Upaya preventif penghulu dalam mengurangi pelaku perkawinan di bawah umur ( studi di Desa Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi)

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

ADE USWATUL JAMILIYAH NIM : 108044100030

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

i

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini, saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 Agustus 2011 Penulis


(5)

ii

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.

Dengan taufik dan hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini, yang berjudul “UPAYA PREVENTIF PENGHULU DALAM MENGURANGI PELAKU PERKAWINAN DI BAWAH UMUR (Studi Di Desa

Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi)”.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA, MM. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan kewenangan yang dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., MA., selaku Ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah, kemudian Hj. Rosdiana, MA., selaku Sekretaris Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Hj. Ummu Hanah Yusuf, Lc, MA., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.


(6)

iii

4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak lupa juga kepada staf perpustakaan, karyawan yang banyak membantu penulis memfasilitasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

5. Kepala dan Sekretaris Desa serta seluruh warga Desa Ciwalat yang telah memberikan izin kepada saya untuk melaksanakan penelitian ini dan banyak membantu dalam memberikan data sehingga saya dimudahkan dalam penyusunan skripsi.

6. Direktur dan segenap staf Rumah Sakit Syarif Hidayatullah yang telah memberikan izin kepada saya dan membantu dalam melengkapi data sehingga saya dimudahkan dalam penyusunan skripsi ini.

7. Teristimewa kepada Ayahanda Kasnan Suharya dan ibunda Fathiyah Sadim, S.Ag, serta seluruh keluarga yang sangat saya cintai dan sayangi. Terima kasih banyak atas bantuan kalian terutama dari segi keuangan, dan dukungan kalian yang tidak terlupakan. Terima kasih juga atas doa dan pengorbanan kalian yang tidak terhingga serta senantiasa memberi semangat tanpa jemu sehingga penulis menyelesaikan belajar di sini dengan selamat dan sempurna. Semoga Allah SWT menempatkan kalian di tempat orang-orang yang sholeh dan mulia. Tidak ada yang dapat dipersembahkan sebagai balasan, melainkan sebuah kejayaan.

8. Sahabat-sahabat saya: Yossi Febrina yang selalu menemani dalam proses penyusunan, Hj. Ati Atiyaturohmah yang selalu memberikan masukan dan motivasi. Muhammad Reza Ramadhan, Maya Nursita, Andini Hafizhotin


(7)

iv

Kulsum, Wardhatul Jannah, Restya, Siti Goniah dan Aniah Nasution yang ikut serta dalam memberi semangat. Dan tidak lupa pula kepada teman-teman angkatan 2007/2008 jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah, teman-teman KKN 57 Rajawali, terima kasih atas kebersamaan kalian dalam menemani penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan masukan yang positif kepada para pembaca. Penulis amat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak kekurangan, kekhilafan, dan kesalahan. Maka kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dalam rangka perbaikan, dan kesempurnaan tulisan ini.

Kepada Allah SWT, penulis memohon dan mendoakan semoga jasa baik yang telah kalian sumbangkan menjadi ladang amal sholeh dan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, Amin.

Ciputat, 23 Agustus 2011


(8)

v

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian ... 10

E. Review Studi Terdahulu ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II: LANDASAN TEORI A. Pengertian Perkawinan Di Bawah Umur ... 16

B. Dasar Hukum Perkawinan ... 30

C. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 34

D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ... 44

E. Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Islam ... 47

BAB III: GAMBARAN UMUM DESA CIWALAT A. Sejarah Singkat Desa Ciwalat... 52

B. Letak Geografis Desa Ciwalat ... 54 C. Pandangan Warga Desa Ciwalat Tentang Perkawinan Di Bawah Umur 60


(9)

vi

Di Bawah Umur ... 64

B. Upaya Penghulu Desa Ciwalat dalam Mengurangi Pelaku Perkawinan di Bawah Umur ... 67

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 73

B. Saran-Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75

LAMPIRAN 1. Wawancara ... 80

2. Surat Observasi Untuk Kepala Desa Ciwalat ... 88

3. Surat Rekomendasi Izin Penelitian Dari Desa Ciwalat ... 89

4. Surat Mohon Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ... 90

5. Surat Wawancara Untuk RS. Syarif Hidayatullah (dr. Kandungan) ... 91

6. Surat Persetujuan Wawancara Dari RS. Syarif Hidayatullah ... 92

7. Struktur Organisasi Pemerintah Desa Ciwalat ... 93


(10)

vii

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1 Kepala Desa / Lurah Desa Ciwalat ... 53

2. Tabel 2 Batas Wilayah ... 54

3. Tabel 3 Jumlah Penduduk ... 55

4. Tabel 4 Tingkat Pendidikan ... 57

5. Tabel 5 Sarana Pendidikan ... 58

6. Tabel 6 Agama Penduduk ... 59


(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh manusia sejak zaman dahulu, sekarang, dan masa yang akan datang bahkan sampai akhir zaman nanti. Oleh karena itu, perkawinan merupakan masalah yang selalu hangat dibicarakan oleh masyarakat dan di dalam percaturan hukum. Untuk itu perkawinan begitu penting guna tercipta suatu rumah tangga yang harmonis, tentu mempunyai aturan, arti dan hakikat. Semua itu perlu bahkan harus dimengerti dan dipahami oleh setiap orang yang akan melaksanakan perkawinan tersebut.

Perkawinan itu sendiri menurut Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad Al Husainy adalah ungkapan dari sebuah akad yang mencakup rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu untuk menghalalkan hubungan suami istri.1 Sedangkan menurut Abi Syuja‟ perkawinan merupakan sebuah akad yang

membolehkan hubungan suami istri dengan lafadz nikah “zawwaja”.2 Dengan akad nikah, suami istri memiliki hak untuk memiliki. Namun, hak milik itu hanya bersifat milk al-Intifa‟ (hak milik untuk menggunakan), bukan hak milk al-Muqarabah (hak milik yang bisa dipindah tangankan seperti kepemilikan benda) dan bukan pula milk al-Manfa‟ah (kepemilikan manfaat yang bisa dipindah

1

Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad Husainy Husny Damsyiqy

Al-Syafi‟iy, Kifayat Al-Akhyar Fi Halli Ghoyat Al-Ikhtishor, (Beirut: Daar Al-Fikr), juz II, h. 36

2Abi Syuja‟,


(12)

2

tangankan).3 Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan para ahli fiqh, diantaranya menurut ulama Hanafiyah mengatakan bahwa nikah adalah akad yang disengaja dengan tujuan mendapatkan kesenangan.4 Sebagaimana Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga mereka dapat menjalin hubungan satu sama lain, saling mencintai, menghasilkan keturunan serta hidup dalam kedamaian.5

Ketentraman di sini tidak dimaksudkan dengan ketentraman dorongan seksual yang membara, justru ketenangan gejolak batin dalam wujud manusia itu yang dengannya ia merasakan kebahagiaan yang wajib disyukuri, dan juga merasakan kekurangan yang harus disempurnakan. Inilah yang dimaksud dengan ketentraman rohani sebagai salah satu syarat terciptanya sebuah kebahagiaan.6 Oleh karena itu, perkawinan merupakan sunnah Nabi saw sebagaimana telah disebutkan dalam penggalan hadis Nabi saw, yang artinya “dan aku mengawini wanita-wanita, barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka tidak termasuk umatku”.7 Dalam penggalan arti hadis di atas dimaksudkan agar tidak

3

Abdul Basit Mutawwaly, Muhadarah Fi Al-Fiqh Al-Muqaran, (Mesir: t.p.,t.t.), h. 120

4

Abd Al-Rahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh Al-Mazahib Al-Arba‟ah, (Beirut: Daar Al-Fikr, 2002), juz IV, h. 3

5 Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), cet. Ke-1, h. 1

6

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), cet. Ke-1, h. 2

7

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. Ke-2, h. 43


(13)

berlebihan dalam beribadah (melebihi Nabi) karena dapat menimbulkan kekafiran.8

Kemudian dari perkawinan muncul pula hubungan orang tua dengan anak-anaknya. Serta timbul hubungan kekeluargaan sedarah dan semenda. Oleh karena itu, perkawinan mempunyai pengaruh yang sangat besar, baik dalam hubungan kekeluargaan pada khususnya, maupun dalam kehidupan bermasyarakat serta bernegara pada umumnya. Karena bila dilihat dari segi sosial suatu perkawinan, dalam masyarakat setiap bangsa ditemui suatu penilaian yang umum, bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.9 Maka hendaklah segenap bangsa Indonesia mengetahui seluk-beluk berbagai peraturan hukum perkawinan, agar mereka dapat memahami dan melangsungkan perkawinan sesuai dengan peraturan yang berlaku.10

Namun, berbeda halnya dengan sebagian masyarakat Desa Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi, yang masih banyak melakukan perkawinan di bawah umur tanpa memperhatikan dampak atau akibat yang akan muncul serta akan ditimbulkan oleh sebuah perkawinan tersebut. Hal ini merupakan masalah dalam masyarakat yang perlu dicarikan jalan pemecahannya.

