Militer dan politik: Studi kasus kudeta militer pada Presiden Mohammad Mursi di Mesir Tahun 2013

(1)

MILITER DAN POLITIK: STUDI KASUS KUDETA MILITER

PADA PRESIDEN MOHAMMAD MURSI DI MESIR TAHUN

2013

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Miftachul Choir Al Ayyubi

1110112000024

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015 / 1436 H


(2)

(3)

(4)

(5)

i

ABSTRAK

Miftachul Choir Al Ayyubi

Militer dan Politik: Studi Kasus Kudeta Militer Pada Presiden Mohammad Mursi di Mesir Tahun 2013

Di Mesir, militer menjadi kelompok yang berkuasa dalam jalannya

pemerintahan. Militer sejak lama berkuasa di Mesir lewat kelompok Free Officer,

kelompok yang melakukan kudeta pertama kali pada Raja Farouq pada tahun 1952. Sejak saat itu tampuk kekuasaan, pergantian pemimpin, dan penentuan

regulasi di Mesir dipengaruhi Militer. Ditambah Dewan Agung Militer (Supreme

Council of the Armed Forces – SCAF) yang kini mengawasi setiap jalannya pemerintahan di Mesir. Mohammad Mursi, presiden terpilih dari kelompok Ikhwanul Muslimin menjadi bulan-bulanan, hanya setahun kepemimpinannya kemudian dikudeta militer. Militer belum rela bila kekuasaan di Mesir kini beralih ke tangan pihak lain, lewat ultimatum 48 jam militer mengumumkan pengambilalihan pemerintahan atas Mursi. Dengan begini militer mengalami kemunduran secara profesional dan termasuk menjadi tentara pretorian. Tentara yang intervensi dalam jalannya politik.

Rakyat berdemontsrasi di alun-alun Tahreer dengan alasan ekonomi tidak membaik pada setahun jalannya Mursi berkuasa, menganggap Mursi hanya perwakilan yang mementingkan Ikhwanul Muslimin karena dominasi parlemen, dan menuduh gagal menertibkan huru-hara yang terjadi akibat faktor tersebut. Ditambah dekrit Mursi pada 22 November yang disinyalir memiiki kekuasaan tidak terbatas yang akan dimiliki Mursi, padahal itu langkah Mursi untuk mengamankan pemerintahannya dari geliat politik militer yang coba menggerogoti dari dalam.

Militer berafiliasi dengan kelompok oposisi menggadang-gadang Mursi untuk turun, dengan menyamakan persepsi rakyat dan oposisi. Setelah militer berhasil menyamar dalam pesamaan persepsi dengan rakyat, militer bertindak sebagai harapan rakyat. Padahal langkah militer ini untuk kudeta agar pengambilalihan kekuasaan menjadi tidak begitu kentara. Akibat kudeta ini membuat demokrasi yang baru dijajaki mesir menjadi cacat, Mesir kembali diperintah oleh militer yang memenangkan pemilu pascakudeta.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Penelitian ini merupakan yang paling menarik untuk dikaji. Kepemimpinan Mesir setelah Mubarak jatuh dipegang oleh Muhammad Mursi, presiden yang kala itu maju lewat sayap politik Ikhwanul Muslimin. Setelah Mursi terpilih militer melakukan kudeta pada setahun kepemimpinannya, menjadi menarik karena banyak hal yang terjadi. Selain Mesir baru saja menjajaki demokrasi, ada ketidakrelaan militer yang sejak lama menguasai Mesir kini harus kehilangan pamornya dalam segala bidang. Pada awalnya penelitian ini ingin melihat apa saja kah faktor yang memotivasi militer melancarkan kedetanya, dan bagaimana militer melakukannya. Karena idealnya pada negara yang baru menjajaki demokrasi, berbagai golongan turut serta mendukung jalannya transisi, bukan menjegal. Semoga penelitian ini bermanfaat dan dapat berkembang menjadi lebih baik lagi.

Peneliti ingin menyampaikan banyak terimkasih ada tiap orang juga lembaga yang turut membantu menyeleaikan penelitian ini. Dalam kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas UIN Syarif

Hidayatulah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik UIN Syarif Hidayatulah Jakarta.

3. Bapak Dr. Iding Rosyidin selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik UIN


(7)

iii

4. Ibu Suryani M. Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik UIN

Syarif Hidayatulah Jakarta.

5. Bapak Dr. Nawiruddin selaku pembimbing juga teman diskusi yang selalu

menyempatkan waktu di sela-sela kesibukannya. Berkat pembimbing membuat peneliti hati-hati dan teliti dalam menulis, sehingga penelitian ini bisa berhasil dengan baik.

6. Terimakasih yang terdalam peneliti sampaikan kepada Mukarrom Chusni

Amari dan Siti Hodijah. Sebagai orang tua tak henti-hentinya memberikan dukungan moril dan materil. Serta doa yang tak pernah putus membuat semangat peneliti tak putus hingga akhir penelitian ini. Adinda adik tersayang Isti dan Nadya yang tiap malamnya menyempatkan membangunkan peneliti kala tertidur dalam pengerjaan penelitian ini.

7. Kepada Bapak Hamdan Basyar dan Zuhairi Misrawi peneliti ucapkan

terimakasih telah memberikan data dan pengetahuan bagi kebutuhan penulisan skripsi ini. Sehingga penelitian ini menjadi matang untuk dipresentasikan.

8. Kepada Radityo, Chacha, Alfi, Azha, Nafis Ayok, Nurhadi, Jekry, Sulton,

Nafis, Wases, Silvi Widodo, Yan, dan Farhany. Peneliti ucapkan banyak terimakasih karena canda tawa kalian selalu jadi penghibur dalam kebuntuan berfikir tengah malam.

9. Kepada Aisyah, Andini, Lulu, Lela, Afril, Adis, Indragiri, Erwin, Camen

Ferdi, Rizky Botsam, Ompong Novian, Ikbal, Angga, Aslusani, Ambon Febri, Ican, Ade, Dona, Oye, Rijal Jideng, Yosep, Masrizal, Dara Amalia,


(8)

iv

Zhahrah Qamarani, Ismet, Ade Kumis, Brian dan seluruh kawan-kawan Ilmu Politik 2010 Peneliti ucapkan terimakasih. Karena setia berdiskusi kecil dan mendengar keluh kesah peneliti.

10.Tak lupa terimakasih peneliti ucapkan pada staf TU Pak Jajang dan Pak

Amali yang banyak membantu peneliti dalam melengkapi urusan administrasi.


(9)

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

D. Tinjauan Pustaka ... 12

E. Metodologi Penelitian ... 14

F. Sistematika Penelitian ... 15

BAB II KERANGKA TEORI A. Hubungan Sipil Militer Dalam Perspektif Modern ... 17

1. Kontrol Sipil Atas Militer Dan Intervensi Militer ... 17

B. Konflik. ... 20

1. Pengertian Konflik. ... 20

2. Jenis Konflik. ... 23

3. Resolusi Konflik. ... 23

C. Kudeta ... 24

1. Pengertian Kudeta. ... 24

2. Sebab-Sebab Terjadinya Kudeta ... 26

D. Tentara Pretorian ... 31

1. Pretorian Jenis Moderator ... 37

2. Pretorian Jenis Pengawal... 39

3. Pretorian Jenis Penguasa ... 40

BAB III DINAMIKA KEKUASAAN DAN DEMOKRATISASI DI MESIR A. Peran Militer Dalam Peta Kekuasaan Di Mesir ... 43

B. Perkembangan Transisi Demokrasi Di Mesir ... 47

BAB IV KUDETA PRESIDEN MURSI A. Krisis Pemerintahan Sipil ... 60

B. Politik Militer Dan Oposisi ... 67

C. Militer Pasca Kejatuhan Mursi... 74

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 79


(10)

vi

DAFTAR PUSTAKA ...ix LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel III.B.1 Hasil Pemilu Parlemen 2011 ... 50


(12)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Transkip Wawancara Hamdan Basyar

Lampiran 2 Data Transkip Wawancara Zuhairi Misrawi

Lampiran 3 Surat Pengantar Wawancara/Mencari Data

Lampiran 4 Surat Keterangan Selesai Wawancara


(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Di kawasan Middle East and North Africa (MENA), perkembangan dan

gaya pemerintahan banyak diwarnai oleh kekuatan basis lokal suku tradisional (kabilah), doktrin agama, dan kelompok bersenjata atau biasa disebut tentara militer. Pada negara yang penguasanya didukung oleh kelompok bersenjata dan basis lokal yang sengaja dibuat loyal bagi penguasa, akan mengarah pada gaya

kepemimpinan yang otoritarian1. Dibeberapa bagian negara seperti Mesir dan

Libya tidak lepas dari kekuasaan rezim militer yang melakukan kudeta. Rezim Gammal Abdul Nasser di Mesir dan Muammar Gaddafi di Libya berhasil melakukan kudeta dan berkuasa dalam kurun waktu yang lama. Mereka bertahan dengan menggunakan aparat militer, polisi rahasia serta partai politik dominan buatan sendiri untuk menguasai parlemen, dan menggunakan jaringan antar suku untuk menjaga stabilitas kekuasaan ditingkat bawah. Pemimpin ini banyak

memperoleh kekuatan politiknya karena latar belakang militer mereka. Esprit de

corps, jaringan komunikasi dan hirarki ala militer membuat kekuasaan mereka

tetap terjaga di tengah arus oposisi yang mereka hadapi.2

1

Otoritarianisme adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan kekuasaannya secara keras, kaku, dan tanpa kompromi. Semua dijalankan atas nama negara dan untuk negara, jenis pemerintahan ini mirip dengan pemerintahan model militer yang dilakukan dengan kekerasan, disertai dengan pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan hak pribadi, hak-hak politik, serta sipil. Otoritarianisme juga merupakan gaya pemerintahan dari filsafat kekuasaan monarki absolut abad 16-17 M di Inggris dan Prancis.

