9
2. Manfaat Penulisan
Bertolak dari rumusan masalah dan tujuan penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, maka kegunaan dan manfaat penulisan yang diharapkan dari
penelitian ini, adalah : 1
Manfaat Teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu
bahan bacaan di dalam menguraikan bagaimana konsep pengaturan tindak pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah menurut RUU KUHP 2012,
perkembangannya dalam RUU KUHP lainnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, serta kebijakan penuntutan dalam penegakan hukum terhadap
konsep kriminalisasi perbuatan tersebut. 2
Manfaat Praktis, diharapkan dengan dikemukakannya landasan dari
kebijakan kriminalisasi terhadap persetubuhan di luar perkawinan yang sah dalam RUU KUHP 2012, serta mengenai kelemahan, kelebihan dan peluang
berlakunya aturan tindak pidana tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk berlakunya konsep aturan tersebut pada masa yang akan datang.
D. Keaslian Penulisan
Tulisan tentang Delik Perzinaan dan Pembaharuannya dalam RUU KUHP terlebih dahulu telah banyak dibuat, namun mengenai Kajian tentang Kebijakan
Kriminalisasi terhadap Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah sebagai Delik Perzinaan dalam RUU KUHP 2012 yang penulis buat ini memang asli dibuat
oleh penulis sendiri. Proses pembuatan skripsi ini penulis memulainya dengan mengumpulkan
bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah Politik Hukum Pidana, Kebijakan
Universitas Sumatera Utara
10
Kriminalisasi, Sosiologi Hukum, Delik Perzinaan, RUU KUHP, KUHP, Kajian Konsep KUHP dalam berbagai literatur, artikel seputar perbuatan melakukan
hubungan seksual di luar nikah, kajian moral dan agama, kemudian penulis merangkai sendiri menjadi suatu karya tulis ilmiah yang disebut dengan skripsi.
Penulis oleh karena itu dapat menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis sendiri, selain itu dalam pengajuan skripsi ini, penulis telah melewati
pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di Perpustakaan Fakultas Hukum USU. Hal ini dengan demikian dapat mendukung tentang
keaslian penulisan.
Universitas Sumatera Utara
11
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Kebijakan Kriminalisasi
“Kebijakan” secara terminologis berasal dari istilah policy Inggris atau politiek Belanda. Terminologi itu dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum
yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah dalam arti luas termasuk penegak hukum dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan- urusan publik,
masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukumperaturan dengan suatu tujuan
umum yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat warga negara.
11
1. Criminology
Kebijakan kriminalisasi tidak terlepas dari pembahasan kebijakan kriminal Criminal Policy atau politik kriminal, serta kebijakan hukum pidana Penal
Policy atau politik hukum pidana dalam pembaharuan hukum pidana, oleh karenanya maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai hal-hal tersebut.
Marc Ancel mengemukakan, Modern Criminal Science terdiri dari tiga komponen, yaitu :
2. Criminal Law, dan
3. Penal Policy
12
Kriminologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari kejahatan. Pada dasarnya, kriminologi ini sangat bergantung pada disiplin ilmu-ilmu lainnya yang
11
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Cet. 2, Djambatan, Jakarta, 2007, hal.26
12
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 20
Universitas Sumatera Utara
12
mempelajari kejahatan, bahkan dapat dikatakan bahwa keberadaan kriminologi itu merupakan hasil dari berbagai disiplin ilmu yang mempelajari kejahatan tersebut.
Kriminologi dengan demikian bersifat “Interdisipliner”, suatu disiplin ilmu yang tak berdiri sendiri, atau dengan kata lain hasil kajian dari ilmu lainnya terhadap
kejahatan Oleh karena itulah Thorsten Sellin menyebutnya sebagai “ a king without a country “.