8

Muhammad ibn Ismail Al-San‟any, Subul Al-Salam Syarh Bulug Al-Maram, (Beirut: Daar Al-Fikr, 1991), juz III, h. 213-214

9

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), cet. Ke-5, h. 48

10


(14)

4

Masyarakat kadang-kadang kurang memperhatikan keberadaan batas umur, padahal untuk melangsungkan suatu perkawinan batas umur adalah hal yang sangat penting, hal ini dikarenakan perkawinan tidak saja menghendaki kematangan biologis tetapi juga kematangan psikologis. Hal tersebut berdasarkan kekhawatiran para psikolog tentang perkawinan di bawah umur akan menemui kegagalan karena sangat tergantung pada keadaan jiwa seseorang.11

Kenapa demikian? Karena dari perkawinan timbul suami istri yang kemudian melahirkan sebuah tanggung jawab yang berupa hak dan kewajiban, hal inilah yang cukup sulit untuk dilaksanakan, apalagi diantara keduanya atau salah satunya kurang begitu memahami tentang hakikat serta tujuan dan hikmah dari sebuah perkawinan, yaitu terbentuknya rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.12 Melainkan yang akan terjadi hanyalah perselisihan dan kehidupan dalam berumah tangga tidak bahagia dan tidak harmonis bahkan bisa berakhir pada perceraian.

Dari hasil pengamatan dan dari data yang dihasilkan, menunjukkan bahwa banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah umur khususnya yang terjadi di Desa Ciwalat, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi.

11Musifin As‟ad,

Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. Ke-2, h. 30

12

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), cet. Ke-3, h. 22


(15)

Bahwa yang melakukan perkawinan di bawah umur itu banyak sekali mengalami gangguan dalam berumah tangga, diantaranya sebagai berikut:

1. Sering terjadi percekcokan, sehingga dalam mengarungi kehidupan rumah tangga tidak harmonis.

2. Kebanyakan orang yang melakukan perkawinan di bawah umur menjadi beban bagi orang tuanya, dikarenakan belum bisa mencari nafkah.

Dan bila dilihat dari sudut kesehatan, bagi orang yang melakukan perkawinan di bawah umur jika terjadi kehamilan pada seorang perempuan yang belum dewasa, tubuh dan alat kandungannya belum siap betul untuk menyelengarakan tugas tersebut. Sehingga beban yang berat oleh yang bersangkutan dengan kehamilan dan persalinan dapat diperolehnya. Akan tetapi, dalam keadaan demikian, kemungkinan terjadi gangguan pada kehamilan dan persalinan tersebut.

Sehubungan dengan masalah perkawinan di bawah umur, maka dalam penjelasan umum Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menurut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.13

13 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet. Ke-1, h. 8


(16)

6

Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 7

ayat (1) menyatakan: ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun”.

Selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan: “Apabila pihak pria dan wanita belum

mencapai umur tersebut, maka untuk melangsungkan perkawinan diperlukan dispensasi dari Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua

dari pihak pria maupun pihak wanita”.14

Dalam Kompilasi Hukum Islam

disebutkan pada pasal 15 ayat (1) menyatakan: “Untuk kemaslahatan keluarga

dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”.15

Untuk mengurangi permasalahan-permasalahan yang muncul, maka harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Karena batas umur dalam perkawinan mempunyai makna yang sangat penting, yaitu agar dapat dicegahnya praktek perkawinan di bawah umur, seperti halnya yang terjadi di Desa-desa, sehingga menimbulkan banyak dampak atau akibat yang bersifat negatif.

14

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Bandung: Citra Umbara, 2007), cet. Ke-1, h. 5

15

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), cet. Ke-5, h. 117


(17)

Berkenaan dengan hal tersebut, untuk mengurangi lebih banyak lagi terjadinya perkawinan di bawah umur, maka dalam hal ini penghulu yang mempunyai fungsi sebagai orang yang ditunjuk oleh masyarakat untuk melangsungkan perkawinan, harus cermat dan tanggap serta teliti terlebih dahulu terhadap mereka yang akan melangsungkan perkawinan, terutama sekali dengan persyaratan-persyaratan yang mereka ajukan, dengan demikian besar harapan kemungkinan terjadinya kekeliruan dapat dihindari.

Begitu pula upaya yang dilakukan oleh penghulu harus benar-benar memberikan dampak positif, artinya dampak yang dapat memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa perkawinan membawa resiko yang sangat besar, lebih-lebih bila perkawinan itu dilakukan pada usia belum matang untuk melakukan perkawinan.

Dari latar belakang di atas, penulis mencoba mengungkap masalah-masalah tersebut dan mudah-mudahan dapat mengatasi permasalah-masalahan perkawinan di bawah umur. Karena dengan terjadinya perkawinan tersebut dapat menimbulkan banyak dampak terhadap lingkungan sekitar. Sehingga penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan mencoba mengabadikannya dalam karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul:

UPAYA PREVENTIF PENGHULU DALAM MENGURANGI PELAKU PERKAWINAN DI BAWAH UMUR(Studi di Desa Ciwalat, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi).


(18)

8

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Setelah mengungkapkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka penulis membatasi permasalahan pembahasan pada aspek-aspek sebagai berikut:

a. Upaya preventif penghulu dalam mengurangi pelaku perkawinan di bawah umur.

b. Perkawinan di bawah umur di sini adalah perkawinan yang dilaksanakan sebelum mencapai usia 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis rumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah umur dilaksanakan sebagian masyarakat Desa Ciwalat, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi ?

2. Bagaimana upaya penghulu Desa Ciwalat dalam mengurangi pelaku perkawinan di bawah umur ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini penulis mempunyai tujuan sebagai berikut:


(19)

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah umur dilaksanakan sebagian masyarakat Desa Ciwalat, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi.

2. Untuk mengetahui upaya penghulu Desa Ciwalat dalam mengurangi pelaku perkawinan di bawah umur.

Selain itu, penulis juga mempunyai tujuan formal yaitu membuat sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi, yang merupakan salah satu persyaratan mendapat gelar Sarjana Syariah (S.Sy) yang telah ditentukan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, bagi mahasiswa dan mahasiswi yang akan menyelesaikan studinya di Fakultas Syariah dan Hukum khususnya Konsentrasi Peradilan Agama.

Sedangkan tujuan non formalnya yaitu untuk menambah ilmu pengetahuan dibidang ilmu agama terutama yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas ini, karena dengan membahas masalah ini, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk membaca dan memahami buku-buku yang berkaitan dengan masalah perkawinan di bawah umur.

Selanjutnya penulis juga mempunyai tujuan untuk memberikan sumbangsinya terhadap Desa Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi dalam upaya meminimalisir pelaku perkawinan di bawah umur dengan cara mensosialisasikan ke masyarakat Desa tersebut dalam bentuk seminar-seminar tentang pengaruh perkawinan di bawah umur.


(20)

10

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu dapat meminimalisir pelaku perkawinan di bawah umur di Desa Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi.

D. Metode Penelitian

Untuk memudahkan dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini penulis menggunakan berbagai metode di antaranya sebagai berikut:

1. Metode Pengumpulan Data

a. Field Research (riset lapangan) yaitu penelitian yang dilakukan dalam kancah kehidupan yang sebenarnya. Langkah pertama dalam penulisan atau penelitian ini adalah menentukan populasi, dimana yang dijadikan obyek penelitian adalah kantor Desa Ciwalat, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi.

b. Library Research (riset perpustakaan) yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data atau informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat di ruang perpustakaan.16

Untuk mengambil dan mendapatkan data serta informasi di lapangan (tempat penelitian) penulis mempergunakan metode-metode pengumpulan data sebagai berikut:

16

Kartini Kartono, Pengantar Metode Riset Sosial, (Bandung: Alumni, 1980), cet. Ke-1, h. 28


(21)

1. Metode Interview

Interview adalah: ”Cara pengumpulan data yang dilakukan dengan bertanya dan mendengarkan jawaban langsung dari sumber utama data”.17 Dalam interview ini penulis menggunakan interview terstruktur maksudnya adalah penulis membawakan kerangka-kerangka pertanyaan untuk disajikan kepada penghulu, pejabat desa, tokoh masyarakat, tokoh agama dan anggota masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah umur.

