Krisis Pemerintah Sipil KUDETA PRESIDEN MURSI

63 berhubungan dengan ekonomi untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan negara. 6 Militer sebagai birokrasi yang solid dan otonom, bisa membuat peraturan- peraturan penting guna memacu pembangunan ekonomi, namun di sisi lain militer terlebih dahulu harus menghadapi dan meyakinkan kelas-kelas sosial yang ada, agar langkah yang diambil militer ini dianggap sah dan baik bagi negara. Sebelum tampil, militer harus mencitrakan kehebatan dan kepedulian yang mencolok agar semakin terlihat meyakinkan, dengan sebelumnya menawarkan konsep-konsep yang baku atas jalan keluar menuju kemajuan negara. 7 Keadaan negara yang kacau dengan meluasnya protes di beberapa daerah, membuat kondisi pemerintahan semakin buruk dan membuat militer mulai mengamati untuk ambil bagian dalam mengamankan negara. Ini adalah momentum yang dimanfaatkan militer untuk ikut berpolitik di tengah kekisruhan. Seperti yang dikatakan Amos Perlmutter, Secara garis besar, ada pra kondisi untuk terjadinya kudeta. pertama, sindrom negara transisi. Di mana pola tradisional sudah rusak sementara pola baru belum terbentuk. Dalam masyarakat ini, kesatuan masyarakat belum ada, lembaga-lembaga negara dan kontrol sosial belum beroperasi secara efektif, saluran komunikasi sangat minim dan tidak ada lambang-lambang kesatuan masyarakat. Militer dianggap yang paling mampu mengatasi sindrom ini karena militer bisa memakai simbol-simbolnya untuk memerintah, dan mempersatukan masyarakat dengan sifat netral yang dimilikinya, serta kesanggupannya menjalin komunikasi dengan rakyat bawah. 6 Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 29-130. 7 Louis Irving Horowitz, Revolusi, Militerisasi, dan Konsolidasi Pembangunan Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985, h. 223. 64 Kedua, terjadinya jurang kelas sosial yang tajam akibat dari pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial yang sangat cepat sehingga melahirkan jurang antara kaya dengan miskin. Di mana secara kuantitatif kaum miskin jauh lebih banyak daripada kaum kaya. Ketiga, terjadinya aksi sosial berdasarkan kelompok- kelompok baik yang sadar politik atau tidak dan mobilisasi sumber-sumber materil dalam negeri yang rendah. 8 Selain itu Mursi juga dikritik karena tidak dapat menjaga kedamaian pelanggaran demokrasi dan HAM. Pada setahun kepemimpinannya, Mursi dinilai gagal memelihara kesetabilan dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia, demokrasi dan toleransi beragama. Mursi dinilai gagal menjaga keamanan terutama di kepolisian, paramiliter dan dinas intelijen Mesir. Pada Januari 2013 terjadi pembantaian yang memakan banyak korban jiwa di Port Said yang melibatkan Kepolisian Mesir, selain itu serangan terhadap kaum minoritas seperti Gereja Kristen Koptik pun meningka. Dalam hal ini Mursi dinilai tidak berusaha menindak pelakunya dengan tegas. 9 Soal keamanan negara, pemerintah sebagai penguasa dipercaya sebagai pengelola keamanan yang baik. Bila banyaknya keresahan dan pertentangan politik tidak dapat diselesaikan secara baik, akan membuat prestasi pemerintah merosot dan dinilai tidak mementingkan rakyat sehigga menimbulkan huru-hara kekerasan di kalangan masyarakat yang tidak merasa puas. 10 Pemerintah juga 8 Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan Jakarta: Rineka Cipta, 1990, h. 141-182. 9 Komite Nasional Untuk Kemanusiaan Dan Demokrasi Mesir KNKMD, Buku Putih Tragedi Kemanusiaan Pasca Kudeta Mesir di Mesir Jakarta: KNKMD, 2014, h. 181. 