Rukun dan Syarat Perkawinan
37
4 Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.
5 Calon mempelai laki-laki tahu kenal dengan calon istri, serta tahu
betul calon istri tersebut halal baginya. 6
Calon suami rela tidak dipaksa untuk melakukan perkawinan itu. 7
Tidak sedang melakukan ihram. 8
Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
Calon mempelai laki-laki tidak mempunyai istri yang mempunyai hubungan kerabat atau persusuan dengan calon mempelai wanita, yang jika
calon mempelai laki-laki itu hendak berpoligami dengan calon mempelai wanita. Maka hal tersebut diharamkan, sebagaimana dalam firman Allah
disebutkan:
۴ :
“Dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara…” Q.S.An-Nisa: 4: 23
Dalam kandungan ayat di atas, dapat dipahami bahwa diharamkan kepada laki-laki yang mengumpulkan dua orang wanita mahram secara bersamaan,
seperti antara wanita dan saudara perempuan bapaknya, atau antara wanita dan saudara perempuan ibunya.
40
40
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah dan Talak, h. 167
38
Adapun wanita-wanita yang haram untuk dinikahi karena nasab, yaitu sebagai berikut:
41
a Ibu;
b Anak perempuan;
c Saudara perempuan;
d Bibi dari pihak ibu;
e Bibi dari pihak ayah;
f Anak perempuan saudara laki-laki keponakan;
g Anak perempuan saudara perempuan keponakan.
9 Tidak sedang mempunyai istri empat.
b. Syarat-syarat calon pengantin wanita.
1 Beragama Islam.
Calon mempelai laki-laki muslim hanya dibolehkan menikah dengan wanita muslimah. Sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah, sebagai berikut:
: :
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu ”. Q.S.Al-Baqarah: 2: 221
41
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001, cet. Ke-1, h. 156
39
2 Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa banci.
3 Wanita itu tentu orangnya.
Calon mempelai wanita yang akan dinikahi sudah jelas orangnya, dan merupakan wanita pilihan baik untuk calon mempelai laki-laki maupun orang
tua calon mempelai laki-laki. 4
Halal bagi calon suami. 5
Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak dalam masa iddah. 6
Tidak dipaksa ikhtiyar. 7
Tidak dalam keadaan ihram haji atau umroh. c.
Syarat-syarat ijab qobul. Mengenai lafaz yang digunakan untuk akad nikah, terdapat perbedaan
pendapat. Pendapat pertama, mengatakan bahwa lafaz nikah menggunakan nikah atau tazwij, karena dua lafaz tersebut terdapat di dalam Kitabullah dan Sunnah.
Demikian pendapat Imam Syafi‟i dan Hambali.
42
Adapun dalilnya, sebagai berikut:
Firman Allah swt dalam surat An-Nisa ayat 22 dan Al-Ahzab ayat 37
: ۴
:
42
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 57-58
40
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu…” Q.S. An-Nisa : 4: 22
:
: “….Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya
menceraikannya, kami kawinkan kamu dengan dia, supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini isteri-isteri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya
…”.Q.S.Al-Ahzab : 33 : 37
Hadis Nabi Muhammad saw
“Telah diriwayatkan oleh Ahmad Ibnu Abi „Amr kepada Abi Ibrahim, Yunus, Hasan, Ma‟qil Ibnu Yasar bahwasannya telah tiba saatnya aku menikahkan
saudara perempuanku kepada seorang laki-laki kemudian ia mentalaknya, sehingga apabila telah habis masa iddahnya maka ia boleh melamarnya
mengkhitbah kembali, maka aku berkata kepadanya aku nikahkan kamu, aku
berikan tempat tinggal untukmu, dan aku muliakan kamu…” H.R. Bukhori
43
Muhammad Ibnu Ismail Abu „Abdillah Al-Bukhori Al-Ja‟fi, Shahih Al-Bukhori, h. 188
41
Pendapat kedua, mengatakan bahwa akad nikah itu dianggap telah terlaksana dengan menggunakan lafaz hibah, sedekah, jual beli dan kepemilikan
malaka.
