Kebijakan Penuntutan Tindak Pidana Persetubuhan di luar Perkawinan yang Sah

63

D. Kebijakan Penuntutan Tindak Pidana Persetubuhan di luar Perkawinan yang Sah

Kebijakan penuntutan dalam delik kesusilaan pernah menjadi topik pembicaraan yang ramai, khususnya yang berkaitan dengan delik permukahanzina, yaitu apakah seyogyanya menjadi delik aduan atau tidak. Masalah ini muncul ketika ada perubahan mendasar di dalam konsep yang menjadikan delik zina bukan lagi sebagai delik aduan seperti halnya KUHP WvS. Reaksi atau komentar terhadap masalah ini cukup banyak dikarenakan konsep delik aduan dalam hal perzinaan dikabarkan sudah ada sejak semula di dalam Konsep RUU, oleh karena itu,ada yang beranggapan, bahwa tindakan Tim mengubah rumusan delik perzinaan menjadi delik biasa dan melemparkannya ke masyarakat, hanya sebagai “taktik” saja, demikian salah satu komentar di dalam majalah Forum Keadilan No. 26, 1993. Komentar itu memberi kesan bahwa Tim seolah-olah telah membuat “gara-gara” melakukan perubahan kebijakan yang telah diambil selama ini, padahal seperti telah dikemukakan di atas, sejak Konsep BAS 1977 sampai konsep terakhir tahun 19911992, memang delik perzinaan sudah dijadikan delik biasa dan bukan delik aduan. Delik aduan dalam pasal perzinaan yang telah diubah menjadi delik biasa dalam Konsep KUHP 1977, diubah kembali menjadi delik aduan, namun dengan rumusan yang berbeda yang dapat dilihat dalam rumusan Pasal 483 RUU KUHP 2012 : ayat 2 Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar. Universitas Sumatera Utara 64 3. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak berlaku ketentuan pasal 25, pasal 26, dan pasal 28. 4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai. 59 Kebijakan penuntutan terhadap delik perzinaan dalam KUHP semula, dengan Konsep KUHP terbaru 2012, memiliki persamaan dalam penggolongan deliknya, yakni delik aduan absolut, namun jika dikaji lebih jauh terdapat perbedaan yang mendasar dari rumusan pasal tersebut di atas, dengan penuntutan delik perzinaan dalam hukum pidana positif. Konsep RUU KUHP 2012 dari segi pihak yang melakukan pengaduan terhadap delik perzinaan, telah ditambahkan lagi satu pihak yang melakukan pengaduan. Pasal 284 ayat 2 KUHP semula mengatur bahwasanya pihak yang dapat mengadukan ialah “….istrisuami yang tercemar….” 60 , maka kemudian dalam pasal 483 ayat 2 RUU KUHP 2012 ditambahkan pihaknya menjadi “….suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar....” 61 Pengaduan pihak ketiga dalam delik perzinaan pernah ada perubahan dari Konsep KUHP tahun 19911992 sampai dengan 13 Maret 1993 dengan konsep , hal ini terkait dengan adanya kriminalisasi terhadap hubungan persetubuhan di luar perkawinan yang sahperluasan dari formulasi delik perzinaan. Pihak yang ditentukan sebagai pihak yang tercemardirugikan kini tidak lagi dibatasi hanya sebatas istrisuami dari pelaku zina, yang dianggap dirugikan, namun lebih kepada pihak ketiga, yakni bisa saja masyarakat yang dirugikan dengan adanya perbuatan zina tersebut. 