Nypoideae a. Nypa fruticans Nipah.

Tangkai tandannya berwarna kuning. Buahnya berwarna merah jambu. Pada umur yang relatif muda, palem ini telah dapat menghasilkan buah.

7. Nypoideae a. Nypa fruticans Nipah.

Tumbuhan ini sudah tak asing lagi bagi penduduk pesisir. Daunnya umum digunakan untuk atap, atau untuk alat kerajinan tangan seperti tikar, keranjang, topi, payung dan lain-lain. Di samping buahnya dapat dimakan juga dapat menghasilkan nira yang kadang-kadang diolah menjadi gula. Nipa tersebar di sepanjang daerah tropik, mulai dari Sri Lanka sampai kepulauan Solomon dan Australia LIPI, 1978. Tumbuhan ini tumbuh pada kondisi daerah berair, berdasarkan kesenangan terhadap cahaya, jenis ini suka pada tempat yang terbuka atau bebas naungan. Palem ini berperawakan sedang, plenantic, tinggi 5-6m, berumpun memiliki batang semu, daun berwarna hijau, jumlah daun dalam mahkota 6-8, panjang daun 400 cm, lebar daun 150-200 cm, ujung daun bifit, bentuk daun pinate, panjang anak daun 30-100 cm, lebar anak daun 3-8 cm,bentuk anak daun elongate, bentuk ujung anak daun acuminate, jumlah anak daun 40 pasang, tata letak anak daun berhadapan, panjang petiole 35-45 cm, pelepah berwarna coklat kehitaman, panjang pembungaan 120-125 cm, jumlah percabangan bunga 4-5, tata letak keluar bunga interfoliar, warna tangkai bunga coklat tua, ujung meruncing bentuk seperti corong, warna coklat. Bunga berbulir, berumah satu, warna orange. Buah bentuk lonjong, warna coklat, diameter 5-10 cm, panjang 10-15 cm, epicarp tebal berserabut, endocarp tipis keras, endosperm homogenous, berembrio basal Nega et al., 2003.

2.1.2 Tempat Tumbuh Arecaceae Palmae

Menurut Witono et al.,2000 palem dapat tumbuh dengan baik pada tipe tanah yang berpasir, tanah gambut, tanah kapur dan tanah berbatu. Palem juga dapat tumbuh pada berbagai kemiringan dari tanah datar, tanah berbukit dan tanah berlereng terjal. Palem membutuhkan suhu rata-rata tahunan 170–250 C, curah Universitas Sumatera Utara hujan 2000 mm–2500 mm pertahun dengan rata-rata hujan turun 120- 140 hari dalam setahun dan kelembapan relative 80. Untuk pertumbuhan palem juga memerlukan cahaya, dan cahaya yang sampai ke dasar hutan berbeda-beda sehingga menjadi ciri tersendiri untuk menentukan pertumbuhan suatu spesies palem. Palem bisa juga dilestarikan diluar kawasan hutan ex situ dengan cara mempelajari aspek ekologisnya sehingga dapat dibudidayakan diluar habitat Desianto et al.,2002.

2.2. Pemanfaatan Arecaceae Secara Umum

Sebagian besar masyarakat di Indonesia mengenal manfaat Arecaceae. Macam dan cara pemanfaatan famili ini sangat beragam tergantung dari kelompok masyarakat atau etnik tertentu, dimana masing-masing kelompok masyarakat atau etnik tersebut memiliki sistem pengelolaan dan pemanfaatan tanaman Arecaceae. Secara umum tanaman yang termasuk dalam Arecaceae mempunyai kegunaan sebagai berikut: Manfaat tumbuhan Arecaceae Palmae Beberapa jenis palem termasuk jenis yang serbaguna, dari segi kegunaan jenis-jenis palem dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1 Sumber karbohidrat, baik dalam bentuk pati maupun gula. 2 Sumber minyak, sudah sejak lama masyarakat Indonesia memanfaatkan kelapauntuk minyak goreng. 3 Sumber bahanan anyaman, rotan merupakan bahan anyaman berkualitas tinggi, beberapa jenis palem juga menghasilkan daun yang dapat dianyam. 4 Sumber bahan bangunan, ada jenis-jenis palem yang mempunyai batang yang kuat untuk mengganti kayu di balik batang-batang kelapa menjadi tiang-tiang atau bahan ukiran perkakas rumah tangga. 5 Sumber bahan penyegar, masih ada masyarakat di Indonesia yang masih menginang menyirih. Universitas Sumatera Utara 6 Sumber tanaman hias, banyak jenis palem yang sudah dimanfaatkan untuk tanaman hias di jalan maupun di pekarangan rumah. 7 Sebagai bahan campuran ramuan obat. 8 Sebagai bahan sesaji dalam upacara adat, baik upacara perkawinan maupun upacara ritual LIPI, 1978.