2Mohammad Riza Widyarsa, “Rezim Militer dan Otoriter di Mesir, Suriah dan Libya,”


(14)

2

Penelitian ini mengambil kasus Mesir karena memiliki perbedaan dengan negara yang lain, Mesir pasca kejatuhan Mubarak adalah mulainya penjajakan negara Mesir pada sistem yang lebih demokratis. Menjadi Mesir pertama kali mempunyai pemimpin yang bebas dari latar belakang militer bukan hasil kudeta, tapi menjadi yang paling demokratis dalam sejarah Mesir. Karena dalam sejarah dominasi militer yang kuat membuat Mesir tidak menjadi negara yang sepenuhnya demokratis, melainkan hanya demokrasi secara simbolik. Dibagian lain, perbedaan kasus penggulingan rezim terjadi di Libya yang merupakan dampak dari kelanjutan perubahan rezim di Tunisia dan Mesir, yaitu efek domino

dari Arab Spring3(musim semi Arab).4

Pada perjalanan pemerintahan Mesir, rezim Husni Mubarak berkuasa kurang lebih tiga puluh tahun dengan gayanya yang otoriter. Hal-hal paling mendasar dari sistem otoritariansme yang diterapkan Mubarak adalah pemerintahan yang sewenang-wenang menggunakan hukum dengan segala instrumen negara yang memaksa untuk memonopoli kekuasaan dan menolak

hak-hak politik kelompok lain untuk meraih kekuasaan.5 Sebelum Mubarak,

pemerintahan Mesir dipegang oleh Jendral Mohammad Naguib lewat kudeta

3

Di penghujung tahun 2010 dan awal tahun 2011 terjadi pergolakan besar-besaran di Dunia Arab yang terjadi dari Afrika Utara sampai ke Timur Tengah, dari Aljazair sampai ke Bahrain. Satu persatu rezim diktator bertumbangan mulai dari Zein al-Abidine Ben Ali di Tunisia dan Husni Mubarak di Mesir. Demikian rezim lainnya di Aljazair, Suriah, Yaman, Libya dan Bahrain yang masih bertahan diterpa angin demonstrasi.Berawal dari Muhammad Bouazzi di Tunnisia yang membakar diri, aksi ini menyulut semangat pemuda berdemonstrasi menuntut keadilan, dan semangat ini menular ke negara negara Arab.

4Hery Sucipto, “Babak Baru Mesir

-AS.” Republika,17 Februari 2012, h. 5.

5

Maye Kassem, Egyptian Politics: The Dynamics of Authoritarian Rule (United States of America: Lynne Rienner Publisher Inc, 2004), h. 3.


(15)

3

militernya tahun 1952 yang melibatkan Kelompok Perwira Bebas (Free Officer)6.

Naguib tak lama memerintah karena segera digeser oleh Nasser (1952-1970), kemudian diteruskan Anwar Sadat (1970-1981), dan Hosni Mubarak (1981-2011) setelah Sadat ditembak mati pada acara parade militer. Perlu diketahui mereka

semua adalah tentara, dan bagian dari kelompok Perwira Bebas (Free Officer).7

Pada 25 Januari 2011 terjadi demonstrasi yang dimulai oleh pemuda menentang kepemimpinan Mubarak dan menuntut perubahan, massa menamakan

hari itu dengan Yawm Al Ghadab(hari kemarahan). Pergolakan yang terjadi di

sejumlah provinsi seperti Bani Suez, Mansoura, Tanta, Alexandria, dan Port Said. Aksi ini membawa pesan penting yaitu tidak inginnya rakyat dengan kepemimpinan totaliter secara politik, rakyat yang berkumpul di lapangan Tahrer berhari-hari membuktikan bahwa Mesir sedang mengalami kebuntuan politik

yang luar biasa.8 Kesalahan lain Mubarak adalah terlena begitu lama dengan

kekuasaannya ditambah Mubarak ingin mewariskan kekuasaan pada putranya Gamal Mubarak, proses politik itu memperjelas ke arah pembentukan dinasti politik. Rakyat juga bosan dengan gayanya yang reaktif terhadap kritik yang

mudah menangkap para pengkritik.9

6

Kelompok Perwira bebas adalah kelompok yang secara politis dan rahasia terbentuk pada tahun 1939, kelompok ini beranggotakan Anwar Sadat, Abdel Munim, Abdul Rauf, Abdul Lathief El Baghdadi, Hussein, Hassan Izzat, Amned Ismail Ali. karena Anwar Sadat ditahan pada musim panas, pucuk kepemimpinan kelompok ini dipegang oleh Gamal Abdul Nasser pada awal tahun 1943 yang baru saja kembali dari Sudan. Pada awalnya kelompok ini bersepakat melakukan revolusi membebaskan Mesir di bawah jajahan Inggris. Selanjutnya kelompoknya ini terlibat dalam kudeta raja Farouq pada 23 Juli 1952,di bawah komando Jendral Naguib dan Kolonel Gamal Abdul Nasser.

7

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan (Jakarta: P2P-LIPI, 2001), h. 62-71.

8Zuhairi Misrawi, “Mesir di Persimpangan Jalan,”

Kompas, 11 Februari 2011, h. 6.

9“Mubarak Terlena Begitu Lama Peringatan Bagi Pemimpin Yang Lengah,”

Kompas, 7 Februari 2011, h. 1.


(16)

4

Gaya pemerintahan otoriter dipandang menjadi sebuah penurunan kualitas pemerintahan, bahkan penurunan ini juga dirasakan oleh kelompok yang notabenenya pro dengan peguasa otoriter itu sendiri. secara jelas Guillermo A. O'Donnell mengatakan:

”Tidak hanya pihak oposan, tetapi juga kebanyakan mereka yang

berada di dalam rezim menyimpulkan bahwa pengalaman pemerintahan otoriter adalah sebuah kegagalan total, bahkan pun jika diukur dengan standar yang ditetapkan oleh rezim yang bersangkutan. Pihak oposisi terdorong bertindak karena kegagalan yang sudah demikian jelasnya. Kelompok penguasa, termasuk angkatan bersenjata, semakin lama semakin tidak percaya pada kapasitas mereka sendiri. Mereka terpecah secara parah akibat tuduhan-tuduhan mengenai siapa pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kegagalan yang diderita rezim tersebut.”10

Mubarak akhirnya mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, setelah gelombang protes kurang lebih selama 15 hari yang diwarnai kekerasan berdarah. Pemerintahan transisi diserahkan pada militer di bawah Jendral Hussein Tantawi, Mahkamah Agung Mesir kemudian memerintahkan Perdana Menteri Ahmad Syafiq untuk menjalankan pemerintahan selama enam bulan sampai akhir pemilu

parlemen dan presiden.11 Militer yang memegang kendali pada transisi kekuasaan

di bawah Husssein Tantawi dituntut rakyat sebagai kelompok pengawal demokrasi untuk segera menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu). Rakyat menuntut Pemilu disegerakan, agar militer sebagai penguasa transisi tidak bertindak di luar batas. Berdasarkan tuntutan-tuntutan itu, pemerintahan transisi segera menyelenggarakan Pemilihan Umum Parlemen pada 2011. Terdapat hasil

10

Guillermo A. O'Donnell, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1993), h. 28.

11

Muhammad Ikbal dan Nuran Soyomukti, Ben Ali, Mubarak, Khadafy: Pergolakan Politik jaziah Arab Abad 21 (Bandung: MEDIUM, 2011), h. 84-87.


(17)

5

yang sangat berbeda pada Pemilu parlemen karena Partai Demokratik Nasional

(NDP)12, yaitu partai alat Mubarak tidak lagi mendominasi dan ini menjadi

pertanda bahwa adanya pembaharuan konstelasi politik di Mesir. kemudian

pemilu presiden dlaksanakan, Pemilu paling demokratis sejak tahun 1984.13

Pemilu presiden dilaksanakan dua kali pada tanggal 23-24 Mei dan 16-17 Juni, ini dilakukan karena tidak satupun dari 13 kandidat yang mendapatkan suara mayoritas pada putaran pertama. Hasil pemilu ini dimenangkan oleh Muhammad Mursi kandidat dari Partai Kemerdekaan dan Keadilan (FJP) sayap politik Ikhwanul Muslimin, dengan perolehan 51,73% suara. Sedang Ahmad Syafiq yang

berasal dari mantan Perdana Menteri rezim Mubarak mendapat 48,27% suara.14

Terlihat militer tetap ingin mengambil andil tampuk kekuasaan Mesir, dengan Syafiq yang mengikuti kontestasi pemilu presiden. Perlu diketahui Syafiq adalah Marsekal Angkatan Udara Mesir dan Mantan Perdana Menteri Mesir, dianggap

loyalis dan representasi dari rezim Mubarak.15

12

NDP (Partai Demokat Nasional) adalah partai yang dibentuk dan diketuai oleh Mubarak. Partai ini dibentuk guna mempertahankan dominasinya dalam Dewan Nasional (parlemen), terbukti sejak pemilihan umum tahun 1984 hingga akhir pemerintahannya yang ditumbangkan revolusi rakyat. Sejak kudeta tahun 1952, konstitusi Mesir memberikan kesempatan kepada presiden untuk dipilih kembali melalui referendum. Dalam referendum itu parlemen hanya mengajukan satu calon presiden. Prosedur ini dikontrol oleh partai yang berkuasa pada masa itu, dan merupakan bentuk negara otoritarian yang dikuasai oleh satu partai politik. Partai politik yang berkuasa sejak tahun 1952 memiliki berbagai nama, namun kenyataannya hanya satu, atau partai lain mewarisi kekuasaan monolit dan tabiat partai sebelumnya. Sebelum muncul NDP (Partai Demokratik Nasioal) partainya Mubarak yang dibuat pada 1976 sudah ada beberapa partai yang sifatnya mendominasi. Dalam pemilu parlemen yang diselenggarakan antara 1976 dan 2005, NDP terus mempertahankan suara mayoritas di parlemen. Selama itu NDP tetap mempertahankan kandidat tunggalnya sebagai presiden yaitu Husni Mubarak.

13

Zuhairi Misrawi, “Mesir dan Demokrasi Kaum Islamis,” Kompas, 8 Februari 2011, h. 7.

14“Mohammed Mursi dari Ikhwanul Muslimin menang dalam pilpres Mesir,”

BBC Indonesia, 24 Juni 2012. Artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari

http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/06/120624_Mesir_pilpres.shtml 15“Egyptian Elections: Preliminary Results,”

Jadaliyya Egypt Updates. Dalam Wikipedia

The free Encyclopedia, artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari

http://www.jadaliyya.com/pages/index/3331/egyptian-elections_preliminary-results_updated- dan


(18)

6

Setelah Mursi menang dan menjadi presiden pertama Mesir yang terpilih secara demokatis, massa terjun ke alun-alun Tahreer unjuk rasa menuntut Mursi turun. Massa mengatakan parlemen yang baru terbentuk terlalu didominasi Islam (Ikhwanul Muslimin), rakyat menginginkan pemerintahan yang proporsional. Dari hasil pemilu parlemen, Kelompok Ikhwanul Muslimin mengambil dua per tiga kursi di parlemen, hasil akhir menunjukkan bahwa Ikhwanul Muslimin dan Partai

Keadilan (FJP) memenangkan 235 kursi, atau 47,18 persen.16

Massa juga mengatakan kalau Mursi akan membawa Mesir menjadi negara Islam, ini bertolak belakang dengan Mesir yang bercorak sekuler. Di lain sisi, massa berteriak setelah Mursi mengeluarkan dekritnya pada Kamis 22 November 2012. Dekrit itu menyatakan bahwa Mursi mempunyai otoritas tertinggi, final, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Para demonstran anti pemerintah yang menentang dekrit adalah kelompok Islam moderat, kubu liberal, sayap golongan kiri, Kristen Koptik, gerakan pemuda Tamarod, juga

koalisi oposisi dalam Front Penyelamat Nasioal (National Salvation Front / NSF)

yang dipimpin oleh Mohamed El Baradei. Semua kelompok tersebut adalah kelompok yang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri di Mesir, namun dengan

keluarnya dekrit Mursi membuat mereka mempunyai common enemy yaitu Mursi,

Ikhwanul Muslimin, dan kelompok pendukung Mursi.17 Mursi sendiri berdalih,

kalau dekrit yang dikeluarkannya untuk melindungi revolusi, kehidupan bangsa, keamanan, persatuan, dan kesatuan nasional. Mursi berjanji akan melepaskan

16“Ikhwanul Muslimin Dominasi Parlemen Baru Mesir,”

Republika Online, 24 Juni 2012. Artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/12/01/23/ly890c-ikhwanul-muslimin-dominasi-parlemen-baru-Mesir

17Ali Munhanif, “Berakhirnya Revolusi Tanpa Ideologi,”

GATRA 4 September 2013, h. 87.


(19)

7

segala kekuasaannya itu, ketika undang-undang baru sudah disusun dan disahkan. Namun yang terjadi justru Mursi dituding menumpuk kekuasaan, ingin menjadi

diktator baru yang sama seperti Mubarak hanya dengan cara dan wajah berbeda.18

Pergantian kekuasaan di Mesir memperlihatkan situasi politik Mesir tidak terlepas dari gerak militer yang selalu membayangi kekuasaan, proses transisi demokratisasi di Mesir tidak berjalan baik dan berumur pendek. Secara jelas Guillermo A. O'Donnell mengatakan:

“..transisi-transisi dari beberapa rezim otoriter tertentu menuju

„sesuatu yang lain‟, yang tidak pasti. “sesuatu” yang bisa jadi pemulihan suatu demokrasi politik, atau restorasi bentuk baru yang mungkin lebih buruk. Hasilnya mungkin hanya kekisruhan, yakni penggiliran kekuasaan di antara serangkaian pemerintahan yang gagal menyodorkan alternatif pemecahan yang dapat bertahan atau dapat diramalkan bagi masalah pelembagaan kekuatan politik. Transisi juga dapat berkembang menjadi konfrontasi sengit dan meluas, yang membuka jalan bagi rezim-rezim revolusioner yang ingin memperkenalkan perubahan drastis dari kenyataan

politik yang ada.”19

Transisi menjadi begitu rentan terhadap perubahan-perubahan politik yang diakibatkan dari banyaknya kekuatan politik yang ingin menyelesaikan transisi itu sendiri, atau dengan kata lain ingin mengisi kekosongan pemerintahan tersebut. Pada awal kepemimpinannya Mursi mencopot Jendral Hussein Tantawi dengan alasan ingin melepas semua hal yang berbau rezim Mubarak, kemudian Mursi

mengangkat Abdul Fattah Al Sisi sebagai Kepala Angkatan Bersenjata.20 Pada

perjalanannya Sisi juga lah yang mengkudeta Mursi dengan mengumumkan ultimatum 48 jam bagi Mursi untuk mundur, menahan Mursi pasca kudeta, dan

18

Trias Kuncahyono, Tahrir Square Jantung Revolusi Mesir (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2013), h. 23-228.

19Guillermo A. O‟Donnell

, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, h. 1.

20


(20)

8

menangkapi serta menembaki anggota Ikhwanul Muslimin yang dianggap pendukung militan Mursi. Pada Rabu 3 Juli 2013, Mursi resmi digulingkan oleh militer Mesir. Sebelum kudeta, pihak militer mengultimatum Mursi untuk berkompromi agar kondisi Mesir yang sedang bergejolak bisa dipadamkan dalam waktu selambat-lambatnya 48 jam sejak Senin 1Juli 2013. Bila itu tidak berhasil dilakukan, militer mengancam akan mengambil “langkah sendiri” dengan dalih

menyelamatkan negara.21 Soal transisi Guillermo A. O'Donnell mengatakan

secara jelas:

“Militer mungkin mendukung transisi lebih karena mereka

meyakini hal ini baik bagi angkatan bersenjata, bukan karena antusiasme terhadap demokrasi. Hal ini membuat perencanaan kudeta berisiko tinggi dan rawan akan kegagalan, terutama jika kita mempertimbangkan banyaknya perwira mliter yang bersikap oportunis pada pilihan-pilihan politiknya. Kalangan oportunis ini pada dasarnya berharap untuk berada pada pihak pemenang, dan jika mereka ragu terhadap pertarungan itu, mereka tampaknya akan memilih untuk mendukung situasi yang ada

daripada daripada alternatif-alternatif yang sifatnya memberontak.”22

Militer menyelaraskan sejauhmana kepentingan pribadi mereka sejalan dengan berbagai faktor pendukung lainnya, yang kemudian bisa dipakai untuk menjalankan kudeta tanpa harus terlihat kalau kudeta ini murni berdasarkan kepentingan sendiri. Militer akan sigap mengkudeta ketika rakyat meneriakkan keburukan pemerintah, selain mosi tidak percaya rakyat dan segala kekacauan yang terjadi selama protes, akan dijadikan faktor pendukung yang membuat kepentingan militer merebut kekuasaan tidak kentara. Seolah-olah militer bersama

21Muhammad Ibrahim Ramdani, “Krisis Politik di Mesir,”artikel diakses pada 1

September 2013 dari http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,pdf-ids,50-id,46756-lang,id-c,esai-t,Obama+Bukan+Juru+Damai+Sejati+Konflik+Arab+Israel-.phpx;

22

Guillermo A. O‟Donnell, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, h. 37.


(21)

9

dengan kelompok orang-orang yang merasa dirugikan pemerintah, padahal militer hanya memakai tuntutan kelompok itu agar tindakan kudeta mereka dianggap

keniscayaan dan pro terhadap rakyat.23

Beberapa alasan mengapa Mursi dengan cepat kehilangan dukungan di dalam negeri dan selanjutnya dikudeta militer, diantaranya adalah: Petama, karena dominasi kaum Ikhwanul Muslimin. Meningkatnya rasa ketidaksukaan rakyat pada Ikhwanul Muslimin, yaitu partai pemenang Pemilu Mesir yang juga partai asal Mursi. Mursi dianggap terlalu banyak memberikan posisi penting pada Ikhwanul Muslimin. Terakhir, dia menunjuk tujuh gubernur baru yang semuanya berlatar belakang Ikhwanul Muslimin. Namun pendukung Mursi membantah hal ini, Mursi beralasan sudah menawarkan kursi penting di pemerintahan pada kubu oposisi namun semua ditolak. Begitupun para wakil dari kaum sekular, liberal,

dan Kristen Koptik yang mengundurkan diri dari majelis.24

Kedua, karena memburuknya ekonomi. Kondisi perekonomian Mesir kian memburuk setelah setahun Mursi memerintah. Mulai dari investasi yang jarang datang, harga pangan meroket, serta seringya mati listrik karena kurangnya bahan bakar. Menyebabkan kesejahteraan Mesir semakin memburuk. Di sisi lain sebenarnya sudah diusahakan pinjaman lunak dari IMF sebnyak US$ 4,8 miliar. Namun andai itu disetujui malah membuat Mesir semakin sulit, ini mengharuskan pemerintah Mesir memotong subsidi di berbagai sektor.

Ketiga, karena pelanggaran demokrasi dan HAM. Mursi dinilai gagal memelihara kesetabilan pada setahun kepemimpinannya. Baik dalam pelanggaran

23

Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 92.

24


(22)

10

Hak Asasi Manusia, demokrasi dan toleransi beragama. Belum lagi Mursi dinilai gagal melakukan reformasi sektor keamanan terutama di kepolisian, militer dan dinas intelijen Mesir. Ketika polisi Mesir terlibat pembantaian di Port Said, Januari 2013 lalu dan 30 orang meninggal, Mursi dinilai tidak berusaha menindak pelakunya dengan tegas. Serangan terhadap gereja Kristen Koptik dan kaum

minoritas pun meningkat.25

Keempat, karena Dekrit Presiden 22 November 2012. Keputusan Mursi menerbitkan dekrit presiden ini pada 22 November 2012 lalu, dinilai sebagai kesalahan fatal. Dalam dekrit ini, Mursi memecat jaksa agung, membuat semua

keputusan presiden kebal dari gugatan hukum (judicial review), dan menegaskan

keabsahan parlemen Mesir, keabsahan parlemen sebelumnya sempat digugat beberapa pihak termasuk pihak militer.Sebulan setelah dekrit itu diterbitkan, pemerintahan Mursi menggelar referendum untuk mengesahkan konstitusi baru Mesir. Tindakan ini pun dikritik karena dinilai sepihak dan terburu-buru. Konstitusi itu dinilai hanya mencerminkan kepentingan kelompok Mursi dan tidak

dibuat dengan mempertimbangkan elemen politik lain di Mesir.26

25

Komite Nasional Untuk Kemanusiaan Dan Demokrasi Mesir (KNKMD), Buku Putih Tragedi Kemanusiaan Pasca Kudeta Mesir di Mesir (Jakarta: KNKMD, 2014), h. 181.

26The Guardian, “Empat Alasan Presiden Mesir Digulingkan,” artikel diakses pada 14

November 2013 dari http://www.tempo.co/read/news/2013/07/04/115493383/Empat-Alasan-Presiden-Mesir-Digulingkan


(23)

11

B. Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini ingin meneliti kejatuhan Presiden Mursi yang dilakukan pihak militer pada tanggal 3 Juli 2013. Peneliti membatasi pada alasan-alasan dan proses militer mengkudeta Presiden Mursi yang telah terpilih secara demokratis lewat pemilu 24 Juni 2012.

Dari ulasan dan pembatasan masalah di atas, peneliti mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1) Apa faktor-faktor yang membuat militer mengkudeta Mursi?

2) Bagaimana proses militer dalam mengkudeta Mursi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Melihat realita yang terjadi di Mesir, dengan mengetahui penyebab-penyebab terjadinya penggulingan oleh pihak militer. Penelitian ini sangat

bermanfaat untuk menganalisis kasus kudeta militer. Apalagi pada masa isu Arab

Spring yang marak dengan susulan-susulan protes, penggulingan rezim, serta revolusi yang sebenarnya didalangi militer.

Jadi, dalam penelitian ini bertujuan untuk:

1) Mengetahui faktor-faktor penyebab militer melakukan kudeta

terhadap Presiden Mursi yang telah dipilih secara demokratis.