2. Metode Observasi

Observasi adalah: ”Pengamatan-pengamatan dan pencatatan-pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki”. Di sini penulis hanya melakukan pengamatan terhadap obyek yaitu penghulu, pejabat desa, tokoh masyarakat, tokoh agama dan anggota masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah umur.

3. Metode Penulisan

Dari data-data yang diperoleh di atas, kemudian disusun secara teratur dan sistematis lalu dianalisis secara kualitatif, dengan demikian jenis penelitian dalam karya ilmiah ini adalah penelitian kualitatif.18 Adapun teknik penulisan,

penulis menggunakan buku ”Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007”.

17

Ronny Kountur, Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Sekolah Tinggi Managemen), h. 186

18


(22)

12

E. Review Studi Terdahulu

Untuk memudahkan dan meyakinkan pembaca bahwa penulis tidak melakukan plagiasi atau duplikasi maka penulis menjabarkan review studi terdahulu dalam bentuk tabel berikut ini:

No. Identitas Substansi Pembeda

1. Riana Maruti,

104044201479, SJAS, 2009, Pengaruh Perkawinan di Bawah Umur terhadap Pembentukan Keluarga Sakinah (Studi pada Kecamatan Cakung, Jakarta Timur). Dalam skripsinya ditulis bahwa tidak setiap laki-laki dan perempuan yang melakukan perkawinan di bawah umur tidak dapat membentuk keluarga sakinah (Perkawinan di Bawah Umur tidak

Mempengaruhi

Pembentukan Keluarga Sakinah di Kecamatan Cakung, Jakarta Timur).

Dalam skripsi yang akan saya tulis tidak membahas tentang pengaruh perkawinan di bawah umur, melainkan lebih kepada bagaimana upaya penghulu dalam mengurangi pelaku perkawinan di bawah umur di Desa Ciwalat, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi.


(23)

2. Renny Retno Waty, 205044100578, 2010, Pengaruh Pernikahan di Bawah Umur terhadap

Kesejahteraan Rumah Tangga (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Tanjung Sari,

Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor).

Dalam skripsinya ditulis bahwa

pernikahan di bawah umur yang terjadi pada masyarakat Desa Tanjung Sari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor dapat mempengaruhi terhadap kesejahteraan rumah tangga, Adapun penyebab banyaknya pernikahan tersebut karena faktor ekonomi yang lemah dan kebiasaan atau adat-istiadat masyarakat setempat.

Dalam skripsi yang akan saya tulis tidak membahas tentang pengaruh pernikahan di bawah umur,

melainkan lebih kepada bagaimana upaya penghulu dalam mengurangi pelaku perkawinan di bawah umur di Desa Ciwalat, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi.


(24)

14

3. Sa‟dah,

106044101372, 2010, Pelaksanaan Nikah di Bawah Umur dan Dispensasi Nikah pada Masyarakat Kelurahan Margahayu, Bekasi Timur. Dalam skripsinya ditulis bahwa di

Kelurahan Margahayu, Bekasi Timur banyak masyarakat yang melakukan nikah di bawah umur dan tidak mendapatkan dispensasi nikah dari Pengadilan Agama setempat, dikarenakan kurang pengetahuan tentang dispensasi nikah. Adapun penyebab banyaknya pernikahan tersebut karena faktor ekonomi, dorongan keluarga, dan kecelakaan.

Dalam skripsi yang akan saya tulis tidak membahas tentang pelaksanaan nikah di bawah umur yang tidak mendapatkan

dispensasi nikah dari pengadilan, melainkan lebih kepada

bagaimana upaya penghulu dalam mengurangi pelaku perkawinan di bawah umur di Desa Ciwalat, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi.


(25)

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab Pertama yaitu: Pendahuluan, yang di dalamnya meliputi: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu dan Sistematika Penulisan.

Bab Kedua yaitu: Landasan Teori, yang di dalamnya membahas: Pengertian Perkawinan di Bawah Umur, Dasar Hukum Perkawinan, Rukun dan Syarat Perkawinan, Tujuan dan Hikmah Perkawinan dan Prinsip-prinsip Perkawinan menurut Islam.

Bab Ketiga yaitu: Gambaran Umum Desa Ciwalat, yang di dalamnya membahas: Sejarah Singkat Desa Ciwalat, Letak geografis Desa Ciwalat dan Pandangan warga Desa Ciwalat tentang Perkawinan di Bawah Umur

Bab Keempat yaitu: Analisis Data, yang di dalamnya membahas: Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan di Bawah Umur dan Upaya Penghulu Desa Ciwalat dalam Mengurangi Pelaku Perkawinan di Bawah Umur.


(26)

16

BAB II

LANDASAN TEORI A. Pengertian Perkawinan di Bawah Umur

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang

menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.1 Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah (nakaha - yankihu - nikaahan) yang menurut bahasa artinya mengumpulkan (al-Dlammu) atau bersetubuh (al-Wathu).2

Dalam hukum Islam, terdapat beberapa definisi nikah, diantaranya yaitu: Definisi nikah menurut bahasa

“Nikah menurut bahasa yaitu mengumpulkan dan bersetubuh, atau merupakan ibarat untuk menghalalkan hubungan suami istri dengan akad secara keseluruhan”.

Definisi nikah menurut istilah

1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. Ke-3, edisi ketiga, h. 518.

2

Syaikh Zakariyya Al-Anshoriy, Haasyiyat Al-„Allamat Al-Syaikh Sulaiman Al-Jamal „Ala Syarh Al-Manhaj, (Beirut: Daar al-Fikr), juz IV, h. 115

3

Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa adillatuh, (Beirut: Daar al-Fikr, 1989), juz VII, h. 29

4

Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad Husainy Husny Damsyiqy


(27)

“Nikah menurut syara‟ yaitu ibarat tentang akad yang masyhur yang terdiri dari rukun-rukun dan syarat-syarat, yang dengan akad tersebut maka dibolehkan bersetubuh”.

Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan kata nikah dengan:

“Nikah menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”.

Abu Yahya Zakariya al-Anshory mendefinisikan kata nikah dengan:

Nikah menurut istilah yaitu akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya ”.

Di kalangan ulama fikih, berkembang tiga macam pendapat tentang arti lafaz nikah, yaitu:7

Pertama: Nikah menurut arti aslinya (arti hakikat) adalah bersetubuh, sedangkan menurut arti majazi (metaforis) adalah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita; demikian menurut golongan Hanafi. Kedua: Nikah menurut arti aslinya ialah akad yang dengan akad ini menjadi halal

5

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuh, h. 29

6

Abu Yahya Zakariya Al-Anshory, Fath Al-Wahhab, (Singapura: Sulaiman Mar‟iy), juz II, h.

30

7


(28)

18

hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazi ialah bersetubuh; demikian menurut golongan Syafi‟iyah dan Malikiyah. Ketiga: Nikah, bersyarikat artinya antara akad dan setubuh; demikian menurut Abu al-Qasim az-Zajjad, Imam Yahya, dan Ibnu Hazm.

Beberapa arti nikah di atas, pada hakikatnya tidak ada perbedaan kalaupun ada perbedaan hanya pada redaksinya saja. Dalam hal ini, jumhur ulama sependapat, bahwa nikah merupakan akad yang diatur oleh agama, untuk memberikan kepada pria hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.8

Perkawinan adalah perjanjian perikatan antara pihak seorang pria dengan pihak seorang wanita untuk melaksanakan kehidupan suami istri, hidup berumah tangga, melanjutkan keturunan sesuai ketentuan agama.9

Pernikahan adalah akad yang menimbulkan akibat hukum yaitu menghalalkan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.10

Dalam Bab 1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara

8

Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), jilid 1, cet. Ke-1, h. 116

9

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987), cet. Ke-2, h. 8

10

Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), cet. Ke-1, h. 3


(29)

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.11

Pengertian perkawinan yang tercantum dalam Bab 1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berbeda dengan pengertian perkawinan menurut hukum perdata (B.W.), karena di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (B.W.) disebutkan bahwa perkawinan hanya dalam hubungan-hubungannya dengan keperdataan.12

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian perkawinan menurut hukum perdata adalah suatu ikatan hukum antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui sah oleh Undang-Undang Hukum Perdata (negara) dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang kekal.13

Suatu ikatan perkawinan akan dianggap sah oleh negara, apabila perkawinan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terutama dalam hal batas usia perkawinan yang tercantum dalam pasal 7 ayat (1) yang berbunyi: “Perkawinan

11

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, h. 2

12

Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), (Jakarta: Visimedia, 2008), cet. Ke-2, h. 8

13


(30)