44
Dengan alasan kata-kata ini adalah majaz kiasan yang biasa juga digunakan dalam bahasa sastra atau bahasa yang artinya perkawinan. Demikian
pendapat Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Abu Ubaid, Abu Dawud dan Abu Tsaur.
45
Adapun dalilnya, sebagai berikut:
Firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 50
:
:
“…Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi, apabila Nabi ingin menikahinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua
orang mukmin.. .” Q.S.Al-Ahzab : 33: 50
44
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat, h. 114
45
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnat, h. 24
42
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa yang menjadi kekhususan bukan pada penggunaan kata hibah pada akad nikah, melainkan pada akad nikah
tanpa mahar, sebagaimana ayat lanjutannya.
46
:
:
“… Sesungguhnya kami Telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki
supaya tidak menjadi kesempitan bagimu…” Q.S. Al-Ahzab: 33: 50 Pendapat ketiga, mengatakan bahwa secara khusus, shighat akad nikah
mempunyai tiga bentuk, yaitu lafaz nikah pernikahan, zawaj perkawinan dan hibah pemberian. Tetapi shighat lafaz hibah wajib dibarengi penyebutan
mahar maskawin tertentu. Misalnya, “aku berikan kepada engkau putriku dengan mahar 1.000 dinar” atau dibarengi dengan penyerahan diri tafwidh,
misalnya “aku berikan kepada engkau putriku ini dengan penuh penyerahan”. Tidak sah akad nikah yang menggunakan lafaz hibah tidak dibarengi dengan
penyebutan mahar tertentu atau penyerahan diri.
47
Demikian pendapat Imam Maliki, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis Nabi saw, sebagai berikut:
46
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah dan Talak, h. 65
47
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah dan Talak, h. 66
43
“Nabi saw pernah menikahkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan, dan beliau berkata: Sesungguhnya telah kujadikan ia milikmu dengan
mahar hafalan Al- Qur‟an yang ada padamu”. H.R. Bukhori
Dari ketiga pendapat di atas, yang rojih tepat dan biasa digunakan dalam akad nikah adalah pendapat pertama, yang menggunakan lafaz nikah atau
tazwij. Karena dalam pelaksanaan akad nikah harus dengan ungkapan yang shahih dan jelas seperti lafaz: zawwajtukaha aku nikahkan kamu dengannya
atau ankahtukaha aku nikahkan kamu dengannya. Dengan demikian, tujuan melaksanakan akad nikah pun dapat dipahami jelas oleh para saksi yang hadir.
Sementara dalam pendapat kedua dan ketiga, mereka lebih condong kepada lafaz hibah dalam melaksanakan akad nikah. Dalam hal ini, penggunaan lafaz
hibah hanya diperuntukkan bagi Rasulullah saw secara khusus.
49
Karena lafaz tersebut sah jika dipergunakan untuk akad selain nikah. Selain itu, karena
lafaz tersebut tidak secara jelas mengungkapkan pernikahan, sehingga tidak sah digunakan dalam akad nikah. Hal itu karena kesaksian merupakan syarat
dalam nikah dan kinayah itu hanya diketahui melalui niat saja, sedangkan para
48
Muhammad Ibnu Ismail Abu Abdillah Al-Bukhori Al- Ja‟fi, Shahih Bukhori, h. 31
49
Imam „Alau al-Din Abi Bakr Ibnu Mas‟ud al-Haasaani al-Hanafi, Badaai‟u al-Shonaai‟I Fi Tartib al-
Syarai‟i, h. 344
44
saksi tidak mengetahui niat kecuali jika diberitahukan kepada mereka secara jelas.
50
d. Syarat-syarat Wali.
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Wali hendaklah seorang laki-
laki, muslim, baligh, berakal dan adil tidak fasik. e.
Syarat-syarat Saksi. 1
Beragama Islam. 2
Berakal, bukan orang gila. 3
Baligh, bukan anak-anak. 4
Merdeka, bukan budak. 5
Kedua orang saksi itu mendengar.
51