59 RUU KUHP 2012 ,Op.Cit., hal. 123 60 Moeljatno, Op.Cit., hal. 208 61 RUU KUHP 2012, Loc.Cit. Universitas Sumatera Utara 65 KUHP 2004 sampai dengan konsep RUU KUHP terbaru tahun 2012, adapun rumusan delik RUU KUHP tahun 19911992 berbunyi sebagai berikut : Pasal 386 14.10 1. Barangsiapa yang melakukan persetubuhan dengan orang lain di luar perkawinan yang sah, dipidana dengan denda paling banyak kategori I. 2. Tidak dilakukan penuntutan, kecuali atas pengaduan keluarga pembuat sampai derajat ke tiga atau oleh kepala adat atau kepala desa setempat. Penuntutan terhadap delik zina di luar nikah ini dilakukan hanya jika ada pengaduan dengan pihak-pihak yang telah ditentukan sebagaimana yang disebutkan diatas, yakni : 1. Keluarga pembuat sampai derajat ketiga; 2. Kepala adat setempat; 3. Kepala desa setempat. Pasal 386 ini termasuk pasal yang menjadi perdebatan di antara ahli hukum sebagaimana pasal 483 Konsep KUHP 2012, sehingga dalam pasal 386 tersebut disebutkan pula catatan bahwa ada yang berpendapat tindak pidana yang disebut dalam ayat satu itu dihapus, sebab banyak yang tidak setuju 62 Berdasarkan kesimpulan dari tujuan diadakannya kriminalisasi terhadap fornication, bahwasanya faktor yang melatarbelakangi kriminalisasi perbuatan tersebut yakni adanya masyarakat yang dirugikan, tidak lagi hanya mencakup kerugian dari pihak istrisuami yang melakukan perzinaan tersebut, ataupun , sehingga pada perkembangan selanjutnya rumusan delik ini pun kemudian dirombak kembali pada Konsep KUHP 2004 sampai dengan konsep KUHP 2012 dengan menambahkan pihak yang dapat mengadukan delik ini menjadi pihak ketiga saja. 62 http:himaihuinsuka.files. wordpress.com, Delik Perzinahan dan Berbagai Sistem Hukum dan dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, diakses pada tanggal 3 April 2013, pukul 10.00 WIB. Universitas Sumatera Utara 66 orang-orang tertentu saja sebagaimana yang diatur dalam konsep KUHP tahun 19911992, namun lebih kepada pihak ketiga orang-orang di luar suamiistri yakni siapa saja yang merasa dirugikan dengan adanya perbuatan zina baik itu adultery maupun fornication yang pihak ketiga tersebut ketahui, misalnya saja dalam kasus, si A laki-laki dan si B perempuan diketahui oleh C warga masyarakat yang mendapati A dan B telah melakukan zina, maka si C ini berhak melakukan pengaduan lantaran merasa telah dicederai perasaan moral dan nilai- nilai agama yang dianutnya. Menurut Barda Nawawi Arief masalah pro dan kontra mengenai sifat atau kedudukan delik kesusilaan, khususnya perzinaan, sebagai delik aduan atau tidak, harus ditinjau dari ruang lingkup yang lebih luas yaitu dari sudut kebijakan hukum pidana penal policy yang tidak dapat dipisahlepaskan pula dengan kebijakan kriminal criminal policy dan kebijakan sosial social policy. Penganalisisan dengan pendekatan kebijakan policy oriented approach yang termasuk juga di dalamnya pendekatan nilai value oriented approach inilah, yang menurut pendapat Tim kurang mendapat perhatian yang memadai selama ini. Penentuan sifat atau kedudukan suatu delik sebagai delik aduan atau bukan dilihat dari sudut pendekatan kebijakan, tidaklah semata-mata harus dilihat dari sudut atau kriteria sejauh mana delik itu pada hakikatnya bersifat privat atau publik. Komentar yang selama ini dikemukakan terlalu berorientasi pada masalah ini, sering dikemukakan baik dalam kepustakaan maupun kuliah para dosen kepada mahasiswa, bahwa suatu delik dijadikan delik aduan apabila Universitas Sumatera Utara 67 sifatkepentingan privatnya lebih menonjol, padahal dilihat dari sudut kebijakan, masalahnya tidak sesederhana itu. Suatu delik ditentukan sebagai delik biasa atau delik aduan termasuk masalah kebijakan policy. Masalah kebijakan, terkait banyak factor pertimbangan dan alternatif yang harus dipilih, jadi ada tidaknya sifatkepentingan privat yang