20

hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun

dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.14

Berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di atas, maka asumsi penulis adalah yang dimaksud dengan perkawinan di bawah umur dalam konteks Negara merupakan sebuah pelanggaran terhadap batas minimal usia menikah yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Perkawinan pasal 7 ayat (1) yaitu pihak laki-laki umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Kedewasaan seseorang, apabila dilihat dari berbagai ketentuan hukum yang berlaku sangatlah beragam. Umumnya ketentuan yang berlaku atas kedewasaan seseorang didasarkan pada status perkawinan yang pernah dilakukan dan usia. Seseorang dianggap dewasa, selain karena ia sudah menikah juga didasarkan pada usia yang menurut ketentuan hukum sudah dewasa. Kedewasaan berdasarkan usia ini merupakan salah satu parameter yang bersangkutan telah dianggap cakap dan berhak atas apa yang diatur oleh ketentuan hukum. Dalam hukum, kedewasaan berdasarkan usia merupakan salah satu unsur terpenting bagi seorang subyek hukum. Meskipun terdapat upaya dispensasi atau toleransi atas besaran usia yang disahkan oleh pengadilan, namun subyek hukum dapat dikatakan belum cakap hukum apabila yang bersangkutan belum memiliki

14

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, h. 5


(31)

kecukupan usia. Misalnya dalam hukum perdata kita, salah satu syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 BW adalah adanya pihak-pihaknya yang cakap (berkemampuan) untuk melakukan perbuatan hukum yang salah satu parameternya adalah kecukupan usia. Dengan usia yang belum mencukupi seseorang tidak dapat melakukan perbuatan hukum perdata dengan sendirinya (kecuali sudah menikah atau disahkan pengadilan).15

Adapun besaran usia dewasa menurut berbagai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu:

1. Menurut konsep Hukum Perdata

Pendewasaan ada 2 macam, yaitu pendewasaan penuh dan pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Keduanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang. Untuk pendewasaan penuh syaratnya telah berumur 20 tahun penuh. Sedangkan untuk pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal 421 dan 426 KUHPerdata).16

Untuk pendewasaan penuh, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Presiden RI dilampiri dengan akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Presiden setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung, memberikan keputusannya. Akibat hukum adanya

15

Tim Bedah Hukum, Kedewasaan Seseorang Berdasarkan Besaran Usia Menurut Berbagai Ketentuan Hukum, (Diakses dari http://bedahukum.blogspot.com/2009/12/kedewasaan-seseorang-berdasarkan.html), pada tanggal 22 September 2011 pukul 08.40 WIB

16


(32)

22

pernyataan pendewasaan penuh ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa. Tetapi bila ingin melangsungkan perkawinan izin orang tua tetap diperlukan.

Untuk pendewasaan terbatas, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang dilampiri akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Pengadilan setelah mendengar keterangan orang tua atau wali yang bersangkutan, memberikan ketetapan pernyataan dewasa dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja sesuai dengan yang dimohonkan, misalnya perbuatan mengurus dan menjalankan perusahaan, membuat surat wasiat. Akibat hukum pernyataan dewasa terbatas ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu. 17

2. Menurut konsep Hukum Pidana

Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Yang disebut umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan acaranya berlaku hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun, yang menurut hukum perdata belum dewasa. Yang berumur 17 tahun dan telah kawin tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan belum cukup

17

Diakses dari ( http://72legalogic.wordpress.com/2009/03/08/dewasa-menurut-hukum-positif-indonesia/), pada tanggal 22 September 2011 pukul 08.29 WIB


(33)

umur menurut pasal 294 dan 295 KUHP adalah ia yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin sebelumnya. 18

3. Menurut konsep Peraturan Lalu Lintas

Dalam peraturan Undang-Undang Lalu Lintas (UU No. 22 Tahun 2009) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan usia dewasa adalah usia yang sudah mencapai 17 tahun. Sebagaimana bunyi Pasal 81 ayat 2: "Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut:

a. Usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D;

b. Usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I, dan c. Usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II.

Sedangkan menurut penganut aliran psikoanalisis, pada hakikatnya alam perkembangan usia remaja adalah usaha penyesuaian diri (coping), yaitu untuk secara aktif mengatasi stress dan mencari jalan keluar baru dari berbagai masalah. Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada tiga tahap perkembangan remaja, yaitu: 19

18

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), (Surabaya: Kesindo, 2008), cet. Ke-2, h. 97-98

19

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008), h. 24-25


(34)

24

1. Tahap remaja awal (12-15 tahun)

Pada tahap ini, seorang remaja masih terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Kepekaan yang berlebih-lebihan ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego”. Hal ini menyebabkan para remaja sulit untuk mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa.

2. Tahap remaja pertengahan (15-18 tahun)

Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan “narcistic”, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengannya.

3. Tahap remaja akhir (19-22 tahun)

Pada tahap ini, merupakan masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal di bawah ini:

a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek;

b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru;

c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi;

d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain; e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan


(35)

Selain itu, perkawinan di bawah umur pun masuk dalam kategori ekploitasi anak, sepanjang hal itu tidak mengikuti ketentuan dan hukum yang berlaku. Seorang anak yang masih berada dalam asuhan orang tuanya seharusnya mendapatkan kesempatan untuk belajar dan kehidupan yang layak. Sedangkan perkawinan di bawah umur jelas akan merampas semua hak anak di atas. Seorang anak yang seharusnya mendapatkan kesempatan belajar yang layak justru harus dipaksa menjalani sebuah perkawinan yang masih belum saatnya dia pikul. Usia anak-anak adalah usia mendapatkan pendidikan seluas-luasnya, bukan membawa beban kehidupan.20

Kebijakan pemerintah tersebut, dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental. Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan di bawah umur mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan.

Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan di bawah umur dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan di bawah umur dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak

20

Nasaruddin Umar, Refleksi Penerapan Hukum Keluarga di Indonesia, diakses dari (http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2009/02/refleksi-penerapan hukumkeluarga-di-indonesia_nasaruddin-umar.pdf ), tanggal 29 Juni 2011 pukul 10.13 WIB


(36)

26

dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan di atas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.21

Akan tetapi, dalam konteks agama Islam yang dimaksud dengan perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan oleh salah satu atau kedua calon mempelai (laki-laki dan perempuan) yang belum mencapai usia baligh. Dalam menyikapi hal tersebut, terdapat sekelompok ulama (Ibnu Syubrumah dan Abu Bakr al Ashom) yang melarang perkawinan anak-anak sebelum mereka sampai pada usia kawin (baligh).22 Mereka beralasan dengan firman Allah:













۴

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin”. (Q.S. An-Nisa:4 : 6)

Apabila dilihat dari kandungan ayat di atas, dapat dipahami bahwa tidak ada ketentuan mengenai batas minimal usia menikah baik untuk laki-laki maupun perempuan, hanya saja yang menjadi ukuran dibolehkannya seseorang menikah adalah sudah mencapai usia baligh.

21

Yusuf Fatawie, Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara, diakses dari (http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1240:pernikahan -dini-dalam-perspektif-agama-dan-negara&catid=2:islam-kontemporer&Itemid=57), tanggal 29 Juni 2011 pukul 09.06 WIB

22


(37)

Adapun bagi laki-laki ditandai dengan mendapat mimpi basah ketika tidur dan wanita ditandai dengan keluarnya darah haid (menstruasi). Tidak mengherankan, wacana perkawinan di bawah umur (nikah al-shaghirah) justru berkonotasi positif, jika hal itu dilakukan atas pertimbangan kemaslahatan moral dan agama. Hanya saja fuqaha menggarisbawahi, gadis-gadis yang dikawinkan di usia kanak-kanak itu baru boleh “digauli”, jika mereka telah mengalami menstruasi (haid).23

Dasarnya adalah hadis perkawinan Nabi Muhammad saw dengan „Aisyah r.a. yang dinikahi di usia 6 tahun, dan baru “dikumpuli” ketika telah berusia 9

tahun (usia haid), sebagai berikut:

23

Yusuf Hanafi,Perkawinan Anak di Bawah Umur (Nikah al-Shaghirah) dalam Islam: Studi tentang Kontroversi Hadis Perkawinan „Aisyah, diakses dari (http://eprints.sunan-ampel.ac.id/83/1/Yusuf_Hanafi.pdf), tanggal 29 Juni 2011 pukul 09.13 WIB


(38)