Kriminologi pada fungsinya yang klasik, berkaitan dengan hukum pidana, dimana dua disiplin ilmu ini saling berhubungan dan saling bergantung antara satu
dengan yang lainnya, bahkan sebelumnya kriminologi dianggap sebagai bagian dari hukum pidana. Perkembangan selanjutnya kriminologi dijadikan sebagai ilmu
yang membantu hukum pidana ilmu pembantu dan sekarang hal tersebut tidak dapat dipertahankan lagi, karena perkembangan kriminologi sudah menjadi
disiplin yang berdiri sendiri. Fungsi kriminologi yang klasik dalam masalah hukum pidana, yaitu :
1. Dalam perumusan atau pembuatan hukum pidana ;
2. Dalam penerapan hukum pidana ; dan
3. Dalam pembaharuan hukum pidana, yakni dalam hal :
1 Kriminalisasi ;
2 Deskriminalisasi ; dan
3 Depenalisasi.
13
Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminalpolitik kriminal criminal policy dalam hal ini, yaitu :
13
Ibid, hal. 17-18
Universitas Sumatera Utara
13
a Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi
dasar dan reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana ; b
Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara bekerja dari pengadilan dan polisi.
c Dalam arti paling luas yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen, ialah
keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang- undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-
norma sentral dari masyarakat.
Beliau juga mengemukakan defenisi singkat, bahwa politik kriminal merupakan “Suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi
kejahatan”. Defenisi ini diambil dari defenisi Marc Ancel yang dirumuskan sebagai berikut “ the rational organization of the control of crime by society ”.
Bertolak dari pengertian yang dikemukakan Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa ruang lingkup politik criminal criminal
policy sangat luas, karena merupakan keseluruhan upaya untuk penanggulangan kejahatan yang dapat ditempuh melalui tiga cara, yaitu :
a Penerapan hukum pidana criminal law application ;
b Pencegahan tanpa pidana prevention without punishment ;
c Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media influencing views of society on crime and punishmentmass media
Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur “penal” hukum pidana dan lewat jalur “non penal” bukandi
luar hukum pidana dalam pembagian tersebut diatas, upaya- upaya yang disebut dalam butir b dan c dapat dimasukkan dalam kelompok upaya “non penal”.
Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” dapat lebih menitikberatkan pada sifat “repressive” penindasanpemberantasanpenumpasan
sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “nonpenal” lebih menitik beratkan pada sifat “preventive” pencegahan penangkalan pengendalian sebelum kejahatan
Universitas Sumatera Utara
14
terjadi. Tindakan represif dikatakan sebagai perbedaan yang kasar karena pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.
14
a Usaha untuk mewujudkan peraturan- peraturan yang baik sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” atau penal policy
ini disebut pula dengan istilah “ kebijakan hukum pidana” atau dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana “. Istilah “penal policy” ialah istilah yang
dilihat dari kepustakaan asing, sama juga seperti “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, “Politik Hukum”
adalah :
b Kebijakan dari Negara melalui badan- badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan – peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita- citakan.
Politik hukum pidana yang merupakan bagian dari politik hukum mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu
perundang- undangan pidana yang baik, sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. Pengertian demikian dapat dilihat
dalam defenisi “penal policy” dari Marc Ancel, yakni “ suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara
lebih baik “. Menurut defenisi Marc Ancel “peraturan hukum positif “ the positive rules tersebut yakni peraturan perundang- uundangan hukum pidana.,
14
Ibid., hal. 45-46.
Universitas Sumatera Utara
15
Istilah “penal policy” dengan demikian adalah sama dengan istilah “ Kebijakan atau politik hukum pidana “.
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan,
upaya penegakan hukum, dan usaha perlindungan masyarakat oleh karena itu politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal criminal
policy , kebijakan penegakan hukum law enforcement policy , dan politik social social policy.
Kebijakan sosial social policy dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup
perlindungan masyarakat. Jadi dalam pengertian “social policy”, sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy” dan “social defence policy”.
15
Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Latar
belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana dapat ditinjau dari Pembahasan kebijakan politik hukum pidana ini, akan mengerucut pada
pembahasan pembaharuan hukum pidana penal reform yang seyogyanya merupakan bagian dari kebijakanpolitik hukum pidana penal policy dan
merupakan bagian dari fungsi kriminologi secara klasik yang mencakup tiga halpermasalahan dalam pembaharuan hukum pidana, hal menambahkan aturan
dalam hukum pidana, menghapuskan aturan positif yang tidak cocok lagi dengan keadaan yang ada, serta mempertahankan aturan positif yang ada.
15
Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal. 30
Universitas Sumatera Utara
16
aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural atau dari berbagai aspek kebijakan khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan
hukum. Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang
melatarbelakanginya itu, dengan demikian, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan
reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai- nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan
sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya dapat dikatakan bahwa harus ditempuh
dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan policy oriented approach dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai value oriented
approach.