2) Mengetahui langkah-langkah yang diambil militer dalam proses


(24)

12

Sedangkan manfaat dalam penelitian ini adalah adalah:

1. Mengetahui soal penyebab dan bagaimana langkah militer

mengkudeta Presiden Mursi. Serta mengidentifikasi tentara militer Mesir yang mengalami kemunduran ke arah tentara pretorian.

2. Sebagai sarana untuk menambah literatur ilmu politik dalam kajian

politik Timur Tengah, khususnya terhadap hubungan militer dan pemerintahan sipil dalam suatu negara.

3. Sebagai tambahan informasi ataupun literatur dalam penelitian

serupa bagi insan akademis khususnya di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan umumnya bagi masyarakat luas.

D. Tinjauan Pustaka (Literatur Review)

Telah banyak studi yang memfokuskan diri pada penilitian Timur tengah, di antara banyaknya buku dan jurnal yang telah ditemukan. Ada beberapa buku penelitian yang sangat berkesinambungan dalam kasus ini. Di antaranya yang pertama adalah,Skripsi Penelitian Andi Anggana mahasiswa UIN Syarif

Hidayatullah, tentang Proses Demokratisasi di Mesir: Studi Kasus Penggulingan

Hosni Mubarak pada tahun 2011 lalu. Dalam skripsi ini menjelaskan proses demokratisasi dan runtuhnya rezim Mubarak, pembahasan mengenai faktor-faktor internal dan eksternal yang mengakibatkan runtuhnya rezim. Dalam skripsi ini lebih mengedepankan pedekatan-pendekatan demokrasi untuk melihat secara luas kejatuhan Husni Mubarak. Skripsi ini banyak mejelaskan polemik politik yang


(25)

13

terjadi di Mesir sebelum terjadinya kudeta Presiden Mursi setelah terpilih lewat pemilu. Sehingga penelitian yang kini peneliti buat adalah kesinambungan dari rangkaian kejadian politik di Mesir dan lebih menyoroti soal hubungan militer dan pemerintahan sipil.

Kemudian, buku Pertarungan dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir,

Turki, dan Israel yang ditulis oleh Hamdan Basyar, pada bahasan khusus Negara Mesir buku ini menjelaskan efek domino dari Musim Semi Arab dan polemik politik di Mesir. Dalam buku ini banyak menjelaskan bagaimana militer dan golongan oposisi di Mesir terhadap Mursi betarung lewat kebijakan-kebijakan dalam parlemen. Memberikan penjelasan pada peneliti langkah-langkah yang diambil oleh militer lewat jalur pertarungan konstitusi. Sedangkan tulisan peneliti lebih melihat kepada langkah yang selanjutnya militer ambil setelah mendapatkan kekuatannya melalui perdebatan konstitusi.

Serta, pada buku Tahrir Square Jantung Revolusi Mesir yang ditulis oleh

Trias Kuncahyono. Buku ini membahas tentang keadaan Negara Mesir pada saat tergulingnya Mubarak sampai terjadinya kudeta Presiden Mursi, memberikan gambaran keadaan kota Mesir pada saat berkecamuknya konflik. Dalam buku-buku tersebut memberikan peniliti informasi yang banyak tentang keadaan sosial politik di Mesir, membantu peneliti dalam penulisan skripsi yang berjudul Militer dan Politik: Studi Kasus Kudeta Militer Pada Presiden Mohammad Mursi di Mesir Tahun 2013. Dalam penelitian ini sama sekali berbeda dengan literatur yang sudah disebutkan, dan penelitian ini sifatnya berkelanjutan dari hal-hal yang sudah dijelaskan di atas.


(26)

14

E. Metodelogi Penelitian 1. Metodelogi Penelitian

Peneliti ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Secara umum jenis ini bisa menghasilkan temuan-temuan yang tidak dapat dihasilkan oleh penelitian statistika. Penelitian ini memberikan pengetahuan mengenai sejarah, kondisi sosial poliik, aktivitas sosial, dan lainnya. Jenis penelitian ini berguna melihat sedetail mungkin mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi kudeta Presiden Mursi di Mesir, dan melihat langkah-langkah militer dalam kudeta.

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada lembaga-lembaga penelitian yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Muslim and Moderate Society, dan Kedutaan Besar Mesir untuk Indonesia. Di antara lembaga tersebut adalah lembaga yang berkonsentrasi pada isu-isu politik Timur Tengah dan mendukung dalam memahami penelitian ini. Sedangkan waktu penelitian dilakukan secara bertahap sampai penelitian selesai.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara

Wawancara adalah pertemuan antara peneliti dan responden, di mana pengumpulan data dilakukan dengan mengajukan pertanyaan langsung oleh pewawancara kepada responden, Lalu mencatat atau merekan jawaban-jawaban


(27)

15

responden.27 Peneliti melakukanwawancara dengan Pengamat Politik Timur

Tengah Hamdan Basyar, Zuhairi Misrawi, dan Trias Kuncahyono.

b. Dokumentasi

Pengumpulan data melalui dokumentasi dilakukan untuk memperoleh data sekunder, lalu melalui literatur dengan tujuan memeroleh bahan-bahan yang memberikan penjelasan dari bahan primer ataupun hasil penelitian seperti, jurnal,

karya tulis, dan sebagainya.28

4. Analisis Data Penelitian

Analisis data penelitian untuk mengelola data yang sudah dikumpulkan, menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu metode yang menggambarkan hal-hal yang menjadi objek penelitianyang diharapkan mampu menjawab berbagai

permasalahan tersebut.29

F. Sistematika Penelitian

Untuk menjelaskan penelitian ini secara lengkap, peneliti memberikan sistematika penelitian. Sistematika penelitian ini terangkum dalam beberapa bab, disertai beberapa sub-bab yang terangkum secara garis besar.Adapun deskripsi dari sistematika penelitian ini dilampirkan sebagai berikut:

27

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 67.

28

Pupuh Fathurrahman, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 146.

29

Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif


(28)

16

 BAB 1 : Pendahuluan meliputi: Pernyataan Masalah,

Pertanyaan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian, danSistematika Penelitian.

 BAB II : Kerangka Teori bahasannya meliputi:

PenjelasanTeori Hubungan Sipil Militer dalam Perspektif Modern, Kontrol Sipil Atas Militer dan Intervensi Militer, Konsep dan Sebab-Sebab Terjadinya Kudeta, Penjelasan Definisi Militer Jenis Pretorian Moderator, Jenis Pretorian Pengawal, dan Jenis Pretorian Penguasa.

 BAB III :Pada bab ini membahas seputar Dinamika

Kekuasaan dan Demokratisasi di Mesir, yang bahasannya meliputi Peran Militer dalam Peta Kekuasaan di Mesir, dan Perkembangan Demokratisasi dalam Transisi Demokrasi.

 BAB IV :Pada bab ini membahas tentang teknis bagaimana

militer mengkudeta Mursi yang bahasannya meliputi Krisis Pemerintahan Sipil, Politik Militer dan Oposisi, dan Militer Pasca Kejatuhan Mursi.

 BAB V : Pada bab ini berisi kesimpulan dan Saran untuk

menyimpulkan pembahasan, guna tercapainya kefahaman yang komprehensif.


(29)

17

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Hubungan Sipil Militer Dalam Perspektif Modern 1. Kontrol Sipil Atas Militer dan Intervensi Militer

Berbicara tentara yang ikut campur dalam politik sama dengan mengamati hubungan antara sipil dan militer, hubungan sipil militer merupakan kajian yang baru populer pada pertengahan abad 20 pasca Perang Dunia II. Barulah setelah pasca perang itu para mahasiswa, sarjana sosial, dan ahli sejarah membahas hubungan sipil militer. Mereka menganalisis secara ilmiah tentang hubungan sipil militer menyangkut dua aspek, yaitu: kontrol sipil atas militer dan intervensi

militer pada domain polittik.1

Dalam pandangan Huntington, ia melihat bahwa ada dua bentuk hubungan

sipil militer. Pertama, kontrol sipil obyektif (Objective Civilian Control). Istilah

ini mengandung makna profesionalisme militer yang tinggi dan memiliki pengakuan dari pejabat militer terhadap batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka, subordinasi yang efektif dari militer pada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer, pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik atas kewenangan profesional dan

otonomi bagi militer, minimalisasi intervensi militer dalam politik dan negara.2

Kedua, kontrol sipil subyektif (Subjective Civilian Control), bentuk kontrol ini

1

Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. XLIII.

2

Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 4.


(30)

18

adalah memaksimalkan kekuasaan sipil. Model ini juga bisa diartikan sebagai upaya meminimalkan kekuasaan militer dan memaksimalkan kekuasaan

kelompok-kelompok sipil.3

Michael C. Desch dengan mengacu pada Huntington, menganalisis munculnya hubungan sipil militer dari persoalan internal maupun eksternal dalam suatu negara. Desch mencatat suatu negara yang menghadapi tantangan militer tradisional, yaitu ancaman dari luar, akan lebih memungkinkan memiliki hubungan sipil militer yang stabil. Ancaman lingkungan seperti itu memaksa institusi sipil lebih menyatu dan berkerjasama menangani masalah bersama-sama

dengan militer.4 Dalam tulisannya Desch menegaskan:

”Sebaliknya, jika negara menghadapi ancaman internal yang

signifikan, institusi dan otoritas sipil mungkin akan sangat lemah dan terpecah belah, yang menyulut mereka untuk mengontrol militer. Situasi seperti ini akan membuat hubungan sipil militer terganggu atau tidak sehat.”5

Sedangkan dalam penjelasan intervensi militer, secara sederhana diartikan ketika tentara atau militer masuk, berpartisipasi, mempengaruhi kebijakan poltik (baik secara langsung atau tidak). Amos Perlmutter melihat ada dua kondisi yang memberi kesempatan bagi militer untuk melakukan intervensi, yaitu: kondisi sosial dan politik suatu negara itu sendiri. Pertama, kondisi sosial. Dalam suatu negara yang kondisi sosialnya lemah, maka kepentingan kelompok akan tersebar dalam frekuensi yang tinggi. Kalau struktur negara lemah maka institusi-institusi

3

Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi, h. 7.

4

A. Malik Haramain, Gus Dur, militer, dan Politik (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 330-331.

5


(31)

19

politik tidak berfungsi efektif. Dengan demikian kontrol sosial menjadi tidak efektif. Sebab saluran-saluran komunikasi terhambat, kemudian membuat militer berkesempatan untuk melakukan intervensinya. Kedua, kondisi politik. Intervensi militer muncul dari persoalan-persoalan sipil. Sering sekali pemerintah sipil sengaja kembali, atau merapat kepada militer untuk mencari dukungan. Ketika struktur politik sipil terfragmentasi dalam faksi-faksi politik dan ketika perangkat

konstitusi tidak berjalan.6

Bila Perlmuter lebih melihat faktor eksternal yang mempengaruhi hubungan sipil militer, S. F. Finner lebih melihat kepada faktor internalnya. Ia mengatakan:

“…lebih melihat internal militer sebagai faktor utama terjadinya intervensi. Faktor motivasi biasanya sangat berpengaruh besar apakah militer akan mengintervensi atau tidak. Faktor ini mencakup beberapa motivasi antara lain; motivasi sebagai tujuan akhir tentara, dorongan dari kepentingan nasional, kepentingan kelompok yang meliputi kepentingan kelas, kepentingan regional, kepentingan korps, dan kepentingan individu.”7

Dari dua pandangan itu, kita bisa melihat adanya dua jalan yang menyebabkan militer akhirnya melakukan intervensi terhadap pemerintahan sipil. Yaitu melihat dari faktor eksternal dan internal yang menjadi motivasi militer melakukan intervensi. Di lain sisi Finner juga mencatat berapa jalan yang memungkinan militer melakukan intervensi, yaitu:

6

Amos Perlmutter, Militer dan Politik, h. 144-145.

7

S. F Finer, The Man on Horseback, The Role of the Military in Politics (Colorado: Westview Press, 2002) h. 20-24.


(32)

20

a. Melalui saluran-saluran konstitusi normal (The normal constitusional

chanels).

b. Kolusi dan/atau persaingan dengan otoritas sipil (Collusion and/or

competition with the civilian authoritis).

c. Intimidasi terhadap otoritas sipil (The intimidation of the civilian

authoritis).

d. Mengancam dengan menolak bekerjasama dan/atau dengan kekerasan

terhadap otoritas sipil (Threaths of non-cooperation with, or violence

towards the civilian authoritis).

e. Gagalnya mempertahankan otoritas sipil terhadap kekerasan (Failure

to defend the civilian authoritis from violence).

f. Menggunakan kekerasan terhadap otoritas sipil (The exercise of

violence againts the civilian authorities).8

B. Konflik

1. Pengertian Konflik

Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang

8


(33)

21

selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial. Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan dan sebagainya. Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan yang terkecil hingga peperangan.

Istilah “konflik” secara etimolois berasal dari bahasa Latin “con” yang

berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan.9 Pada

umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional. Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau

dilangsungkan atau dieliminasi saingannya.10

Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan konflik sosial yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh dikehidupan. Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara

9

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 345.

10

Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998), h. 156.


(34)

22

melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.11

Dalam pengertian lain, konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang

saling menantang dengan ancaman kekerasan.12

Menurut lawang konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untk menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber2 kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif terbatas.13

Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik adalah percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau masyarakat dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara saling menantang dengan ancaman kekerasan. konflik sosial adalah salah satu bentuk interaksi sosial antara satu pihak dengan pihak lain didalam masyarakat yang ditandai dengan adanya sikap saling mengancam, menekan, hingga saling menghancurkan. Konflik sosial sesungguhnya merupakan suatu proses bertemunya dua pihak atau lebih yang mempunnyai kepentingan yang relative sama terhadap hal yang sifatnya terbatas. Dalam bentuknya yang ekstrem, konflik itu dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan

11

Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 99.

12

J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), h. 68.

13

Robert lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi (Jakarta:universitas terbuka 1994), h. 53.


(35)

23

eksistensi, akan tetapi juga bertujuan sampai ketaraf pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan atau saingannya.

2. Jenis Konflik

Dalam konflik ini terbagi dua jenis, diantaranya: (1) Konflik vertikal. Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang memiliki hierarki. (2) Konflik horizontal. Merupakan konflik yang terjadi antara

individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama.14

3. Resolusi Konflik

Dalam terjadinya konflik ada beberapa cara dalam menyelesaikan masalah diantaranya: (1) Konsiliasi, cara ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan. (2) Mediasi, cara ini dilakukan bila kedua belah pihak yang bersengketa bersama-sama sepakat untk memberikan nasihat-nasihatnya tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan. (3) Arbitrasi, cara ini melalui pengadilan dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih

tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi.15

14

Kusnadi, Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja (Malang : Taroda, 2002), h. 67.

15


(36)

24

C. Kudeta

1. Pengertian Kudeta

Secara sederhana, kudeta diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan militer untuk merebut kekuasaan, atau aksi politik untuk menggantikan (mendominasi) suatu kelompok atau rezim yang menjadi saingannya dengan

rezim sendiri.16 Dalam melakukan kudeta, banyak faktor-faktor yang

melatarbelakangi para perwira militer. Namun segala faktor itu tergantung pada kondisi sosial politik yang ada pada masing-masing negara. Yang paling sering menjadi motif militer melakukan kudeta adalah kesalahan-kesalahan yang dilakukan pemerintah sipil yang mengakibatkan menurunnya keabsahan pemerintahan sipil, baik karena pemerintahan sipil yang dianggap tidak bisa mengolah negara dengan baik atau juga karena kesengajaan militer ingin merebut

kekuasaan demi kepentingan politiknya.17

Banyak sebutan, konsep, juga definisi yang dipakai dalam hal perebutan kekuasaan. Demi tercapainya penjelasan yang tepat untuk mendeskripsikan gejolak perebutan kekuasaan itu sendiri. Secara teknis Edward Luttwak membagi beberapa penjelasan terkait hal perebutan kekuasaan dalam suatu negara atau

pemerintahan. Pronounciamiento, ini sebetulnya adalah kudeta versi klasik di

Spanyol abad sembilan belas. Dalam versi ini muncul istilah yang namanya trabajos (kerja) sebelum adanya pronounciamiento itu sendiri, trabajos adalah fase di mana semua opini-opini perwira terkait pemerintahan dijajaki satu persatu,

16

Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 150.

17


(37)

25

kemudian timbul yang namanya copromisos yang maksudnya adalah langkah

pembuatan komitmen serta perhitungan imbalan-imbalan, dan resiko dalam

melakukan tindakan perebutan kekuasaan. Pronounciamiento ini dilaksanakan

oleh seluruh korps perwira dan dipimpin oleh pimpinan angkatan darat.

Selain pronounciamiento, ada yang namanya Putsch, sebenarnya putsch

tidak berbeda secara signifikan dengan pronounciamiento. Kalau

pronounciamiento direncanakan dan dilakukan oleh seluruh perwira angkatan

darat, sedangkan putsch dilakukan salah satu faksi dalam angkatan darat, atau

sipil yang memberontak namun menggunakan kekuatan unit angkaan darat. Sedangkan kudeta adalah, termasuk campuran dari beberapa pejelasan di atas. Kudeta tidak harus berjalan dibantu oleh kekuatan massa, namun tidak menutup kemungkinan karena dengan bantuan massa dapat mempermudah efektifitas kudeta. Kudeta juga merupakan infiltrasi ke dalam suatu segmen dari segala kekuatan negara yang kecil namun menentukan, yang kemudian digunakan untuk

mengambil alih pemerintahan.18

Secara garis besar, ada pra kondisi untuk terjadinya kudeta. pertama, sindrom negara transisi. Di mana pola tradisional sudah rusak sementara pola baru belum terbentuk. Dalam masyarakat ini, kesatuan masyarakat belum ada, lembaga-lembaga negara dan kontrol sosial tidak bisa beroperasi secara efektif, saluran komunikasi sangat minim dan tidak ada lambang-lambang kesatuan masyarakat. Militer dianggap yang paling mampu mengatasi sindrom ini karena militer bisa memakai simbol-simbolnya untuk memerintah, dan mempersatukan

18

Edward Luttwak, Kudeta: Praktek Penggulingan Kekuasaan (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999), h. 20-22.


(38)

26

masyarakat dengan sifat netral yang dimilikinya, serta kesanggupannya menjalin komunikasi dengan rakyat bawah. Kedua, terjadinya jurang kelas sosial yang tajam akibat dari pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial yang sangat cepat sehingga melahirkan jurang antara kaya dengan miskin. Di mana secara kuantitatif kaum miskin jauh lebih banyak daripada kaum kaya. Ketiga, terjadinya aksi sosial berdasarkan kelompok-kelompok (baik yang sadar politik atau tidak) dan

mobilisasi sumber-sumber materil dalam negeri yang rendah.19 Masyarakat

terpecah belah dan hidup berdasarkan nilai-nilainya sendiri, program pemerintah

tidak mendapat dukungan, bahkan selalu dirong-rong sehingga selalu gagal,

sumber materil yang diperlukan pemerintah tidak ada. Para pengusaha berusaha tidak membayar pajak, kaum birokrat berusaha menerima suap dan petani hanya menimbun hasil pertaniannya.

2. Sebab-Sebab Terjadinya Kudeta

Dalam pembahasan ini, perlu dikatakan bahwa banyak faktor yang membuat militer melakukan kudeta, atau mengambil alih pemerintahan. Dari pertanyaan sederhana tentang kapan kah militer akan mengambil alih pemeritahan? Sederhananya adalah ketika terdapat kegagalan pemerintahan sipil dan pada saat yang bersamaan kehilangan keabsahannya. Militer seringkali menuduh pemerintah yang digulingkan gagal menjalankan tugasnya, melakukan tindakan yang tidak sah di luar kelembagaannya, tidak bertanggung jawab atas kemerosotan ekonomi, tidak mampu mengendalikan perasaan kecewa dan penentangan politik tanpa menimbulkan kekerasan dan kekacauan. Kegagalan itu

19


(39)

27

memperkuat rasa tidak hormat dan benci militer pada pemerintah, kegagalan ini biasanya akan menggambarkan kemerosotan citra pemerintah sipil di mata

masyarakat yang interest pada politik. Ditambah lagi dengan citra militer sebagai

golongan nasionalis utama, militer mengidentifikasi diri dengan negara, dan negara sendiri adalah militer. Jadi, yang dianggap baik oleh militer juga baik untuk negara, dan mencitrakan kudeta sebagai kepentingan menjaga konstitusi

negara.20

Penggambaran motif dan faktor-faktor penyebab terjadinya kudeta dapat dilihat sebagai berikut: (1) Adanya kepentingan politis dari korporat militer sendiri; (2) menurunnya keabsahan pemerintahan sipil yang disebabkan gagalnya mengendalikan kemerosotan kesejahteraan ekonomi (3); banyak timbulnya huru-hara kekerasan; (4) dan tindakan pemerintah sipil yang mengacu pada sentralisasi kekuasaan. Faktor-faktor tersebut menjadi motif pendorong para perwira untuk melakukan campur tangan, apalagi ketika para perwira memandang rendah para pemangku kekuasaan. ini lebih memudahkan militer memberi alasan dan menghalalkan tindakan kudeta pada kelompok sedang berkuasa yang mereka anggap lemah. Belum lagi kegagalan pemerintah yang keabsahannya menurun pada kalangan masyarakat yang sadar poitik. Selanjutnya akan dijelaskan motif dan fakor-faktor terkait timbulnya kudeta.