10 Alfred Stephan, Militer dan Demokratisasi, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1988, h. 128-131. 65 dinilai tidak berupaya menjalankan tujuan yang mendasar, yaitu menjaga ketertiban serta melindungi negara, dengan tidak dapatnya mengatasi kekacauan dan menghentikan pemogokan-pemogokan atas huru-hara tersebut. Pada saat pergolakan dan huru-hara terjadi, militer mulai menyadari kalau pemerintah sangat bergantung pada militer, tanpa dukungan dan ikut campur militer negara akan rubuh. 11 Pada akhirnya, keadaan yang bergejolak itu mengurangi keabsahan pemerintah. Kemudian banyak orang yang akan terlibat dalam kancah politik melancarkan aksi-aksi ujuk rasa, menunjukkan suatu penentangan yang kuat pada pemerintah, pemerintah dianggap tidak lagi mempunyai hak moral untuk memerintah. Lalu semakin memperkuat dorongan militer melakukan kudeta. Pemerintahan Mesir di bawah kepemimpinan Mursi adalah masa transisi Mesir dalam berdemokrasi, satu langkah ke depan memulai nilai-nilai yang demokratis. Namun Mursi belum mempunyai referensi demokrasi internal yang tepat untuk diaplikasikan, tentang bagaimana cara mengakomodasi kepentingan yang beraneka ragam. Dalam demokasi pasti ada perbedaan pendapat, tetapi demokrasi hanya akan berjalan bila ada modal sosial yaitu kesepakatan untuk saling percaya sebagai suatu bangsa meskipun berbeda-beda pendapat dan kepentingan, dan ini diikat dalam kegiatan-kegiatan sosial kelompok masyarakat sipil. Hal ini lah yang belum berhasil dibangun dan dimiliki Mesir. 11 Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 134. 66 “Demokrasi yang terjadi di Mesir adalah pilihan terakhir yang dipilih rakyat, daripada kembali ke zaman otoriter. Rakyat memilih Mursi karena mulai menyadari nilai-nilai demokrasi itu penting, namun di sisi lain rakyat menyadari bahwa stabilitas lebih penting. Stabilitas dan keragaman terancam di kepemiminan Mursi Ikhwanul Muslimin, ini menjadi kemunduran demokrasi di Mesir. Pada awalnya rakyat menganggap Ikhwanul Muslimin sanggup menjaga keragaman, memulihkan ekonomi, dan menciptakan stabilitas politik. Namun pada akhirnya gagal, ini yang membuat rakyat akhirnya kembali berpaling pada militer sebagai kelompok yang mampu mewujudkan keinginan rakyat. “ 12 Rakyat kehilangan figur dan menganggap stabilitas itu lebih penting, daripada menjalani demokrasi bersama pemimpin yang tidak sanggup menjaga keragaman. Nilai demokrasi yang diterapkan di Mesir baiknya adalah demokrasi yang merangkul seluruh kalangan. Dalam kegaduhan yang semakin parah menambah momentum dan kekuatan militer menjadi harapan bagi rakyat atas kesalahan-kesalahan yang telah dibuat pemerintah sipil. Dengan baik Eric A. Nordlinger menjelaskan: “...dari krisis pemerintahan yang terjadi akibat kegagalan pemerintahan sipil, dan pada saat yang bersamaan kehilangan keabsahannya di mata masyarakat. Militer mulai menuduh pemerintah yang digulingkan gagal menjalankan tugasnya, tidak bertanggung jawab atas kemerosotan ekonomi, tidak mampu mengendalikan perasaan kecewa dan penentangan politik yang menimbulkan kekerasan dan k ekacauan.” 13 Kegagalan-kegagalan itu memperkuat rasa tidak hormat dan benci militer serta rakyat pada pemerintah, kegagalan ini menggambarkan kemerosotan citra pemerintah sipil di mata masyarakat baik yang interest pada politik maupun tidak. Ditambah lagi dengan citra militer sebagai golongan nasionalis utama, karena militer mengidentifikasi diri dengan negara, dan negara sendiri adalah militer. 12 Wawancara Pribadi dengan Zuhairi Misrawi, Ciputat 24 April 2015. 13 Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan Jakarta: Rineka Cipta, 1990, h. 124-125. 67 Jadi, yang dianggap baik oleh militer juga baik untuk negara, dan mencitrakan kudeta sebagai kepentingan menjaga konstitusi negara. 14

