48
Melalui kelarutan dalam solven kloroform ini, dapat dikatakan bahwa parasetamol merupakan senyawa polar, sedangkan produk sintesis diduga kuat
merupakan senyawa non-polar. Dalam penelitian, kedua senyawa yakni parasetamol dan produk
sintesis larut dalam solven etil asetat, namun dengan perbedaan tingkat kelarutan. Parasetamol sebagai starting material dapat larut, sedangkan
produk sintesis sangat mudah larut di dalam etil asetat. Mengacu pada ketentuan umum like dissolves like, senyawa-senyawa polar akan lebih mudah
larut dalam solven polar, demikian berlaku bagi senyawa dan solven non- polar. Etil asetat merupakan solven yang memiliki polaritas menengah dengan
koefisien distribusi log minyakair = 0,7; berarti bahwa etil asetat lebih larut dalam minyak dibandingkan dengan dalam air. Dengan polaritas sedemikian
rupa, maka produk sintesis 4-asetamidofenil benzoat yang lebih non-polar dibandingkan dengan parasetamol menjadi sangat mudah larut dalam solven
etil asetat dibandingkan dengan parasetamol. Berdasarkan perbedaan hasil uji kelarutan antara starting material
parasetamol dengan produk sintesis, diprediksikan bahwa produk sintesis merupakan senyawa dengan struktur lebih kompleks dan meruah bulky yang
memiliki massa molekuler lebih tinggi dari parasetamol dan berupa senyawa non- polar atau lebih non-polar dibandingkan dengan parasetamol. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa kedua senyawa yang diuji merupakan senyawa yang berbeda, serta menunjukkan bahwa reaksi substitusi nukleofilik asil berjalan
menghasilkan senyawa baru yang berbeda dari starting material-nya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
3. Pemeriksaan titik lebur
Titik lebur suatu senyawa organik diuji dengan tujuan menentukan identitas suatu senyawa. Setiap senyawa organik memiliki struktur kimia yang
berbeda, ikatan yang berbeda, sehingga kekuatan ikatan yang berbeda tersebut akan memberikan titik lebur yang berbeda pula. Misalnya senyawa dengan
banyak ikatan kovalen yang kuat memiliki titik lebur lebih tinggi daripada senyawa dengan ikatan ionik yang cenderung lebih lemah dan lebih mudah
diputuskan. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pengujian titik lebur senyawa, melainkan rentang titik lebur senyawa.
Rentang titik lebur dilakukan untuk mengetahui kemurnian senyawa organik terutama dalam suatu sintesis senyawa organik baru. Disebutkan
bahwa parasetamol melebur pada rentang suhu 169-170,5
o
C sedangkan dalam penelitian, parasetamol mulai melebur pada suhu 169,6
o
C dan berakhir pada suhu 170,7
o
C; sedangkan produk sintesis menunjukkan rentang titik lebur 157,91
o
C hingga titik akhir meleburnya senyawa pada 159,12
o
C, dengan nilai rentang titik lebur sebesar 1,21
o
C. Berdasarkan pengujian, dapat dikatakan bahwa rentang titik lebur produk sintesis berbeda dari rentang titik lebur
parasetamol, sehingga dapat disimpulkan bahwa produk sintesis merupakan suatu senyawa baru yang berbeda dari starting material. Sedangkan rentang
titik lebur yang lebih kecil dari 2
o
C menunjukkan tingkat kemurnian senyawa produk sintesis yang tinggi, atau merupakan suatu senyawa yang murni.
Dalam penelitian yang ditampilkan pada tabel III, jarak suhu peleburan produk sintesis lebih kecil daripada parasetamol disebabkan karena produk
50
sintesis telah mengalami proses rekristalisasi yang merupakan bagian dari proses pemurnian, sedangkan parasetamol berkualitas teknis yang tidak murni
sehingga masih terdapat bahan-bahan serta senyawa lain di dalamnya.