16
16
Barda Nawawi, Op.Cit., hal. 25
Pembaruan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah
kebijakan atau “policy” yaitu bagian dari politik hukum penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial. Kebijakan policy di
dalamnya harus terkandung pertimbangan nilai, oleh karena itu pembaruan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.
Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
17
a Dilihat dari sudut Pendekatan Kebijakan :
1 Pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan sosial
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah- masalah sosial termasuk masalah kemanusiaan dalam
rangka mencapaimenunjang tujuan nasional kesejahteraan massyarakat dan sebagainya;
2 Pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan kriminal
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat khususnya upaya penanggulangan kejahatan ;
3 Pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan penegakan
hukum pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum legal substance dalam rangka
lebih mengefektifkan penegakan hukum.
b Dilihat dari sudut pendekatan nilai :
Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali ‘reorientasi dan
re- evaluasi’ nilai- nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan
substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan reformasi hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana
yang dicita-citakan misalnya KUHP Baru sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah KUHP lama atau
Universitas Sumatera Utara
18
WVS.
17
Subjek pembaharuan adalah Lembaga Legislatif DPR, suprastruktur adalah pemerintah partner dalam mekanisme pembuatan Undang- Undang,
Infrastruktur yakni aspirasi masyarakat, aspirasi kepakaran dan aspirasi Internasional.
Pembaharuan hukum pidana ini KUHP dirasakan sudah hal yang mendesak karena baik itu ditinjau dari segi sosiologis, filosofis,
dan politis, maupun praktis, KUHP yang berlaku tidak memadai lagi. Upaya pendekatan dalam pembaharuan hukum pidana untuk membentuk
atau mewujudkan KUHP baru adalah menempatkan KUHP sebagai pokok atau bahan yang diperbaharui, dengan melihat kepada doktrin dasar nasional
Pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nusantara, melihat pula aspek Internasional global dan Regional.
18
Objek yang diperbaharui adalah secara makro dan mikro hukum pidana. Makro yakni pembaharuan pada struktur atau lembaga- lembaga sistem
peradilan pidana, substansinya yang menyangkut harmonisasi atau sinkronisasi hukum pidana, dan pembaharuan aspek budaya masyarakat dan nilai-nilai
filosofis kehidupan, sedangkan secara mikro pembaharuan itu menyangkut tiga masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu, “perbuatan pidana”,
“pertanggungjawaban pidana”, dan “pidana”. Objek pembaharuan hukum pidana tersebut baik yang makro maupun yang mikro, tentunya akan terjadi kalau ada
perubahan perkembangan dalam studi terhadap apa yang dinamakan kejahatan.
19
17
Ibid., hal. 26
18
Teguh Prasetyo, Op. Cit, hal. 30-31
19
Ibid, hal. 31
Universitas Sumatera Utara
19
Metode yang dipakai adalah metode komprehensif integrative, baik secara deduktif menurut doktrin, maupun secara induktif empirik.
Pembaharuan hukum pidana dengan demikian berdasarkan pendekatan sistemik ini adalah pembaharuan yang menyeluruh dari segala aspek terkait
dengan hukum pidana umum, oleh karenanya perlu dicatat secara total, selain melakukan penyempurnaan dalam artian yang baik tetap dipertahankan, aturan
yang tidak cocok lagi dalam KUHP dihilangkan dan yang kurang ditambah. Oleh karenanya pembaharuan hukum pidana selalu saja berkisar kepada masalah
kriminalisasi, diskriminalisasi, dan penalisasi. Kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan pidana yang
semula bukan tindak pidana atau tidak ada diatur dalam hukum pidana, karena perkembangan masyarakat kemudian menjadi tindak pidana atau dimuat ke dalam
hukum pidana, artinya tahap akhir proses kriminalisasi adalah pembentukan hukum pidana.