menonjol hanya merupakan salah satu faktor dan bukan satu-satunya faktor yang harus dipertimbangkan. Beberapa faktor lain yang patut dipertimbangkan, khususnya yang berkaitan dengan masalah delik perzinaan, dibicarakan berikut ini : Penentuan sifat atau jenis delik sebagai delik aduan atau bukan berkaitan erat dengan sifat atau hakikat delik yang bersangkutan. Masalah sentral delik perzinaan bukan hanya berkisar pada masalah apakah perzinaan itu delik aduan atau bukan, tetapi masalah sentralnya harus lebih menukik pada sifat atau hakikat delik perzinaan itu sendiri. Delik perzinaan pada hakikatnya termasuk salah satu delik kesusilaan yang erat hubungannya dengan nilai-nilai kesucian dari lembaga perkawinan. Masalah sentralnya oleh karena itu terletak pada pandangan dan konsep nilai dari masyarakatwarga masyarakat mengenai nilai-nilai kesusilaan dan nilai kesucian dari lembaga perkawinan itu sendiri. Pandangan dan konsep nilai dari masyarakat yang lebih bersifat individualistis dan liberalistis, tentunya berbeda dengan pandangan masyarakat yang lebih bersifat kekeluargaan, kolektivitis, dan monodualistis. Hak-hak dan kebebasan individu dalam pandangan “Barat” Universitas Sumatera Utara 68 yang individualistis-liberalistis, sangat menonjol dan dijunjung tinggi, termasuk kebebasan di bidang seksual dan hubungan moralkesusilaan antar-individu. Hubungan seksual atau hubungan moral bersifat individual, sepanjang dilakukan bebas tanpa paksaan, hal demikian dipandang wajar dan tidak tercela, oleh karena itu wajar perzinaan dan bahkan lembaga perkawinan itu sendiri dipandang bersifat sangat pribadi sangat privat. Konsekuensi logis selanjutnya ialah, bahwa wajar perzinaan dipandang sebagai delik aduan. Titik tolak pandangan demikianlah kiranya yang melatarbelakangi konsep delik aduan menurut KUHP WvS yang termasuk keluargasistem hukum continental Civil Law System. Menurut Rene David dalam bukunya “ Major Legal Systems in the World Today”, 1978, halaman 24, “Civil Law Systems” atau “The Romano-Germanic Family” ini dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan paham “individualism, liberalism, and individual rights”. Titik tolak pandangan yang demikian dalam menentukan delik perzinaan sebagai delik aduan, dilihat dari pendekatan kebijakan yang berorientasi pada nilai value-oriented approach tentunya harus ditinjau dan dipertimbangkan kembali. Reorientasi dan reevaluasi terhadap pandangan dan nilai-nilai yang melatarbelakanginya inilah sebenarnya yang justru merupakan hakikat dari usaha pembaruan atau “reformasi” hukum pidana, bukanlah pembaruan hukum pidana apabila orientasi nilai dari Konsep KUHP baru sama saja dengan WvS. Perubahan konsep mengenai delik aduan dalam masalah perzinaan oleh karena itu harus Universitas Sumatera Utara 69 dilihat dari sudut ini. Masalah perzinaan dan lembaga perkawinan dalam pandangan dan struktur sosial-budaya masyarakat Indonesia bukan semata-mata masalah privat dan kebebasan individual, tetapi terkait pula nilai-nilai dan kepentingan masyarakat luas, minimal kepentingan keluarga, kaum dan lingkungan. Keberatan terhadap penentuan delik-delik pengaduan dari beberapa pihak timbul karena kepentingan perseorangan didahulukan daripada kepentingan umum dan karena merupakan kewajiban penguasa untuk mendahulukan yang terakhir ini. Barda berpendapat sebaiknya jangan tergesa-gesa menentukan suatu peristiwa pidana sebagai delik pengaduan. Meskipun