Kriteria-Kriteria dalam Penentuan Kebijakan Kriminalisasi

78

B. Kriteria-Kriteria dalam Penentuan Kebijakan Kriminalisasi

Oemar Seno Adji dalam bukunya menguraikan kriteria-kriteria atau dasar- dasar pemidanaan terhadap delik kesusilaan sebagai berikut : 1. Delik-delik kesusilaan pada pokoknya dicari pada syarat kuisheid, chastity, sexual purity or decency, artinya delik-delik kesusilaan harus didasarkan pada kesesuaiankepatutan, kesuciansakralitas perbuatan seksual dan nilai-nilai kesusilaan, sehingga kejahatan pelanggaran terhadap hal-hal tersebut diatas masuk pada kategori delik kesusilaan. Dasar inilah misalnya yang dipergunakan untuk mengkriminalisasi delik pornografi dalam pasal 282 KUHP ataupun indecent exposure pelanggaran kesusilaan di muka umum dalam pasal 281 KUHP. 2. Kriminalisasi yang didasarkan untuk tujuan perlindungan terhadap anak-anak muda, supaya mereka jangan menghadapi shock dalam perkembangan seksual mereka. Seperti hubungan seksual dan perbuatan cabul yang dilakukan terhadap orang yang masih di bawah umur. 3. Mencegah orang-orang yang tidak berdaya, misalnya orang yang tidak sadar, terhadap serangan-serangan seksual. Inilah yang menjadi dasar bagi pemidanaan kriminalisasi terhadap pasal 286 KUHP, yakni persetubuhan di luar pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap wanita yang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. 4. Melindungi anak-anakorang-orang tertentu dan perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki hubungan tertentu yang didasarkan atas “hubungan kekuasaan”, seperti perbuatan cabul kepada Universitas Sumatera Utara 79 anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak yang berada di bawah pengawasannya, kemudian perbuatan cabul yang dilakukan oleh pejabat terhadap bawahannya, pengurus, dokter, guru dan lain-lain terhadap pasien dan muridnya. Dasar inilah yang dipakai sebagai dasar pemidanaan pasal 294 KUHP. 5. Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan untuk berhubungan seksual di luar pernikahanperbuatan cabul, sebagaimana yang diatur dalam pasal 285 dan 289 KUHP. 6. Adanya faktor-faktor komersil dalam hubungan seksual di luar pernikahan, seperti pelacuran dan rumah-rumah bordil, sebagaimana yang diatur dalam pasal 296 KUHP. 7. Adanya perlindungan terhadap kesucian lembaga perkawinan seperti perzinaan Adultery, sebagaimana yang diatur dalam pasal 284 KUHP. 67 Oemar Seno Adji pada bagian lain juga menekankan pentingnya unsur agama dan moral masyarakat dalam menentukan delik kesusilaan, artinya tiap-tiap perbuatan yang dapat melukai perasaan moral keagamaan yang karenanya membahayakan ketertiban umum dapat menjadi kriteria bagi kriminalisasi terhadap delik-delik kesusilaan. Roeslan Saleh juga berpendapat, kriteria kesusilaan hendaknya tidak hanya dibatasi pada masalah bidang seksual saja, tetapi juga meliputi hal-hal lain yang termasuk dalam penguasaan norma-norma kepatutan bertingkah laku dalam 67 Oemar Seno Adji, Hukum Acara Pidana dalam Prospeksi, Cet.II, Erlangga, Jakarta, 1976, hal. 19-20 Universitas Sumatera Utara 80 pergaulan masyarakat, seperti meninggalkan orang yang perlu ditolong, penghinaan, dan membuka rahasia. 68 Point ketujuh dapat disimpulkan, selain menjadi dasar kebijakan kriminalisasi delik perzinaan adultery, yakni salah satu pelaku telah memiliki ikatan perkawinan dengan orang lain, sehingga dikatakan menciderai kesucian lembaga perkawinan, juga tergolong dasar kriminalisasi terhadap hubungan persetubuhan di luar perkawinan yang sah fornication, sebab kedua pelaku sama sekali tidak terikat dalam ikatan perkawinan yang artinya sama juga dengan menciderai lembaga perkawinan. Hubungan persetubuhan seyogyanya hanya bisa dilakukan setelah adanya ikatan perkawinan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana tersirat dan tersurat dalam aturan agama dan hukum positif, namun