Pertama, dalam tubuh mliter sendiri. Tidak dipungkiri para perwira militer memperhatikan masa depan karir poilitik mereka, ini menjadi kepentingan pribadi para perwira militer. Keinginan mereka untuk mendapatkan promosi, cita-cita

20


(40)

28

politik, dan ketakutan dipecat juga menjadi faktor penting dalan kudeta. Namun seringkali faktor ini terlihat tidak secara kasat mata, karena sebelumnya militer coba menyelaraskan sejauh mana kepentingan pribadi mereka sejalan dengan berbagai faktor pendukung lainnya, yang kemudian bisa dipakai untuk menjalankan kudeta tanpa harus terlihat kalau kudeta ini murni berdasarkan

kepentingan sendiri. 21 Militer akan sigap mengkudeta ketika rakyat meneriakkan

keburukan pemerintah, selain mosi tidak percaya rakyat dan segala kekacauan yang terjadi selama protes, akan dijadikan faktor pendukung yang membuat kepentingan pribadi militer merebut kekuasaan tidak kentara. Seolah-olah militer bersama dengan kelompok orang-orang yang merasa dirugikan pemerintah, padahal militer hanya memakai tuntutan kelompok itu agar tindakan kudeta mereka dianggap keniscayaan dan pro terhadap rakyat.

Kedua, dalam suatu pemerintahan yang keadaan ekonominya baik adalah suatu kritera prestasi yang sangat penting, tidak dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi yang baik itu dijunjung tinggi di seluruh dunia, dan pemerintah dianggap yang paling bertanggung jawab atas kemajuan ekonomi itu. Ini sangat berkaitan dengan motif militer yang nantinya akan mengkudeta pemerintahan, karena laju ekonomi yang rendah akan memicu timbulnya kegaduhan pada masyarakat yang berpengaruh pada negara secara langsung. Kemunduran ekonomi yang dikelola pemerintah semakin menambah perasaan tidak hormat militer terhadap pemerintah, memeperkuat anggapan para perwira profesional dapat berperan sebagai pembuat keputusan yang berhubungan dengan keputusan ekonomi guna

21


(41)

29

mempertahankan kepentingan masyarakat dan negara.22 Birokrasi militer yang

solid dan otonom, dapat menciptakan peraturan-peraturan yang penting guna memacu pembangunan ekonomi, namun di sisi lain militer harus menghadapi dan meyakinkan kelas-kelas sosial yang ada, agar langkah yang diambil militer ini dianggap sah dan baik bagi negara. Sebelum tampil, militer harus mencitrakan kehebatan dan kepedulian yang mencolok agar semakin terlihat meyakinkan, dengan sebelumnya menawarkan konsep-konsep yang baku atas jalan keluar

menuju kemajuan negara.23

Ketiga, pemerintah sebagai penguasa juga dipercaya sebagai pengelola keamanan yang baik. Bila banyaknya keresahan dan pertentangan politik tidak dapat diselesaikan secara baik, akan membuat prestasi pemerintah merosot dan dinilai tidak mementingkan rakyat sehigga menimbulkan huru-hara kekerasan di

kalangan masyarakat yang tidak merasa puas.24 Pemerintah juga dinilai tidak

berupaya menjalankan tujuan yang mendasar, yaitu menjaga ketertiban serta melindungi negara, dengan tidak dapatnya mengatasi kekacauan dan menghentikan pemogokan-pemogokan atas huru-hara tersebut. Pada saat pergolakan dan huru-hara terjadi, militer mulai menyadari kalau pemerintah sangat bergantung pada militer, tanpa dukungan dan ikut campur militer negara

akan rubuh.25 Pada akhirnya, keadaan yang bergejolak itu mengurangi keabsahan

pemerintah. Kemudian banyak orang yang terlibat dalam kancah politik

22

Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 29-130.

23

Louis Irving Horowitz, Revolusi, Militerisasi, dan Konsolidasi Pembangunan (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), h. 223.

24

Alfred Stephan, Militer dan Demokratisasi, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1988), h. 128-131.

25


(42)

30

melancarkan aksi-aksi ujuk rasa, menunjukkan suatu penentangan yang kuat pada pemerintah, pemerintah dianggap tidak lagi mempunyai hak moral untuk memerintah. Lalu semakin memperkuat dorongan miiter melakukan kudeta.

Keempat, militer juga menuduh pemimpin sipil melakukan berbagai tindakan inkonstitusional, termasuk melaksanakan undang-undang secara sewenang-wenang, perluasan kekuasaan mereka ke dalam bidang yang dilarang oleh konstitusi dan mempertahankan jabatan melampaui batas yang ditentukan oleh peraturan. Militer berdalih pada kudeta yang mereka lakukan bertujuan menghidupkan kembali kegiatan politik yang sehat, memberangus korupsi, dan meningkatkan kejujuran yang tinggi pada masyarakat. Penyelewengan yang dilakukan oleh pihak sipil memudahkan para perwira untuk mengambil tindakan yang inkonstitusional, militer beranggapan pemerintah sipil telah menunjukan sikap tidak hormat pada konstitusi, ini juga berakibat pada keabsahan pemerintah

sipil yang akan menurun.26

Dalam situasi seperti ini, pemerintah berada di sepanjang antara keabsahan dan ketidakabsahan. Sebagian rakyat percaya bahwa pemerintah mempunyai hak moral untuk memerintah, dengan begitu rakyat akan mematuhinya. Namun bila sebagian besar masyarakat merasa pemerintah tidak memerintah sesuai dengan peraturan yang ada, dan tidak membuat rakyat sejahtera, sudah dipastikan pemerintah tidak layak menerima kesetiaan mereka. Senada dengan yang dikatakan Samuel Huntington bahwa:

26


(43)

31

“romantisnya hubungan sipil-militer sebagaian besar tergantung

dari tindakan pemimpin sipil dalam mengelola pemerintahan. Romantisme itu akan hilang ketika pemerintah sipil tidak mampu meningkatkan perkembangan ekonomi, memelihara ketertiban umum, dan hukum. Dalam situasi seperti itu, politisi mungkin tergoda untuk menggunakan militer dalam setiap permasalahan yang terjadi, dan mungkin lebih jauh lagi demi memperoleh ambisi politik mereka. atau malah mliter sendiri yang sedari awal aktif berniat untuk memperoleh kekuasaan dengan memanfaatkan

momentum tersebut.”27

Apalagi ketika pemerintah memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan umum, lalu terindikasi terdapat kesewenangan dalam memerintah, dan menghalangi kelompok lain dalam pemerintahan untuk memperoleh

fungsinya sebagai penguasa politik.28

D. Tentara Pretorian

Dalam kudeta dan perebutan kekuasan, militer memiliki peran yang besar. Bahkan kudeta telah diidentikan oleh kekuatan militer dalam pengambilalihan kekuasaan. Pretorianisme mengacu pada situasi di mana tentara tampil sebagai aktor politik utama dan dominan yang secara langsung menggunakan kekerasan atau mengancam untuk merebut suatu kekuasaan. Istilah ini diambil dari campur tangan militer pada Kerajaan Roma, pada awalnya kerajaan ini dibentuk sebagai kesatuan unit khusus yang bertugas melindungi maharaja. Namun akhirnya dengan kekuatan militer yang mereka punya, menumbangkan raja dan menguasai pemerintahan juga pemilihan umum. Angkatan bersenjata dalam semua negara

27

Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi, h. xv.

28


(44)

32

mempunyai pengaruh yang sangat besar, termasuk pengaruh politik. Selain sebagai lambang kekuatan negara, ia juga merupakan alat penahan utama dari serangan luar maupun dalam.

Soal militer, Samuel Huntington berpandangan dalam kerangka hubungan sipil militer menjadi dua yaitu, tentara pretorian dan tentara profesional. Tentara

pretorian atau tentara jenis penakluk (warior) dalam hal ini mewakili kelompok

militer yang berkuasa, menjalankan pemerintahan, dan menentukan keputusan-keputusan politik. Paham ini tumbuh dan berkembang sebelum abad ke-19 ketika

profesi perwira sebagai pengelola kekerasan (manager of violence) masih

merupakan monopoli para kerabat istana. Munculnya revolusi Perancis 1789, menandai perubahan dari “tentara pencari keuntungan materi” menjadi “tentara

panggilan suci (abdi negara)”, inilah yang kemudian dikatakan Huntington

sebagai awal berkembangnya paham tentara profesional. Sebenarnya bukan hanya dinyatakan oleh Huntington, jauh sebelumnya seorang ilmuwan Perancis, de Tocqueville sudah berbicara tentang profesi dan kehormatan militer.

Huntington memberikan tiga ciri pokok tentang tumbuhnya

profesionalisme militer, yaitu : pertama, mensyaratkan keahlian, profesi militer menjadi spesifik serta memerlukan pengetahuan dan keterampilan. Kedua, militer memiliki tanggung jawab sosial khusus, artinya seorang perwira militer mempunyai tugas pokok kepada negara. Berbeda dengan sebelumnya, di mana seorang perwira seolah hanya menjadi milik pribadi komandan dan harus setia kepadanya sebagai suatu bentuk disiplin mati. Pada masa profesionalisme, seorang perwira berhak untuk mengoreksi atasannya, jika si atasan melakukan


(45)

33

hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan nasional. Ketiga, seorang militer

harus berkarakter korporasi (corporate character) yang pada kemudian

melahirkan rasa esprit de corps yang kuat.29

Ketika ketiga ciri militer profesional di atas terpenuhi, pada akhirnya

melahirkan apa yang disebut Huntington the military mind, yang menjadi dasar

hubungan militer dan negara. Ini membuat Negara Kebangsaan (nation state)

mejadi suatu bentuk tertinggi organisasi politik. Sehingga inti dari military mind

menjadi suatu ideologi yang berisi pengakuan militer pada supremasi pemerintahan sipil. Bagi perwira militer, tidak ada kemuliaan yang paling tinggi, kecuali kepatuhan kepada negarawan sipil. Jadi menurut Huntington, kaum militer yang melakukan intervensi politik pada hakikatnya menyalahi etika militer profesionalnya. Bahkan Huntington menganggap intervensi militer dalam politik

sebagai pembusukan politik (political decay) dan dianggap sebagai kemunduran

ke arah tentara pretorian.30 Tetapi dalam perspektif tentara pretorian, militer

seolah akan terlihat seperti kaum elite yang membawa pada modernisasi, kaum militer juga dinilai melihat jauh ke depan, punya keinginan kuat untuk kepentingan korporasinya, dan untuk mendorong modernisasi di negaranya.

