Tujuan dan Hikmah Perkawinan

46 f. Perkawinan akan memelihara keturunan serta menjaganya. g. Berbuat baik yang banyak lebih baik daripada berbuat baik sedikit. h. Manusia itu jika mati terputuslah seluruh amal perbuatannya yang mendatangkan rahmat dan pahala kepadanya. Namun, apabila masih meninggalkan istri dan anak, mereka akan mendo‟akannya dengan kebaikan hingga amalnya tidak terputus dan pahalanya pun tidak ditolak. 53 Selain hikmah-hikmah di atas, Sayyid Sabiq menyebutkan pula hikmah- hikmah perkawinan yang lain, sebagai berikut: 54 a Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan, kacau dan menerobos jalan yang jahat. Kawin merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin, badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram, perasaan tenang menikmati barang yang halal. 53 Hadi Mulyo dan Sobahus Surur, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, Semarang: CV. Asy- Syifa, 1992, h. 256-258 54 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnat, h. 9-10 47 b Kawin merupakan jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan. c Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan kasih sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang. d Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. e Adanya pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugas-tugasnya. f Dengan perkawinan, diantaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang. g Dalam salah satu pernyataan PBB yang disiarkan oleh harian Nasional terbitan Sabtu 66 1959 mengatakan: “Bahwa orang yang bersuami istri umurnya lebih panjang daripada orang- orang yang tidak bersuami istri, baik karena menjanda, tercerai atau sengaja membujang”. Pernyataan itu selanjutnya mengatakan: “Dalam banyak negeri 48 orang-orang kawin pada umur yang masih sangat muda, akan tetapi bagaimanapun juga umur orang-orang yang bersuami istri umumnya lebih panjang”. Itulah perkawinan dengan berbagai hikmahnya, dan perkawinan juga mempunyai tujuan untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang oleh Allah swt, menyelamatkan umat manusia dari kepunahan untuk kelangsungan hidup keturunan, pembentukan keluarga bahwa itu adalah organisasi masyarakat, dan untuk menemukan kerjasama antara anggotanya, selain itu diketahui juga bahwa pernikahan merupakan kerjasama antara pasangan untuk menanggung beban kehidupan, cinta dan kolaborasi di antara masyarakat, keluarga dan memperkuat hubungan, serta penggunaannya adalah kepentingan. 55

E. Prinsip-Prinsip Perkawinan menurut Islam

Ada beberapa prinsip hukum perkawinan menurut agama Islam yang merupakan dasar dari perkawinan. Diantara prinsip tersebut ialah: 1. Sukarela. Yang dimaksud dengan prinsip sukarela yaitu suatu perkawinan yang dilakukan atas persetujuan kedua calon suami istri, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. 56 55 Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuh, h. 6515-6516 56 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005, h. 174 49 2. Partisipasi Keluarga Sungguhpun akad nikah itu pada dasarnya merupakan hak individu calon mempelai suami istri, tapi karena perkawinan merupakan suatu peristiwa penting yang sangat erat berhubungan dengan orang lain khususnya keluarga, sangat mudah dimengerti jika sesuai dengan hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan di Dunia Islam tetap mempertahankan asas keterlibatan atau partisipasi aktif keluarga dalam perkawinan. 3. Perceraian dipersulit. Sesungguhnya, tidak semua doktrin paham keagamaan mengakui apalagi membenarkan adanya perceraian dalam suatu perkawinan. Menurut agama Katolik Roma, perkawinan itu menjadi sakramen, yaitu suatu lembaga suci yang diberkati oleh Tuhan, yang mempersatukan suami dan istri seumur hidup. 57 Menurut penulis, dalam agama Katolik Roma bahwa pernikahan itu adalah apa yang telah disatukan oleh Tuhan, jadi apa yang telah disatukan oleh Tuhan tidak boleh dipisahkan atau dinodai dengan melakukan perceraian. Oleh karena itu, mereka tidak memperbolehkan adanya perceraian, meskipun kondisi rumah tangganya sudah tidak harmonis. Sebagai contoh, di Negara Italia penduduk yang beragama Katolik yang hendak bercerai, terpaksa harus 57 Muhammad Amin Suma, h. 176-177 50 pindah selama waktu tertentu ke negeri Eropa yang lain dimana perceraian dapat disahkan. Misalnya, Negara Swiss atau Inggris. Sementara dalam Islam, talak atau perceraian merupakan perbuatan yang halal boleh akan tetapi dibenci oleh Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, sebagai berikut: “Telah diriwayatkan oleh Katsir Ibnu „Ubaid kepada Muhammad Ibnu Kholid, Mu‟arrif Ibnu Washil, Muharib Ibnu Ditsar Ibnu Umar bahwa Nabi saw telah bersabda: “Suatu perbuatan yang halal tetapi dibenci oleh Allah adalah talak”. H.R. Abu Daud Dari kandungan hadis di atas, dapat dipahami bahwa dalam Islam kemungkinan terjadinya talak atau perceraian itu dibolehkan, tentunya bagi keluarga yang tidak mungkin dapat untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Akan tetapi, meskipun dibolehkan tetap ada syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi mereka yang hendak melakukan perceraian. Dan syarat- syarat tersebut telah tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 19, sebagai berikut: 59 58 Sulaiman Ibnu Asy‟ats Abu Daud Sujastani Al-Azdi, Sunan Abi Daud, Beirut: Daar Al- Fikr, juz 6, h. 406 59 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, h. 49