seperti Barda katakan delik-delik pengaduan dalam Kitab Undang-Undang kita agak sedikit, beliau meragukan apakah pembentuk undang-undang dalam hal ini cukup berhati-hati, terutama karena asas opportuniteit merupakan salah satu corak yang pokok dari hukum acara pidana kita, yang memberi kebebasan pada badan penuntut umum apabila kepentingan pribadi dan kepentingan umum saling bertentangan, untuk membiarkan suatu perkara supaya tidak dituntut. Perzinaan dan delik-delik lain yang dijadikan delik-delik pengaduan, merupakan hal-hal yang tidak hanya mengenai orang yang bersangkutan, tetapi juga merupakan hal yang penting bagi negara, maka tidak mengherankan, apabila aliran-aliran baru dalam hukum pidana tidak begitu menyetujui lembaga ini. Universitas Sumatera Utara 70 Penentuan suatu delik sebagai delik aduan atau bukan telah dikemukakan bahwasanya merupakan bagian dari suatu kebijakan policy. Kebijakan, tidak ada yang bersifat absolut, bisa saja suatu kebijakan berubah, bergantung pada situasi dan tujuan yang ingin dicapai. Suatu delik pada hakikatnya ditetapkan sebagai delik aduan atau bukan, hanya merupakan suatu upayasarana atau suatu langkah kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tujuan yang ingin dicapai lewat hukum pidana dari sudut politik kriminal salah satunya ialah pencegahan terjadinya tindak pidana, baik dalam arti pencegahan khusus speciale preventie maupun pencegahan umum generale preventie. Kebijakan menetapkan delik perzinaan sebagai delik aduan absolut kurang mendukung tujuan pencegahan, terutama efek prevensi umum. Delik perzinaan apabila dinyatakan sebagai delik aduan absolut, seolah- olah memberi peluang dan memberikan dasar pembenaranlegitimasi kepada seseorang terutama suami untuk merasa bebas melakukan perzinaan. Kebijakan menetapkan delik perzinaan sebagai delik aduan absolut oleh karena itu dapat menjadi “faktor kriminogen”, yaitu memberi peluang untuk seseorang justru melakukan perzinaan, terutama dalam kondisi masyarakat yang sebagian besar kedudukanposisi para istri lebih lemah daripada suami, karena masih lebih banyak bergantung pada posisi suami. Suami dapat saja “membungkam atau mengintimidasi’ pihak istri untuk tidak mengajukan pengaduan atau tuntutan, sehingga dia merasa Universitas Sumatera Utara 71 bebas untuk melakukan perzinaan terlebih budaya “nrima’ karena berbagai alasan dan pertimbangan, jarang pihak istri mengajukan pengaduantuntutan. Efek prevensi dari sifat delik aduan absolut oleh karena itu sangat kurang dan bahkan dapat menjadi faktor kriminogen, lain halnya apabila dijadikan delik biasa, bukan delik aduan, karena pengendaliannya atau pengawasnya bukan hanya istri orang rumah tetapi juga masyarakat luas. Melemahnya katupkeran pengendalian ini yaitu dijadikan sebagai delik aduan absolut dilihat dari sudut politik kriminal dapat pula menimbulkan efek berantai timbulnya delik-delik lain. Dilarangnya “delik zina” dilihat dari sudut politik kriminal merupakan satu kesatuan mata rantai untuk mencegah timbulnya delik lain, antara lain mencegah maraknya delik-delik yang terkait dengan dunia pelacuran sebagai perantarapenghubung, germomucikari, perdagangan wanita lihat pasal 295, 296, 297 KUHP pembunuhan bayiorok pasal 341 KUHP, bunuh diri walaupun menurut pasal 345 KUHP yang diancam pidana adalah orang yang membantu bunuh diri, dan aborsi pasal 346 KUHP dan seterusnya. Perzinaan apabila dijadikan sebagai delik aduan