Jadi, tentara akan menjadi tentara pretorian apabila mereka mengancam atau menggunakan kekuatan dan kekuasaan mereka untuk mendominasi politik lalu menguasai pemerintahan. Tentara pretorianisme modern yang campur tangan

29

Samuel P. Huntington, The Soldier and The State: The Theory and Politics Civil Military Relations (Cambridge: Harvard University Press, 1957), h. 7-18.

30

Samuel P. Huntington, Tertib Politik dalam Masyarakat yang Sedang Berubah


(46)

34

dalam pemerintahan akan mendominasi eksekutif sehingga terjadi pembusukan politik dan kekuasaan eksekutif menjadi tidak efektif.

Kemudian rezim pemerintahan akan menjadi rezim militer karena perwira militer sendiri yang merebut kekuasaan. Timbul pertanyaan, apakah rezim ini terus menjadi rezim militer pada duapuluh tahun kemudian dan seterusnya? Eric Nordlinger mengatakan,

“rezim militer adalah rezim di mana militer telah merebut

kekuasaan melalui kudeta, perwira atau mantan perwira militer menduduki jabatan tinggi pemerintahan. Mereka bergantung terutama pada perwira militer yang masih aktif untuk mempertahankan kekuaaan itu, walaupun pihak sipil juga diberi bagian untuk peran yang penting (namun biasanya

tidak penting).”31

Contohnya adalah Mesir, walaupun sudah dijabat oleh Nasser (lalu Sadat dan Mubarok pada berikutnya), tetapi strukturnya banyak diisi oleh orang-orang berlatar belakang militer. Nampaknya Eric melihat ini secara substnsial pada pemerintahan.

Tentara pretorian cenderung melakukan kudeta. Kudeta ini dilakukan bila militer merupakan kelompok yang paling solid, paling terorganisir secara politik dan tidak ada oposisi yang kuat. Kudeta dilaksanakan oleh aktivis politik dan kelompok politik dalam organisasi militer, perwira yang memiliki ambisi politik dan perwira yang tidak menganggap militer sebagai profesi seumur hidup. Korps Perwira dipolitisir oleh perwira lain yang secara politik atau ideologi terikat dengan politisi sipil atau sipil yang minta perlindungan tentara atau karena kejadian perjuangan anti kolonial, datangnya kemerdekaan atau kekacauan

31


(47)

35

ekonomi. Kudeta militer diorganisir oleh koalisi para aktivis politik dalam militer dan sekutu-sekutu mereka atau oleh persekongkolan para perwira yang mendapat dukungan politik dari luar militer. Keputusan kudeta tergantung dari kesiapan politik dan saat yang tepat. Adapun kudeta ini memperoleh legitimasinya dari sekutu-sekutu militer dan orang-orang yang sealiran dengan oposisi rezim lama serta dari orang-orang yang tidak senang terhadap rezim lama dan para oportunis.

Para perwira yang bersatu mempunyai kekuatan yang besar, dan berpotensi mempertahankan atau pun mengambil alih pemerintahan sipil. Biasanya, mereka menggunakan senjata pada perebutan kekuasaan (sebagian lainnya tidak musti menggunakan senjata). Pihak militer biasanya terang terangan menonjolkan diri mereka dan menuntut agar diberi ruang dalam politik, dia meminta arena politik diperluas. Secara tidak langsung ini adalah acaman militer kepada pemerintah sipil, militer mengatakan bila diberi hak-hak politik, maka kudeta akan terhindarkan, padahal ini adalah awal masuknya militer yang sedikit demi sedikit akan menguasai kekuasaan pmerintahan sipil itu.

Dalam kajian mengenai pretorianisme, yang menjadi acuan adalah prestasi pemerintahan sipil. Ini sangat penting, karena selalu menjadi penilaian sejauh mana pemerintahan sipil dapat mengelola negara seperti yang dikehendaki oleh rakyat, dan malah dikagumi oleh negara lain. Karena militer pretorian selalu menyepelekan kinerja pemerintahan sipil, dan berpidato akan memulihkan ekonomi dan memelihara keamanan negara pada saat pemeintahan sedang hiruk pikuk diterpa goncangan politik.


(48)

36

“Militer selalu ahli membandingkan dan menonjolkan kineranya

yang lebih baik, ketika kinerja pemerintah sipil melemah. Militer mempunyai landasan, apabila pemerintahan tidak lagi mampu mengelola ekonomi dengan baik, huru-hara kekerasan tejadi di mana-mana, pemerintah betindak tidak sah, militer lah yang seharusnya turun tangan

dan menjadi harapan.”32

Walau pada berikutnya, militer juga akan dinilai kinerjanya oleh rakyat apakah lebih baik atau buruk dari pemerintah sipil yang militer gulingkan. Terkadang rakyat agak sulit memberontak kekuatan persenjataan militer yang telah berkuasa, tidak semudah militer menjatuhkan pemerintahan sipil.

Seorang pretorian coba untuk menunjukkan kalau mereka adalah perwira yang bertanggung jawab dan berjiwa nasional. Seorang pretorian memiliki rasa nasionalisme yang kuat untuk mementingkan orang banyak, ini membuat pretorian tidak mempunyai pilihan lain untuk mempertahankan konstitusi dari pengaruh pemerintahan sipil yang tidak stabil. Pretorian akan segera menentukan apakah perlu adanya campurtangan ketka negara terancam. Dalam campurtangan, sebagian kudeta dianggap perlu dengan urgensi rusaknya prinsip konstitusi karena tindakan pemerintah yang korup, tindakan yang sewenang-wenang dan tidak sah. Pemerintah melakukan suatu yang bertentangan dengan kepentingan negara dengan membenarkan anasir subversif yang mengancam keamanan negara dengan memicu konflik kelas, golongan, dan suku. Yang pada akhirnya menyulut pada kekacauan politik, mengarah pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah, memperbesar pengannguran, dan meningkatkan inflasi, atau gagal menjalankan rancangan ke arah modernisasi dan perubahan sosial ekonomi.

32


(49)

37

Pada waktu yang sama, para pretorian dengan yakin akan memulihkan kembali situasi politik dan ekonomi dalam negeri. Mereka bersedia dan merasa mampu karena perwira militer mempunyai semangat nasionalisme yang tinggi, tidak mempunyai kelemahan seperti para politisi, serta mahir dalam bidang teknik

manajerial.33

“Yang menonjol dari pretorian adalah sebagai juru selamat, dan

berjanji akan memulihkan dan memperbaiki kegagalan pemerintah sipil.”34

Hampir semua pretorian menyatakan akan menyerahkan kembali pemerintahan kepada pihak sipil yang dipilih secara demokratis, dan para pretorian pun menerima prinsip penguasaan sipil. Tetapi terpaksa ikut campurtangan karena terdorong rasa tanggung jawab mereka pada konstitusi dan negara. Jadi, pemerintah sipil akan dipulihkan secepat mungkin, segera setelah dipulihkannya ekonomi dan politik dan mengadakan pemilu yang bebas dan teratur. Tentara yang menjadi pretorian dibedakan manjadi tiga macam, yaitu jenis (1). pretorian moderator, (2). pretorian pengawal, dan (3). pretorian penguasa.

1. Pretorian Jenis Moderator

Sebetulnya semua jenis tentara pretorian adalah tentara yang sama-sama menggunakan kekuasaannya untuk intervensi dan menggulingkan kekuasaan pemerintah. Perbedaannya adalah mereka mempunyai motif dan batas-batas dalam ikut campur yang berbeda. Berikut ini adalah penjelasannya agar lebih mudah memahami tentara pretorian dan jenis-jenisnya.

33

Louis Irving Horowitz, Revolusi, Militerisasi, dan Konsolidasi Pembangunan, h.221.

34


(50)

38

Pretorian moderator tidak menguasai pemerintahan secara menyeluruh, tetapi mengawasi pemerintahan sipil dengan tidak serta merta menerima supermasi penuh dari pihak sipil. Moderator pretorian bertindak sebagai kelompok yang berpengaruh dan terlibat dalam politik, kadangkala juga mengancam pemerintah untuk kudeta. Terkadang, mereka akan melakukan suatu kudeta pemerintah sipil dan menggantinya dengan pemerintahan sipil lain yang sejalan dan dapat diterima oleh militer. Apalagi ketika militer sudah menunjukan keinginan mereka, ini harus diserap oleh pemerintahan sipil guna menghindari kudeta dan mempertahankan kekuasaan masing-masing (militer dan pemerintah sipil sama-sama memiliki peran kuat dalam pemerintahan).

Tentara pretorian moderator ini coba menghindari diri untuk menguasai pemerintahan, dan jenis pretorian ini juga tidak terlalu menonjol dari jenis tentara lain. Mereka mempertahankan status quo, menjaga keseimbangan (atau ketidak seimbangan) kelompok yang sedang bersaing, dan menjaga stabilitas pemerintahan. Pretorian jenis ini lebih memusatkan perhatiannya pada konflik politik yang sedang terjadi. Pihak militer mengambil alih pemerintahan sementara guna mencegah berlangsungnya pemilhan umum, karena militer lebih suka langsung mengganti pemerintahan sipil dengan peemimpin sipil yang baru, karena sudah pasti lebih sejalan dan diterima oleh militer (militer sudah mempersiapkan pengganti sebelum kudeta pengganti dilakukan). Kudeta ini juga dilakukan seandainya kelompok yang baru aktif dalam politik mengangkat terlalu banyak wakil pemerintahan dari kelompoknya sendiri, karena itu kudeta pengganti


(51)

39

dilakukan untuk menentang hal semacam itu dan lebih memudahkan militer

mengangkat lebih banyak orang yang sesuai dengan kehendak miiter.35

Hematnya, tentara jenis pretorian ini bertindak sebagai golongan yang konservatf, sesuai dengan penjelasan mengapa mereka tidak menguasai pemerintahan secara keseluruhan. Di lain sisi, moderator pretorian beranggapan lebih mudah mengalihkan perubahan kekuasaan dengan menggunakan kuasa mutlak, tanpa menguasai pemerintahan sepenuhnya sendiri. Di sini militer moderator bertindak sebagai penekan, namun secara tidak langung mengarahkan pemerintah sipil atas dasar kemauannya, namun juga siap mengancam akan melakukan kudeta bila pemerintah berjalan tidak sesuai dengan keinginan militer (tidak menutup kemungkinan miiter moderator ini akan menjadi pemerintah atau penguasa).