Kriteria kebijakan kriminalisasi dari kriteria kriminalisasi delik kesusilaan di atas dalam hal hubungan persetubuhan di luar perkawinan yang sah delik zina fornication terdapat pada point satu, tujuh, dan pendapat lainnya Oemar Seno adji. Dasar diadakannya kriminalisasi terhadap delik kesusilaan khususnya dalam hal ini delik perzinaan fornication pada point pertama dapat dijelaskan bahwasanya perbuatan zina bertentangan dengan nilai kesesuaiankepatutan yang ada di masyarakat, yakni dalam masyarakat nilai kepatutan yang berkaitan dengan moral. Perbuatan zina dalam mayoritas masyarakat Indonesia baik itu fornication ataupun adultery dipandang tidak patutmencederai perasaan moral masyarakat. 68 Ibid, hal. 30 Universitas Sumatera Utara 81 pelaku perzinaan melanggarnya dengan melakukan hubungan persetubuhan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah diantara keduanya sama-sama lajang. Oemar Seno Adji kemudian menempatkan nilai agama sebagai faktor kebijakan kriminalisasi delik kesusilaan khususnya delik perzinaan fornication, dapat dijelaskan bahwasanya ajaran agama yang mayoritas dipeluk oleh penduduk Indonesia yakni Islam dan kemudian Kristen tidak membenarkan adanya hubungan persetubuhan baik itu dalam bentuk adultery maupun fornication. Negara yang melindungi hak warga negara untuk menjalankan ajaran agamanya, oleh karenanya harus mengakomodir ajaran agama yang ada sebagaimana yang diatur dalam pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 demi berlangsungnya ketertiban umum dan penegakan hukum law enforcement. Kriteria kebijakan kriminalisasi terhadap delik perzinaan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, secara umum juga telah diuraikan dalam bab pendahuluan, yakni ada banyak kriteria-kriteria umum terhadap penentuan kriminalisasi suatu perbuatan, prinsip-prinsip pembatas limiting principles, aspek pertimbangan dalam kriminalisasi, alasan kriminalisasi, serta faktor-faktor dalam pertimbangan kebijakan kriminalisasi yang secara umum menjadi dasar dalam menentukan kebijakan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan, kesemuanya merupakan dasar pengujian terhadap kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar perkawinan yang sah sebagai delik perzinaan dalam RUU KUHP tahun 2012 Staf ahli DPR RI Lidya Suryani Widayati yang merupakan salah satu anggota tim peneliti kebijakan formulasi delik perzinaan dalam Rancangan KUHP kemudian merangkum kriteria-kriteria kriminalisasi yang penting untuk diuji Universitas Sumatera Utara 82 dalam menentukan kebijakan kriminalisasi. Lidya mengungkapkan bahwasanya mengacu kepada beberapa pakar hukum mengenai kriminalisasi sebagaimana disebutkan dalam kerangka konsepsional disebutkan dalam bab pendahuluan, maka untuk menentukan kriminalisasi harus mengacu kepada beberapa kriteria kriminalisasi sebagai berikut : 1. Perbuatan yang akan dikriminalisasikan adalah perbuatan yang melanggar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat adat istiadat, kesusilaan dan agama; 2. Perbuatan yang akan dikriminalisasikan bersifat anti sosial karena merugikan masyarakat atau menimbulkan kerusakan terhadap masyarakat; 3. Kebijakan kriminalisasi harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja badan-badan penegak hukum; 4. Kebijakan kriminalisasi harus memperhatikan fungsi dan tujuan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan. 69 Keempat kriteria yang harus diperhatikan dalam menentukan kriminalisasi ini akan menjadi pisau analisis terhadap revisi pasal perzinaan dalam Rancangan KUHP yaitu mengenai kriminalisasi terhadap hubungan persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah dengan orang lain. 69 Law.uii.ac.idimagesstoryjurnal, Op.Cit., hal. 320 Universitas Sumatera Utara 83

C. Permasalahan dan Akibat adanya Perbuatan Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah