Viabilitas Enkapsulasi Sinbiotik Isolat BAL Dengan Berbagai BahanEnkapsulan Selama Masa Simpan DanSimulasi Asam Lambung

(1)

VIABILITAS ENKAPSULASI SINBIOTIK ISOLAT BAL

DENGAN BERBAGAI BAHAN ENKAPSULAN SELAMA

MASA SIMPAN DAN SIMULASI ASAM LAMBUNG

SKRIPSI

OLEH

SANTA LUSIA NATALIA

100805064

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

VIABILITAS ENKAPSULASI SINBIOTIK ISOLAT BAL

DENGAN BERBAGAI BAHAN ENKAPSULAN SELAMA

MASA SIMPAN DAN SIMULASI ASAM LAMBUNG

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

OLEH

SANTA LUSIA NATALIA 100805064

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

PERSETUJUAN

Judul : Viabilitas Enkapsulasi Sinbiotik Isolat BAL Dengan Berbagai Bahan

Enkapsulan Selama Masa Simpan Dan Simulasi Asam Lambung

Kategori : Skripsi

Nama : Santa Lusia Natalia

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi Nomor Induk Mahasiswa : 100805064

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Februari 2015

Komisi Pembimbing:

Pembimbing 2, Pembimbing 1,

Dra. Nunuk Priyani, M.Sc. Dr. It Jamilah, M.Sc.

NIP: 196404281996032001 NIP:196310121991032003

Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc. NIP: 196301231990032001


(4)

PERNYATAAN

VIABILITAS ENKAPSULASI SINBIOTIK ISOLAT BAL DENGAN BERBAGAI BAHAN ENKAPSULAN SELAMA MASA SIMPAN DAN

SIMULASI ASAM LAMBUNG

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Februari 2015

Santa Lusia Natalia 100805064


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan YME yang telah memberikan Berkat dan Rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul “Viabilitas Enkapsulasi Sinbiotik Isolat Bal Dengan Berbagai Bahan Enkapsulan Selama Masa Simpan Dan Simulasi Asam Lambung

dibuat sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana Sains FMIPA USU Medan.

Ucapan terima kasih terbesar pertama kali penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis, ayahanda dan ibunda tercinta, Tay ah toon dan Rotua Helena Hutabarat yang selalu memberikan do’a, dukungan, semangat, perhatian, pengorbanan dan kasih sayangnya yang besar kepada penulis.. Kepada kakak, abang dan adik-adikku, dr. Isabella Suhena, Pince Hutasoit, Tania Gabriella dan Grisella Caroline yang selalu dapat menghibur dan memompa semangat penulis. Kepada seluruh keluarga besarku atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis baik moril maupun materil.

Terimakasih penulis sampaikan kepada ibu Dr. It Jamilah, M.Sc. selaku pembimbing 1 dan ibu Pro Dra. Nunuk Priyani, M.Sc. selaku pembimbing 2 yang telah memberi bimbingan dan banyak masukan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto. M.Sc. dan ibu Dr. Saleha Hanum. M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada keluarga kedua ku Anita Doris Sianturi, Chrestina R. P. S dan Yantika R. S. untuk selalu ada disaat susah maupun senang. Kepada noona dan Zombie buddy, Nurul Fadhillah dan Nurhayati terima kasih telah menciptakan senyum ditengah penatnya pengerjaan skripsi ini. Kepada sahabat satu penelitianku, Riris Delima Purba, Hendika Zupliker, Juwita Sihombing, Devi permatasari terima kasih atas suntikan semangatnya. Terima kasih untuk National Brother Bang Imam dan Bang Aan yang selalu memberikan arahan kepada penulis. Tak terlupakan teman-teman stambuk 2010 ‘BioRev’ yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih sudah membuatku lebih dewasa. Terima kasih kepada rekan-rekan asisten Frico, Poppy, Virza, Chandra, Steven dan Devi dan semuanya yang tidak dapat penulis tuliskan satu persatu, terima kasih atas kerjasamanya selama di bangku perkuliahan.

Akhirnya dengan penuh ketulusan dan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan hasil penelitian ini. Semoga Tuhan YME membalas semua kebaikan kita dengan balasan yang setimpal.

Medan, Februari 2015 Penulis


(6)

VIABILITAS ENKAPSULASI SINBIOTIK ISOLAT BAL DENGAN BERBAGAI BAHAN ENKAPSULAN SELAMA MASA SIMPAN DAN

SIMULASI ASAM LAMBUNG

ABSTRAK

Bakteri asam laktat (BAL) telah ditambahkan kedalam berbagai produk pangan sebagai agen probiotik karena sudah sejak lama diketahui memberikan efek kesehatan yang menguntungkan pada manusia. Dalam aplikasinya viabilitas sel BAL sering menurun karena dipengaruhi oleh lingkungan. Teknik enkapsulasi adalah salah satu teknik perlindungan sel dengan menggunakan bahan pengkapsul. Diperlukan pemilihan jenis bahan pengkapsul yang efektif untuk menghasilkan perlindungan sel BAL yang optimal. Dalam penelitian ini BAL kandidat probiotik (isolat US7) dienkapsulasi denganalginat-tepung kacang hijau dan alginat-tepung gramdengan inulin sebagai prebiotik melalui teknik ekstrusi. Viabilitas sel BAL yang dienkapsulasi dapat bertahan pada CFU setelah 4 minggu penyimpanan pada suhu 4°C. Beads diinkubasi dalam simulasi asam lambung (pH= 2) selama 2 jam dan simulasi usus (pH= 6) selama 3 jam pada suhu 37°C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel BAL yang dienkapsulasi dapat mempertahankan tingkat kelangsungan hidup sebesar 97% dengan jumlah sel9,07 Log CFU di dalam simulasi asam lambung dan kemudian melanjutkan melepaskan sel dalam simulasi usus. Secara umum, penelitian ini menunjukkan bahwa enkapsulasi dengan alginat-tepung kacang hijau danalginat-tepung gram dengan inulin berhasil secara signifikan melindungi bakteri probiotik terhadap kondisi gastro-intestinal manusia.

Keyword: Enkapsulasi; alginat-tepung kacang hijau; alginat-tepung gram; Inulin; Simulasi kondisi gastro-intestinal.


(7)

SINBIOTICT ENCAPSULATIONVIABILITY of LAB ISOLATE WITH DIFFERENT COATING MATERIALS DURING THE STORAGE and

SIMULATE GASTRIC ACID

ABSTRACT

Lactic acid bacteria (LAB) have been added to various food products as a probiotic agent because it has long been known to provide beneficial health effects in humans. In the application of LAB, cell viability is often decreased as influenced by the environment. Encapsulation technique is one of the cell protection techniques using coating material. Effective coating materials is required to produce optimal protection of LAB cells. In this study candidate of probiotic LAB (isolate US7) encapsulated with alginate-mung bean flour and alginate-gram flour with prebiotic inulin by extrusion techniques. Encapsulated LAB cell viability improved survival of cell up to CFU after 4 weeks of storage at 4°C. Beads were incubated in simulated liquid gastric acid (pH = 2) for 2 hrs and simulated intestinal fluid (pH = 6) for 3 hrs at 37 °C. The results showed that the encapsulated LAB cells maintained the survival rate at 97% with the number of cells 9.07 Log CFU in the simulated liquid gastric acid and then followed by releasing cells in simulated intestinal fluid. In general, this study indicates that encapsulation with alginate-mung bean flour and alginate-gram flour with inulin significantly successful protected probiotic bacteria against humans gastro-intestinal conditions.

Keyword : Encapsulation; alginate-mung bean flour; alginate-gram flour; Inulin; Simulated gastro-intestinal condition.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak iv

Abstract v

Daftar Isi vi

Daftar Tabel viii

Daftar Gambar ix

Daftar Lampiran x

BAB 1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 3

1.3. Tujuan Penelitian 4

1.4. Manfaat 4

1.5. Hipotesis 4

BAB 2. Tinjauan Pustaka

2.1.Probiotik 5

2.2. Bakteri Asam Laktat (BAL) 5

2.3. Prebiotik 7

2.4. Sinbiotik 8

2.5. Enkapsulasi 9

2.5.1. Bahan Pengkapsul 10

2.5.1.1. Alginat 10

2.5.1.2. Susu Skim, Sodium Caseinate dan Whey 11 2.5.1.3. Kacang Hijau (Vigna radiata) 12 2.5.1.4. Kacang Arab (Cicer arietinum) 13

2.5.2. Teknik Ekstrusi 13

2.5.3. Teknik Emulsi 14

BAB 3. Metodologi Penelitian

3.1. Waktu dan Lokasi 15

3.2. Bahan dan Alat 15

3.3. Rancangan Percobaan 15

3.4. Prosedur Penelitian 16

3.4.1. Penyegaran Kultur BAL 16

3.4.2. Persiapan Kultur BAL 16

3.4.3. Seleksi BAL Potensial 16

3.4.4. Pembuatan Kurva Pertumbuhan 17 3.4.5. Enkapsulasi dan Pengeringan Sinbiotik dengan 18

Teknik Estruksi


(9)

3.4.7. Uji Ketahanan Sel Bebas dan Sinbiotik BAL 19 Terenkapsulasi dalam Kondisi Asam Lambung

Tiruan dan Kondisi Usus Tiruan BAB 4. Hasil dan Pembahasan

4.1. Pemeriksaan Kemurnian Kultur Bakteri Asam Laktat (BAL) 20 4.2. Seleksi BAL Potensial Sebagai Kandidat Probiotik 21 4.3. Kurva Pertumbuhan BAL petensial Isolat US7 23 4.4. Enkapsulasi dan Pengeringan Sinbotik BAL potensial 25 Isolat US7

4.5.Hasil Uji Viabilitas Sinbiotik BAL terenkapsulasi 26 4.6. Hasil Uji Ketahanan Sel Bebas dan Sinbiotik BAL 30 Terenkapsulasi dalam Kondisi Asam Lambung Tiruan

dan Kondisi Usus Tiruan BAB 5. Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan 33

5.2. Saran 33

Daftar Pustaka 34


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel

1. Bakteri Asam Laktat (BAL) yang berasosiasi dengan 7 manusia

2. Karakteristik Kultur Bakteri Asam Laktat 20 3. Diameter zona hambat isolat BAL terhadap bakteri 22


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar

1. Struktur Kimia Inulin 8

2. Monomer-monomer alginat 10

3. Ikatan monomer-monomer alginate 11

4. Kurva pertumbuhan US7 24

5.1. Manik-manik (beads) sinbiotik hasil enkapsulasi 25 metode ekstrusi dengan mikroskop stereo pencahayaan bawah 26 5.2. Manik-manik (beads) sinbiotik hasil enkapsulasi metode 26 ekstrusi dengan mikroskop stereo pencahayaan atas

6.1. Populasi bakteri probiotik US7 terenkapsulasi pada masa 29 simpan dan suhu penyimpanan 4 °C

6.2. Populasi bakteri probiotik US7 terenkapsulasi pada masa 29 simpan dan penyimpanan suhu ambien

7. Populasi bakteri probiotik US7 terenkapsulasi terhadap 32 Simulasi Asam Lambung Tiruan (SGJ) dan Simulasi

Usus Tiruan (SIF)