2. Pretorian Jenis Pengawal

Berbeda dengan pretorian moderator yang menguasai pemerintahan secara tidak langsung, tetapi secara substansial mengarahkan pemerintah sesuai dengan kemauannya. Namun, pretorian pengawal adalah jenis yang akan menguasai pemerintahan secara langsung, dan ia menguasai kurang lebih sampai beberapa tahun kedepan. Karena pretorian pengawal beranggapan akan lebih mudah menguasai pemerintahan secara keseluruhan, daripada hanya dari belakang layar, mereka merasa lebih leluasa. Pengawal pretorian berbuat demikian disebabkan tidak adanya pilihan lain karena tidak ada golongan elit yang dapat mempertahankan status quo politik dan ekonomi, atau bila militer tidak

35


(52)

40

mengkudeta, kekuasaan akan berpindah ke tangan elit politik yang tujuannya

berbeda sama sekali dengan militer.36

Pretorian pengawal coba meningkatkan kecakapan atau merubah arah kebijakan pemerintah sebelumnya. Sasaran pada pasca awal-awal kudeta biasanya pemecatan elit politik yang sering melakukan korupsi, elit yang suka berlaku curang dalam penyusunan struktur pemerintahan dan pembagian fungsi administrasi juga kekuasaan. Pengawal pretorian memberi perhatian besar pada pertumbuhan ekonomi dan menangkal inflasi yang malambung tinggi, anggaran belanja yang berlebihan, dan neraca pembayaran defisit yang terjadi di bawah pemerintahan sipil. Pretorian pengawal adalah “dokter bedah yang ganas”, berani melakukan pembedahan di dalam organisasi politik, walau sebenarnya tidak melakukan secara benar untuk memperbaiki kelemahan dan kecacatan pemerintah sipil setelah militer ini berhasil merebut kekuasaan.

Perlu diketahui kalau semua rezim militer (rezim yang berkuasa hasil dari kudeta) adalah otoritarian, karena mereka menghapuskan atau membatasi hak berpolitik. Sebagian kelompok suku (kepentingan, serikat pekerja, atau juga keagamaan), surat kabar dibolehkan untuk berekspresi, namun sebenarnya mereka dibatasi.

3. Pretorian Jenis Penguasa

Pretorian penguasa ini tidak jauh berbeda dengan jenis pretorian yang lain, tetapi cita-cita politiknya sangat besar dan tinggi melebihi kedua jenis pretorian yang sebelumnya. Penguasa pretorian ini jarang di temukan dibandingkan dua

36


(53)

41

jenis pretorian lain, diperkirakan juga kasusnya tidak lebih dari 10 % dari semua kasus campur tangan militer. Namun cita-cita politik mereka yang amat tinggi membuat mereka menjadi bagian yang sangat penting. Dibanding jenis pretorian yang lain, pretorian penguasa tidak hanya menguasai pemeritnahan, tetapi mendominasi rezim tersebut, dan kadangkala menguasai sebagian besar kehidupan politik, ekonomi, dan sosial melalui pembentukan struktur yang termobilisasi. Kadang kala mereka menganggap dirinya sebagai golongan

modernisasi yang radikal dan revolusioner.37

Pretorian jenis ini mendominasi sebuah rezim sebelum kudeta dengan waktu yang cukup panjang, karena mereka menyadari bahwa perubahan yang mereka inginkan membutuhkan waktu yang lama dalam pelaksanaannya. Kalau pretorian pengawal berajanji akan mengembalikan pemerintahan setelah beberapa tahun mereka berkuasa, pretorian penguasa tidak pernah membuat janji dan hanya mengatakan akan mengembalikan pemerintahan. Pretorian penguasa bermaksud mengadakan perubahan yang radikal dan menyeluruh dengan menghapuskan hampir semua pusat kekuasaan dominatif yang ada. Seperti pretorian pengawal, pretorian jenis ini memberikan perhatian di bidang ekonomi terutama memulihkan kembali kegiatan ekonomi yang sudah beku dengan menggunakan cara yang hampir sama seperti jenis pretorian lain lakukan. Penguasa pretorian tidak bersedia kompromi dengan kritik dan penentangan, tidak seperti dua jenis pretorian lainnya. Sebagian kelompok penguasa pretorian mencoba memobilisasi orang banyak dengan membentuk partai (atau gerakan) massa yang mereka kuasai

37


(54)

42

secara eksklusif. Pola pemerintahan ekonomi dan masyarakat mereka dilakukan

dari atas secara langsung, demi mencapai ambisi pretorian penguasa.38

38


(55)

43

BAB III

DINAMIKA KEKUASAAN DAN DEMOKRATISASI DI MESIR

Dalam bab ini menjelaskan Mesir yang dalam sejarahnya diikuti oleh peranan militer yang aktif, menggambarkan dari awal bagaimana peran militer dalam sosial dan politik di Mesir. Pembahasan perkembangan pemerintahan pasca runtuhnya Mubarak, juga mulainya proses politik yang lebih demokratis pada pemerintahan Muhammad Mursi. Serta bagaimana respon masyarakat dan oposisi dalam menyikapi pemerintahan yang terpilih secara demokratis ini.

A. Peran Militer Dalam Peta Kekuasaan Di Mesir

Sejarah keterlibatan militer di Mesir pertama kali adalah, ketika para

perwira militer yang tergabung dalam Organisasi Perwira Bebas (Free Officer)

menggulingkan (kudeta) rezim Raja Farouk pada 23 Juli 1952. Para perwira bebas ini adalah perwira yang peduli dengan bangsanya, karena pada waktu itu Mesir dijajah Inggris. Itulah yang membuat para perwira mulai membicarakan masa depan bangsanya pada pertemuan-pertemuan rahasia (di Klab Perwira daerah Kubri Al Qubbah). Puncak dari diskusi itu adalah terbentuknya Organisasi

Perwira Bebas (Free Officer) pada tahun 1939, bersepakat mempergunakan

kesempatan untuk melakukan revolusi bersenjata melawan Inggris yang sedang menjajah. Beberapa anggota Organisasi Perwira Bebas di antaranya: Anwar Saddat, Abdel Munim, Abdul Rauf, Abdul Lathief El Baghdadi, Hussein, Hassan Izzat, Amned Ismail Ali. Namun karena Anwar Saddat ditahan pada musim panas,


(56)

44

pucuk kepemimpinan ini dipegang oleh Gamal Abdul Nasser pada awal tahun

1943 yang baru saja kembali dari Sudan.1

Kudeta ini dikomandoi oleh Kolonel Gamal Abdul Nasser dan Jendral Muhammad Naguib. Setelah kudeta berhasil, menjadi bentuk penguasaan militer

yang diwujudkan dalam RCC (Revolution Command Council) yang dipimpin

Naguib, Naguib dikukuhkan menjadi perdana menteri dan gubernur militer,

sedangkan Nasser menjadi Deputi Perdana Menteri pada bulan September 1952.2

Pada Desember 1952 mereka menyatakan Konstitusi Mesir tahun 1923 tidak berlaku lagi, partai politik dilarang, dan puncaknya pada Juni 1953 dihapusnya sistem monarki Mesir. Selanjutnya dengan cepat Naguib memproklamirkan Mesir sebagai negara republik yang secara otomatis menjadikannya sebagai kepala

pemerintahan, dan Nasser menjadi menteri dalam negerinya.3 Namun pada April

1954 RCC memaksa Naguib untuk mengundurkan diri secara sukarela, dan Nasser yang menggantikannya, kemudian Nasser memasukkan sebagian besar

perwira-perwira mantan Organisasi Perwira Bebas (Free Officer) ke dalam

kabinetnya. Mesir diperintah dengan kepemimpinan tunggal Nasser yang melibatkan RCC sebagai alat pendukung kekuasaannya.

Pada 23 Juni 1956, Nasser melakukan reformasi politik domestik dengan mengeluarkan konstitusi baru lewat referendrum nasional dan membubarkan RCC pada Juli 1956. Walau RCC telah dibubarkan, Mesir tetap dipegang oleh suatu

1

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan (Jakarta: P2P-LIPI, 2001), 75-76.

2

Emory C. Bogle, The Modern Middle East: From Imperealism to Freedom 1800-1958

(New Jersey: Prentice Hall, 1996), 336.

3

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan, h. 64.


(1)

diganti dari kalangan Ikhwanul Muslimin. Dari monopoli kekuasaan ini tercermin adanya Ikhwanisasi di Mesir, yang membuat Mursi kehilangan pengaruhnya. Ini juga dianggap sebagai penentangan terhadap amanat revolusi yaitu kebebasan, keadilan dan hidup mulia. Ini yang membuat rakyat berbalik memprotes Mursi. Seandainya Ikhwanul Muslimin mau referendum dan mau pemilu ulang kemungkinan akan membuat Mursi mendapatkan wibawa dan keabsahannya di mata masyarakat. Sayangnya mereka ngotot, dengan melakuan pilihan buruk tidak mau mengikuti mekanisme demokrasi. Sehingga terjadilah demonstrasi besar besaran yang di galangi gerakan Tamarood beserta oposisi, kemudian demonstrasi ini didukung oleh militer. Secara tidak langsung ini adalah kudeta militer atas mandat rakyat. Seandainya Mursi mau berkomromi tidak akan terjadi demonstrasi, Mursi (dan Ikhwanul Muslimin) menganggap pemenang dapat mengambil segalanya (the winner take all).

6. Menurut anda bagaimana pola hubungan antara pemerintahan Mursi dengan militer dan oposisi? Jelaskan ! Bisa kah anda jelaskan afiliasi-afiliasi kubu politik yang ada di Mesir. Di mana posisi militer, oposisi, kelompok pendukung dan kontra Mursi. Dalam peristiwa kudeta ini. Jelaskan !

Jawab: Pola hubungan pemerintahan antara Mursi dengan militer berjalan seperti biasa, militer menjadi dewan penasehat yang menjelaskan tentang keadaaan kondisi sosial politik negara. Namun Mursi bersikap keras kepala dengan menganggap sebagai presiden yang terpilih secara sah dan kurang begitu menanggapi teriakan teriakan rakyat dan oposisi. Ini yang membuat protes meledak besar. Faktor ini juga yang membuat Mursi kehilangan wibawanya.

7. Menurut anda apakah demonstrasi yang berujung kudeta terhadap Mursi masih bagian dari keberlanjutan protes pada Mubarok yang belum usai dan bagian dari efek domino Arab Spring?

Jawab: Iya, memang gelombang Arab Spring itu berawal dari Tunnisia dan menjadi semangat menjalar ke negara negara tetangga.

8. Menurut anda kapankah militer mencoba masuk ke dalam politik yang berujung pada kudeta terhadap Mursi?

Jawab: Dalam hal ini, rakyat yang meminta militer untung mengambil langkah. Selain itu juga militer melihat bahwa adanya kesamaan cita cita dengan rakyat, maka waktu itu diadakan pertemuan antara militer dengan kelompok kelompok oposisi. Militer menganggap rakyat sukar menggulingkan penguasa tanpa militer, dan rakyat melihat militer menjadi partner yang tepat untuk menjalankan cita cita bersama rakyat.


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Foto Dokumentasi Wawancara Zuhairi Misrawi