Kriminologi dengan penelitiannya memberikan masukan tentang perbuatan- perbuatan apa saja yang “layak” dimasukkan ke dalam hukum pidana,
di samping itu tentunya para ahli hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri untuk memasukkan perbuatan menjadi perbuatan pidana, melainkan perlu bantuan dari
para ahli ilmu sosial lainnya, termasuk kriminologi, seperti yang dikemukakan oleh Mochtar Kesumaatmadja, pada Seminar Hukum Nasional ke-III di Surabaya
tahun 1974 : ‘Bahwa dalam usaha pembinaan dan pembaharuan hukum nasional,
apabila perlu akan juga diikutsertakan kalangan diluar bidang hukum yang erat hubungannya dengan pembinaan dan pembaharuan hukum seperti ahli
Universitas Sumatera Utara
20
di bidang ilmu sosial lainnya serta di bidang- bidang ilmu lain yang perlu diikutsertakan apabila masalah yang ditangani menghendaki.’
20
Sudarto memberikan defenisi tentang kriminalisasi sebagai berikut “Suatu proses dimana perbuatan yang semula bukan tindak pidana kemudian diancam
dengan pidana dalam undang- undang“ Soetandyo Wignyosoebroto mengartikan kriminalisasi yaitu :
‘Suatu pernyataan bahwa suatu perbuatan tertentu itu harus dibilang sebagai perbuatan pidana. Judgements dan Decisions demikian itu, selalu
dikonsepkan sebagai hasil proses- proses formal yang berlangsung dalam atau lewat lembaga-lembaga politik danatau pemerintahan khususnya
lembaga legislatif dengan hasil akhirnya yang berupa produk perundang- undangan khususnya perundang- undangan hukum pidana’.
21
Pengertian dekriminalisasi yang merupakan kebalikan dari kriminalisasi yaitu suatu proses dimana dihilangkan sama sekali sifat pidananya suatu
perbuatan. Dekriminalisasi ini harus dibedakan dengan depenalisasi. Depenalisasi mengandung arti suatu perbuatan yang semula diancam pidana, ancaman
, dengan kriminalisasi dimaksudkan proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana.
Proses ini diakhiri dengan terbentuknya Undang- Undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana. Terbentuklah peraturan hukum
pidana yang siap untuk diterapkan oleh hakim dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana, dilaksanakan oleh kekuasaan administrasi eksekutif, dibawah pimpinan
Menteri Kehakiman.
20
Ibid, hal. 32
21
Eprints.undip.ac.id154871Dwi_Haryadi, Kebijakan Formulasi Delik Perzinaan dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, hal. 45, diakses pada tanggal 30 Maret 2013,
pukul 16.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
21
pidananya dihilangkan, tapi masih dimungkinkan adanya penuntutan dengan cara lain, melalui hukum perdata atau hukum administrasi.
22
a Jangan hukum pidana digunakan semata- mata untuk tujuan
pembalasan ; Nigel Walker mengingatkan adanya “ prinsip- prinsip pembatas” the
limiting principles yang sepatutnya mendapat perhatian dalam menggunakan ketiga sarana penal kriminalisasi, dekriminalisasi, dan penalisasi, antara lain :
b Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang
tidak merugikanmembahayakan ; c
Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana- sarana lain yang lebih
ringan ; d
Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian yang ditimbulkan lebih besar daripada kerugianbahaya dari
perbuatantindak pidana itu sendiri ; e
Larangan- larangan hukum pidana jangan mengandung sifat yang lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah ;
f Hukum pidana jangan memuat larangan- larangan yang tidak mendapat
dukungan kuat dari publik.
23
Sedangkan menurut Barda Nawawi Arief, terkait kebijakan “penal” beliau memaparkan khusus untuk masalah kriminalisasi, bahwa dalam proses
kriminalisasi harus memperhatikan berbagai aspek pertimbangan sebagai berikut : 1.
Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
material spiritual berdasarkan Pancasila ; 2.
Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki,
yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian material dan atau spiritual atas warga masyarakat ;
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya
dan hasil cost and benefit principles juga sosial cost atau biaya sosial
22
Nanda Agung Dewantara, Kemampuan Hukum Pidana dalam Menanggulangi
Kejahatan-Kejahatan Baru yang Berkembang dalam Masyarakat, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal.3.
23
Barda Nawawi Arief, Buku I, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 48
Universitas Sumatera Utara
22
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan- badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas overbelasting.
24
Bassioni berpendapat, keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor- faktor kebijakan tertentu yang
mempertimbangkan bermacam-macam faktor sebagai berikut : a
Keseimbangan sarana- sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil yang ingin dicapai.
b Analisa biaya terhadap hasil- hasil yang diperoleh dalam hubungannya
dengan tujuan- tujuan yang dicari. c
Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas- prioritas lainnya dalam pengalokasian
sumber daya manusia. d
Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh- pengaruhnya yang sekunder.
Laporan simposium khususnya mengenai kriteria kriminalisasi itu antara lain menyatakan : untuk menetapkan suatu perbuatan itu sebagai tindak kriminal,
perlu memperhatikan kriteria umum sebagai berikut : 1.
Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau
dapat mendatangkan korban. 2.
Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan
24
Teguh Prasetyo, Op.,Cit., hal. 44- 45.
Universitas Sumatera Utara
23
penegakan hukum serta beban yang dipikul oleh korban, dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang
akan dicapai. 3.
Apakah akan semakin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh
kemampuan yang dimilikinya. 4.
Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita- cita bangsa sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Alasan kriminalisasi dari beberapa pertimbangan-pertimbangan yang telah dikemukakan tersebut diatas pada umumnya meliputi :
5. Adanya korban ;
6. Kriminalisasi bukan semata- mata ditujukan untuk pembalasan ;
7. Harus berdasarkan asas ratio principle ; dan
8. Adanya kesepakatan sosial public support.
Alasan yang menyebutkan adanya korban ini menyiratkan bahwa perbuatan tersebut harus menimbulkan sesuatu yang buruk atau menimbulkan
kerugian. Salah satu kesimpulan dari seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 di Semarang antara lain menyatakan, hukum pidana hendaknya dipertahankan
sebagai salah satu sarana untuk social defences
25
Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan yang dipaparkan oleh Bassiouni disamping itu menimbulkan problem yakni kecenderungan untuk
menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak memberi kemungkinan untuk .
25
Ibid., hal. 44-45.
Universitas Sumatera Utara
24
masuknya faktor-faktor yang subjektif, misalnya nilai-nilai, ke dalam proses pembuatan keputusan. Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini menurut
Bassioni seharusnya dipertimbangkan sebagai salah satu scientific device dan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan pertimbangan nilai yang bersifat
emosional the emosionally laden value judgement approach oleh badan legislatif, dikemukakan pula bahwa perkembangan dari a policy oriented ini
lamban datangnya karena proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang demikian.
Kelambanan yang dimaksud antara lain terletak pada sumber- sumber keuangan untuk melakukan orientasi ilmiah. Kelambanan yang demikian
ditambah dengan proses kriminalisasi yang berlangsung terus tanpa didasarkan pada penilaian- penilaian yang terpuji dan tanpa suatu evaluasi mengenai
pengaruh terhadap keseluruhan sistem dapat mengakibatkan timbulnya : a krisis kelebihan kriminalisasi the crisis of overcriminalization, dan b krisis
pelampauan batas dari hukum pidana the crisis of overreach of the criminal law. Akibat yang pertama mengenai banyaknya atau melimpahnya jumlah
kejahatan dan perbuatan- perbuatan yang dikriminalisasikan, dan yang kedua mengenai usaha pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan sanksi
pidana yang lebih efektif.
26
Kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah- langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Memilih dan menetapkan
hukum pidana sebagai sarana untuk menaggulangi kejahatan harus benar- benar
26
Ibid., hal. 136-138
Universitas Sumatera Utara
25
telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung fungsi hukum pidana itu dalam kenyataan. Jadi diperlukan pula pendekatan fungsional, yang
bersifat melekat inheren pada setiap kebijakan yang rasional. Pendekatan lain yang diperhatikan juga tentang sikap dan pandangan
masyarakat mengenai patut tercelanya suatu perbuatan tertentu dengan melakukan penelitian, khususnya yang berhubungan dengan kemajuan teknologi dan
perubahan sosial, yang berhubungan dengan kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan harus sesuai dengan politik kriminal yag dianut oleh bangsa
Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai- nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dianggap patut atau tidak patut
dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.
27
Di Indonesia proses kriminalisasi dilakukan sejak proklamasi kemerdekaan dan berlangsung terus-menerus sampai sekarang seiring
perkembangan yang ada dalam masyarakat. Demikian pula halnya dengan dekriminalisasi, meskipun dalam pembaharuan hukum pidana proses kriminalisasi
lebih sering dipergunakan dibanding dengan proses diskriminalisasi.