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran

1. Pewarnaan Kultur BAL 39

2. Uji Katalase 39

3. Seleksi BAL Potensial 40

4. Pembuatan Kurva Standar dan Kurva Pertumbuhan 41 5. Enkapsulasi dan Pengeringan Sinbiotik dengan teknik ekstrusi 43 6. Viabilitas Granul Kultur BAL Setelah Enkapsulasi 44 7. Uji Ketahanan Sel Bebas dan Sinbiotik Terenkapsulasi 45 Dalam Kondisi Asam Lambung Tiruan


(13)

VIABILITAS ENKAPSULASI SINBIOTIK ISOLAT BAL DENGAN BERBAGAI BAHAN ENKAPSULAN SELAMA MASA SIMPAN DAN

SIMULASI ASAM LAMBUNG

ABSTRAK

Bakteri asam laktat (BAL) telah ditambahkan kedalam berbagai produk pangan sebagai agen probiotik karena sudah sejak lama diketahui memberikan efek kesehatan yang menguntungkan pada manusia. Dalam aplikasinya viabilitas sel BAL sering menurun karena dipengaruhi oleh lingkungan. Teknik enkapsulasi adalah salah satu teknik perlindungan sel dengan menggunakan bahan pengkapsul. Diperlukan pemilihan jenis bahan pengkapsul yang efektif untuk menghasilkan perlindungan sel BAL yang optimal. Dalam penelitian ini BAL kandidat probiotik (isolat US7) dienkapsulasi denganalginat-tepung kacang hijau dan alginat-tepung gramdengan inulin sebagai prebiotik melalui teknik ekstrusi. Viabilitas sel BAL yang dienkapsulasi dapat bertahan pada CFU setelah 4 minggu penyimpanan pada suhu 4°C. Beads diinkubasi dalam simulasi asam lambung (pH= 2) selama 2 jam dan simulasi usus (pH= 6) selama 3 jam pada suhu 37°C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel BAL yang dienkapsulasi dapat mempertahankan tingkat kelangsungan hidup sebesar 97% dengan jumlah sel9,07 Log CFU di dalam simulasi asam lambung dan kemudian melanjutkan melepaskan sel dalam simulasi usus. Secara umum, penelitian ini menunjukkan bahwa enkapsulasi dengan alginat-tepung kacang hijau danalginat-tepung gram dengan inulin berhasil secara signifikan melindungi bakteri probiotik terhadap kondisi gastro-intestinal manusia.

Keyword: Enkapsulasi; alginat-tepung kacang hijau; alginat-tepung gram; Inulin; Simulasi kondisi gastro-intestinal.


(14)

SINBIOTICT ENCAPSULATIONVIABILITY of LAB ISOLATE WITH DIFFERENT COATING MATERIALS DURING THE STORAGE and

SIMULATE GASTRIC ACID

ABSTRACT

Lactic acid bacteria (LAB) have been added to various food products as a probiotic agent because it has long been known to provide beneficial health effects in humans. In the application of LAB, cell viability is often decreased as influenced by the environment. Encapsulation technique is one of the cell protection techniques using coating material. Effective coating materials is required to produce optimal protection of LAB cells. In this study candidate of probiotic LAB (isolate US7) encapsulated with alginate-mung bean flour and alginate-gram flour with prebiotic inulin by extrusion techniques. Encapsulated LAB cell viability improved survival of cell up to CFU after 4 weeks of storage at 4°C. Beads were incubated in simulated liquid gastric acid (pH = 2) for 2 hrs and simulated intestinal fluid (pH = 6) for 3 hrs at 37 °C. The results showed that the encapsulated LAB cells maintained the survival rate at 97% with the number of cells 9.07 Log CFU in the simulated liquid gastric acid and then followed by releasing cells in simulated intestinal fluid. In general, this study indicates that encapsulation with alginate-mung bean flour and alginate-gram flour with inulin significantly successful protected probiotic bacteria against humans gastro-intestinal conditions.

Keyword : Encapsulation; alginate-mung bean flour; alginate-gram flour; Inulin; Simulated gastro-intestinal condition.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Probiotik adalah mikroorganisme yang diintroduksi secara oral pada saluran pencernaan yang mampu memberikan kontribusi positif pada aktivitas mikroflora saluran pencernaan dan juga kesehatan inangnya. Kebanyakan bakteri probiotik berasal dari kelompok bakteri asam laktat (BAL) dan diantaranya Lactobacillus

dan Bifidobacteria dilaporkan memiliki peran yang signifikan dalam menjaga ekosistem pencernaan dan menstimulasi sistem imun inang (Saarela et al., 2002).

Bakteri asam laktat (BAL) merupakan mikroorganisme yang memiliki peranan penting dengan sifatnya yang berasosiasi dengan sistem pencernaan manusia. Bakteri ini bermanfaat untuk mencegah diare dan konstipasi, memperbaiki penyerapan laktosa dengan memproduksi β-galaktosidase, sintesis nutrisi dan meningkatkan bioavailabilitas, pencegahan terhadap kanker dan mutasi pada saluran pencernaan manusia (Femia et al., 2002; Kailasapathy and Chin, 2000; Rather, 2002). Berbagai senyawa hasil metabolisme BAL seperti asam laktat, , bakteriosin yang bersifat antimikroba dan berbagai enzim seperti laktase yang dapat membantu mengatasi intoleransi terhadap laktosa serta

bile salt hydrolase yang dapat menurunkan kolesterol (Nagao et al., 2000; Schrezenmeir dan de Vrese, 2001).

Salminem et al. (1998) menjelaskan jumlah mikroba hidup harus cukup untuk memberikan efek positif bagi kesehatan dan mampu berkolonisasi sehingga dapat mencapai jumlah yang diperlukan selama waktu tertentu. Guna mempertahankan bakteri probiotik didalam saluran pencernaan dilakukan penambahan sumber bahan pangan yang secara spesifik hanya dicerna oleh bakteri probiotik yang disebut prebiotik (Zain, 2010). Defenisi prebiotik menurut FAO adalah komponen makanan yang tidak dapat dicerna yang mampu memberikan manfaat kesehatan pada inangnya melalui modulasi mikrobiota dalam saluran cerna. Fungsi prebiotik adalah menstimulasi aktifitas mikrobiota dalam saluran pencernaan. Prebiotik merupakan oligosakarida atau jenis karbohidrat yang tidak tercerna lainnya yang dapat meningkatkan strain Bifidobacteria pada hewan dan manusia (Salminem et al., 1998). Perpaduan probiotik dan prebiotik disebut sinbiotik. Konsep sinbiotik ialah memberikan efek menguntungkan bagi inang dengan cara meningkatkan daya hidup bakteri dan menyimpan makanan bagi mikroba dalam saluran pencernaan (Zain, 2010).


(16)

2

Penggunaan BAL sebagai agensia probiotik dalam bidang industri semakin mengalami peningkatan. Salah satu BAL yang umum digunakan sebagai probiotik pada saluran pencernaan ialah kelompok Lactobacillus. Lactobacillus

dapat dikonsumsi baik dalam bentuk cair seperti yogurt, kefir dan koumiss, semi solid sampai solid seperti keju (Triana et al., 2005).

Gaya hidup dan pola makan memiliki peran yang penting dalam kesehatan setiap individu. Dewasa ini penggunaan probiotik dalam berbagai bidang telah meningkat. Peningkatan tersebut telah menciptakan jaringan dunia pemasaran yang luas (Aghyesi, 2005). Aplikasi BAL pada bidang industri pangan memerlukan teknik pemrosesan yang tepat agar BAL sebagai agen probiotik memiliki kemampuan bertahan pada proses pengawetan dan dalam proses penyimpanan pangan tersebut. Salah satu cara mengatasi permasalahan ini adalah memberikan perlindungan terhadap sel bakteri. Salah satu teknik perlindungan sel bakteri ialah melalui enkapsulasi menggunakan bahan pengkapsul (enkapsulan) yang mampu melindungi sel dari kondisi lingkungan yang menyebabkan viabilitas sel menurun seperti suhu, pH, kelembapan, oksigen dsb (Krasaekoopt et al., 2003).

Dalam proses enkapsulasi, suatu bahan inti dibungkus dengan kapsul (biopolimer) atau membran yang bersifat semipermeabel sehingga inti dapat keluar (release) pada kondisi yang terkontrol (Anal dan Singh, 2007). Teknik enkapsulasi BAL dapat dilakukan dengan mudah, murah, dan tidak toksik, yaitu menggunakan alginat. Proses enkapsulasi probiotik menggunakan alginat dapat dilakukan dengan teknik estruksi dan teknik emulsi yang akan membentuk gel hidrokoloid (kalsium alginat) berbentuk manik-manik (beads) (Krasaekoopt et al., 2003).

Pemilihan metode mikroenkapsulasi dan bahan pengkapsul saling bergantung satu sama lain. Berdasarkan bahan pengkapsul dan metode yang digunakan, metode atau bahan pengkapsul yang sesuai dipilih. Material pengkapsul yang pada dasarnya adalah bahan pembentuk film dapat dipilih dari berbagai macam polimer alami atau sintetis, tergantung pada material yang akan dilapisi dan karakteristik mikrokapsul akhir yang diinginkan (Poshadri dan Aparna, 2010). Beberapa penelitian sebelumnya menggunakan alginat, susu skim, pollard, tepung terigu, xanthan gum, pektin, gelatin dan trehalose sebagai bahan pengkapsul (Widodo et al., 2003; Krasaekoopt et al., 2006; Xiaoyan dan Xiguang, 2007).

Terdapat beberapa teknik dalam enkapsulasi diantaranya : Spray drying,

Spray-chilling, Spray-cooling, Ekstrusi, Emulsi, Fluidized-bed Coating, Perangkap Liposom, Liofilisasi, Koaservasi, Pemisahan dengan Sentrifugasi, Koksristalisasi dan Kompleksasi Inklusi (Poshadri dan Aparna, 2010). Masing-masing teknik tersebut memilki kekurangan dan kelebihan Masing-masing-Masing-masing.


(17)

3

Beberapa penelitian sebelumnya menggunakan perlakuan khusus seperti penambahan prebiotik selain penggunaan bahan pengkapsul. Sultana et al . (2000) melakukan enkapsulasi Lb.acidophilus dengan teknik emulsi dengan penambahan prebiotik pati jagung (Hi-maize) meningkatkan rendemen dan jumlah Lb.casei

terenkapsulasi lebih lambat 1 jam dibanding Lb.casei bebas.

Berdasarkan berbagai alasan diatas peneliti tertarik mempelajari potensi BAL yang diisolasi dari usus ikan nila (Oreochromis niloticus) dan perairan air tawar asal Sumatera Utara sebagai kandidat probiotik dalam mengendalikan patogen pangan. Serta untuk mengetahui komposisi bahan enkapsulan dan teknik enkapsulasi yang efektif terhadap BAL tersebut untuk meningkatkan viabilitas BAL terhadap faktor lingkungan. Sehingga dihasilkan BAL terenkapsulasi yang memiliki daya simpan panjang dan viabilitas yang tinggi.

1.2Rumusan Permasalahan

Rumusan masalah dalam penelitian ini ialah:

1. Jenis BAL yang manakah yang efektif sebagai probiotik dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen pada saluran pencernaan

2. Komposisi enkapsulan yang mana yang paling efektif dalam pembuatan BAL terenkapsulasi ?

3. Bagaimanakah pengaruh suhu dan masa simpan terhadap viabilitas sel BAL terenkapsulasi ?

4. Apakah pengaruh BAL terenkapsulasi sinbiotik terhadap simulasi asam lambung tiruan ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini ialah:

1. Seleksi BAL yang paling potensial dalam menghambat bakteri pangan patogen Salmonella thypimurium, E.coli dan Staphylococcus aureus. 2. Mengetahui bahan enkapsulan yang paling efektif dalam enkapsulasi BAL. 3. Mengetahui pengaruh suhu dan masa simpan terhadap viabilitas sel BAL

terenkapsulasi.

4. Mengetahui pengaruh penambahan bahan prebiotik terhadap viabilitas BAL terenkapsulasi dalam simulasi asam lambung tiruan.


(18)

4

1.4Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini dapat dipahami kemampuan senyawa antimikrob BAL dalam mengendalikan pertumbuhan patogen pada pangan dan fungsinya sebagai probiotik dalam saluran pencernaan manusia.

Penelitian ini bermanfaat dalam memberikan informasi kepada penelitian selanjutnya dalam memilih bahan enkapsulan yang efektif untuk enkapsulasi BAL serta potensi aplikasi BAL sebagai probiotik dalam produk pangan.

1.5Hipotesis

BAL terenkapsulasi memiliki efektifitas dan viabilitas yang lebih tinggi dari sel BAL bebas dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen pangan

Salmonella thypimurium, E.coli dan Staphylococcus aureus. Sinbiotik terenkapsulasi juga diduga dapat meningkatkan viabilitas sel dalam kondisi asam lambung tiruan dibandingkan dengan sel bebas.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Probiotik

Kata probiotik berasal dari bahasa yunani yang berarti “untuk kehidupan”. Defenisi formal pertama kali dikemukakan oleh Paker (1974) “organisme atau

substansi yang berkontribusi pada keseimbangan mikroba saluran pencernaan”. Namun defenisi ini di revisi oleh Fuller (1989) menjadi mikrobial hidup yang diberikan supplemen yang kemudian dapat memberikan manfaat kesehatan pada inangnya dengan memperbaiki keseimbangan mikroba saluran pencernaan inangnya (Gibson & Fuller, 2000). Defenisi probiotik telah berkembang selama bertahun-tahun, pada umumnya defenisi yang digunakan berdasarkan ILSI eropa dan WHO. Defenisi probiotik menurut WHO adalah mikroorganisme hidup yang bila diberikan dalam jumlah yang cukup dapat memberikan manfaat kesehatan pada inangnya. Pada kasus probiotik, manfaat kesehatan utama yang diharapkan adalah asosiasinya dengan mikrobiota normal dan kemampuannya dalam meningkatkan efektifitas mikrobiota, dengan mengurangi jumlah atau kolonisasi bakteri patogen atau virus serta untuk menjaga dan memperbaiki sistem pertahanan tubuh inangnya (Salminem & Loveren, 2012).

2.2Bakteri Asam Laktat (BAL)

Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri gram positif yang berbentuk batang atau bulat, tidak membentuk spora, serta memproduksi asam laktat sebagai produk utama selama proses fermentasi. Genus BAL yang biasa digunakan dalam produk pangan adalah genus Aerococcus, Carnobacterium, Enterococcus, Lactobacillus, Lactococcus, Leuconostoc, Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus dan Weissella (Axelson, 2004).

Selama proses fermentasi, BAL dapat menghasilkan metabolit-metabolit yang menimbulkan perubahan rasa dan bentuk atau tekstur makanan serta menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan pembusuk. Metabolit-metabolit tersebut antara lain asam organik (asam laktat dan asam asetat), diasetil, hidrogen peroksida dan bakteriosin yang semuanya memiliki aktivitas antimikroba (Shah, 2007).

Bakteri asam laktat sejumlah bakteri Gram positif, tidak membentuk spora, memproduksi asam laktat sebagai hasil akhir fermentasi glukosa. Bakteri asam laktat bersifat katalase negatif. Fermentasi glukosa dibedakan dalam dua jalur utama yaitu glikolisis (Embden-Meyer Pathway) yang menghasilkan produk akhir asam laktat secara keseluruhan (homofermentatif) dan jalur

6-phosphogluconat/phosphoketolase yang juga menghasilkan sejumlah besar produk akhir lainnya, seperti etanol, asam asetat dan (Leistner, 2000).


(20)

6

Berdasarkan fermentasi heksosa dan jenis asam yang dihasilkan terdapat dua kelompok BAL, yaitu homofermentatif dan heterotatif. Pada kelompok homofermentatif asam laktat merupakan satu-satunya produk hasil fermentasi, sedangkan pada kelompok heterofermentatif selain memproduksi asam laktat juga memproduksi etanol dan asam asetat sebagai produk samping (Fardiaz, 1992).

BAL homofermentatif sering digunakan dalam pengawetan pangan karena produksi asam laktat dalam jumlah besar mampu menghambat bakteri penyebab kerusakan makanan dan patogen lain. BAL heterofermentatif dimanfaatkan dalam pembentukan flavor dan komponen aroma seperti asetaldehid dan diasetil, tetapi kedua jenis bakteri asam laktat tersebut mempunyai kemampuan menghasilkan asam organik, hidrogen peroksida dan bakteriosin (Gomes dan Malcata, 1999).

Peranan utama BAL dalam industri pangan adalah sebagai kultur starter

produk-produk yang melibatkan proses fermentasi atau produk pangan fungsional yang memiliki pengaruh positif terhadap kesehatan (Tamime et al., 2006). Selain memiliki efek mengawetkan pada produk fermentasi yang diinginkan, beberapa bakteri asam laktat yang tergolong bakteri probiotik dapat memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan dan menjaga keseimbangan mikroba alami yang tinggal didalam tubuh manusia (Fuller, 1992). Beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh bakteri probiotik adalah tahan terhadap asam lambung, tahan terhadap garam empedu, bersifat antagonis terhadap bakteri patogen, aman digunakan oleh manusia, berkolonisasi dalam saluran usus manusia dan aman dalam makanan (Reid, 1999). Sejumlah genus bakteri dan khamir yang digunakan sebagai probiotik adalah Lactobacillus, Leuconostoc, Pediococcus, Bifidobacterium dan

Enterococcus, tetapi spesies utama yang dipercaya memiliki karakteristik probiotik adalah Lb.acidophilus, Bifidobacterium spp. dan Lb.casei (Shah, 2007). Tabel 1. Bakteri Asam Laktat (BAL) yang berasosiasi dengan manusia (Goktepe

et al., 2006)

Lactobacillus BAL lainnya

Bakteria saluran pencernaan

Kelompok Lactobacillus acidophilus Bifidobacterium adolescentis L. acidophilus senso strictu B. angulatum

L. animalis B. bifidum

L. brevis B. breve

L. buchneri B. cantemulatum

L. crispatus B. dentium

L. curvatus B. infatis

L. delrueckii B. longum

L. fermentum B. pseudocantemulatum

L. gasseri Enterococcus fecalis

L. johnsonii E. faecium

L. paracasei Leuc. Mesenteriodes


(21)

7

L. reuteri Weisella confuse

L. rhamnosus L. ruminis L. sakei

Bakteri Vagina Bifidobacterium bifidum

Lactobacillus acidophilus B. longum

L. fermentum B. infatis

L. casei B. breve

L. rhamnosus B. catenulatum

L. cellobiosus B. dentium

L. plantarum L. brevis L. delbrueckii L. salivarious L. jensenii L. vaginalis L. gasseri L. crispatus

2.3Prebiotik

Prebiotik adalah bahan yang tidak tercerna, yang mampu menstimulasi aktivitas dari satu atau beberapa bakteri tertentu diusus besar dan mampu memperbaiki kesehatan mikroflora inangnya (Franck, 2008). Bahan pangan yang mampu mencapai usus besar dapat digolongkan sebagai prebiotik, yang dalam perkembangannya lebih mengarah pada prebiotik dari golongan karbohidrat tidak tercerna seperti frukto-oligosakarida, gluko-oligosakarida dan laktosukrosa

(O’Grady&Gybson, 2005). Karbohidrat yang tidak tercerna terdiri atas 2-20 monosakarida yang tahan terhadap proses hidrolisa enzim, tetapi digunakan oleh

Bifidobacteria dan Lactobacilli didalam kolon (Angust et al., 2005).

Menurut (Gybson dan Fuller, 2000) syarat suatu substansi diklasifikasikan sebagai prebiotik, berdasarkan 3 kriteria berikut ini :

1. Substrat tidak dapat terhidrolisis atau terabsorbsi di lambung atau di usus kecil

2. Harus selektif untuk memenuhi kebutuhan mikrobiota di kolon sehingga dapat memicu pertumbuhan/metabolisme mikroorganisme tersebut

3. Dapat menjaga keseimbangan mikroflora sehingga menginduksi sistem imun inangnya

Frukto-oligosakarida (FOS) adalah nama umum dari jenis oligosakarida yang mengandung fruktosa, yang termasuk didalamnya adalah inulin dan oligofruktosa (Angust et al., 2005). Inulin merupakan polisakarida khususnya fruktan yang terdiri atas unit-unit fruktosa dengan ikatan glikosidik β-(2-1) dan terminal


(22)

8

glukosa pada ujungnya (Nines, 1999). Struktur kimia inulin ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Kimia Inulin

Inulin mengandung derajat polimerasi (DP) antara 3-60. Aspek khusus pada inulin

ini adalah ikatan β-(2-1). Ikatan ini menyebabkan inulin tidak dapat dicerna seperti halnya karbohidrat lainnya, sehingga mencapai usus besar tanpa mengalami perubahan struktur (Robertfroid, 2007a). Aktifitas inulin sebagai prebiotik telah teruji. Sebagai hasilnya prebiotik ini menjadi yang paling diminati dipasaran. Hal ini disebabkan prebiotik ini memiliki koloni fermentasi spesifik yaitu Bifidobacteria. Bifidobacteria mampu memecah inulin karena memiliki

enzim β-fructofuranosidase, yang mampu menyediakan manfaat yang menguntungan dalam lingkungan dengan biakan campuran seperti pada saluran pencernaan manusia.

2.4Sinbiotik

Sinbiotik merupakan penggabungan dari bakteri probiotik dan prebiotik. Sinbiotik merupakan defenisi sebagai suatu kombinasi dari probiotik dan prebiotik yang menguntungkan inang melalui peningkatan, pertahanan dan implantasi suplemen makanan yang mengandung mikroba hidup dalam saluran pencernaan, yang secara selektif memacu pertumbuhan atau mengaktifkan metabolisme dari sejumlah bakteri baik, sehingga meningkatkan kesehatan inangnya (Gibson & Robertfroid, 2008).

2.5Enkapsulasi

Enkapsulasi adalah proses atau teknik untuk menyalut inti yang berupa suatu senyawa aktif padat, cair, gas, ataupun sel dengan suatu bahan pelindung tertentu yang dapat mengurangi kerusakan senyawa aktif tersebut. Enkapsulasi membantu


(23)

9

memisahkan material inti dengan lingkungannya hingga material tersebut terlepas (release) ke lingkungan. Material inti yang dilindungi disebut core dan struktur yang dibentuk oleh bahan pelindung yang menyelimuti inti disebut sebagai dinding, membran atau kapsul (Krasaekoopt et al., 2003).

Enkapsulasi adalah proses pembungkusan (coating) suatu bahan inti, dalam hal ini adalah bakteri sebagai bahan inti dengan menggunakan viabilitasnya dan melindungi dari kerusakan akibat kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan (Wu et al., 2000). Pacifio et al. (2001) menyatakan bahwa untuk komponen yang bersifat peka seperti mikroorganisme, dapat dienkapsulasi untuk meningkatkan viabilitas dan umur simpannya. Bahan yang umum digunakan untuk enkapsulasi adalah berbagai jenis polisakarida dan protein seperti pati, alginat, gum arab, gelatin, karagean, albumin dan kasein.

2.5.1 Bahan Pengkapsul

Enkapsulasi probiotik biasanya dilakukan dalam sistem polimer yang bersifat lembut dan tidak beracun (food grade) (Anal dan Singh, 2007). Polimer yang biasanya digunakan dalam proses enkapsulasi bakteri probiotik adalah polisakarida yang diekstrak dari rumput laut (Karagean dan alginat), tumbuhan (pati dan turunannya, gum arab), atau bakteri (gellan dan xanthan), dan protein hewan (kasein, whey, skim dan gelatin) (Rokka dan Rantamaki, 2010).

2.5.1.1Alginat

Alginat adalah polisakarida anionik yang berasal dari rumput laut coklat yang

bersifat biokompatibel dan biodegradabel terdiri dari β-D Manunorat dan α-L Guluronat yang dihubungkan dengan ikatan (1-4). Alginat yang tersedia secara komersial adalah dalam bentuk garamnya yaitu natrium alginat. Keunikan natrium alginat yaitu perubahannya menjadi hidrogel dengan 95% molekul air didalamnya, yang merupakan syarat penting untuk penggunaan dalam menjebak senyawa. Ketika natrium alginat bertemu dengan kation divalent seperti menghasilkan pembentukan jel dimana residu G dari alginat yang mengikat ion (Wang et al., 2006).

Alginat tergolong salah satu contoh hidrokoloid alami. Alginat merupakan kopolimer rantai lurus dari residu asam β-(1-4)-D-manuronat (M) dan asam α -(1-4)-L-guloronat (G) yang membentuk homopolimer M atau G dan blok heteropolimer MG (Cardenas et al., 2003). Garam alginat larut dalam air, tetapi mengendap dan membentuk jel pada pH lebih rendah dari tiga. Alginat dapat membentuk jel (formasi egg-box), film, manik (beads), pelet, mikropartikel dan nanopartikel (Sarmento et al., 2007).


(24)

10

Gambar 2. Monomer-monomer alginat

Gambar 3. Ikatan monomer-monomer alginat

2.5.1.2Susu Skim, Sodium Caseinate dan Whey

Bahan berbasis protein seperti gelatin, susu skim, whey, dan caseinate digunakan sebagai bahan pembawa (carriers) pada enkapsulasi probiotik (Lian et al., 2003). Susu skim merupakan salah satu emulator, berupa serbuk kering yang dihasilkan dari proses pengeringan susu yang tidak mengandung lemak dan telah dipasteurisasi. Susu skim tidak mengandung air sehingga dapat disimpan selama tiga tahun. Susu ini mengandung laktosa, protein susu, dan mineral pada proporsi yang relative sama. Produk ini harus disimpan dalam suhu dingin, kering dan harus dijauhkan dari air selama masa penyimpanan. Berbagai proses industri susu skim dapat digunakan. Keterlibatan susu skim pada bidang pangan yaitu pada pembuatan roti untuk meningkatkan rasa, produk susu fermentasi, pembuatan es krim, produk daging, beberapa produk sereal, pengemulsi atau sebagai bahan pengganti telur pada berbagai macam produk, dan sebagainya (Yulinery et al., 2006).

Susu skim mengandung nutrien yang relatif kaya, terutama kandungan gula. Gula susu, yaitu laktosa yang terdapat pada susu skim berkisar 49,5%-52% keadaaan ini baik untuk mendukung pertumbuhan strain Lactobacillus yang umumnya memiliki enzim laktase yang mampu mengubah laktosa menjadi glukosa. Strain probiotik yang diinokulasi pada media susu skim diharapkan mampu menunjukkan pertumbuhan yang cepat. Pertumbuhan yang cepat adalah


(25)

11

bila mampu tumbuh minimal mencapai dalam waktu 24 jam inkubasi (Guarner dan Scaafsma, 1998).

Protein susu merupakan penyusun terbesar pada susu skim. Protein susu dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu kasein dan whey. Kasein merupakan fraksi yang mengumpal ketika susu diasamkan pada pH 4,6 pada suhu sekitar 30 °C, sedangkan fraksi yang tertinggal setelah pengendapan kasein disebut whey. Kasein sangat stabil terhadap suhu tinggi. Pemanasan pada suhu 100 °C selama 24 jam atau pemanasan suhu 140 °C selama 20 menit tidak menyebabkan terjadinya koagulasi. Berbeda dengan whey yang terdenaturasi sempurna pada pemanasan 90 °C selama 10 menit. Kasein mengandung fosfoprotein yang mengandung 0,85% fosfor, sedangkan whey tidak mengandung fosfor (Fox dan Mcsweeney, 1998).

2.5.1.3Kacang Hijau (Vigna radiata)

Kacang hijau merupakan tanaman tropis berumur pendek dan dapat tumbuh di daerah yang curah hujannya rendah. Kacang hijau merupakan sumber protein nabati. Protein biji kacang hijau mengandung 8 asam amino esensial, yaitu valine, leucine, isoleucine, methionine, venyl alanine, lycine dan tryptophane. Selain itu juga terdapat lemak, karbohidrat serta mineral yang dibutuhkan tubuh. (Soeprapto,1992). Dilaporkan bahwa kacang hijau adalah salah satu sumber protein yang baik serta kmaya akan serat. Kacang hijau memiliki komposisi yang sama dengan anggota lain dari keluarga kacang-kacangan, dengan 24% protein, 1% lemak, 63% karbohidrat dan 16% serat (US Department of Agriculture, 2001). Kacang hijau dianggap sebagai low-GI (indeks glikemik) dan kaya akan serat. Semua serat pada kacang hijau, baik yang larut dan tidak larut dapat menjebak asam empedu dan mencegah terjadinya penyerapan kembali di hati, sehingga dapat menghambat sintesis kolesterol (Mallillin et al., 2008). Telah diketahui bahwa serat dibutuhkan oleh mikroorganisme usus, dan asam organik akan dihasilkan selama terjadinya proses fermentasi serat tersebut, hal ini menyebabkan turunnya pH dalam usus, serta memberikan kontrol yang efektif terhadap zat berbahaya atau karsinogenik yang dihasilkan oleh kegiatan pembusukan mikroorganisme atau penguraian asam empedu (Vince et al., 1973).


(26)

12

2.5.1.4Kacang Arab (Cicer arietinum)

Legume termasuk biji-bijian dan kacang arab adalah salah satu tanaman yang paling penting di dunia karena kualitas gizinya. Mereka merupakan sumber yang kaya akan karbohidrat kompleks, protein, vitamin dan mineral (Costa et al., 2006 dan Wang et al., 2010). Kacang arab merupakan tanaman yang populer di daerah kering dan semi-kering Utara-Barat China (Zhang dan Wang 2007). Karena keseimbangan asam amino yang baik, bioavailabilitas protein tinggi dan relatif rendahnya tingkat faktor anti-nutrisi, biji kacang arab telah dianggap sebagai sumber yang sesuai bagi makanan penghasil protein (Arab et al., 2010).

Biji kacang arab berukuran besar, berwarna putih-salmon, dan mengandung kadar karbohidrat yang tinggi (41,10-47,42%) dan protein (21,70-23,40%). Pati merupakan fraksi karbohidrat utama, yang mewakili sekitar 83,9% dari total karbohidrat (El-Adawy 2002). Biji kacang arab memiliki daya cerna protein yang tinggi, mengandung karbohidrat kompleks tingkat tinggi (indeks glikemik rendah), kaya akan vitamin dan mineral dan relatif bebas dari faktor anti-nutrisi (Wood dan Grusak, 2007).

2.5.2 Teknik Ekstrusi

Tahapan enkapsulasi probiotik dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu ekstrusi dan emulsi (Krasaekoopt et al., 2003). Teknik ekstrusi dilakukan dengan cara menambahkan mikroorganisme probiotik ke dalam larutan hidrokoloid natrium alginat, kemudian diteteskan ke dalam larutan pengeras (CaCl2) menggunakan

syringe sehingga terbentuk beads. Ukuran dan bentuk beads yang dihasilkan bergantung pada diameter jarum dan jarak tetes jarum dengan larutan . Enkapsulasi probiotik dengan teknik pengering semprot dan pengering beku menghasilkan probiotik terenkaspulasi kering dalam bentuk serbuk atau granul, sedangkan teknik emulsi dan estruksi menghasilkan probiotik terenkapsulasi dalam bentuk jel (Hydrocolloid beads) (Krasaekoopt et al., 2003). Beberapa metode pengeringan yang telah digunakan untuk mengeringkan jel kalsium alginat (beads) adalah hot air oven, vacuum drying, dan microwave (Shariff et al., 2007).

Keefektifan dari bahan dan teknik enkapsulasi yang digunakan untuk menghasilkan probiotik terenkapsulasi dapat dievaluasi dari beberapa parameter kualitatif, diantaranya viabilitas sel probiotik selama proses enkapsulasi dan pengeringan, pembuatan produk dan penyimpanan, kelarutan beads dan kemampuan sel untuk release serta sifat mikrogeometri beads (bentuk dan ukuran) (Mortazavian et al., 2007). Tingkat ketahanan bakteri probiotik setelah diberi beberapa perlakuan dapat diukur dengan metode plate count (Roka dan Rantamaki, 2010).


(27)

13

2.5.3 Teknik Emulsi

Emulsi (ekstrusi sentrifugal) adalah salah satu teknik enkapsulasi yang telah dipakai oleh beberapa produsen. Beberapa bahan pengkapsul yang aman digunakan telah di formulasikan untuk enkapsulasi beberapa produk seperti perasa, bumbu dan vitamin. Beberapa material ini diantaranya gelatin, sodium alginat, karagean, pati, turunan selulosa, gum akasia, lemak, asam lemak, lilin dan

polyethylene glycol (Schlameus, 1995). Metode emulsi telah sukses diaplikasikan dalam enkapsulasi BAL. Dalam metode ini jumlah volume sel (fase pemisahan) yang kecil di tambahkan kedalam jumlah volume minyak sayuran yang besar (fase lanjutan) seperti minyak kedelai, minyak biji bunga matahari dan minyak paraffin (Groboillot, 1993). Setelah formasi emulsi terbentuk, cross-linking dibutuhkan untuk membentuk jel. Gelifikasi diselesaikan dengan mekanisme ionik yang berbeda, enzimatis dan polimerasi interfasial. Metode ini dapat dengan mudah ditingkatkan, dan diameter beads yang dihasilkan relatif lebih kecil (25µ m-2mm). Biaya lebih diperlukan dalam penggunaan minyak sayuran, surfaktan dan emulsifier (Tween 80) untuk enkapsulasi dengan menggunakan teknik emulsi (Sheu & Marshal, 1993).


(28)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Februari 2014 hingga Oktober 2014 di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA Universitas Sumatera Utara.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, tabung reaksi, jarum ose, spatula, pipet volum, vortex, cawan petri, inkubator, autoklaf, rak tabung reaksi, erlemeyer, gelas ukur, bunsen, hot plate, syringe, pH meter, neraca analitik, mikro pipet, oven, autoklaf, kulkas, mikrometer sekrup dan stirer.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat BAL AK5, EK2, EK10, US4, US6, Salmonella thypimurium, E.coli dan Staphylococcus aureus (koleksi Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU), media Nutrient Agar

(NA), media de Man’s Rogosa Sharpe Agar (MRSA), media de Man’s Rogosa

Sharpe Broth (MRSB), media Plate Count Agar (PCA), media Muller Hinton Agar (MHA), phosphate buffer saline (PBS), buffer citrate, alginat, larutan , , tepung kacang hijau, tepung gram, Inulin, gliserol, kertas cakram, aquades steril, alkohol 70%, spiritus, HCl 0,08M, HCl 1M, NaOH 1M dan NaCl fisiologis (0,85%).

3.3 Rancangan Percobaan

Penelitian dilakukan secara deskriptif dengan 2 kali pengulangan dengan mengumpulkan data BAL potensial dalam menghambat pertumbuhan Salmonella thypimurium, E.coli dan Staphylococcus aureus. Formulasi enkapsulan yang tepat diuji dengan mengamati viabilitas sel pada perlakuan masa simpan dan simulasi asam lambung.

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Penyegaran Kultur Bakteri Asam Laktat

Kultur bakteri asam laktat dari kultur cadangan diinokulasikan ke dalam media MRSA kemudian diinkubasi selama 48 jam pada suhu ruang. Bakteri asam laktat masing-masing disubkultur pada media deMan’s Rogosa Sharpe Broth (MRSB) pada suhu ruang.


(29)

15

Pemeriksaan kemurnian kultur BAL potensial dilakukan melalui pemeriksaan morfologi secara mikroskopik dengan bantuan metode pewarnaan gram dan uji katalase.

Metode pewarnaan mengacu pada Fardiaz (1989), yaitu preparat bakteri yang telah dioleskan pada gelas objek, ditetesi dengan kristal violet dibiarkan selama 1 menit dan dibilas dengan aquades. Preparat dikeringudarakan kemudian ditetesi dengan larutan lugol iodin selama 30 detik dan kembali dibilas dengan aquades. Preparat kemudian dikering udarakan, selanjutnya ditetesi dengan alkohol 95% sebagai bahan pemucat selama 15 detik. Pewarnaan terakhir menggunakan safranin selama 1 menit, pembilasan dilakukan dengan auades, preparat dikeringudarakan. Bakteri yang telah diwarnai diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 100x dengan bantuan immersion oil.

Metode pengujian katalase mengacu pada Mc faddin (1983), uji katalase dilakukan dengan meneteskan larutan 3% pada kultur muda (umur 24 jam). Sifat reaksi terhadap uji katalase ditentukan dengan pemunculan gelembung gas

merupakan hasil positif terhadap pengujian. 3.4.3 Seleksi BAL Potensial

Dalam pengujian 5 isolat BAL koleksi Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU digunakan metode difusi kertas cakram (Yuharman et al., 2002). Digunakan kertas cakram kosong dengan diameter 6 mm. Cakram dimasukkan ke dalam cawan petri kosong steril. Kultur cair BAL dengan kepadatan sel 108 CFU/mL dipipet sebanyak 20 µL selanjutnya diteteskan pada permukaan kertas cakram dan ditunggu selama ± 1 jam hingga sel bakteri berdifusi ke dalam cakram.

Sebanyak 10 ml media MHA dituangkan ke dalam beberapa petri steril dan dibiarkan memadat. Cotton bud steril dicelupkan kedalam masing-masing suspensi biakan bakteri patogen Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan

Salmonella thypimurium masing-masing dengan kepadatan sel 108 CFU/mL dan diusapkan perlahan-lahan pada permukaan media secara merata, selanjutnya dibiarkan mengering pada suhu kamar selama beberapa menit. Dengan menggunakan pinset steril, cakram yang telah berisi sel BAL diletakkan secara teratur pada permukaan media uji.

Kultur diinkubasi pada suhu optimum pertumbuhan ±37°C dalam inkubator selama 24 jam. Setelah masa inkubasi, diameter zona hambat (daerah bening) di sekitar cakram diukur dengan menggunakan jangka sorong. Aktivitas BAL dapat dilihat dengan adanya zona hambat di sekitar cakram. Daerah bening disekitar cakram menunjukkan uji positif. Isolat yang menunjukkan zona bening terbesar dinyatakan sebagai isolat potensial dan dilanjutkan ke uji berikutnya. 3.4.4 Pembuatan Kurva Pertumbuhan

Pembuatan kurva pertumbuhan BAL dilakukan dengan menggunakan medium MRSB dengan menggunakan metode (Cappucino & Sherman (1987)


(30)

16

yang dimodifikasi). Sebelumnya dilakukan aktivasi terhadap isolat bakteri sebanyak tiga kali. Pertama, sebanyak 1 ose kultur kerja diinokulasi ke dalam 10 ml MRSB, diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC. Kedua, sebanyak 1 mL kultur aktivasi pertama diinokulasikan ke dalam 9 mL MRSB. Ketiga, sebanyak 2 mL dari aktivasi kedua dimasukkan ke dalam 18 ml MRSB diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC. 5 mL kultur dari Erlenmeyer pada aktivasi ketiga dipindahkan ke dalam Erlenmeyer yang berisi 45 mL MRSB dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC. Kerapatan optik (optical density/OD) biakan tersebut diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang (ƛ) 520 nm. Jika OD-nya telah mencapai 0.5 maka biakan tersebut memenuhi syarat sebagai inokulum untuk membuat kurva pertumbuhan.

Pembuatan kurva pertumbuhan diawali dengan memasukkan 10 mL (10% v/v) inokulum yang telah diketahui kerapatan optiknya ke dalam 90 mL MRSB dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC dilakukan dua perlakuan dalam inkubasi bakteri, dimana perlakuan pertama tanpa shaker dan perlakuan kedua dengan shaker. Kurva pertumbuhan dibuat dengan mengukur kerapatan optik dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang (ƛ) 520 nm setiap 1 jam selama 24 jam hingga mencapai fase stasioner yang ditandai dengan stabilnya nilai OD. Dari hasil penghitungan koloni dan kerapatan optik dialurkan sebagai kurva dengan sumbu X menyatakan waktu inkubasi dan sumbu Y menyatakan, kerapatan optik.

3.4.5 Enkapsulasi dan Pengeringan Sinbiotik dengan teknik estruksi

Enkapsulasi dan pengeringan sinbiotik dengan teknik ekstrusi dilakukan dengan menggunakan metode (Reyed, 2007 yang dimodifikasi). Pembuatan sinbiotik terenkapsulasi dimulai dengan menumbuhkan isolat BAL potensial sebanyak 10% (v/v) dalam MRSB (deMan Ragosa Sharp Broth) diinkubasi pada suhu 37 °C dan dipanen pada akhir fase logaritmik. Sel bakteri dipanen dengan cara disentrifus (4 °C) selama 20 menit pada 10.000 rpm. Sel bakteri dilarutkan pada 100 mL campuran yang terdiri atas tepung kacang hijau 2% (b/v), gliserol 5% (v/v), inulin 2% (b/v), dan Ca 0,1% (b/v), diperangkap selama 45 menit di dalam 100 mL larutan alginat steril dengan konsentrasi 3% (b/v). campuran tersebut diteteskankan pada Ca (0,1 M) menggunakan syringe setelah satu jam gel dipindahkan ke dalam larutan fisiologis (0,85%) untuk mendapatkan struktur gel yang kompak. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan metode Hot air oven pada suhu 45 °C selama 48 jam. Perlakuan kemudian diulangi dengan bahan tepung gram 2% (b/v), gliserol 5% (v/v), inulin 2% (b/v), dan Ca 0,1% (b/v). 3.4.6 Uji Viabilitas Sinbiotik BAL terenkapsulasi

Uji viabilitas dilakukan segera setelah proses enkapsulasi selesai dan setelah disimpan selama 1 bulan pada suhu 4 °C dan 27 °C. Viabilitas sel terenkapsulasi dihitung dengan menggunakan metode Total Plate Count pada


(31)

17

media Plate Count Agar (PCA) pada pengenceran hingga (dengan menggunakan buffer citrate; Zanjani et al., 2013). Satu gram dari BAL terenkapsulasi dimasukkan dalam 9 ml buffer citrate kemudian di vortex selama 15 menit, dibuat seri pengenceran dan dilakukan TPC pada media PCA, kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C.

3.4.7 Uji Ketahanan Sel Bebas dan Sinbiotik Terenkapsulasi Dalam Kondisi Asam Lambung Tiruan dan Kondisi Usus Tiruan

Metode Woraharn et al., (2010) yang di modifikasi digunakan dalam uji ketahanan sel bebas dan sel terenkapsulasi dalam kondisi asam lambung tiruan dan kondisi usus tiruan (0,08 M HCl dengan 0,2% (w/v) NaCl; Rao et al., 1989) diuji dengan nilai pH 2 dan 6 (diatur dengan menggunakan NaOH 1 M dan HCl 1M). Pada kondisi asam lambung tiruan dengan pH 2 sedangkan usus tiruan dengan pH 6. Sel bebas dalam larutan NaCl fisiologis (10-8-10-9 CFU/mL) dan sel terenkapsulasi dimasukkan ke dalam larutan asam lambung tiruan (Simulated Gastric Juice) dan diinkubasi selama 120 menit pada suhu 37 oC kemudian di transfer sampel ke dalam larutan usus tiruan (Simulated Intenstinal Fluid) selama 180 menit pada suhu 37 oC. Dilakukan perhitungan TPC dalam media PCA pada menit ke 60, 120, 180, 240 dan 300, dibuat seri pengenceran dalam larutan

Phospate Buffer Saline (PBS) pH 7,4 lalu diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Khusus sampel pada pH 2, larutan sampel dinetralkan dengan 1 M NaOH dan 1 M HCl segera setelah dikeluarkan dari inkubator. Perlakuan dilakukan duplo.


(32)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemeriksaan Kemurnian Kultur Bakteri Asam Laktat (BAL)

Pemeriksaan kemurnian kultur bakteri dilakukan terhadap empat jenis isolat bakteri asam laktat asal tambak ikan di Medan Sumatera Utara yaitu AK1, AK3, EK2 dan US7 dengan asal isolat, usus ikan nila (US), air kolam (AK) dan endapan kolam (EK). Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram dan uji katalase pada setiap isolat BAL disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Kultur Bakteri Asam Laktat

Kode Isolat Pewarnaan Gram Bentuk Sel Uji Katalase

AK1 Positif Batang Positif

AK3 Positif Batang Positif

EK2 Positif Batang Negatif

US7 Positif Batang Positif

Hasil pemeriksaan morfologi dengan pewarnaan Gram dan uji katalase diperoleh hasil yang seragam yaitu bentuk morfologis batang, Gram positif serta katalase positif kecuali isolat EK2 yang bersifat katalase negatif. Karakteristik isolat AK1, AK3, EK2 dan US7 murni berdasarkan profil fenotip seperti berdasarkan dinding sel bakteri melalui pewarnaan Gram serta bentuk dari masing-masing isolat BAL yang sudah diisolasi sebelumnya dari tambak ikan di Sumatera Utara (Harahap, 2013; Mayasari, 2013; Sitepu, 2013). Bakteri asam laktat merupakan bakteri Gram positif yaitu mampu mempertahankan warna kristal violet sehingga tetap berwarna ungu setelah diberi warna tandingan yaitu safranin yang berwarna merah. Bakteri Gram positif mempunyai dinding sel yang tebal tersusun dari lapisan peptidoglikan yang terdiri atas protein, asam teikoat dan polisakarida serta bagian luar dikelilingi dan dibungkus oleh lapisan sulfur protein (Delcour et al., 1999).

Pada uji katalase terhadap 4 isolat BAL hanya isolat US7 yang menunjukkan katalase negatif. Hal ini menunjukkan bakteri mampu menghasilkan enzim katalase untuk mengurai H2O2 menjadi H2O dan O2. BAL merupakan


(33)

19

mikroorganisme Gram positif, tidak membentuk spora, katalase-negatif yang tidak memiliki sitokrom dan anaerobik namun aerotoleran. BAL toleran terhadap asam, dan melakukan homofermentasi maupun heterofermentasi, asam laktat adalah produk akhir utama dari fermentasi gula (Axelsson, 1998). Namun, beberapa spesies dapat membentuk katalase atau sitokrom pada media yang mengandung hematin atau senyawa terkait dan beberapa lactobacilli juga dapat menghasilkan non-heme katalase, yang disebut pseudocatalase, yang menyebabkan kebingungan untuk identifikasi BAL (Holzapfel et al., 2001).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian ini dimana ditemukan BAL yang menghasilkan Katalase positif. Menurut Orla-Jensen (1950) pada penelitian pada mikroflora keju Cheddar, telah ditemukan strain Lactobacillus yang memiliki aktivitas katalase kuat dan lemah. Tiga strain Lactobacillus plantarum, yang diisolasi oleh Sherwood dari keju Cheddar yang berasal dari Selandia Baru, ditemukan katalase-positif. Dua dari strain memberikan reaksi katalase yang kuat sedangkan strain lainnya jauh lebih lemah (Sherwood, 1939). Beberapa BAL menghasilkan hidrogen peroksida dalam kondisi pertumbuhan aerobik dan karena kurangnya katalase seluler, pseudokatalase atau peroksidase, mereka melepaskannya ke lingkungan untuk melindungi diri dari patogen sebagai bagian dari tindakan antimikroba. merupakan oksidator kuat dan dapat mengoksidasi gugus -SH protein membran bakteri Gram-negatif, yang sangat rentan (Ray, 2004).

4.2 Seleksi BAL Potensial Sebagai Kandidat Probiotik

Seleksi BAL potensial dilakukan terhadap empat jenis isolat yaitu: AK1, AK3, EK2 dan US7, dengan menggunakan uji antagonis terhadap patogen (Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Salmonella thypimurium). Hasil uji tantang antara BAL potensial dengan bakteri patogen pangan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Diameter zona hambat isolat BAL terhadap bakteri patogen pangan. Isolat Diameter zona hambat terhadap bakteri patogen (mm)

E. coli S. aureus S. thypimurium


(34)

20

AK3 8,86 0 0

EK2 0 0 0

US7 10,8 16,32 13,54

Dari hasil uji tantang antara isolate BAL dengan bakteri patogen saluran pangan diketahui bahwa terdapat 2 isolat yang memiliki zona hambat pada ketiga bakteri patogen yaitu : AK1 dan US7, terdapat isolat yang hanya mampu menghambat E. coli dengan zona hambat sebesar 8,86 mm yaitu AK3 dan terdapat 1 isolat yang tidak menghasilkan indeks antimikrobial yaitu EK2. Dari kedua isolat yang menghasilkan indeks antimikrobial dapat dilihat bahwa US7 memiliki potensi yang lebih besar dengan zona hambat sebesar 10,8 mm pada E. coli, 16,32 mm pada S. aureus dan 13,54 mm pada S. thypimurium.

Hasil yang didapat dalam penelitian ini menunjukkan diameter zona hambat yang lebih besar dibandingkan dengan penelitian sebelumnya sehingga dapat dikatakan berpotensi dalam menghambat patogen saluran pencernaan. Hasil ini dapat dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya dengan metode yang berbeda. Pada penelitian Jamaly et al., (2011), uji antagonis beberapa strain

Lactobacillus dengan bakteri patogen Listeria innocua LMHAE-LI 107,

Escherichia coli LMHAESA EC 108, Escherichia coli ATCC25922,

Enterococcus faecalis ATCC 25212, Streptococcus D, Klebsiella Pneumonia CIP 53153 menunjukkan diameter zona hambat rata-rata lebih besar dari 6 mm pada setiap patogen dengan menggunakan metode sumur.

Kotikalapudi (2009) melaporkan bahwa pada beberapa probiotik yang dilakukan uji antagonis dengan patogen enterik menunjukkan zona hambat lebih besar dari 0,4 cm. L. acidophilus menunjukkan zona hambat yang paling besar pada E. coli O157 dan Cl. sordeli dengan diameter zona hambat 0,8±0,13 cm dan 1,4±0,2 cm dengan metode totol.

Casey et al. (2004) melaporkan bahwa 26 isolat bakteri asam laktat yang dilakukan uji antagonis dengan Salmonella thypimurium menunjukkan diameter zona hambat rata-rata diatas 6 mm dengan metode totol pada media MRSA. Pannu et al. (2014) melaporkan bahwa probiotik AquaproTM mampu menghambat patogen Salmonella sp. dan S. aureus dengan diameter penghambatan


(35)

masing-21

masing 16,67 ± 0,3 dan 16,67 ± 1,88 mm sedangkan probiotik Lactobacillus sporogenes mampu menghambat patogen dengan diameter penghambatan 8,33 ± 0,67 mm terhadap Salmonella sp. dan 10,67 ± 0,67 mm terhadap S. aureus.

Beberapa zat antimikroba yang dihasilkan oleh BAL memiliki kelebihan yang cukup besar dalam kompetisi dengan patogen dan bakteri berbahaya lainnya (Soomro et al., 2002). Zat-zat ini ialah asam lemak, asam organik, hidrogen peroksida, diacetyl, asetoin serta peptida kecil yang stabil terhadap panas yang disebut bakteriosin (Simova et al., 2009). Lactobacillus spp. yang paling umum dikenal untuk menghasilkan bakteriosin ialah Lactobacillus sakei dan

Lactobacillus curvatus. Lactobacillus sakei telah terbukti memiliki aktivitas antimikroba terhadap Listeria monocytogenes karena produksi bakteriosin sakacin A, M, P, 674, K, dan T (Schillinger dan Lucke, 1989).

4.3 Kurva Pertumbuhan BAL Potensial Isolat US7

Kurva pertumbuhan BAL isolat US7 dilakukan selama 24 jam ditunjukkan pada Gambar 4 Kultur kerja US7 sebanyak 10% diinokulasikan kedalam media MRS Broth. Kultur kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C dibuat dua perlakuan dimana ulangan pertama tidak di-shaker sedangkan perlakuan kedua di-shaker dengan kecepatan 100 rpm, diukur kepadatan optikal (Optical Density = OD) masing-masing perlakuan setiap jam selam 24 jam.


(36)

22

Gambar 4. Kurva pertumbuhan US7

Dari Gambar 4 terlihat bahwa fase lag pada perlakuan pertama dimulai dari jam ke-0 hingga jam ke-4 tidak jauh berbeda dengan perlakuan kedua yang dimulai dari jam ke-0 hingga jam ke-3. Fase logaritmik pada perlakuan pertama dimulai dari jam ke-4 dengan nilai OD 0,386 hingga jam ke-12 dengan nilai OD 1,625, sedangkan pada perlakuan kedua lebih cepat dengan dimulai dari jam ke-3 dengan nilai OD 0,327 hingga jam ke-8 dengan nilai OD 1,979. Pada perlakuan pertama setelah jam ke-13 bakteri mengalami pertumbuhan yang lambat dan kemudian memasuki fase stasioner pada jam ke-20 dengan nilai OD 2,270 yang tetap hingga jam ke-24. Sedangkan pada perlakuan kedua bakteri mengalami pertumbuhan lambat pada jam ke-9 dan memasuki fase stasioner pada jam ke-20 dengan nilai OD 2,142 yang tetap hingga jam ke-24. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan perlakuan shaker dapat mempercepat bakteri mencapai fase logaritmik, sehingga pemanenan kultur bakteri dilakukan dengan metode shaker perlakuan kedua. Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian (Puspita, 2009), kultur probiotik St RM-01, Lb RM-01, La RM-01 dan Bl RM-01 yang diinkubasi pada media MRSB pada suhu 37 °C mencapai fase akhir logaritmik pada jam ke 10 hingga jam ke 15. Hasil ini menunjukkan kecepatan pertumbuhan sel BAL selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan juga dipengaruhi oleh jenis mikroorganisme.

0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

K

e

r

ap

atan

O

p

ti

k

(O

D

)

Waktu Inkubasi (Jam)

Tidak di-shaker Shaker


(37)

23

Pemanenan kultur bakteri US7 dilakukan pada fase akhir fase logaritmik atau awal fase stasioner berdasarkan kurva pertumbuhan. Pemanenan pada fase ini bertujuan agar didapatkan jumlah bakteri yang maksimal untuk dienkapsulasi sehingga dapat meningkatkan potensi bakteri yang tetap hidup dalam kondisi asam lambung tiruan. Selain itu, pemanenan pada akhir fase logaritmik dilakukan dengan harapan bakteri mulai memproduksi senyawa metabolit antimikrobial. Dimana pada BAL salah satunya adalah produksi asam sehingga BAL lebih toleran terhadap kondisi asam pada asam lambung tiruan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan viabiilitas dan daya hidup bakteri.

Pemanenan dikondisikan pada fase logaritmik dengan tujuan agar bakteri ketika ditumbuhkan kembali dapat dengan cepat beradaptasi dengan lingkungannya. Adanya perbedaan waktu dalam mencapai fase logaritmik pada kultur dikarenakan terdapat perbedaan perlakuan pada kultur bakteri dimana kultur yang di-shaker akan lebih homogen dan pertumbuhannya akan lebih cepat dibandingkan dengan kultur tanpa di-shaker.

4.4 Enkapsulasi dan Pengeringan Sinbotik BAL Potensial Isolat US7

Proses enkapsulasi Bakteri probiotik dilakukam dengan metode Reyed (2007) yang dimodifikasi. Hasil enkapsulasi probiotik BAL dengan metode ekstrusi dengan menggunakan jarum syringe 23G x 1¼” (32 mm) ialah manik-manik (beads) yang bulat dan kompak yang ditunjukkan pada gambar 5.1 dan gambar 5.2. Hasil enkapsulasi probiotik BAL diamati dengan menggunakan mikroskop stereo dengan perbesaran 8x, diameter beads berkisar 8 mm-10 mm. Perlakuan kontrol (alginat) menghasilkan ukuran beads yang lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan alginat+t.k.hijau dan perlakuan alginat+t.gram. Hal ini dapat disebabkan karena perlakuan kontrol hanya menggunakan teknik satu lapis dimana hanya digunakan alginat sebagai bahan enkapsulan, sedangkan pada perlakuan lainnya digunakan teknik dua lapis dengan mengunakan tepung kacang hijau dan tepung gram selain alginat sebagai bahan enkapsulan.


(38)

24

Gambar 5.1 Manik-manik (beads) sinbiotik hasil enkapsulasi metode ekstrusi dengan mikroskop stereo pencahayaan bawah

a. Kontrol (Alginat) b. Alginat+ T.K.Hijau c. Alginat+T.Gram Gambar 5.2 Manik-manik (beads) sinbiotik hasil enkapsulasi metode ekstrusi dengan mikroskop stereo pencahayaan atas

Pada penelitian (Krasaekoopt et al., 2003), konsentrasi alginat yang digunakan untuk membentuk gel bervariasi dari konsentrasi yang sangat rendah yaitu 0,6% dengan 0.3M Ca dan 1-2% alginat dengan 0.05-1.5M Ca . Dengan menggunakan jarum suntik 0,27 mm menghasilkan ukuran manik dari 2-3 mm. Ukuran beads pada penelitian ini lebih besar yaitu 8-10 mm hal ini dapat disebabkan oleh penggunaan tepung selain alginat sebagai bahan pengkapsul dan diameter syringe yang lebih besar yaitu 32 mm. Ukuran dan kebulatan dari manik-manik juga tergantung pada viskositas larutan natrium alginat, jarak antara jarum suntik, larutan kalsium klorida dan diameter lubang ekstruder. Ketika konsentrasi natrium alginat meningkat, ukuran manik-manik menurun.

Pada beberapa penelitian selain alginat sebagai bahan pengkapsul juga digunakan berbagai bahan lainnya seperti protein whey sebagai bahan kapsul (Picot dan Lacroix 2003a, b; Picot dan Lacroix, 2004), minyak kedelai sebagai pelapis kapsul pada campuran Gum Arab dan gelatin (Truelstrup-Hansen et al., 2002), lilin untuk lapisan berbagai jenis kapsul (Rao et al., 1989) dan kalsium

8 mm

9,6 mm

9,8 mm

8 mm

9,6 mm


(39)

25

klorida untuk kapsul- alginat coating (Chandramouli et al., 2004) juga telah digunakan untuk membungkus probiotik. Selain bahan utama yang langsung membentuk kapsul atau struktur mantel, aditif seperti SDS, tween 80 (sebagai

pengemulsi) dan krioprotektan

(misalnya gliserol) biasanya ditambahkan ke dalam larutan dalam proses enkapsulasi (Kearney et al., 1990).

4.5 Hasil Uji Viabilitas Sinbiotik BAL terenkapsulasi

Setelah proses enkapsulasi dilakukan proses pengeringan dengan metode Hot Air Oven dengan menggunakan suhu 45 °C selama 48 jam. BAL terenkapsulasi kemudian disimpan pada suhu 4 °C dan suhu ambien untuk pengujian viabilitasnya. Setelah dilakukan pengeringan perlakuan kontrol (alginat) mengalami penurunan viabilitas dimana jumlah sel yang hidup hanya mencapai 6,9 Log CFU sedangkan perlakuan alginat+t.k.hijau dan perlakuan alginat+t.gram 9,17 Log CFU dan 9 Log CFU . Hal ini dapat disebabkan karena pengkapsulan satu lapis dengan menggunakan alginat saja kurang memberikan perlindungan pada sel bakteri, penambahan pati dari tepung yang digunakan memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap panas.

Menurut Fu & Chen (2011), pengeringan dengan metode konvensional, menawarkan alternatif yang efisien dalam hal biaya dan transportasi, meskipun studi tentang faktor-faktor intrinsik dan optimalisasi proses ekstrinsik harus dilakukan untuk meminimalkan kerugian yang mungkin terjadi selama proses pengeringan. Selama proses pengeringan, stres yang disebabkan oleh panas dan dehidrasi menyebabkan perubahan signifikan pada sel. Stres menyebabkan kerugian yang permanen terhadap viabilitas sel bakteri. Panas yang berlebihan menyebabkan denaturasi struktur makromolekul atau memutus ikatan antara unit monomer. Stres yang disebabkan oleh dehidrasi terutama mempengaruhi membran sitoplasma dengan mengubah fluiditas atau keadaan fisik membran, dan juga menyebabkan peroksidasi lipid.

Penyimpanan BAL terenkapsulasi dilakukan selama 4 minggu pada suhu 4 °C dan suhu ambien (26-30 °C). Ketiga perlakuan mengalami penurunan viabilitas yang tidak signifikan seiring meningkatnya masa simpan pada suhu 4 °C.


(40)

26

Perlakuan kontrol (alginat) mengalami penurunan viabilitas sebesar 0.90 Log CFU (13%), perlakuan alginat+t.k.hijau sebesar 1,17 Log CFU (12,7%) dan perlakuan alginat+t.gram sebesar 0,68 Log CFU (7,5%). Pada perlakuan suhu ambien ketiga perlakuan mengalami penurunan viabilitas seiring meningkatnya masa simpan. Penurunan pada perlakuan suhu ambien lebih besar jika dibandingkan dengan perlakuan suhu 4 °C. Penurunan viabilitas terbesar terjadi pada perlakuan alginat+t.gram sebesar 2,31 Log CFU (25%). Perlakuan kontrol (alginat) mengalami penurunan viabilitas sebesar 1,36 Log CFU (19%) dan perlakuan alginat+t.k.hijau sebesar 1,47 Log CFU (16%). Hasil ini disebabkan karena. penggunaan bahan pengkapsul berupa pati dapat meningkatkan kadar air dalam beads sehingga menyebabkan meningkatnya kontaminasi. Bahan enkapsulan tepung gram menghasilkan ukuran beads yang lebih besar sehingga memungkinkan memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan kontrol dan tepung kacang hijau.

Gambar 6.1 Populasi bakteri probiotik US7 terenkapsulasi pada masa simpan dan suhu penyimpanan 4 °C

6,9

9,17 9

6,61

8,83 8,81

6,47

8,71 8,61

6,07

8,04 8,51

6

8 8,32

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Alginat Alginat+T.K.Hijau Alginat+T.Gram

P o p u las i b ak te r i (Lo g C F U /g)

Histogram TPC Enkapsulasi Perlakuan Suhu 4 °C

minggu 0 minggu I minggu II minggu III minggu IV


(41)

27

Gambar 6.2 Populasi bakteri probiotik US7 terenkapsulasi pada masa simpan dan penyimpanan suhu ambien

Setelah dilakukan penyimpanan pada suhu 4 °C dan suhu ambien selama 4 minggu jumlah bakteri hidup pada perlakuan alginat+t.k.hijau dan alginat+t.gram didapati cukup tinggi untuk memberikan efek kesehatan bagi tubuh. Menurut

International Dairy Federation (Sultana et al., 2000), jumlah minimal sel probiotik hidup pada produk untuk dapat berperan dalam peningkatan kesehatan adalah sel per gram produk. Hasil ini dapat memenuhi persyaratan untuk aplikasi pada produk pangan.

Dari data yang telah disajikan dapat disimpulkan bahwa bahan enkapsulan umumnya mampu mempertahankan kelangsungan hidup dengan baik pada suhu penyimpanan 4 °C, namun menyebabkan biaya penyimpanan yang tinggi, dan pada kenyataannya hal ini merupakan suatu kebutuhan untuk menghasilkan viabilitas kultur probiotik pada yang stabil. Menurut Qv et al., (2011) produk enkapsulasi menunjukkan daya simpan lama bila disimpan pada suhu yang rendah, karena kerusakan akibat proliferasi bakteri dan reaksi kimia sangat kecil pada suhu tersebut. Permeabilitas yang rendah dari bahan pembawa pada suhu rendah berperan dalam mencegah masuknya oksigen dan mengawetkan bahan inti. Jika

6,9

9,17 9

6,25 8,17 7,84 6 8,14 6,81 5,92 8,07 6,77 5,54 7,7 6,69 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Alginat Alginat+T.K.Hijau Alginat+T.Gram

P o p u las i b ak te r i (Lo g C F U /g)

Histogram TPC Enkapsulasi Perlakuan Suhu ambien

Minggu 0 Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV


(42)

28

suhu penyimpanan diatur lebih tinggi, berbagai reaksi kimia dipercepat oleh karena peningkatan mobilitas pereaksi internal dan difusi oksigen.

Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan hasil yang serupa dengan penelitian ini. Pada penelitian Woraharn et al., (2010). Kelangsungan hidup L. plantarum CMU-FP002 yang dienkapsulasi dalam alginat secara bertahap menurun selama penyimpanan. Persentase viabilitas sebesar 68,75% selama 8 minggu penyimpanan pada suhu 4 °C. Kelangsungan hidup dipertahankan sekitar ~ 11 log cfu / g dari jumlah awal sebesar ~ 16 log CFU . Hasil dari penelitian Rizqiati et al., (2008) viabilitas bahan enkapsulasi setelah penyimpanan pada suhu 4 °C berkurang pada semua perlakuan bahan enkapsulasi dimana jumlah bakteri turun sebesar 2,4 siklus log setelah penyimpanan selama 4 minggu. Viabilitas bakteri setelah penyimpanan pada suhu kamar turun sebesar 4,7 siklus log setelah penyimpanan selama 4 minggu. Viabilitas mikrokapsul yang dibuat dengan bahan tepung beras mengalami penurunan sebesar 4-6 siklus log setelah disimpan selama satu bulan pada suhu kamar (Nuraida et al., 1995). Menurut Desmond et al., (2002), viabilitas bubuk probiotik menurun dengan meningkatnya suhu penyimpanan.

4.6 Hasil Uji Ketahanan Sel Bebas dan Sinbiotik BAL Terenkapsulasi Dalam Kondisi Asam Lambung Tiruan dan Kondisi Usus Tiruan

Dalam mejalankan perannya sebagai probiotik sel bakteri harus bertahan hidup pada sistem pencernaan dan memberikan efek menguntungkan pada inangnya, bakteri harus mampu bertahan dalam kondisi asam di lambung dan asam empedu pada awal usus kecil. Simulasi Asam lambung dan simulasi usus tiruan dilakukan dengan metode Woraharn et al., (2010) yang telah dimodifikasi. Larutan simulasi menggunakan metode Rao et al., (1989) dengan pH 2 untuk kondisi asam lambung tiruan sedangkan pH 6 untuk kondisi usus tiruan. Hasil Uji Ketahanan Sel Bebas dan BAL Potensial Isolat US7 Terenkapsulasi Dalam Simulasi Asam Lambung Tiruan dan Simulasi Usus Tiruan dapat dilihat pada Gambar 7.

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa sel bebas tidak dapat mempertahankan viabilitasnya dengan penurunan jumlah sel yang signifikan setiap jamnya dan tidak ditemukan sel hidup pada menit ke-300 simulasi usus tiruan. Pada simulasi asam lambung ketiga perlakuan mengalami penurunan viabilitas sel, pada


(43)

29

perlakuan alginat sebesar 0,32 Log CFU , pada perlakuan alginat+t.k.hijau sebesar 0,74 log CFU dan pada perlakuan alginat+t.gram sebesar 0,25 log CFU . Persentase sel bakteri hidup pada masing-masing perlakuan 95%, 92% dan 97%. Setelah memasuki simulasi usus tiruan, masing-masing perlakuan mengalami penurunan jumlah sel. Pada menit ke-300 jumlah bakteri hidup pada perlakuan alginat sebesar 4,77 Log CFU , perlakuan perlakuan alginat+t.k.hijau sebesar 7,51 Log CFU dan perlakuan perlakuan alginat+t.gram 7,43 Log CFU .