28

“Diriwatkan dari „Aisyah r.a. dia telah berkata: “Rasulullah saw telah mengawini aku ketika aku berumur enam tahun dan tinggal bersamaku pada waktu aku berumur sembilan tahun”. Aisyah menyambung lagi: “kami telah berhijrah ke Madinah dan aku demam panas selama sebulan sehingga rambutku memanjang sampai bahu. Ketika itu ibu kandungku, Ummu Ruman, datang menemuiku yang sedang berada di atas buaian bermain bersama teman-temanku, lalu dia memanggilku dan aku segera menemuinya sedangkan aku tidak mengetahui apa yang hendak dia lakukan terhadapku. Ibuku memegang tanganku dan membawaku masuk ke dalam rumah sehingga dia memberhentikanku di pintu dan aku melepaskan lelahku sehingga keadaanku menjadi tenang. Selepas itu ibuku membawa aku masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba seorang wanita Anshor menyambut kami dengan mesra serta mendoakan untuk pengantin supaya diberi kesenangan dan keberkatan. Ibuku menyerahkan aku kepada mereka lalu mereka membelai kepalaku dan menghiasi diriku secantik mungkin. Rasulullah saw tidak menghampiriku secara tiba-tiba tetapi perempuan-perempuan Anshor menyerahkan diriku kepada beliau ketika waktu dhuha”. (H.R. Bukhori dan Muslim)

Meskipun hadis di atas menyebutkan bahwa dahulu diantara anak perempuan usia 9 (sembilan) tahun identik sudah baligh atau dewasa, karena sudah mendapat haid (menstruasi). Akan tetapi tidak semua perempuan, namun pada saat ini batas usia dewasa bagi mayoritas anak perempuan lebih cepat dibandingkan dengan anak perempuan zaman dahulu, bahkan di usia SD kelas 5 atau 6 sudah ada tanda dewasa.

Cepatnya masa puber anak perempuan saat ini diduga karena terkait obesitas yang memang berhubungan erat dengan perkembangan seksual yang lebih dini. Menurut Dr. Marcia E. Herman-Giddens, seorang peneliti di

24

Abu Al-Husain Muslim Ibnu Al-Hijaj Ibnu Muslim Al-Qusyairi Al-Nisaburi, Shahih Al-Muslim, (Beirut: Daar Al-Jaeyl), juz 4, h. 141


(39)

University of North Carolina, Chapel Hill menduga bahwa bahan kimia lingkungan seperti makanan cepat saji (instan) yang menyerupai efek estrogen dapat mempercepat masa pubertas.25

Di Indonesia, rata-rata usia dewasa anak perempuan dimulai saat berumur 8 (delapan) hingga 10 (sepuluh) tahun. Pada masa ini memang pertumbuhan dan perkembangan berlangsung dengan cepat. Selain itu, seorang anak akan menunjukkan tanda-tanda awal dari pubertas, seperti suara yang mulai berubah, tumbuhnya rambut-rambut pada daerah tertentu dan payudara membesar untuk seorang gadis. Untuk seorang anak perempuan, tanda-tanda itu biasanya muncul pada usia 10 tahun ke atas dan pada anak laki-laki, biasanya lebih lambat, yaitu pada usia 11 tahun ke atas.26

Dari sudut pandang yang berbeda, pakar hukum Islam kontemporer menghendaki terobosan hukum terkait dengan legalitas perkawinan anak di bawah umur. Mereka melihat bahwa agama pada dasarnya tidak melarang secara tegas perkawinan di bawah umur, namun juga tidak pernah menganjurkannya, terlebih jika dilaksanakan tanpa mengindahkan dimensi-dimensi fisik, mental, dan hak-hak anak. Adapun perkawinan historis Nabi saw dengan „Aisyah r.a. itu

25

Cincinnati, Anak Perempuan Sekarang Sudah Puber di Usia 7-8 Tahun, diakses dari (http://faktabukanopini.blogspot.com/2011/01/anak-perempuan-sekarang-sudah-puber-di.html), tanggal 20 Juli 2011 pukul 06.26 WIB.

26

Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pubertas, tanggal 22 Agustus 2011 pukul 08.06 WIB.


(40)

30

diposisikan sebagai suatu eksepsi (pengecualian) dan kekhususan yang mengusung tujuan dan hikmah tertentu dalam agama.27

B. Dasar Hukum Perkawinan

Al-Qur‟an dan hadits merupakan dua sumber hukum yang menjadi pedoman agama Islam, termasuk dalam perkawinan kedua sumber hukum ini pun turut dijadikan sebagai pedoman. Sebagaimana dalam firman-Nya telah disebutkan, yaitu:

)

28

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami telah memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan”. (Q.S. ar-Ra‟d : 13 :38)

Dalam hadits Tirmidzi dari Abu Ayyub, Rasulullah saw pernah bersabda:

29

“Empat perkara yang merupakan sunnah para Nabi: Celak, wangi-wangian, siwak dan kawin”.

27

Yusuf Hanafi,Perkawinan Anak di Bawah Umur (Nikah al-Shaghirah) dalam Islam: Studi tentang Kontroversi Hadis Perkawinan „Aisyah, diakses dari (http://eprints.sunan-ampel.ac.id/83/1/Yusuf_Hanafi.pdf), tanggal 29 Juni 2011 pukul 09.13 WIB

28

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya: al-Hidayah, 1998), h. 376

29


(41)

Dalam fakta kehidupan, terkadang ditemukan orang yang ragu-ragu untuk melakukan kawin, dengan alasan sangat takut memikul beban berat dan menghindarkan diri dari kesulitan-kesulitan. Islam memperingatkan bahwa dengan kawin, Allah akan memberikan kepadanya penghidupan yang berkecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitan dan memberikan kekuatan yang mampu mengatasi kemiskinan. Sebagaimana Allah telah berfirman dalam surat al-Nur ayat 32:

۴

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Nur : 24: 32)

Dalam hadits Bukhori, Rasulullah saw pernah bersabda:

31

30

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 549

31

Muhammad Ibnu Ismail Abu „Abdillah Al-Bukhori Al-Ja‟fi, Shahih Al-Bukhori, (Beirut: Daar Ibnu Katsir, 1987), juz 17, h. 89


(42)

32

“Dari „Abdullah r.a. berkata: “Pada zaman Rasulullah saw, kami adalah pemuda-pemuda yang tidak memiliki apa-apa. Rasulullah saw berkata kepada kami: “Wahai para pemuda! Siapa yang mampu berumah tangga, kawinlah! Perkawinan itu melindungi pandangan mata dan memelihara kehormatan. Tetapi siapa yang tidak sanggup kawin, berpuasalah, karena puasa itu merupakan penawar hawa nafsu”. (H.R. Bukhori)

Hadits di atas menjelaskan bahwa perkawinan itu dianjurkan karena memiliki manfaat yang tidak hanya untuk sendiri melainkan juga untuk keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Bahwa dengan perkawinan tersebut, seseorang akan terhindar dari hal-hal negatif yang akan menjerumuskan dirinya. Dan jika seseorang itu tidak sanggup untuk melakukan perkawinan maka diwajibkan untuk berpuasa, karena dengan berpuasa akan terhindar berbuat zina.32

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa yang menjadi dasar hukum dibolehkannya suatu perkawinan tercantum dalam Bab 1 Pasal 2 yang berbunyi: 33

Pasal 2

1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

32

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, Khitbah, Nikah dan Talak, (Jakarta: Amzah, 2009), cet. Ke-1, h. 45

33

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, h. 2


(43)

Dalam pasal 2 ayat 1 yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya yaitu ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi agamanya dan kepercayaannya itu, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

Di kalangan para ulama, mengenai hukum asal perkawinan terdapat perbedaan pendapat, yaitu sebagai berikut:

1. Pendapat pertama, memandang bahwa menikah hukumnya adalah wajib. Pendapat ini dipelopori oleh Daud az-Zahiri dan Ibnu Hazm. Alasan mereka

yaitu bahwa fi‟il amar yang terdapat di dalam al-Qur‟an dan hadits, terutama pada surat an-Nisa ayat 3 dan surat an-Nur ayat 32 menunjukkan perintah wajib. 34

2. Pendapat kedua, memandang bahwa menikah hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Dalilnya adalah bahwa amar dalam ayat (fankihuu) pada surat an-Nisa ayat 3 dan hadits Bukhori (falyatazawwaj) adalah bentuk amar yang disebut amar irsyad, yaitu suatu perintah untuk kemaslahatan umat manusia demi terciptanya suatu ketenangan dan kedamaian di lingkungan sekitarnya.

Demikian menurut jumhur ulama termasuk Imam Syafi‟i. 35

34

Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Masalah Pernikahan, h. 133

35

Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), cet. Ke-1, h. 25


(44)

34

Hukum menikah apabila ditinjau dari kondisi seseorang, ada lima macam yaitu:36

a. Hukum nikah menjadi wajib, bagi orang yang takut akan terjerumus ke dalam lembah perzinaan jika ia tidak menikah. Karena dalam kondisi seperti ini, nikah dapat membantunya menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan.

b. Hukum nikah menjadi sunnah, bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina.

c. Hukum nikah bisa menjadi haram, bagi seorang muslim yang belum mampu memenuhi nafkah batin dan lahir kepada istrinya serta nafsunya pun tidak mendesak, maka haramlah ia kawin.

d. Hukum nikah menjadi makruh, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.

e. Hukum nikah menjadi mubah atau dibolehkan, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri.

