Film Sebagai Media Massa dalam Masyarakat

2.1.6. Film Sebagai Media Massa dalam Masyarakat

Film dan masyarakat mempunyai hubungan yang dipandang linier, artinya film selalu memepengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan message dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksiknnya kelayar Irawanto, 1999:13. Film sebagai refleksi dari masyarakat, tampaknya menjadi perspektif yang secara umum lebih mudah disepakati, sebagaimana yang dikemukakan Garth Jowett 1971, yaitu : ”It’s more generally agr that mass media are capable of ’reflecting’ society because they are forced by their commercialnature to provide alevel of content which will guarantes the widest possible audience” Proposisi Jowett ini menunjukkan bahwa kepentingan komersial justru menjadi imperative bagi isi media massa film agar memperhitungkan khalaknya, sehingga dapat diterima secara luas. Karakteristik film sebagai media massa mampu membentuk semacam visual public consensus. Hal ini disebabkan karena isi film selalu bertautan dengan nilai yang ada dalam masyarakatnya. Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial membuat para ahli percaya bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya Jowett, dalam Irawanto, 1999:13. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Graeme Turner menyebut perspektif yang dominan dalam seluruh studi tentang hubungan film dan masyarakat diatas sebagai pandangan yang reflectionist. Pandangan ini melihat film sebagai cermin yang memantul kepercayaan – kepercayaan dan nilai dominan dalam kebudayaan. Perspektif ini dipandang sangat ’primitif’ dan mengemukakan metafor yang tidak memuaskan, karena menyederhanakan prosses seleksi dan kombinasi yang selalu terjadi dalam setiap komposisi ungkapan baik film, prosa atau bahkan percakapan. Diantara film dan masyarakat sesungguhnya terdapat kompetisis dan konflik dari berbagai faktor yang mnentukan baik bersifat kultural, subkultural, industrial, serta institusional Irawanto, 1999:13. Untuk itu dapat dipahami jika Turner dalam Irawanto, 1999:14 menolak perspektif yang melihat film sebagai refleksi masyarakat dengan mengatakan bahwa: ”film does not reflect even record reality; like any other medium of representation, it construct and ’represent’ it’s picture of reality by way codes, conventioons, myths, and ideologies of it’s culture as well as by way of the specific signifying practices of the medium”. Makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat, bagi turner, berbeda dengan sekedar refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar ’memindah’ realitas kelayar tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu, sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan ’menghadirkan kembali’ realitas berdasarkan kode – kode, konvensi – konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Film merupakan salah satu media massa yang erat kaitannya dengan ’representasi’. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Graeme Turner bahwa film adalah representasi dari suatu realitas Irawanto, 1999:13. Representasi mengacu pada konstruksi media massa, termasuk film, yang mengkonstruksikan aspek – aspek ’realitas’ seperti individu, tempat objek, peristiwa, identitas kultural dan konsep – konsep abstrak lainnya. Representasi ini dapat dituangkan ke dalam bentuk spech, writing, atau bahkan moving images yakni film. Representasi – representasi tersebut dibuat sedemikian rupa agr terlihat ’natural’ dan sistem – sistem yang ada pada representasi adalah inti yang termuati oleh ideologi – ideologi tertentu http:www.aber.ac.ukmediadocumentss4Bsem12a.htm. Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk imajinasi ataupun realitas dalamarti sebenarnya. Film menunjukkan pada kita jejak – jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan ’ citra bergerak’ moving image, namun juga telah diikuti oleh muatan – muatan kepentingan tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup http:situskunci.tripod.comteksvictor1.htm. Sebuah film membawa muatan – muatan ideologi yang mrupakan hasil kostruksi film makernya, seperti yang dinyatakan oleh Gianetti : ”... the term ideology is generally associated with politics and party platforms, but it can also mean a given set of values that are implicit in any human Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. enterprice – including film making. Virtually everyu movie presents us wih role models, ideal ways of behaving negative traits, and an implied morality based on the film maker’s sense of right and wrong” ginetti, 1996:392. Istilah ideology umumnya berkaitan dengan dunia politik dan program – program partai, namun bias juga diartikan dengan dunia politik dan program – program partai, namun bias juga diartikan sebagai bentuk penilaian yang tersirat dalam setiap hasilproduk manusia termasuk didalam pembuatan sebuah film. Setiap film menyajikan kepada kita model – model peran, nilai – nilai yang ideal dalam bertindak, perilaku – perilaku negative sserta nilai – nilai moral, berdasarkan rasa kebenaran dan kesalahan menurut si pembuat film tersebut. Dalam perspektif Marxian, film sebagai institusi social dianggap memiliki aspek ekonomis sekaligus ideologis. Film senantiasa berkisar pada produksi representasi bagi masyarakat yang telah disiapkan untuk diharapkan memperoleh kesenangan didalam sistem yang menjamin berputarnya kapital. Menurut Claire Johnston Turner, 1991, pentingnya kajian film dalam kebudayaan Marxist terletak pada lokus film dan hubungannya dengan produksi, alih – alih pada konsumsi. Film sebagai produksi makna melibatkan pembuat maupun penonton film. Bagaimana juga Graeme Turner memandang bahwa hubungan antara film dan ideologi kebudayaanya bersifat problematis, karena film adalah produk dari struktur sosial, politik, dan budaya, serta sekaligus membentuk dan mempengaruhi dnamika struktur tersebut Irawanto, 1999:15. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2.1.7. Pendekatan Semiotika Dalam Film