28
27
Ibid., hal. 138-139
28
Eprints.undip.ac.id154871Dwi_Haryadi, Op.,Cit., hal. 45- 46
Universitas Sumatera Utara
26
2. Pengertian Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah
Persetubuhan merupakan perbuatan melakukan hubungan persenggamaan antara laki-laki dan perempuan hubungan persetubuhan antara lawan jenis yang
dalam hal ini keduanya melakukan perbuatan tersebut atas dasar suka sama suka, kerelaan, sadar dan sengaja.
Menurut Hoge Raad dalam pertimbangan hukum suatu arrestnya menyatakan bahwa “Persetubuhan adalah perpaduan antara alat kelamin laki-laki
dengan alat kelamin perempuan yang biasanya dilakukan untuk memperoleh anak, dimana alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan yang
kemudian mengeluarkan air mani” Pengertian bersetubuh seperti itu sampai saat ini tetap dipertahankan dan
dalam praktik hukum digunakan sebagai dasar pembuktian dalam konteks delik perzinaan. Alat kelamin penis apabila tidak sampai masuk ke dalam vagina
walaupun telah mengeluarkan air mani, atau masuk tetapi tidak sampai keluar sperma, menurut pengertian bersetubuh seperti itu, maka belumlah terjadi
persetubuhan, namun telah terjadi percobaan persetubuhan, dan jika dikaitkan dalam konteks hukum pidana, maka ketentuan pasal 53 telah dapat dipidana
karena telah masuk percobaan zina, yang tentunya diikuti dengan unsur- unsur lain agar dapat digolongkan ke dalam delik perzinaan.
29
Perkawinan yang sah menurut pasal 1 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yakni ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga
29
Adami Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005, hal. 58
Universitas Sumatera Utara
27
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Undang- Undang ini menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
30
Perkawinan yang sah juga diatur dalam surat edaran Menteri Agama 3 Maret 1960 No. FII3123
31
30
Undang Undang Perkawinan, Nomor 1 Tahun 1974
31
Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. 21, PT. Bumi Aksara, 2001, hal 104-105
, Jadi dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwasanya yang dimaksud dengan persetubuhan di luar perkawinan yang sah
ialah hubungan seksual persenggamaan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang keduanya tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, maupun
masing-masing diantara keduanya, tidak dalam ikatan perkawinan yang sah dengan orang lain lajang , dalam artian yang tergolong melakukan hubungan
persetubuhan di luar perkawinan yang sah yang dimaksud ialah apabila masing- masing antara laki-laki dan perempuan masih dalam status lajang.
Persetubuhan di luar perkawinan yang sah merupakan penggalan kalimat “....masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah...” yang terdapat
dalam pasal 483 RUU KUHP 2012. Hal ini yang menjadi fokus persoalan dalam pembahasan ini yang menjadi bagian rumusan baru dari delik perzinaan, dalam
KUHP selama ini perzinaan hanyalah perbuatan melakukan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang kedua-duanya atau minimal salah satunya harus
memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan orang lain memiliki suamiistri.
Universitas Sumatera Utara
28
Kata zina secara etimologis berasal dari bahasa Arab yang artinya persetubuhan di luar pernikahan
32
. Menurut kosa kata Inggris, zina disebut sebagai fornication yang artinya persetubuhan di antara orang dewasa yang belum
kawin dan adultery yang artinya persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan yang bukan suami istri dan salah satu atau keduanya sudah
terikat dalam perkawinan dengan suamiistri lain.
33
Kamus Besar Bahasa Indonesia secara terminologis mendefenisikan perzinaan ke dalam dua pengertian, pertama adalah perbuatan bersenggama antara
laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan perkawinan, dan kedua adalah perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang
terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan
suaminya.
34
Hukum Islam membagi perzinaan dalam dua pengertian sama seperti pengertian dalam Bahasa Inggris, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni
pertama zina yang dilakukan oleh pelaku yang belum menikah ghairu muhsan atau dalam bahasa Inggrisnya yang telah disebutkan tadi yakni fornication dan
kedua, zina yang dilakukan oleh pelaku yang sudah menikah muhsan
35
32
Fadhel Ilahi, Zina terjemah, Qisthi Press, Jakarta, 2004, hal. 7
33
Eprints.undip.ac.id154871Dwi_Haryadi, Op. Cit., hal. 60-61
34
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, 1991, hal. 1136.
