya pada level


(3)

rendah, tidak terpaku terhadap adanya stereotype yang ada dalam benak masyarakat gambaran dan perspektif baru tentang perempuan dalam perfilman Indonesia, dengan menggambarkan karakter perempuan yang mandiri, kuat dan tanpa harus terpengaruh dengan stereotype yang ada pada masyarakat.

Bagi masyarakat Indonesia khususnya pemikat film alangkah baiknya didalam dirinya ditumbuhkan rasa bangga, cinta dan juga mulai krisis akan film – film hasil karya anak bangsa, sehingga nantinya film – film yang diproduksi lebih baik. Karena kita tahu film Indonesia sudah bangkit dari keterpurukannya dan juga yang diwarnai kancah perfilman Indonesia saat ini. Semoga dimasa yang akan datang perfilman Indonesia akan lebih dapat meramaikan ajang Movie Award yang sangat terkenal.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Bernard, Malcolm, Fashion Sebagai Komunikasi Cara Mengkomunikasikan Identitas, Seksual, kelas, dan Gender, Jalasutra, Yogyakarta, 2003

Gerger, Arthur asa, Tanda – tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Suatu Pengantar Semiotika, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2005

Budi, Irwanto, Ideology dan Militer, Hgemoni Militer dalam Sinema Indonesia, Media Presindo, Yogyakarta, 1999

Budiman, Kris, Semiotika Sastra da Seni Visual, Buku Baik, Yogyakarta, 2003 Budiman, Kris, Semiotika Visual, Buku Baik, Yogyakarta, 2006

Ed, Abdullah, Irwab, Sangkan Param Gender, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006 Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Teeori dan Filsafat Komunikasi, PT. Citra Aditya

Bakti, 2003

Effendy, Heru, Mari Membuat Film ”Panduan Untuk Menjadi Produser”, Panduan, Yogyakarta, 2002

Eriyanto, Analisis Framing: Kontruksi Ideologi dan Politik Media, Lkis Yogyakarta, 2002

Fiske, John, Cultural and Communication Studies, Jalasutra,Yogyakarta, 2006 _______, Introduction to Communication Studies, Routledg. London, 1990

John, Little, Stephen, Teory of Human Communication, Wardsworth, Belmonth, 1998

Mc Quaill, Dennis, Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Erlangga, 1987 Monaco, James, How to Read a Film, New York : Oxf. Univ Press, 1978


(5)

Muda, Ahmad, Fauzi, Perempuan Hitam Putih Pertarungan Kodrat Hidup Viz a Viz Tafsir Kebahagiaan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2007

Nope, C.Y. Marselina, Jerat Kapitalisme Atas Perempuan, Resist Book, September, 2005

Noth, Winfried, SEMIOTIK, Airlangga Univ. Press, 2006

Sihite, Romany, Perempuan, Kesetaraan, Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007

Sobur, Alex, Analisis Teks Media, Suatu Pngantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Isi, Semiotika, Analisis Framing, PT. Remaja Rosda Karya, 2004

________, Alex, Semiotika Komunikasi, Rosda Karya, 2003

Trisakti, handayani, Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, UMM Press, malang, 2006

Turner, Graeme, Representating The Nation, Routledge, London, 1991

Van Zoest, Art, Interpretasi Semiotika dalam Sujiman & Zoest, art Vanled, Serba – Serbi Semiotika, Gramedia jakarta, 1992

Internet

Chandler, Daniel, 2003, www.aber.ac.uc.uk/media/documents/s4B/semiza.htm#A Chandler, Daniel, 1995, www.aber.ac.uk.the/grammaroftvandfilm/html

Mecchelen, Rod Van, What Everyone Should Know About Feminist Issues Equality, 1992, www.blacklast.ac.uk/book/equality.html

Rensheler, Eric, and anton Kaes, Reading A Film Secuence, 1999, www.rekaes.ac.uk


(6)

Amirudin, Mariana, www.jurnalperempuan.com www.lbh-apik.or.id/fact%2054.htm

http://www.acdi-cida.dc.ca/equality www.duniaesai.com/gender/gender2.html www.pasirberbisikthemovie.com/sinopsis

www.pasirberbisikthemovie.com/print.php?nemsid=114666475 http:kunci.or.id/esai/nws/0607/fesyen.htm

http:kunci.or.id/teks04rep2.htm

Non Buku

Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia tahun : 2003/2004 : Perempuan dalam Seni Pertunjukan