absolut, tidak mustahil menyebabkan keran pengamanpengendali menjadi lemah atau longgar, dan bisa berakibat membuka pintupeluang terjadinya delik-delik lain itu. Perzinaan apabila dijadikan delik aduan, peluang untuk terjadinya perzinaan lebih besar. Hal Ini berarti memberi peluang lebih besar Universitas Sumatera Utara 72 terjadinya pelanggaran terhadap kesucian perkawinan dan terjadinya hubungan seksual di luar hubungan perkawinan, padahal “nilai kesusilaanmoral nasional” NKN yang ingin ditegakkan lewat undang- undang Perkawinan adalah bahwa hubungan seksual itu hendaknya dilakukan lewat lembaga perkawinan. NKN dengan kata lain tidak menghendaki adanya hubungan seksual di luar diluar pernikahan. Pembangunan moral bangsamoral nasional yang dituju adalah moral yang bertolak dari moral keagamaan, bukan yang bertolak dari paham “kebebasan moral”. Perzinaan atau hubungan seksual suka sama suka terlalu sederhana jika dilihat sebagai masalah yang sangat pribadi. Hubungan seksual atau perzinaannya memang bersifat pribadi, tetapi dampak moral, dampak psikologis dan dampak sosialnya yang negatif jelas bukan masalah pribadi lagi, tetapi sudah menyangkut kepentingan umum. Kepentingan individu patut juga diperhitungkan dilihat dari pendekatan kebijakan, khususnya pihak keluarga suamiistrianak yang sedang tertimpa skandal perzinaan, namun mempertimbangkan kepentingan individu atas keluarga yang sedang terkena musibah ini pun hendaknya dilakukan secara proporsional, jangan terlalu berlebihan atau terlalu didramatisasikan. Misalnya pihak istrisuami dan anak-anak akan malu dengan dijadikannya perzinaan sebagai delik biasa dan dapat begitu saja dituntut tanpa pengaduan, ini terlalu didramatisasi karena delik apapun yang dilakukan misalnya : penipuan, penggelapan, pemerkosaan, Universitas Sumatera Utara 73 korupsi, dan sebagainya yang semuanya menurut undang-undang bukan delik aduan apabila yang bersangkutan diajukan ke pengadilan, tentu saja pihak keluarga istrisuamianak dan sebagainya juga merasa malu dan terpukul, tetapi kalau alasannya cukup proporsional, memang patut dipertimbangkan. Patut dipertimbangkan untuk dijadikan delik aduan relatif sekiranya memang ada alasan cukup kuat untuk melindungi kepentingan pribadikeluarga. Relativitasnya bukan berarti digantungkan kepada kepentingan individu yang bersangkutan pihak suamiistri, tetapi hendaknya diorientasikandigantungkan kepada kepentingan masyarakat. Kebijakan dalam merumuskan delik aduan relatif yang berorientasi pada kepentingan umum seperti terdapat dalam KUHP Norwegia dapat kiranya dijadikan contoh, jadi disini tetap diperhatikan asas keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. 63 63 Barda Nawawi Arief, Buku II, Op.Cit, 281-288. Kebijakan penuntutan juga terkait dengan masalah sanksi. Sanksi delik perzinaan dalam KUHP dengan sanksi hukum dalam RUU KUHP 2012 terdapat perbedaan yang signifikan, yakni delik perzinaan semula hanya diberi sanksi pidana sembilan bulan, dalam RUU KUHP kemudian semakin diperberat dengan sanksi penjara maksimum lima tahun. Penerapan sanksi ini sudah tergolong sanksi yang berat, namun ada saran bahwasanya sanksi dalam rumusan konsep KUHP 2012 tersebut perlu diperberat lagi mengingat seriusnya tindak pidana ini termasuk banyaknya kerugian yang ditimbulkan. Universitas Sumatera Utara 74 BAB III LANDASAN KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012

A. Kebijakan Kriminalisasi