Dasar Hukum Perkawinan LANDASAN TEORI

32 “Dari „Abdullah r.a. berkata: “Pada zaman Rasulullah saw, kami adalah pemuda-pemuda yang tidak memiliki apa-apa. Rasulullah saw berkata kepada kami: “Wahai para pemuda Siapa yang mampu berumah tangga, kawinlah Perkawinan itu melindungi pandangan mata dan memelihara kehormatan. Tetapi siapa yang tidak sanggup kawin, berpuasalah, karena puasa itu merupakan penawar hawa nafsu”. H.R. Bukhori Hadits di atas menjelaskan bahwa perkawinan itu dianjurkan karena memiliki manfaat yang tidak hanya untuk sendiri melainkan juga untuk keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Bahwa dengan perkawinan tersebut, seseorang akan terhindar dari hal-hal negatif yang akan menjerumuskan dirinya. Dan jika seseorang itu tidak sanggup untuk melakukan perkawinan maka diwajibkan untuk berpuasa, karena dengan berpuasa akan terhindar berbuat zina. 32 Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa yang menjadi dasar hukum dibolehkannya suatu perkawinan tercantum dalam Bab 1 Pasal 2 yang berbunyi: 33 Pasal 2 1 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2 Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 32 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, Khitbah, Nikah dan Talak, Jakarta: Amzah, 2009, cet. Ke-1, h. 45 33 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, h. 2 33 Dalam pasal 2 ayat 1 yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya yaitu ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi agamanya dan kepercayaannya itu, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini. Di kalangan para ulama, mengenai hukum asal perkawinan terdapat perbedaan pendapat, yaitu sebagai berikut: 1. Pendapat pertama, memandang bahwa menikah hukumnya adalah wajib. Pendapat ini dipelopori oleh Daud az-Zahiri dan Ibnu Hazm. Alasan mereka yaitu bahwa fi‟il amar yang terdapat di dalam al-Qur‟an dan hadits, terutama pada surat an-Nisa ayat 3 dan surat an-Nur ayat 32 menunjukkan perintah wajib. 34 2. Pendapat kedua, memandang bahwa menikah hukumnya adalah sunnah dianjurkan. Dalilnya adalah bahwa amar dalam ayat fankihuu pada surat an-Nisa ayat 3 dan hadits Bukhori falyatazawwaj adalah bentuk amar yang disebut amar irsyad, yaitu suatu perintah untuk kemaslahatan umat manusia demi terciptanya suatu ketenangan dan kedamaian di lingkungan sekitarnya. Demikian menurut jumhur ulama termasuk Imam Syafi‟i. 35 34 Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Masalah Pernikahan, h. 133 35 Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta: Darussalam, 2004, cet. Ke-1, h. 25 34 Hukum menikah apabila ditinjau dari kondisi seseorang, ada lima macam yaitu: 36 a. Hukum nikah menjadi wajib, bagi orang yang takut akan terjerumus ke dalam lembah perzinaan jika ia tidak menikah. Karena dalam kondisi seperti ini, nikah dapat membantunya menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan. b. Hukum nikah menjadi sunnah, bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina. c. Hukum nikah bisa menjadi haram, bagi seorang muslim yang belum mampu memenuhi nafkah batin dan lahir kepada istrinya serta nafsunya pun tidak mendesak, maka haramlah ia kawin. d. Hukum nikah menjadi makruh, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik. e. Hukum nikah menjadi mubah atau dibolehkan, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. 36 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnat, h. 10-12 35

C. Rukun dan Syarat Perkawinan

Dalam upacara pernikahan terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Keduanya terdapat perbedaan. Rukun nikah adalah merupakan bagian dari hakikat akan kelangsungan perkawinan seperti laki-laki, perempuan, wali dan sebagainya. Sedangkan syarat nikah adalah sesuatu yang pasti atau harus ada ketika pernikahan berlangsung, tetapi tidak termasuk pada salah satu bagian dari hakikat pernikahan, misalnya kedua calon mempelai, dewasa baligh, berakal dan sebagainya. 37 1. Rukun Perkawinan Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas: 38 a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan. b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita. c. Adanya dua orang saksi. d. Sighat akad nikah, yaitu ijab Kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki. 2. Syarat Perkawinan Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. 37 Imam „Alau al-Din Abi Bakr Ibnu Mas‟ud al-Haasaani al-Hanafi, Badaai‟u al-Shonaai‟I Fi Tartib al- Syarai‟i, Beirut: Daar al-Fikr, Juz 2, h. 348 38 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008, cet. Ke-3, h. 46 36 Adapun syarat-syarat sahnya dapat diperinci, sebagai berikut: 39 a. Syarat-syarat calon pengantin pria. 1 Calon suami beragama Islam. Ketentuan ini ditetapkan, karena dalam hukum Islam laki-laki merupakan pemimpin dalam rumah tangga dan setiap pemimpin harus ditaati. Oleh karena itu, karena berlaku hukum kebiasaan istri harus taat kepada suami. Maka dalam memilih calon suami pun hendaknya menganut agama yang sama, yaitu Islam. Sebagaimana tercantum dalam surat Al-Mumtahanah: 10, sebagai berikut:              : : “…. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu …” Q.S.Al-Baqarah: 2: 221 2 Terang jelas bahwa calon suami itu betul laki-laki. 3 Orangnya diketahui dan tertentu. Calon mempelai laki-laki yang akan dinikahi sudah jelas orangnya, dan merupakan laki-laki pilihan baik untuk calon mempelai wanita maupun orang tua calon mempelai wanita. 39 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 50 37 4 Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri. 5 Calon mempelai laki-laki tahu kenal dengan calon istri, serta tahu betul calon istri tersebut halal baginya. 6 Calon suami rela tidak dipaksa untuk melakukan perkawinan itu. 7 Tidak sedang melakukan ihram. 8 Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri. Calon mempelai laki-laki tidak mempunyai istri yang mempunyai hubungan kerabat atau persusuan dengan calon mempelai wanita, yang jika calon mempelai laki-laki itu hendak berpoligami dengan calon mempelai wanita. Maka hal tersebut diharamkan, sebagaimana dalam firman Allah disebutkan:        ۴ :  “Dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara…” Q.S.An-Nisa: 4: 23 Dalam kandungan ayat di atas, dapat dipahami bahwa diharamkan kepada laki-laki yang mengumpulkan dua orang wanita mahram secara bersamaan, seperti antara wanita dan saudara perempuan bapaknya, atau antara wanita dan saudara perempuan ibunya. 40 40 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah dan Talak, h. 167