B. Politik Militer dan Oposisi

Fenomena Arab Spring telah menyebabkan perubahan peta politik di sebagian negara Arab. Efek domino dari Arab Spring juga telah membuat Presiden Husni Mubarak yang berkuasa di Mesir puluhan tahun harus mundur dari jabatannya, Mesir mulai berjalan ke arah demokrasi setelah mundurnya Mubarak. Melihat perubahan ini ada harapan besar agar militer tidak terlibat lagi dalam urusan politik, namun kenyataannya militer belum rela melepaskan “kenikmatan” berpolitiknya. Proses demokrasi di Mesir tercederai dengan militer mengkudeta Mohammad Mursi, presiden Mesir yang terpilih secara demokratis lewat pemilu. Sejak lama militer menguasai politik Mesir dari tahun 1952, ketika kalangan “Perwira Bebas” yang dipimpin Gamal Abdul Nasser mengambil alih kekuasaan dari raja Farouq, ini bisa dijadikan awal keterlibatan militer dalam dunia politik. Sejak saat itu penguasa Mesir selalu dari kalangan militer. Presiden Muhammad Naguib, Presiden Gamal Abdul Nasser Presiden Anwar Sadat, dan Presiden Husni Mubarak, adalah tokok-tokoh militer yang menjalankan kekuasaan di Mesir sejak 1952 sampai 2011. Tidak hanya itu, kalangan elite militer mempunyai kedudukan tinggi dan terhormat dalam strata kehidupan 14 Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 125. 68 politik di Mesir. Tercermin dengan adanya Dewan Agung Militer Supreme Council of the Armed Forces – SCAF. 15 Pada jatuhnya Mubarak 11 Februari 2011 membuktikan eksistensi militer tetap ada dan berpengaruh pada politik Mesir, karena kekuasaan berikutnya justru berada di tanan SCAF. SCAF kemudian membuat amandemen terbatas pada konstitusi Mesir, 30 Maret 2011. Namun karena adanya desakan nasional dan internasional akan pentingnya demokrasi di Mesir, memaksa militer memberikan peluang kepada elite sipil untuk dapat bersaing meraih kekuasaan lewat pemilu. Militer mendapat penentangan keras dari rakyat bila masuk ke ranah politik terlalu jauh, seperti zaman Mubarak yang melahirkan otoritarianisme. 16 Dengan adanya desakan itu maka dilangsungkan lah pertama kali pemilu parlemen, yang dilanjutkan dengan pemilu presiden. Pada pemilu parlemen Majlis as- Sa’ab yang menang adalah Patai Kebebasan dan Keadilan FJP yang berafiliasi pada gerakan Ikhwanul Muslimin. Selain itu rakyat juga memilih Majelis Tinggi Majlis as-Syura dalam parlemen Mesir. Dalam Majelis Tinggi Majlis as-Syura juga menunjukan kemenangan dari aliansi FJP, dengan demikian kekuatan politik Islam lah yang menguasai Mesir dalam pemilu parlemen. Kemenangan partai Islam itu mengagetkan elite Mesir yang cenderung liberal sekuler, begitupun militer yang menghawatirkan kemenangan tersebut. Kemudian kemenangan kelompok Islam Ikhwanul Muslimin mendapatkan tantangan dari SCAF dan kelompok liberal, dan di sisi lain militer tetap berusaha mencari peluang untuk tetap tampil dalam dunia politik. Mereka merasa tidak 15 Hamdan Basyar, Pertarungan Dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki dan Israel Jakarta: UI Press, 2015, h. 27. 16 Wawancara Pribadi dengan Zuhairi Misrawi, Ciputat 24 April 2015. 