Tabel III. Uji titik lebur terhadap produk sintesis dan starting material
Produk Parasetamol
Suhu awal melebur
o
C 157,91
170,2 Suhu akhir melebur
o
C 159,12
172,3
4. Kromatografi Lapis Tipis KLT
Pengujian kromatografi lapis tipis KLT dilakukan untuk menguji kemurnian suatu senyawa, serta membandingkan antara starting material
dengan produk sintesis. Pengujian dilakukan di atas plat silika gel GF
254
, dan dikembangkan dalam bejana elusi dengan fase gerak berupa aseton:etil asetat
2:3, kemudian deteksi bercak di bawah lampu UV pada panjang gelombang 254 nm.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa produk sintesis lebih non-polar dibandingkan dengan parasetamol sebagai starting material. Hal ini diketahui
dari posisi spot hasil elusi produk sintesis yang bergerak lebih cepat daripada parasetamol, dikarenakan parasetamol terikat secara hidrofilik terhadap silika
gel, sehingga memerlukan waktu lebih lambat untuk terelusi. Sementara itu, produk sintesis bersifat cenderung lebih non-polar sehingga mampu lebih
mudah terbawa oleh fase gerak yang digunakan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Gambar 12. Hasil elusi KLT terhadap parasetamol PCT, produk orientasi a, dan produk sintesis replikasi I b, II c, dan III d; fase diam=silika gel GF
254
, fase gerak=aseton:etil asetat 2:3, deteksi pada UV 254 nm
Perbedaan tersebut juga dapat diamati dengan lebih jelas melalui hasil perhitungan R
f
masing-masing senyawa yang diuji. Secara berurutan, nilai R
f
parasetamol, produk orientasi, produk hasil replikasi I, replikasi II, dan replikasi III berturut-turut sebesar: 0,675; 0,7625; 0,7688; 0,7688; dan 0,775,
dengan nilai hR
f
sebesar: 67,5; 76,25; 76,88; 76,88; dan 77,5. Dengan demikian secara kuantitatif dapat disimpulkan bahwa reaksi berjalan dan
menghasilkan produk senyawa yang berbeda dari starting material parasetamol.
Tabel IV. Perbandingan nilai R
f
dan hR
f
produk sintesis dengan parasetamol
Parasetamol Orientasi
Produk 1 Produk 2
Produk 3 Nilai Rf
0,675 0,7625
0,7688 0,7688
0,775 NIlai hRf
67,5 76,25
76,88 76,88
77,5
PC T
titik awal elusi titik akhir elusi
a c
d b
52
C. Elusidasi Struktur Senyawa Hasil Sintesis
Elusidasi struktur
senyawa organik
dilakukan dengan
tujuan memprediksikan struktur produk hasil sintesis yang belum diketahui. Dalam
penelitian ini, elusidasi struktur dilakukan melalui beberapa metode, yaitu:
1. Elusidasi struktur dengan spektrofotomeri inframerah IR
Informasi yang dapat diperoleh dari spektrofotometri inframerah IR berupa pita-pita spektra yang menunjukkan gugus fungsional khas pada
senyawa hasil sintesis organik. Gambar 13 menunjukkan spektra inframerah produk sintesis yang didapatkan dari pengujian. Spektra tersebut menunjukkan
karakteristik senyawa produk yang diuji dengan pita serapan spesifik untuk masing-masing gugus fungsi dalam intensitas yang bervariasi.
Gambar 13. Spektra inframerah senyawa produk pelet KBr
C=O ester
C-O ester
53
Gambar 14. Spektra inframerah parasetamol Shayani-Jam and Davood, 2009
Pita-pita serapan penentu identitas nampak pada daerah frekuensi di bawah 3.000 cm
-1
mengindikasikan bahwa senyawa yang diuji merupakan senyawa alifatis. Pita serapan lemah pada daerah 3.016,67 cm
-1
, 2.931,8 cm
-1
, dan 2.854,65 cm
-1
menunjukkan kemungkinan keberadaan senyawa tak jenuh atau gugus aromatis.
Kemunculan pita serapan dengan intensitas kuat pada daerah 1.850- 1.650 cm
-1
mengindikasikan secara khas gugus karbonil dalam suatu senyawa organik. Dalam spektra IR di atas nampak serapan kuat vibrasi ulur C=O pada
pita di daerah 1.735,93 cm
-1
, menunjukkan bahwa senyawa organik tersebut berupa senyawa ester yang cukup sederhana. Pita serapan tersebut secara
signifikan berbeda dengan pola serapan spektra inframerah pada parasetamol gambar 14 pada daerah yang sama.
Pada frekuensi 1.257,59 cm
-1
terdapat spektra dengan intensitas kuat yang menggambarkan vibrasi C-O, di mana bersama indikasi gugus C=O
menguatkan keberadaan senyawa ester dalam senyawa organik produk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI