4 Adat Budaya Masyarakat Aceh

manajemen Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh dan Nias Sumatera Utara. Kondisi Aceh pascatsunami menghadapi fenomena baru, dimana perkembangan kehidupan budaya dan adat istiadat masyarakatnya mulai terasa pergeserannya akibat keterbukaan komunikasi multi media, ilmu pengetahuan dan teknologi dan pergaulan antar bangsa dan etnis, sehingga identitas harkat dan martabat ke- Aceh-annya mulai memudar, dan bahkan ada diantara nilai nilai luhur dari tatanan kehidupan masyarakat Aceh kian terabaikan.Hal ini erat kaitannya dengan kedatangan berbagai suku bangsa di dunia yang tinggal dan bergaul dalam masyarakat Aceh, dengan program membantu Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh Syarif et al., 2012.

2. 4 Adat Budaya Masyarakat Aceh

Sejarah mencatat, bahwa masyarakat Aceh pernah berperan sebagai bangsa di dunia, dibawah kepemimpinan sultan-sultan yang turun-temurun sejak sultan Ali Mughayat Syah tahun 1514-1528 sampai berakhir dengan tertangkapnya Sultan Muhammad Syah sebagai Sultan Aceh yang terakhir 1874- 1903. Di masa pemerintahan sultan–sultan itu, Aceh telah membangun diri berasaskan pada suatu tatanan adat budaya Adat ngon hukom agama lagei zat ngon sifeut, sehingga dapat mengantarkan kebesarannya berperan di dunia internasional. Kala itu Aceh juga menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai negara-negara yang berpengaruh di dunia, seperti dengan Turki Usmaniyah, Inggris, Perancis dan lain lain. Bahkan Aceh mampu membela dan membantu kerajaan-kerajaan di Semenanjung Melayu dalam melawan dan mengusir pasukan portugis yang hendak menjajah negerinya. Lebih dahsyat lagi adalah kemampuan Aceh dalam melawan pasukan Belanda yang hendak menjajah Aceh, sehingga terjadi peperangan panjang selama puluhan tahun 1873-1904. Bahkan kejatuhan kesultanan, Aceh terus menerus memberikan perlawanan dan tak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada penjajah Belanda. Kekuatan dan semangat orang Aceh dalam membangun persatuan dan kesatuan melawan penjajah adalah karena berkat daya tahan Universitas Sumatera Utara budayanya yang luar biasa, yaitu “Adat Aceh”Secara teori ; adat dapat dipahami sebagai suatu realitas proses interaksi, antar individu dan kelompok manusia yang melahirkan format-format nilai budaya berwujut norma, moral, hukum, seni dan tatanan aturan–aturan yang satu dengan lainnya berkorelasi menjadi suatu sistem. Sistem inilah yang mengikat masyarakat Aceh dalam kelompok budaya masing- masing sesuai dengan kawasan lingkungannya. Dari aspek antropologis, adat itu menjadi salah satu elemen perekat kesatuan bangsa. Di Indonesia ada adat Aceh, Batak, Melayu, Minangkabau, Jawa, Bali, Bugis, dan lain-lain. Dalam kontek Aceh juga ada adat dan budaya etnis masing-masing. Yaitu Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, Tamiang, Gayo, Alas, Kluet, Anek Jamee, Singkil, Simeulu dan lain-lain. Pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, adat pada umumnya lahir dari dukungan faktor faktor genealogis dan teritorial kawasan masing-masing. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, adat dipandang sebagai kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang dan berkelanjutan dalam kehidupan masyarakat. Demikian juga fungsi adat Aceh yang pada dasarnya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: 1. Adat sebagai adat istiadat adalah kebiasan-kebiasaan prilaku yang hidup dan berkembang dalam membangun prilaku masyarakat yang tertip dan teratur, hirarki, seremonial, ritual untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dalam masyarakat. 2. Adat sebagai norma adalah kaedah hukum, untuk memelihara dan membangun keseimbangan equilibrium kehidupan masyarakat dengan ketentuan, barangsiapa melanggarnya akan mendapatkan sanksi dari masyarakat. Dalam upaya meningkatkan pembinaan dan pelestarian adat, pemerintah propinsi Aceh telah membentuk lembaga khusus yang disebut dengan Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh LAKA. Pembentukan LAKA merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses sejarah sosial masyarakat Aceh itu sendiri. Khususnya dalam kaitan dengan konflik politik yang terjadi di Aceh pasca terbentuknya negara Indonesia pada tahun 1945, pada tanggal 9 Juli 1986.Kemudian, pada tahun 2003 nama LAKA mengalami perubahan menjadi Majelis Adat Aceh MAA. MAAini lahir berdasarkan keputusan Kongres Adat Universitas Sumatera Utara Aceh yang diselenggarakan oleh LAKA pada tanggal 24-28 September 2002 di Banda Aceh, dan ditetapkanlah Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, dimana salah satunya adalah Keistimewaan bidang penyelenggaraan Adat dan Adat Istiadat masyarakat Aceh. Bagi masyarakat Aceh, pembangunan budaya dan adat yang disertai dengan syariat, dari sudut antropologis merupakan suatu kemestian, karena nilai- nilai adat dan syariat menjadi perekat kekuatan kesatuan dan persatuan ke-Aceh- an dalam membangun kesejahteraan hidupnya. ‟Hukom Agama ngon adat lagei zat ngon sifeut, hanjeut meu-reut-reut ki nyang hawa”.Maksudnya, hukum dengan adat laksana zat dengan sifat, tidak boleh dicerai berai sesuka hatinya. Lembaga lembaga adat itu antara lain berguna sebagai: 1. Institusi organisasi masyarakat menjadi suatu sarana potensi yang sangat akurat untuk menggerakkan dalam pembangunan sebagai perekat mewujutkan kesatuan kerjasama, kedamaian, kerukunan, ketentraman, dan kenyamanan bagi pencapaian kesejahtaraan hidup dunia dan akhirat. 2. Wahana lembaga yang dapat dimanfaatkan kegunaan, paling tidak ada 6 dimensi, yaitu: • Dimensi ritualitasagamis • Dimensi ekonomiskebutuhan hidup • Dimensi pelestarian lingkungan hidup • Dimensi hukum, norma atau kaidah • Demensi harkatmartabat, • Dimensi kompetitifkeunggulan Syarif et al., 2012.

2. 5 Struktur Kepemimpinan Masyarakat