2.3 Sejarah Asal Usul Masyarakat Aceh

Aceh adalah propinsi yang terletak di bagian paling ujung Barat pulau Sumatera dari wilayah Republik Indonesia. Propinsi yang dijuluki dengan berbagai sebutan nama ini dalam perjalanan sejarahnya pernah mengalami puncak kemajuan peradabannya terutama pada ahkhir abat ke 16 hingga awal abat ke 17 sebagai kerajaan islam terbesar kelima di dunia, setelah kerajaan Islam Usmaniah di Turki, kerajaan islam Maroko di Afrika Utara, kerajaan Agra di Anak Benua India, dan kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara Syarif et al., 2012. Sebagai daerah yang pernah mengalami kejayaan peradabannya, tentu saja Aceh tidak hanya pernah menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan pada masa itu, melainkan Aceh juga memiliki aturan pemerintahan yang baik dengan sistim nilai nilai adat masyarakat yang teratur. Akan tetapi, seiring perjalanan jaman, perjalanan sejarah Aceh kemudian juga mengalami pasang surut akibat berbagai perubahan yang tak dapat dihindari, dan akibat perubahan itu pula, Aceh pun kemudian menyandang beberapa nama dalam penyesuaian diri dengan perubahan sejarah itu. Kalau di masa kesultanan, Aceh dikenal dengan nama kerajaan Aceh Darussalam, setelah merdeka orang kadang-kadang menyebut nama Aceh dengan daerah “Serambi Mekkah”, “Aceh Daerah Modal”, atau “Aceh Bumi Tanah Rencong”, “Daerah Istimewa Aceh”, Nanggroe Aceh Darussalam”, dan Aceh sebagai “ Daerah Otonomi Khusus”, hingga sebutan Propinsi Aceh sekarang ini. Syarif.,et al2012. Akan tetapi mulai abat ke-19 ada beberapa pengarang diantaranya Snouck Hurgronje yang kembali pada tulisan yang lebih tepat ″Atjeh″ dalam penelitiannya diberinya judul De Atjebers, Cara menulis inilah yang dipakai dalam teks teks resmi dan tulisan kontemporer Republik Indonesia dan Universitas Sumatera Utara juga oleh pengarang pengarang karya karya terbaru mengenai Aceh, Snouck Hurgronjo juga pernah menjelaskan bahwa biarpun ada berbagai tefsiran yang digemari orang tetapi tak satupun yang tepat , Oleh karena itu Asia Tenggara banyak toponim mempunyai etimologi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, maka tak bakal sia sialah kalau kita sependapat seperti Marsden bahwa nama tempat ini pun berasal dari nama tumbuhan, kendati kepastian mengenai hal itupun tidak ada Lombard, 2008. Propinsi Aceh sebagaimana teleh digambarkan di atas tidak hanya kaya dengan nama besar julukannya, tetapi juga dikenal sebagai daerah yang Serat dengan liku-liku sejarahnya yang panjang dalam berbagai warna dan bentuk kesejarahan dari masa ke masa. Semua liku liku sejarah itu penuh dengan berbagai peristiwa berdarah peperangan, mulai dengan perang Aceh melawan Belanda tahun 1873 sampai dengan mendaratnya Jepang tahun 1942. Setelah kekerasan dan kekejaman jepang menjajah Aceh yang dimulai pendaratannya Maret 1942, akhirnya jepang menyerah kalah kepada sekutu dan akhirnya Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tahun 1945. Namun Aceh setelah merdeka terus bergolak, peristiwa berdarah tak sunyi pula dengan munculnya peristiwa perang cumbok, akibat perseturuan antara ulama dan kaum Uleebalang di Aceh. Kemudian tahun 1953-1962 muncul pula peristiwa DITII dibawah pimpinan Tgk. Muhammad Daud Beureueuh. Usai DITII meletus pula peristiwa G-30-SPKI tahun 1965, yang juga tidak sedikit memakan korban jiwa dan harta benda masyarakat Aceh, selang 10 tahun setelah peristiwa PKI muncul lagi Gerakan Aceh Merdeka GAM dibawah pimpinan Tgk. Muhammad Hasan Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 dan gejolak GAM berikutnya berkorban lagi pada tahun 1989-2005. Aceh rupanya tidak cukup dengan bala dan bencana krisis dentuman senjata perang ALLAH SWT memberikan cobaan lagi dengan bencana yang maha dahsyat, yaitu gempa bumi berkekuatan 8,7 Skala Richter, yang disusul gelombang tsunami berkecepatan 600 kmjam, pada 26 Desember 2004. Pada tahun 2005, setelah masa emergensi pascatsunami Aceh dibangun kembali melalui program Rehabilitasi dan Rekontruksi dibawah koordinasi dan Universitas Sumatera Utara manajemen Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh dan Nias Sumatera Utara. Kondisi Aceh pascatsunami menghadapi fenomena baru, dimana perkembangan kehidupan budaya dan adat istiadat masyarakatnya mulai terasa pergeserannya akibat keterbukaan komunikasi multi media, ilmu pengetahuan dan teknologi dan pergaulan antar bangsa dan etnis, sehingga identitas harkat dan martabat ke- Aceh-annya mulai memudar, dan bahkan ada diantara nilai nilai luhur dari tatanan kehidupan masyarakat Aceh kian terabaikan.Hal ini erat kaitannya dengan kedatangan berbagai suku bangsa di dunia yang tinggal dan bergaul dalam masyarakat Aceh, dengan program membantu Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh Syarif et al., 2012.

2. 4 Adat Budaya Masyarakat Aceh