Gambar 7. Populasi bakteri probiotik US7 terenkapsulasi terhadap Simulasi Asam Lambung Tiruan (SGJ) dan Simulasi Usus Tiruan (SIF)

Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa perlakuan alginat+t.gram menghasilkan viabilitas sel yang paling besar pada kondisi asam lambung tiruan, yaitu sebesar 97% dan pada perlakuan alginat+t.k.hijau sebesar 92%. Sedangkan pada perlakuan alginat sebesar 95%. Hal ini disebabkan karena proses enkapsulasi dua lapis menghasilkan struktur beads yang lebih keras sehingga pori-pori pada permukaan beads tidak terlalu besar, hal ini dapat mengurangi efek merusak dari larutan simulasi asam lambung pada sel bakteri. Tepung kacang hijau dan tepung gram dikenal dapat menghasilkan struktur yang kenyal dan biasanya digunakan pada makanan selain kandungan protein dan karbohidratnya yang tinggi. Menurut Muzquiz dan Wood (2007) tepung gram dan tepung kacang hijau termasuk ke

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 60 120 180 240 300

P o p u las i b ak te r i (Lo g C F U /g)

Lama inkubasi (Menit)

Sel Bebas Kontrol

Alginat+T.K.Hijau Alginat+T.Gram


(44)

30

dalam pangan dengan indeks glikemik rendah (low glycaemic index), sehingga lebih lama di cerna di dalam tubuh. Hasil penelitian telah mengungkapkan bahwa pati merupakan komponen yang efisien untuk tujuan enkapsulasi probiotik, karena tidak terlarut (dalam asam lambung), pH netral dan oleh aktivitas enzimatik pankreas, namun mampu melepaskan sel bakteri ketika manik-manik memasuki usus (Englyst et al., 1992;. Sun dan Griffiths, 2002).

Ross et al., (2006) melaporkan bahwa pemeriksaan mikroskopis dari mikrokapsul menunjukkan bahwa bakteri tetap terperangkap dalam bahan kapsul dalam SGF dan dilepaskan ketika ditransfer ke SIF. Hasil yang didapat pada percobaan ini adanya sedikit penurunan jumlah sel bakteri pada masing-masing perlakuan. Kemungkinan dalam percobaan ini, cairan lambung tiruan memasuki

beads melalui lubang kecil permukaan beads yang mengakibatkan menurunnya viabilitas. Dengan demikian, kelangsungan hidup US7 menurun seiring waktu inkubasi meningkat karena efek merusak dari pH rendah pada sel-sel bakteri. Namun, membran padat diharapkan mampu menciptakan resistensi difusi melalui

beads, yang berakibat difusi yang lebih rendah dari SGF. Kelangsungan hidup sel meningkat seiring peningkatan konsentrasi gel alginat. Penguatan membran permukaan dan ukuran mikropartikel menawarkan pilihan lain untuk peningkatan resistensi lambung lebih lanjut (Cui et al., 2000).

Hasil yang didapat juga didukung oleh beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil penelitian Ayama et al., (2014) kelangsungan hidup sel L. plantarum CM53 setelah terpapar simulasi asam lambung (SGJ) selama 3 jam berkurang menjadi 69,82% dari populasi awal. Secara keseluruhan setelah terpapar SGJ (3 jam) diikuti oleh simulasi usus halus (SIF) (4 jam) dapat mempertahankan viabilitas sebesar 69,09% dari populasi awal yang ditemukan dalam alginat. Percobaan dari Lee dan Heo (2000) menunjukkan bahwa kemampuan bertahan B. longum yang dienkapsulasi dengan kalsium alginat dalam kondisi simulasi asam lambung (pH 1,5) tidak terjadinya penurunan jumlah sel. Percobaan Chandramouli et al., (2004), menunjukkan bahwa lapisan mikrokapsul kalsium klorida pada natrium alginat yang mengandung L. acidophilus

meningkatkan toleransi bakteri tersebut terhadap asam (pH 2) dan kondisi empedu (1%).


(45)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu : 1. Hasil uji tantang BAL dengan Patogen pangan Salmonella thypimurium, E.coli

dan Staphylococcus aureus didapat isolat potensial yaitu US7.

2. Bahan pengkapsul alginat-tepung kacang hijau dan alginat-tepung gram efektif dalam melindungi sel BAL

3. Suhu 4 °C merupakan suhu yang optimal dalam penyimpanan BAL terenkapsulasi. Pada ketiga perlakuan tidak terjadi penurunan yang signifikan setelah disimpan selama 4 minggu pada suhu 4 °C.

4. BAL sinbiotik dengan bahan pengkapsul alginat-tepung kacang hijau dan alginat-tepung gram menghasilkan perlindungan yang cukup baik pada simulasi asam lambung tiruan dan simulasi usus tiruan, dengan persentase sel bakteri hidup 92% dan 97% pada simulasi asam lambung.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dinilai perlu dilakukan penelitian karakterisasi lebih lanjut untuk tujuan aplikasi dari produk enkapsulasi ini sehingga dapat digunakan sebagai suplemen probiotik yang dapat memberikan efek kesehatan.


(46)

DAFTAR PUSTAKA

Agheyisi, R. 2005. Ga-121 Probiotics: Ingredients Supplements Food Technnology. Business Communication Company. Norwalk USA, pp. 2-5.

Anal, A. K. and Singh, H. 2007. Recent Advantages in Microencapsulation of Probiotics for Industrial Applications and Targeted Delivery Review,

Journal Trends Food Science. 18:240-251.

Angus, F., Smart, S. and Shortt, C. 2005. Prebiotic Ingredients with Emphasis on Galacto-Oligosaccharides and Fructo-Oligosaccharides. Didalam : Tamime AY. Editor. Probiotic dairy product. Blackwell Publishing Ltd. Oxford, pp. 120-137.

Axelsson, L. 2004. Lactic Acid Bacteria: Classification and Physiology. Didalam Salminem, S., Von Wright, A. and Ouwehand. 2000. A. Lactic Acid Bacteria: Microbiological and fuctional aspect. Mercel Dekker. Inc. New York, pp. 1-6.

Ayama, H., Sumpavapol, P. and Chanthachum, S. 2014. Effect of Encapsulation of Selected Probiotic Cell on Survival in Simulated Gastrointestinal Tract Condition. Songklanakarin Journal Science Technology. 36 (3), 291-299 Chandramouli, V., Kalasapathy, K., Peiris, P., Jones, M. 2004. An Improved

Method of Microencapsulation and Its Evaluation to Protect Lactobacillus

spp. In Simulated Gastric Conditions. Jounal Microbiology. 56: 27-35.

Cui, J. H., Goh, J. S., Kim, P. H., Choi, S. H., Lee, B. J. 2000. Survival and Stability of Bifidobacteria Located in Alginate Poly-L-Lysine Micropartcles. International Journal Pharmasi. 210: 51-59.

Desmond, C. C., Stanton, G. F. K., Collins and Ross. R.P. 2002. Improved Survival of Lactobacillus paracasei NFBC 338 in Spray Dried Powders Containing Gum Acacia. Journal of Appyl Microbiology 93:1003-1012. Englyst, H. N., Kingman, S. M., Gummings, J. H. 1992. Classification and

Measurement of Nutritionally Important Starch Fractions. Europe Journal Clinic Nutriont. 2: 46 33-50.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia, Jakarta.

Femia, A. P., Luceri, C., Dolara, P., Giannini, A., Biggeri, A. and Salvadori, M. 2002. Antitumorigenic Activity of The Prebiotic Inulin Enriched with Oligofructose in Combination with The Probiotics Lactobacillus


(1)

Inokulum kurva pertumbuhan

Dimasukkan 10 mL (10% v/v) inokulum ke dalam 90 mL MRSB

Diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC

Tidak di shaker dishaker

Diukur OD dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm setiap 1 jam selama 24 jam

Kurva pertumbuhan


(2)

Lampiran 5 : Enkapsulasi dan Pengeringan Sinbiotik dengan teknik ekstrusi (Reyed, 2007 yang dimodifikasi)

Inokulasi BAL potensial 5% (v/v) pada MRSB pH 7

Inkubasi pada suhu 37°C selama 16 jam

Sentrifugasi (4°C) selama 20 menit pada 10.000 rpm

Campuran 1 dan 2diperangkap (45 menit) dalam larutan alginat steril (3% b/v)

Pelarutan sel bakteri dalam media mikroenkapsulasi larutan : Kontrol : 100 ml akuades + gliserol 5% (v/v) + Ca 0,1% (b/v)

Perlakuan 1: 100 ml aquades + tepung kacang hijau 2% (b/v) + gliserol 5% (v/v) + inulin 2% (b/v) + Ca 0,1% (b/v)

Perlakuan 2: 100 ml aquades + sodium caseinate 2% (b/v) + gliserol 5% (v/v) + inulin 2% (b/v) + Ca 0,1% (b/v)

Padatan sel-sel bakteri

Campuran 1 dan 2 diteteskan pada 0,1 M dibiarkan selama 1 jam

Penguatan struktur gel yang dalam larutan fisiologis (0,85%)


(3)

Lampiran 6 : Viabilitas Granul Kultur BAL Setelah Enkapsulasi (Triana et al., 2006 yang dimodifikasi)

Pembuatan Buffer Citrate

Komposisi :

Asam Citrat 21 gram NaOH 1 M secukupnya

Akuades 1L

Cara Pembuatan :

1. Dicampurkan Asam sitrat dengan akuades kemudian dihomogenkan 2. Diatur pH sampai mencapai 6 dengan menambahkan NaOH 1M

3. Disterilkan Buffer dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit

Mikroenkapsul: 1. Kontrol 2. Perlakuan 1 3. Perlakuan 2

Ditimbang 1 gram

Dibuat pengenceran hingga dengan menggunakan buffer citrate pH 6

Divortex selama 15 menit

Dimasukkan dalam 9 ml buffer citrate

Diambil 100 µL dari setiap

pengenceran kemudian dimasukkan kedalam media PCA yang telah memadat

Disebar dengan menggunakan hockey stick

Diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC


(4)

Lampiran 7 : Uji Ketahanan Sel Bebas dan Sinbiotik Terenkapsulasi Dalam Kondisi Asam Lambung Tiruan (Woraharn et al., 2010)

SGF pH 2 Dibuat kepadatan sel bakteri setara dengan Mc Farland 108

1. Kontrol 2. Perlakuan 1 3. Perlakuan 2 Sel Bebas

Ditimbang

Diinkubasi selama 120 menit pada suhu 37°C

Dilakukan TPC pada media PCA dengan menggunakan PBS dengan pengenceran hingga pada menit ke 60 dan 120 SIF pH 6,5

Diinkubasi selama 180 menit pada suhu 37°C

Dilakukan TPC pada media PCA dengan pengenceran hingga dengan menggunakan PBS pH 7,4 pada menit ke 180, 240 dan 300


(5)

Lanjutan Lampiran 7

Pembuatan Phospate Buffer Saline (PBS)

Komposisi :

NaCl 8 gram

KCl 0,2 gram

1,44 gram

0,24 gram

Akuades 800ml

Cara Pembuatan :

1. Dicampur semua bahan, kemudian ditambahkan akuades 800ml 2. Diatur pH agar mencapai 7,4 dengan menambahkan HCl 1M 3. Setelah pH tercapai tambahkan aquadest hingga volume akhir 1 L 4. Diseterilkan buffer dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C


(6)

Lampiran 8 : Foto Kerja

Uji Katalase Uji tantang US7 dengan E. Coli