29
mempertahankan kepentingan masyarakat dan negara.
22
Birokrasi militer yang solid dan otonom, dapat menciptakan peraturan-peraturan yang penting guna
memacu pembangunan ekonomi, namun di sisi lain militer harus menghadapi dan meyakinkan kelas-kelas sosial yang ada, agar langkah yang diambil militer ini
dianggap sah dan baik bagi negara. Sebelum tampil, militer harus mencitrakan kehebatan dan kepedulian yang mencolok agar semakin terlihat meyakinkan,
dengan sebelumnya menawarkan konsep-konsep yang baku atas jalan keluar menuju kemajuan negara.
23
Ketiga, pemerintah sebagai penguasa juga dipercaya sebagai pengelola keamanan yang baik. Bila banyaknya keresahan dan pertentangan politik tidak
dapat diselesaikan secara baik, akan membuat prestasi pemerintah merosot dan dinilai tidak mementingkan rakyat sehigga menimbulkan huru-hara kekerasan di
kalangan masyarakat yang tidak merasa puas.
24
Pemerintah juga dinilai tidak berupaya menjalankan tujuan yang mendasar, yaitu menjaga ketertiban serta
melindungi negara, dengan tidak dapatnya mengatasi kekacauan dan menghentikan pemogokan-pemogokan atas huru-hara tersebut. Pada saat
pergolakan dan huru-hara terjadi, militer mulai menyadari kalau pemerintah sangat bergantung pada militer, tanpa dukungan dan ikut campur militer negara
akan rubuh.
25
Pada akhirnya, keadaan yang bergejolak itu mengurangi keabsahan pemerintah. Kemudian banyak orang yang terlibat dalam kancah politik
22
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 29-130.
23
Louis Irving Horowitz, Revolusi, Militerisasi, dan Konsolidasi Pembangunan Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985, h. 223.
24
Alfred Stephan, Militer dan Demokratisasi, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1988, h. 128-131.
25
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 134.
30
melancarkan aksi-aksi ujuk rasa, menunjukkan suatu penentangan yang kuat pada pemerintah, pemerintah dianggap tidak lagi mempunyai hak moral untuk
memerintah. Lalu semakin memperkuat dorongan miiter melakukan kudeta. Keempat, militer juga menuduh pemimpin sipil melakukan berbagai
tindakan inkonstitusional, termasuk melaksanakan undang-undang secara sewenang-wenang, perluasan kekuasaan mereka ke dalam bidang yang dilarang
oleh konstitusi dan mempertahankan jabatan melampaui batas yang ditentukan oleh peraturan. Militer berdalih pada kudeta yang mereka lakukan bertujuan
menghidupkan kembali kegiatan politik yang sehat, memberangus korupsi, dan meningkatkan kejujuran yang tinggi pada masyarakat. Penyelewengan yang
dilakukan oleh pihak sipil memudahkan para perwira untuk mengambil tindakan yang inkonstitusional, militer beranggapan pemerintah sipil telah menunjukan
sikap tidak hormat pada konstitusi, ini juga berakibat pada keabsahan pemerintah sipil yang akan menurun.
26
Dalam situasi seperti ini, pemerintah berada di sepanjang antara keabsahan dan ketidakabsahan. Sebagian rakyat percaya bahwa pemerintah mempunyai hak
moral untuk memerintah, dengan begitu rakyat akan mematuhinya. Namun bila sebagian besar masyarakat merasa pemerintah tidak memerintah sesuai dengan
peraturan yang ada, dan tidak membuat rakyat sejahtera, sudah dipastikan pemerintah tidak layak menerima kesetiaan mereka. Senada dengan yang
dikatakan Samuel Huntington bahwa:
26
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 129.
31
“romantisnya hubungan sipil-militer sebagaian besar tergantung dari tindakan pemimpin sipil dalam mengelola pemerintahan. Romantisme
itu akan hilang ketika pemerintah sipil tidak mampu meningkatkan perkembangan ekonomi, memelihara ketertiban umum, dan hukum. Dalam
situasi seperti itu, politisi mungkin tergoda untuk menggunakan militer dalam setiap permasalahan yang terjadi, dan mungkin lebih jauh lagi demi
memperoleh ambisi politik mereka. atau malah mliter sendiri yang sedari awal aktif berniat untuk memperoleh kekuasaan dengan memanfaatkan
momentum tersebut.
”
27
Apalagi ketika pemerintah memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan umum, lalu terindikasi terdapat kesewenangan dalam memerintah,
dan menghalangi kelompok lain dalam pemerintahan untuk memperoleh fungsinya sebagai penguasa politik.
28
D. Tentara Pretorian
Dalam kudeta dan perebutan kekuasan, militer memiliki peran yang besar. Bahkan kudeta telah diidentikan oleh kekuatan militer dalam pengambilalihan
kekuasaan. Pretorianisme mengacu pada situasi di mana tentara tampil sebagai aktor politik utama dan dominan yang secara langsung menggunakan kekerasan
atau mengancam untuk merebut suatu kekuasaan. Istilah ini diambil dari campur tangan militer pada Kerajaan Roma, pada awalnya kerajaan ini dibentuk sebagai
kesatuan unit khusus yang bertugas melindungi maharaja. Namun akhirnya dengan kekuatan militer yang mereka punya, menumbangkan raja dan menguasai
pemerintahan juga pemilihan umum. Angkatan bersenjata dalam semua negara
27
Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi
, h. xv.
28
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 135.
32
mempunyai pengaruh yang sangat besar, termasuk pengaruh politik. Selain sebagai lambang kekuatan negara, ia juga merupakan alat penahan utama dari
serangan luar maupun dalam. Soal militer, Samuel Huntington berpandangan dalam kerangka hubungan
sipil militer menjadi dua yaitu, tentara pretorian dan tentara profesional. Tentara pretorian atau tentara jenis penakluk warior dalam hal ini mewakili kelompok
militer yang berkuasa, menjalankan pemerintahan, dan menentukan keputusan- keputusan politik. Paham ini tumbuh dan berkembang sebelum abad ke-19 ketika
profesi perwira sebagai pengelola kekerasan manager of violence masih merupakan monopoli para kerabat istana. Munculnya revolusi Perancis 1789,
menandai perubahan dari “tentara pencari keuntungan materi” menjadi “tentara panggilan suci abdi negara
”, inilah yang kemudian dikatakan Huntington sebagai awal berkembangnya paham tentara profesional. Sebenarnya bukan hanya
dinyatakan oleh Huntington, jauh sebelumnya seorang ilmuwan Perancis, de Tocqueville sudah berbicara tentang profesi dan kehormatan militer.
Huntington memberikan
tiga ciri
pokok tentang
tumbuhnya profesionalisme militer, yaitu : pertama, mensyaratkan keahlian, profesi militer
menjadi spesifik serta memerlukan pengetahuan dan keterampilan. Kedua, militer memiliki tanggung jawab sosial khusus, artinya seorang perwira militer
mempunyai tugas pokok kepada negara. Berbeda dengan sebelumnya, di mana seorang perwira seolah hanya menjadi milik pribadi komandan dan harus setia
kepadanya sebagai suatu bentuk disiplin mati. Pada masa profesionalisme, seorang perwira berhak untuk mengoreksi atasannya, jika si atasan melakukan
33
hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan nasional. Ketiga, seorang militer harus berkarakter korporasi corporate character yang pada kemudian
melahirkan rasa esprit de corps yang kuat.
29
Ketika ketiga ciri militer profesional di atas terpenuhi, pada akhirnya melahirkan apa yang disebut Huntington the military mind, yang menjadi dasar
hubungan militer dan negara. Ini membuat Negara Kebangsaan nation state mejadi suatu bentuk tertinggi organisasi politik. Sehingga inti dari military mind
menjadi suatu ideologi yang berisi pengakuan militer pada supremasi pemerintahan sipil. Bagi perwira militer, tidak ada kemuliaan yang paling tinggi,
kecuali kepatuhan kepada negarawan sipil. Jadi menurut Huntington, kaum militer yang melakukan intervensi politik pada hakikatnya menyalahi etika militer
profesionalnya. Bahkan Huntington menganggap intervensi militer dalam politik sebagai pembusukan politik political decay dan dianggap sebagai kemunduran
ke arah tentara pretorian.
30
Tetapi dalam perspektif tentara pretorian, militer seolah akan terlihat seperti kaum elite yang membawa pada modernisasi, kaum
militer juga dinilai melihat jauh ke depan, punya keinginan kuat untuk kepentingan korporasinya, dan untuk mendorong modernisasi di negaranya.
Jadi, tentara akan menjadi tentara pretorian apabila mereka mengancam atau menggunakan kekuatan dan kekuasaan mereka untuk mendominasi politik
lalu menguasai pemerintahan. Tentara pretorianisme modern yang campur tangan
29
Samuel P. Huntington, The Soldier and The State: The Theory and Politics Civil Military Relations
Cambridge: Harvard University Press, 1957, h. 7-18.
30
Samuel P. Huntington, Tertib Politik dalam Masyarakat yang Sedang Berubah Jakarta: CV Rajawali, 1983, h. 37-40.
34
dalam pemerintahan akan mendominasi eksekutif sehingga terjadi pembusukan politik dan kekuasaan eksekutif menjadi tidak efektif.
Kemudian rezim pemerintahan akan menjadi rezim militer karena perwira militer sendiri yang merebut kekuasaan. Timbul pertanyaan, apakah rezim ini
terus menjadi rezim militer pada duapuluh tahun kemudian dan seterusnya? Eric Nordlinger mengatakan,
“rezim militer adalah rezim di mana militer telah merebut kekuasaan melalui kudeta, perwira atau mantan perwira militer menduduki
jabatan tinggi pemerintahan. Mereka bergantung terutama pada perwira militer yang masih aktif untuk mempertahankan kekuaaan itu, walaupun
pihak sipil juga diberi bagian untuk peran yang penting namun biasanya tidak penting.
”
31
Contohnya adalah Mesir, walaupun sudah dijabat oleh Nasser lalu Sadat dan Mubarok pada berikutnya, tetapi strukturnya banyak diisi oleh orang-orang
berlatar belakang militer. Nampaknya Eric melihat ini secara substnsial pada pemerintahan.
Tentara pretorian cenderung melakukan kudeta. Kudeta ini dilakukan bila militer merupakan kelompok yang paling solid, paling terorganisir secara politik
dan tidak ada oposisi yang kuat. Kudeta dilaksanakan oleh aktivis politik dan kelompok politik dalam organisasi militer, perwira yang memiliki ambisi politik
dan perwira yang tidak menganggap militer sebagai profesi seumur hidup. Korps Perwira dipolitisir oleh perwira lain yang secara politik atau ideologi terikat
dengan politisi sipil atau sipil yang minta perlindungan tentara atau karena kejadian perjuangan anti kolonial, datangnya kemerdekaan atau kekacauan
31
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 45.