69 cukup sebagai penonton, militer masih ingin menentukan jalannya kehidupan politik Mesir. Di beberapa negara, pemilu digunakan sebagai terminal bagi pertarungan elite. Artinya, setelah pemilu selesai mereka akan menjalankan pemerintahan sampai pada pemilu berikutntya. Namun itu tidak terjadi karena oposisi bertarung di tempat lain. Selang selesainya pemilu parlemen ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi Mesir, UU pemilu yang memperbolehkan partai politik dapat mencalonkan anggotanya lewat jalur independen dianggap inkonstitusional. Maka parlemen hasil pemilu dianggap tidak sah dan harus dibubarkan, dengan demikian kemenangan yang digapai kelompok Ikhwanul Muslimin menjadi bias. Meskipun parlemen dibubarkan, Mahkamah menyatakan keputusan yang telah dibuat oleh parlemen sah dan harus dijalankan. 17 Sebelum Presiden Muhamad Mursi resmi dilantk, SCAF mengeluarkan dekrit pada 17 Juni 2012 yang memberikan kekuasaan legislatif bagi SCAF. Alasannya adalah untuk mengisi kekuasaan legislatif akibat pembubaran parlemen hasil pemilu. Dengan begitu SCAF dapat mengangkat Dewan Konstituante baru sesuai dengan kepentingan mereka. Di sisi lain Mursi yang dilantik pada 30 Juni 2012 mengeluarkan dekrit 8 Juli 2012, untuk memulihkan anggota parlemen yang telah dibekukan. Namun pada hari berikutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa tidak ada banding untuk keputusan pembubaran Majelis Rakyat, pada 17 Juli 2012 mereka harus sudah dibubarkan. Kemudian Presiden Mursi berusaha menunjukan kekuatannya dengan mengeluarkan dekrit pada 12 Agustus 2012. 17 Hamdan Basyar, Pertarungan Dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki dan Israel, h. 26-31. 70 Dekrit itu berisi 4 pasal guna menjinakkan militer. 18 Dengan begitu kekuasaan yang ada di tangan SCAF sejak 17 Juni itu dibatalkan, Mursi juga mengganti kepala SCAF Jendral Tantawi untuk membuat militer menjadi relatif dalam kekuasannya. Tindak perlawanan ini justru berbalik menjadi senjata makan tuan bagi Mursi. Hamdan Basyar secara jelas mengatakan: ”...adanya keterburu-buruan dari Mursi sendiri, Mursi buru-buru berdemokrasi dan menghilangkan militer dalam politik. Padahal tidak semudah itu untuk membubarkan organsasi yang telah lama solid. Membuat militer bangkit dengan berujung pada kudeta.” 19 Mursi merasa belum aman dengan nasib Dewan Konstituante yang tengah menggodok konstitusi baru, karena lembaga itu masih dapat dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi dan anggotanya dapat saja dikatakan inkonstitusional lagi. Maka Mursi mengeluarkan dekrit 22 November 2012, dekrit yang berisi tujuh pasal ini memberikan kekuasaan yang hampir tidak terbatas pada Mursi sendiri. Dekrit itu ternyata memicu protes dari rakyat banyak, kelompok liberal pun yang tadinya sudah agak diam kembali bersuara, dan lapangan Tahreer dipadati demonstran menuntut pencabutan dekrit yang dianggap otoriter itu. Seminggu setelah dekrit itu dikeluarkan, pada 30 November 2012 Dewan Konstituante berhasil menyepakati draft konstitusi baru tanpa kehadiran kelompok liberal. Kemudian Mursi memutuskan untuk mengadakan referendum terhadap draft konstitusi tersebut pada 15 Desember, hasilnya rakyat menyetujui draft konstitusi menjadi konstitusi baru Mesir. Rupanya referendum itu belum menyurutkan demonstran yang berunjuk rasa di lapangan Tahreer, bahkan mereka menolak 18 Hamdan Basyar, Pertarungan Dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki dan Israel, h. 32. 19 Wawancara Pribadi dengan Zuhairi Misrawi, Ciputat 24 April 2015.