35
Digilib uin-suka.ac.id, Pertanggungjawaban Pidana Tindak Pidana Perzinaan Studi
Komparasi antara Hukum Pidana Islam dan Pasal 284 KUHP , Yogyakarta, 29 Mei 2009, hal. 21, diakses pada tanggal tanggal 30 Maret 2013, pukul 16.00 WIB.
atau adultery dalam bahasa Inggrisnya. Perbuatan zina yang dimaksud dalam Islam
Universitas Sumatera Utara
29
dengan kata lain ialah perbuatan melakukan hubungan seksual persenggamaan antara laki- laki dengan perempuan atas dasar kerelaan dan sadar, baik keduanya
dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, ataupun salah satunya, maupun keduanya tidak dalam ikatan perkawinan remaja.
Pengertian perzinaan sebagaimana rumusan pasal 284 KUHP menurut beberapa sumber tersebut yaitu pengertian dalam istilah adultery ataupun muhsan,
jadi persetubuhan yang dilakukan oleh laki- laki dengan perempuan yang sama- sama masih lajang bukanlah termasuk perzinaan menurut hukum positif.
RUU KUHP dalam perkembangannya dari rancangan tahun 2004 sampai dengan 2012, memuat pengertian zina yang tidak lagi sebagaimana yang
tercantum dalam hukum positif pasal 284 KUHP, melainkan telah diformulasikan secara lebih luas yakni mencakup pengertian zina sebagaimana
yang diatur dalam Hukum Islam dan menurut bahasa Inggris yaitu disebut dengan istilah ghoiru muhsan dan fornication.
Lingkup zina yang diatur dalam hukum Islam dengan zina yang diatur dalam RUU KUHP terdapat sedikit perbedaan, dalam hukum Islam mengenai
aturan pidana dalam Fiqih Jinayah, antara delik zina dan kumpul kebo tidak dibedakan, sebab pengertiannya sama dan delik kumpul kebo dapat dibuktikan
apabila terdapat unsur persetubuhanpersenggamaan yang dilakukan oleh pelaku
36
36
Digilib uin-suka.ac.id, Zina dan Kumpul Kebo dalam Perspektif Hukum Islam Studi atas delik zina dan Kumpul Kebo dalam RUU KUHP 2005, Yogyakarta, 2008, hal. 88, tanggal 30
Maret 2013, pukul 16.00 WIB.
, sementara RUU KUHP membedakan antara pembuktian dalam delik perzinaan dengan kumpul kebo meskipun merupakan satu bagian yang sama
Universitas Sumatera Utara
30
sebagai delik kesusilaan dan ditempatkan dalam bagian yang sama dalam RUU KUHP dalam bagian delik Zina dan Perbuatan Cabul. Perbedaanya yakni dalam
delik zina, harus memenuhi adanya unsur persenggamaanpersetubuhan, sementara untuk delik kumpul kebo tidak harus dengan adanya
persetubuhanpersenggamaan, sebab unsur yang terpenting ialah apabila dapat dibuktikan bahwasanya terdapat orang-orang yang hidup bersama sebagai suami-
istri di luar perkawinan yang sah, ini sudah dapat dikatakan sebagai delik kumpul kebo.
37
Undang-undang Permasalahan kriminalisasi terhadap persetubuhan diluar perkawinan
yang sah dalam konteks RUU KUHP yang dibahas dalam konteks permasalahan ini oleh karena itu tidak termasuk membahas delik kumpul kebo.
3. Pengertian Rancangan Undang-Undang KUHP bahasa Inggris: Legislation - dari bahasa Latin lex, legis
yang berarti hukum berarti sumber hukum, semua dokumen yang dikeluarkan oleh otoritas yang lebih tinggi, yang dibuat dengan mengikuti prosedur tertulis.
Undang-undang merupakan karya legislatif, sering diwujudkan dalam parlemen yang mewakili rakyat. Undang-undang yang dibuat terlebih dahulu harus
dipersiapkan dalam bentuk konseprancangan Undang-Undang.