36


(45)

C. Rukun dan Syarat Perkawinan

Dalam upacara pernikahan terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Keduanya terdapat perbedaan. Rukun nikah adalah merupakan bagian dari hakikat akan kelangsungan perkawinan seperti laki-laki, perempuan, wali dan sebagainya. Sedangkan syarat nikah adalah sesuatu yang pasti atau harus ada ketika pernikahan berlangsung, tetapi tidak termasuk pada salah satu bagian dari hakikat pernikahan, misalnya kedua calon mempelai, dewasa (baligh), berakal dan sebagainya. 37

1. Rukun Perkawinan

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas: 38 a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan. b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.

c. Adanya dua orang saksi.

d. Sighat akad nikah, yaitu ijab Kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki. 2. Syarat Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.

37

Imam „Alau al-Din Abi Bakr Ibnu Mas‟ud al-Haasaani al-Hanafi, Badaai‟u al-Shonaai‟I Fi Tartib al-Syarai‟i, (Beirut: Daar al-Fikr), Juz 2, h. 348

38


(46)

36

Adapun syarat-syarat sahnya dapat diperinci, sebagai berikut: 39 a. Syarat-syarat calon pengantin pria.

1) Calon suami beragama Islam.

Ketentuan ini ditetapkan, karena dalam hukum Islam laki-laki merupakan pemimpin dalam rumah tangga dan setiap pemimpin harus ditaati. Oleh karena itu, karena berlaku hukum kebiasaan istri harus taat kepada suami. Maka dalam memilih calon suami pun hendaknya menganut agama yang sama, yaitu Islam. Sebagaimana tercantum dalam surat Al-Mumtahanah: 10, sebagai berikut:

























:

:

“…. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu…”( Q.S.Al-Baqarah: 2: 221)

2) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki. 3) Orangnya diketahui dan tertentu.

Calon mempelai laki-laki yang akan dinikahi sudah jelas orangnya, dan merupakan laki-laki pilihan baik untuk calon mempelai wanita maupun orang tua calon mempelai wanita.

39


(47)

4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri. 5) Calon mempelai laki-laki tahu / kenal dengan calon istri, serta tahu

betul calon istri tersebut halal baginya.

6) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu. 7) Tidak sedang melakukan ihram.

8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.

Calon mempelai laki-laki tidak mempunyai istri yang mempunyai hubungan kerabat atau persusuan dengan calon mempelai wanita, yang jika calon mempelai laki-laki itu hendak berpoligami dengan calon mempelai wanita. Maka hal tersebut diharamkan, sebagaimana dalam firman Allah disebutkan:











۴

:

“Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara…” (Q.S.An-Nisa: 4: 23)

Dalam kandungan ayat di atas, dapat dipahami bahwa diharamkan kepada laki-laki yang mengumpulkan dua orang wanita mahram secara bersamaan, seperti antara wanita dan saudara perempuan bapaknya, atau antara wanita dan saudara perempuan ibunya. 40

40

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah dan Talak), h. 167


(48)

38

Adapun wanita-wanita yang haram untuk dinikahi karena nasab, yaitu sebagai berikut: 41

a) Ibu;

b) Anak perempuan; c) Saudara perempuan; d) Bibi dari pihak ibu; e) Bibi dari pihak ayah;

f) Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan); g) Anak perempuan saudara perempuan (keponakan). 9) Tidak sedang mempunyai istri empat.

b. Syarat-syarat calon pengantin wanita.

1) Beragama Islam.

Calon mempelai laki-laki muslim hanya dibolehkan menikah dengan wanita muslimah. Sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah, sebagai berikut:

























:

:

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Q.S.Al-Baqarah: 2: 221)

41

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), cet. Ke-1, h. 156


(49)

2) Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci).

3) Wanita itu tentu orangnya.

Calon mempelai wanita yang akan dinikahi sudah jelas orangnya, dan merupakan wanita pilihan baik untuk calon mempelai laki-laki maupun orang tua calon mempelai laki-laki.

4) Halal bagi calon suami.

5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak dalam masa iddah.

6) Tidak dipaksa / ikhtiyar.

7) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umroh. c. Syarat-syarat ijab qobul.

Mengenai lafaz yang digunakan untuk akad nikah, terdapat perbedaan pendapat. Pendapat pertama, mengatakan bahwa lafaz nikah menggunakan nikah atau tazwij, karena dua lafaz tersebut terdapat di dalam Kitabullah dan Sunnah.

Demikian pendapat Imam Syafi‟i dan Hambali. 42

Adapun dalilnya, sebagai berikut:

Firman Allah swt dalam surat An-Nisa ayat 22 dan Al-Ahzab ayat 37















:

۴

:

42


(50)

40

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu…” (Q.S. An-Nisa : 4: 22)







































:

:

“….Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia, supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya…”.(Q.S.Al-Ahzab : 33 : 37)

Hadis Nabi Muhammad saw

“Telah diriwayatkan oleh Ahmad Ibnu Abi „Amr kepada Abi Ibrahim, Yunus, Hasan, Ma‟qil Ibnu Yasar bahwasannya telah tiba saatnya aku menikahkan saudara perempuanku kepada seorang laki-laki kemudian ia mentalaknya, sehingga apabila telah habis masa iddahnya maka ia boleh melamarnya (mengkhitbah) kembali, maka aku berkata kepadanya aku nikahkan kamu, aku berikan tempat tinggal untukmu, dan aku muliakan kamu…” (H.R. Bukhori)

43


(51)

Pendapat kedua, mengatakan bahwa akad nikah itu dianggap telah terlaksana dengan menggunakan lafaz hibah, sedekah, jual beli dan kepemilikan (malaka).44 Dengan alasan kata-kata ini adalah majaz (kiasan) yang biasa juga digunakan dalam bahasa sastra atau bahasa yang artinya perkawinan. Demikian pendapat Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Abu Ubaid, Abu Dawud dan Abu Tsaur.45 Adapun dalilnya, sebagai berikut:

Firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 50

































:

:

“…Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi, apabila Nabi ingin menikahinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin...” (Q.S.Al-Ahzab : 33: 50)

44

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat), h. 114

45


(52)

42

Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa yang menjadi kekhususan bukan pada penggunaan kata hibah pada akad nikah, melainkan pada akad nikah tanpa mahar, sebagaimana ayat lanjutannya. 46





























:

:

(

“… Sesungguhnya kami Telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu…” (Q.S. Al-Ahzab: 33: 50)

Pendapat ketiga, mengatakan bahwa secara khusus, shighat akad nikah mempunyai tiga bentuk, yaitu lafaz nikah (pernikahan), zawaj (perkawinan) dan hibah (pemberian). Tetapi shighat lafaz hibah wajib dibarengi penyebutan

mahar (maskawin) tertentu. Misalnya, “aku berikan kepada engkau putriku

dengan mahar 1.000 dinar” atau dibarengi dengan penyerahan diri (tafwidh),

misalnya “aku berikan kepada engkau putriku ini dengan penuh penyerahan”.

Tidak sah akad nikah yang menggunakan lafaz hibah tidak dibarengi dengan penyebutan mahar tertentu atau penyerahan diri. 47 Demikian pendapat Imam Maliki, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis Nabi saw, sebagai berikut:

46

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah dan Talak), h. 65

47

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah dan Talak), h. 66


(53)

“Nabi saw pernah menikahkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan, dan beliau berkata: Sesungguhnya telah kujadikan ia milikmu dengan (mahar) hafalan Al-Qur‟an yang ada padamu”. (H.R. Bukhori)

Dari ketiga pendapat di atas, yang rojih (tepat) dan biasa digunakan dalam akad nikah adalah pendapat pertama, yang menggunakan lafaz nikah atau tazwij. Karena dalam pelaksanaan akad nikah harus dengan ungkapan yang shahih dan jelas seperti lafaz: zawwajtukaha (aku nikahkan kamu dengannya) atau ankahtukaha (aku nikahkan kamu dengannya). Dengan demikian, tujuan melaksanakan akad nikah pun dapat dipahami jelas oleh para saksi yang hadir. Sementara dalam pendapat kedua dan ketiga, mereka lebih condong kepada lafaz hibah dalam melaksanakan akad nikah. Dalam hal ini, penggunaan lafaz hibah hanya diperuntukkan bagi Rasulullah saw secara khusus.49 Karena lafaz tersebut sah jika dipergunakan untuk akad selain nikah. Selain itu, karena lafaz tersebut tidak secara jelas mengungkapkan pernikahan, sehingga tidak sah digunakan dalam akad nikah. Hal itu karena kesaksian merupakan syarat dalam nikah dan kinayah itu hanya diketahui melalui niat saja, sedangkan para

48

Muhammad Ibnu Ismail Abu Abdillah Al-Bukhori Al-Ja‟fi, Shahih Bukhori, h. 31

49Imam „Alau al

-Din Abi Bakr Ibnu Mas‟ud al-Haasaani al-Hanafi, Badaai‟u al-Shonaai‟I Fi Tartib al-Syarai‟i,h. 344


(54)

44

saksi tidak mengetahui niat kecuali jika diberitahukan kepada mereka secara jelas. 50

d. Syarat-syarat Wali.

Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal dan adil (tidak fasik).

e. Syarat-syarat Saksi.

1) Beragama Islam.

2) Berakal, bukan orang gila.

3) Baligh, bukan anak-anak.

4) Merdeka, bukan budak.

5) Kedua orang saksi itu mendengar. 51

D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan

1. Tujuan Perkawinan

50

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat), h. 115

51

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), cet. Ke-1, h. 64


(55)

Pada dasarnya tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Syari‟ah. 52

2. Hikmah Perkawinan

Dalam sebuah perkawinan, terdapat hikmah dan pengaruh yang sangat baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia yang diantaranya sebagai berikut:

a. Dengan adanya pernikahan maka banyaklah keturunan.

b. Keadaan hidup manusia tidak akan tentram kecuali jika keadaan rumah tangganya teratur.

c. Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan dunia masing-masing dengan ciri khasnya berbuat dengan berbagai macam pekerjaan.

d. Sesuai dengan tabiatnya, manusia itu cenderung mengasihi orang yang dikasihi.

e. Manusia diciptakan dengan memiliki rasa ghirah (kecemburuan) untuk menjaga kehormatan dan kemuliannya.

52

M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Anggota IKAPI, 1990), cet. Ke-2, h. 27


(56)

46

f. Perkawinan akan memelihara keturunan serta menjaganya.

g. Berbuat baik yang banyak lebih baik daripada berbuat baik sedikit.

h. Manusia itu jika mati terputuslah seluruh amal perbuatannya yang mendatangkan rahmat dan pahala kepadanya. Namun, apabila masih

meninggalkan istri dan anak, mereka akan mendo‟akannya dengan

kebaikan hingga amalnya tidak terputus dan pahalanya pun tidak ditolak.53 Selain hikmah di atas, Sayyid Sabiq menyebutkan pula hikmah-hikmah perkawinan yang lain, sebagai berikut: 54

a) Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan, kacau dan menerobos jalan yang jahat. Kawin merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin, badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram, perasaan tenang menikmati barang yang halal.

53

Hadi Mulyo dan Sobahus Surur, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992), h. 256-258

54


(57)

b) Kawin merupakan jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan.

c) Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan kasih sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.

d) Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang.

e) Adanya pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugas-tugasnya.

f) Dengan perkawinan, diantaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang.

g) Dalam salah satu pernyataan PBB yang disiarkan oleh harian Nasional terbitan Sabtu 6/6 1959 mengatakan:

“Bahwa orang yang bersuami istri umurnya lebih panjang daripada orang -orang yang tidak bersuami istri, baik karena menjanda, tercerai atau sengaja


(58)

48

orang-orang kawin pada umur yang masih sangat muda, akan tetapi bagaimanapun juga umur orang-orang yang bersuami istri umumnya lebih

panjang”.

Itulah perkawinan dengan berbagai hikmahnya, dan perkawinan juga mempunyai tujuan untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang oleh Allah swt, menyelamatkan umat manusia dari kepunahan untuk kelangsungan hidup keturunan, pembentukan keluarga bahwa itu adalah organisasi masyarakat, dan untuk menemukan kerjasama antara anggotanya, selain itu diketahui juga bahwa pernikahan merupakan kerjasama antara pasangan untuk menanggung beban kehidupan, cinta dan kolaborasi di antara masyarakat, keluarga dan memperkuat hubungan, serta penggunaannya adalah kepentingan.55

E. Prinsip-Prinsip Perkawinan menurut Islam

Ada beberapa prinsip hukum perkawinan menurut agama Islam yang merupakan dasar dari perkawinan. Diantara prinsip tersebut ialah:

1. Sukarela.

Yang dimaksud dengan prinsip sukarela yaitu suatu perkawinan yang dilakukan atas persetujuan kedua calon suami istri, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. 56

55

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuh, h. 6515-6516

56

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005), h. 174


(59)

2. Partisipasi Keluarga

Sungguhpun akad nikah itu pada dasarnya merupakan hak individu calon mempelai suami istri, tapi karena perkawinan merupakan suatu peristiwa penting yang sangat erat berhubungan dengan orang lain khususnya keluarga, sangat mudah dimengerti jika sesuai dengan hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan di Dunia Islam tetap mempertahankan asas keterlibatan atau partisipasi aktif keluarga dalam perkawinan.

3. Perceraian dipersulit.

Sesungguhnya, tidak semua doktrin / paham keagamaan mengakui apalagi membenarkan adanya perceraian dalam suatu perkawinan. Menurut agama Katolik Roma, perkawinan itu menjadi sakramen, yaitu suatu lembaga suci yang diberkati oleh Tuhan, yang mempersatukan suami dan istri seumur hidup. 57

Menurut penulis, dalam agama Katolik Roma bahwa pernikahan itu adalah apa yang telah disatukan oleh Tuhan, jadi apa yang telah disatukan oleh Tuhan tidak boleh dipisahkan atau dinodai dengan melakukan perceraian. Oleh karena itu, mereka tidak memperbolehkan adanya perceraian, meskipun kondisi rumah tangganya sudah tidak harmonis. Sebagai contoh, di Negara Italia penduduk yang beragama Katolik yang hendak bercerai, terpaksa harus

57


(60)

50

pindah selama waktu tertentu ke negeri Eropa yang lain dimana perceraian dapat disahkan. Misalnya, Negara Swiss atau Inggris.

Sementara dalam Islam, talak atau perceraian merupakan perbuatan yang halal (boleh) akan tetapi dibenci oleh Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, sebagai berikut:

“Telah diriwayatkan oleh Katsir Ibnu „Ubaid kepada Muhammad Ibnu Kholid, Mu‟arrif Ibnu Washil, Muharib Ibnu Ditsar Ibnu Umar bahwa Nabi saw telah bersabda: “Suatu perbuatan yang halal tetapi dibenci oleh Allah adalah talak”. (H.R. Abu Daud)

Dari kandungan hadis di atas, dapat dipahami bahwa dalam Islam kemungkinan terjadinya talak atau perceraian itu dibolehkan, tentunya bagi keluarga yang tidak mungkin dapat untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Akan tetapi, meskipun dibolehkan tetap ada syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi mereka yang hendak melakukan perceraian. Dan syarat-syarat tersebut telah tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 19, sebagai berikut: 59

58Sulaiman Ibnu Asy‟ats Abu Daud

Sujastani Al-Azdi, Sunan Abi Daud, (Beirut: Daar Al- Fikr), juz 6, h. 406

59

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, h. 49


(61)

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Syarat-syarat tersebut dibuat, agar tidak ada pihak yang semena-semena mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama dan terutama untuk kemaslahatan umat Islam itu sendiri.

4. Monogami.

Yaitu asas yang hanya memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri. 60

5. Kedewasaan calon mempelai

Yaitu setiap calon suami dan calon istri yang hendak melakukan perkawinan, harus benar-benar matang secara fisik maupun psikis (rohani), atau harus sudah siap secara jasmani maupun rohani.

60


(62)

52

6. Keseimbangan hak dan kewajiban antara suami istri, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun pergaulan masyarakat.

7. Perkawinan harus dicatatkan.

Yaitu untuk mempermudah mengetahui orang-orang yang sudah menikah atau melakukan ikatan perkawinan.


(63)

53

Wilayah Desa Ciwalat merupakan pemekaran dari Desa Pabuaran dan merupakan Desa induk setelah kemerdekaan yang berdiri sekitar Tahun 1904. Selain itu, Desa ini pun merupakan salah satu dari 7 (tujuh) Desa di wilayah Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi, yang mempunyai sejarah singkat sebagai berikut:

A. Sejarah Singkat Desa Ciwalat

Desa Ciwalat sudah 17 (tujuh belas) kali mengalami pergantian Kepala Desa/Lurah, masa pergantiannya terbagi menjadi 2 (dua) masa/periode pemerintahan yaitu Pra kemerdekaan 7 (tujuh) orang dan Pasca Kemerdekaan 10 (sepuluh) orang. Pada tahun 1984 pemekaran Desa menjadi dua, yaitu: Desa Ciwalat sebagai desa induk dan Desa Sukajaya menjadi desa pemekaran. Keadaan sarana dan pra sarana masih kurang memadai seperti jalan penghubung antar Desa yaitu Desa Pabuaran-Desa Lembursawah-Desa Ciwalat-Desa Sukajaya ke Desa Bojong Kecamatan Kalibunder yang sudah diperkeras sejak tahun 1982 dan belum diaspal. 1

1

Arsip Desa Ciwalat yang diambil pada tanggal 13 Mei 2011 di Balai Desa Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi.


(1)

75

B. Saran-saran

Dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis menyarankan khususnya kepada masyarakat Desa Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi dan umumnya kepada instansi terkait, apabila hendak melangsungkan perkawinan agar selalu memperhatikan aturan-aturan yang termuat dalam agama Islam dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan aturan-aturan lain yang berkenaan dengan pelaksanaan perkawinan.


(2)

76 Ke-5.

Abidin, Slamet dan H. Aminuddin. Fiqh Munakahat 1. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, cet. Ke-1.

Al-Anshoriy, Syaikh Zakariyya. Haasyiyat Al-„Allamat Al-Syaikh Sulaiman Al-Jamal „Ala Syarh Al-Manhaj. Beirut: Daar Al-Fikr, juz IV.

Al-Anshory, Abu Yahya Zakariya. Fath Al-Wahhab. Singapura: Sulaiman Mar‟iy, juz II.

Al-Azdi, Sulaiman Ibnu Asy‟ats Abu Daud Sujastani. Sunan Abi Daud. Beirut: Daar Al-Fikr, juz 6.

Al-Jaziri, Abd Ar-Rahman. Al-Fiqh „Ala Al-Mazahib Al-Arba‟ah. Beirut: Daar Al-Fikr, juz IV.

Al-Ja‟fi, Muhammad Ibnu Ismail Abu „Abdillah Al-Bukhori. Shahih Al-Bukhori. Beirut: Daar Ibnu Katsir, 1987, juz 17.

Al-Nisaburi, Abu Al-Husain Muslim Ibnu Al-Hijaj Ibnu Muslim Al-Qusyairi. Shahih Al-Muslim, Beirut: Daar Al-Jaeyl, juz 4.

Al-San‟any, Muhammad ibn Ismail. Subul Al-Salam Syarh Bulug Al-Maram. Beirut:

Daar Al-Fikr, 1991, juz III.

Al-Syafi‟iy, Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad al-Husainy Husny al-Damsyiqy Kifayat Akhyar Fi Halli Ghoyat Ikhtishor. Beirut: Daar Al-Fikr, juz II.

Al-Syarai‟i, Imam „Alau al-Din Abi Bakr Ibnu Mas‟ud al-Haasaani al-Hanafi. Badaai‟u al-Shonaai‟I Fi Tartib. Beirut: Daar al-Fikr. Juz 2.

Al-Zuhaili, Wahbah . Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuh. Beirut: Daar Al-Fikr, 1989, juz VII.

Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006, cet. Ke-1.


(3)

77

---. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009, cet. Ke-1. Arsip Desa Ciwalat yang diambil di Balai Desa Ciwalat Kecamatan Pabuaran

Kabupaten Sukabumi pada tanggal 13 Mei 2011.

As‟ad, Musifin. Perkawinan dan Masalahnya. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993, cet. Ke-2.

Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga, (Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001, cet. Ke-1.

Cincinnati, Anak Perempuan Sekarang Sudah Puber di Usia 7-8 Tahun, diakses dari (http://faktabukanopini.blogspot.com/2011/01/anak-perempuan-sekarang-sudah-puber-di.html), tanggal 20 Juli 2011 pukul 06.26 WIB.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Surabaya: al-Hidayah, 1998.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005, cet. Ke-3.

Ernawati, Teti. Wawancara Pribadi. di Rumah Sakit (RS) Syarif Hidayatullah pada tanggal 24 Agustus 2011.

Fatawie, Yusuf. Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara, diakses dari(http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view =article&id=1240:pernikahan-dini-dalam-perspektif-agama-dan

negara&catid=2:islam-kontemporer&Itemid=57), tanggal 29 Juni 2011 pukul 09.06 WIB

Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, cet. Ke-3.

Hawwas, Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed. Fiqh Munakahat, Khitbah, Nikah dan Talak. Jakarta: Amzah, 2009, cet. Ke-1. Hosen, Ibrahim. Fikih Perbandingan Masalah Pernikahan. Jakarta: Pustaka Firdaus,

2003, cet. Ke-1.

http://www.damandiri.or.id/file/yeniabsahunairbab1.pdf, diakses pada tanggal 05 Juli 2011 pukul 11.38 WIB.


(4)

http://72legalogic.wordpress.com/2009/03/08/dewasa-menurut-hukum-positif indonesia/), diakses pada tanggal 22 September 2011 pukul 08.29 WIB. http://id.wikipedia.org/wiki/Pubertas, diakses pada tanggal 22 Agustus 2011 pukul

08.06 WIB.

Kamarusdiana dan Jaenal Aripin. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007, cet. Ke-1.

Kartono, Kartini. Pengantar Metode Riset Sosial. Bandung: Alumni, 1980, cet. Ke-1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP). Surabaya: Kesindo, 2008, cet. Ke-2.

Kountur, Ronny. Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Sekolah Tinggi Managemen.

Lina (Warga) Desa Ciwalat. Wawancara Pribadi. di Kp. Ciselut pada tanggal 14 Mei 2011.

Lati (Warga) Desa Ciwalat. Wawancara Pribadi. di Kp. Ciselut pada tanggal 14 Mei 2011.

Mansur, I. (Penghulu) Desa Ciwalat. Wawancara pribadi. di Kp. Ciselut pada tanggal 14 Mei 2011.

Meridian, Rasta. Menikah Muda antara Pro dan Kontra. (http://www.artikelpernikahan.com/2011/05/menikah-muda-antara-pro-dan-kontra.html), diakses tanggal 05 Juli 2011 pukul 20.34 WIB.

Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987, cet. Ke-2.

Mulyo, Hadi dan Sobahus Surur. Falsafah dan Hikmah Hukum Islam. Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992.

Mutawwaly, Abdul Basit. Muhadarah Fi Al-Fiqh Al-Muqaran. Mesir: t.p.,t.t.

Nuryaman, Ade (Sekdes) Desa Ciwalat. Wawancara Pribadi. di Balai Desa Ciwalat pada tanggal 14 Mei 2011.

Prakoso, Djoko dan I. Ketut Murtika. Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987, cet. Ke-1.


(5)

79

Puspitasari, Fitra. Perkawinan Usia Muda: Faktor-faktor Pendorong dan Dampaknya Terhadap Pola Asuh Keluarga. (Studi Kasus di Desa Mandala Giri Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya). (http://www.solex-un.net/repository/id/hlth/CR10-Res3-ind.pdf), diakses tanggal 05 Juli 2011 pukul 21.29 WIB.

Rahman, Abdur. Perkawinan Dalam Syariat Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992, cet. Ke-1.

Ramulyo, M. Idris. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Anggota IKAPI, 1990, cet. Ke-2.

Sabiq, Sayyid. Fiqh Al-Sunnat. Mesir: Daar Al-Fath Lil i‟lami al-„Arabiy, 1999, juz II.

Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008.

Solahuddin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Visimedia, 2008, cet. Ke-2.

Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007, cet. Ke-2.

Syuja‟, Abi. Al-Iqna‟, Semarang: Maktabah Alawiyyah, Juz II.

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986, cet. Ke-5.

Tim Bedah Hukum. Kedewasaan Seseorang Berdasarkan Besaran Usia Menurut

Berbagai Ketentuan Hukum. Diakses dari

(http://bedahukum.blogspot.com/2009/12/kedewasaan-seseorang-berdasarkan.html), pada tanggal 22 September 2011 pukul 08.40 WIB

Umar, Nasaruddin. Refleksi Penerapan Hukum Keluarga di Indonesia. diakses dari(http://www.komnasperempuan.or.id/wpcontent/uploads/2009/02/refleks i-penerapanhukumkeluarga-di-indonesia_nasaruddinumar.pdf), tanggal 29 Juni 2011 pukul 10.13 WIB.


(6)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara, 2007, cet. Ke-1.

Weti (warga) Desa Ciwalat. Wawancara pribadi. di Kp. Ciselut pada tanggal 15 Mei 2011.