38
37
News.detik.com, RUU KUHP Pasangan Kumpul Kebo Dipidana, Tak Perlu
Pembuktian adanya Hubungan Seks, Rabu, 20032013, 15.15 WIB, diakses pada tanggal tanggal 30 Maret 2013, pukul 16.00 WIB.
Rancangan Undang-Undang berisi format Undang- Undang yang dibuat secara normatif yang
berisi materi rumusan pasal undang-undang yang akan dibuat.
38
http:www.wikipedia.or.id, Defenisi Undang-Undang, diakses pada tanggal 2 Juli 2013, pukul 09.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
31
RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan LPND sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. RUU ini kemudian
diajukan dengan surat Presiden kepada DPR, dengan ditegaskan menteri yang ditugaskan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU di DPR. DPR
kemudian mulai membahas RUU dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak surat Presiden diterima.
RUU yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden. Presiden kemudian menugasi menteri yang mewakili untuk
membahas RUU bersama DPR dalam jangka waktu 60 hari sejak surat Pimpinan DPR diterima. Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden
atau menteri yang ditugasi, melalui tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat komisipanitiaalat kelengkapan DPR yang khusus menangani legislasi, dan dalam
rapat paripurna. DPD diikutsertakan dalam Pembahasan RUU yang sesuai dengan
kewenangannya pada rapat komisipanitiaalat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. DPD juga memberikan pertimbangan kepada DPR
atas RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, apabila RUU tidak mendapat persetujuan bersama, RUU tersebut tidak
boleh diajukan lagi dalam persidangan masa itu. RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan
oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU, dalam jangka waktu paling lambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama.
Universitas Sumatera Utara
32
RUU tersebut disahkan oleh Presiden dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui oleh DPR dan Presiden, jika
dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama tidak ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
39
Proses pembuatan RUU KUHP ini telah memakan waktu yang cukup lama, yakni selama 49 tahun.
Rancangan KUHP dalam bahasan ini merupakan rancangankonsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam rangka pembaharuan hukum pidana
Indonesia yang secara garis besar sudah dipandang tidak relevan lagi jika ditinjau dari segi sosiologis, filosofis dan yuridisnya, sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam sub bab pengertian kebijakan kriminalisasi. Isi dari Rancangan KUHP bisa berupa penambahan isi pasaldelik
kriminalisasi, meniadakanmenghapuskan pasal yang semula ada, dan bisa juga mempertahankan rumusan pasaldelik yang sudah ada sejak semula penalisasi.
Proses pembuatan Rancangan KUHP selama ini disadari sangatlah tidak mudah, begitu banyak dinamika yang terus menerus dialami Tim Perumus naskah
RUU KUHP dari masa ke masa, sebab untuk dapat membuat rancangan Undang- Undang KUHP yang matang, banyak hal krusial yang patut dipertimbangan dalam
merumuskannya.
40
RUU KUHP yang terbaru sampai pada periode 2013 yakni RUU KUHP tahun 2012.
39
Ibid.
40
http:nasional.news.viva.co.idnewsread402032-denny-indrayana, Sudah 49 Tahun RUU KUHP digarap, diakses pada tanggal 2 Juli 2013, pukul 09.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
33
F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yaitu dengan pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan yang kemudian
mengadakan analisa terhadap masalah yang dihadapi tersebut.
1. Jenis penelitian
Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif, dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-
undangan, buku-buku dan data-data yang berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi, persetubuhan di luar perkawinan yang sah antara laki-laki dan
perempuan “hubungan seksual di luar nikah”, delik perzinaan dan pembaharuannya.
2. Jenis Data dan Sumber Data
Adapun jenis data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
a. Bahan hukum primer, yang diperoleh dari peraturan perundang-
undangan, yang bersifat mengikat dan disahkan oleh pihak yang berwenang.
b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang menunjang bahan
hukum primer seperti buku-buku dan literarur-literatur yang berkaitan dengan persoalan yang dikaji.
Universitas Sumatera Utara
34
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, adalah : a
Library Research, yaitu penelitian kepustakaan seperti melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan dan dokumen
serta literatur yang berkaitan dengan persoalan yang dikaji. 4.
Analisis Data Analisa data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu
analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas yang dalam hal ini berhubungan dengan skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan