commit to user 87
87
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Kota Surakarta
a. Sejarah Kota Surakarta
Sejarah berdirinya Kota Surakarta Hadiningrat tidak bisa dilepaskan dari sejarah Geger Pecinan. Peristiwa Geger Pecinan inilah yang antara lain
menyebabkan kepindahan ibu kota kerajaan Mataram di Kartasura beserta keratonnya ke Desa Sala.
Geger Pecinan disebabkan oleh pemberontakan orang-orang Cina terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Pemberontakan orang Cina tersebut sebenarnya tidak
ada hubungannya dengan pemerintahan kerajaan Mataram. Pemberontakan ini dimulai dari Batavia Jakarta yang dilakukan oleh orang-orang Cina terhadap
VOC, kemudian menjalar ke daerah-daerah lain di Jawa, termasuk Kartasura. Salah satu yang menyebabkan Kartasura menjadi sasaran pemberontakan karena
pemerintah kerajaan Mataram pada waktu itu menjalin hubungan kerjasama dengan VOC. Pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Cina tersebut
bertujuan untuk menghancurkan pengaruh dan kekuasaan VOC. Siapapun mengetahui bahwa hidup dalam penjajahan itu selain terhina,
tidak memiliki kebebasan juga sengsara. Kiranya demikianlah yang dialami oleh Raja Keraton Kasunanan di Kartasura, Sri Susuhunan Paku Buwana II. Sang Raja
tidak memiliki kebebasan sama sekali. Sampai-sampai untuk memilih calon putra mahkota, raja harus terlebih dahulu meminta persetujuan dari pemerintah
commit to user 88
penjajah, VOC Belanda. Pemerintah Belanda dan VOC Belanda dengan politik ‘pecah belah’ terhadap Karaton Mataram itu berhasil menguasai seluruh
kekuasaan raja jajahannya. Sementara intrik perebutan kekuasaan kerajaan melanda Keraton Kasunanan di Kartasura, yang dilakukan dari dalam keluarga
keraton keturunan Mataram, telah menimbulkan kemelut berkepanjangan dan permusuhan. Di sisi lain pelarian orang-orang Cina yang tertindas oleh kompeni
VOC Belanda di Jakarta, mereka melarikan diri ke Jawa Tengah. Kemarahan orang-orang Cina tertindas itu ditumpahkannya dalam bentuk pemberontakan
orang-orang Cina yang dipimpin oleh Sunan Kuning alias Mas Garendi di tahun 1742 itu juga memperoleh dukungan dari Pangeran Sambernyawa alias Raden
Mas Said yang memanfaatkan momentum itu. Raden Mas Said sangat marah dan kecewa terhadap kebijaksanaan Karaton Kartasura yang memangkas daerah
Sukowati yang dulu diberikan oleh Karaton Kartasura kepada Ayahandanya. Serangan gencar prajurit pemberontakan Cina berhasil menjebol benteng
pertahanan Keraton Kartasura dengan menimbulkan banyak korban jiwa. Menghadapi ancaman itu Paku Buwana II memerintahkan kerabat keraton dan
para abdi dalem untuk segera mengungsi ke wilayah Jawa Timur bagian barat daya, yaitu Pacitan hingga ke Ponorogo. Sementara itu prajurit pemberontakan
Cina menghancurkan keraton Kartasura dan menjarah kekayaan karaton yang tertinggal. Pemimpin Prajurit Kompeni VOC Belanda, Mayor Baron Van
Hohendorff segera minta bantuan prajurit Kompeni Belanda di Surabaya. Sementara itu adipati Bagus Suroto dari Kadipaten Ponorogo yang merasa benci
terhadap pemberontakan orang-orang Cina terhadap Keraton Kartasura,
commit to user 89
menyediakan prajuritnya untuk segera menumpas prajurit pemberontak orang- orang Cina itu.
Peperangan menumpas pemberontakan orang-orang Cina pimpinan Mas Garendi atau Sunan Kuning berlangsung dengan seru. Akhirnya pemberontakan
orang-orang Cina berhasil ditumpas. Setelah tertumpasnya pemberontakan orang- orang Cina maka Pangeran Sambernyawa alis Raden Said berjuang sendiri
melawan Kompeni Belanda dan Karaton Kartasura. Ketika kerabat Keraton Kartasura kembali ke keratonnya, keraton sudah
hancur. Maka Sri Susuhunan Paku Buwana II memerintahkan para abdi dalemnya untuk membangun karaton yang baru. Untuk itu Paku Buwana II mengutus
petinggi keraton yang terdiri dari Tumenggung Tirtowiguna, Pangeran Wijil, Tumenggung Honggawangsa dan abdi dalem lainnya untuk mencari tempat baru
untuk lokasi pembangunan Keraton Kasunanan itu. Pencarian tersebut dilakukan ke daerah Timur keraton, di sekitar sungai
Bengaman. Dari tempat yang dituju tersebut, para utusan berhasil mendapatkan tiga tempat yang dianggap cocok untuk dibangun istana baru. Ketiga tempat itu
adalah: 1 Desa Kadipala
Desa tersebut memiliki tanah yang datar dan kering. Tempat tersebut diyakini akan membawa kerajaan Jawa tumbuh menjadi kerajaan yang besar,
berwibawa, dan adil makmur. Akan tetapi, para ahli nujum tidak menyetujuinya karena meskipun dengan alasan demikian, kerajaan Mataram
akan cepat rusak dan akhirnya runtuh.
commit to user 90
2 Desa Sala Desa Sala dipilih oleh RT. Hanggawangsa dan disetujui oleh semua
utusan kecuali Mayor Hohendorf. Mayor Hohendorf menolak lokasi tersebut dengan alasan tanahnya sangat rusak, terlalu dekat dengan Bengawan Sala,
dan daerahnya penuh dengan rawa-rawa yang dalam. 3 Desa Sana Sewu
Tempat ini tidak disetujui oleh RT. Hanggawangsa karena menurut ‘jangka’, akan mengakibatkan perang saudara dan penduduk Jawa akan
kembali memeluk agama Hindu dan Budha. Dari ketiga tempat tersebut, para utusan menyepakati memilih Desa Sala
sebagai satu-satunya lokasi yang diajukan kepada Sri Sri Susuhunan Sunan Paku Buwana II. Lalu, raja memerintahkan utusan untuk melihat daerah yang dimaksud
serta menemui kepala dusun, yaitu Kyai Sala dan meminta izin secara baik-baik. Sri Susuhunan Paku Buwana II mengetahui bahwa daerah Desa Sala
penuh dengan rawa sehingga beliau kurang berkenan. Lalu beliau memerintahkan para bupati pesisir agar menimbuni rawa itu dengan tanaman lumbu, dengan
maksud untuk menyumbat sumber air besar yang terus mengalir di tanah rawa tersebut. Akan tetapi, usaha tersebut tidak berhasil. Bahkan, sumber air tersebut
justru bertambah besar. Para utusan menemui kepala dusun, Kyai Sala, dan menanyakan perihal
yang dialami itu. Oleh Kyai Sala, beliau memberikan sebuah syarat bahwa untuk dapat menyumbat sumber air besar di daerah rawa tersebut mereka harus
menyediakan gong merah delima dan kepala penari serta daun lumbu. Oleh Sri
commit to user 91
Sunan, syarat tersebut diartikan bahwa gong merupakan alat tetabuhan yang bersuara paling seru dalam karawitan, maknanya adalah bahwa Kyai Sala sendiri
yang menghendaki mas kimpoi gong tersebut, sedangkan kepala penari terkait dengan wayang atau ringgit bahasa jawa yang berarti uang. Jelaslah sudah
makna gaib tersebut bahwa Kyai Sala menghendaki uang atas tanah hak miliknya, yang akan digunakan untuk Ibukota Kraton Surakarta. Maka Sri Sunan Paku
Buwana II memberinya uang sebanyak 10.000 gulden Belanda 1744 untuk tanah milik Kyai Sala yang akan digunakan untuk mendirikan bangunan Karaton baru
tersebut. Ketika syarat tersebut dipenuhi, sumber air pun berhasil disumbat. Maka
secara resmi mulailah dilakukan pembangunan atas Istana Keraton yang baru tersebut. Pindahnya Keraton Kasunanan warisan Mataram dari Kartasura ke desa
Sala itu, merupakan bedol Kraton secara total atau menyeluruh. Perpindahan itu dilaksanakan dalam suasana sedih karena Kraton lama Kartasura dirusak oleh
pemberontakan Cina. Perpindahan tersebut terjadi pada tanggal 19 Februari 1747. Kata Surakarta sendiri lebih dicari akarnya pada kata atau kerajaan
sebelumnya, Kartasura dan Kerta. Kartasura zaman Amangkurat II dulu bernama Wanakerta atau berani berperang. Sedangkan Kerta atau Karta berarti
tenteram, pusat Mataram jaman kejayaannya. Jadi keturunan Mataram mengharapkan kejayaan dan ketentraman kembali Mataram seperti ketika
beribukota di Surakarta. Pada perkembangan selanjutnya, daerah kerajaan Surakarta Hadiningrat
mengalami pembagian wilayah akibat perang saudara yang dilatarbelakangi oleh
commit to user 92
politik devide et impera dari VOC. Pada Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755, keraton Mataram dipecah menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta, dan
Kasultanan Ngayogyakarta. Kedua wilayah tersebut masing-masing dipecah lagi sehingga timbullah empat kerajaan melalui Perjanjian Salatiga tahun 1757, yaitu
Kasunanan, Mangkunegaran pecahan dari Surakarta Hadiningrat, dan Kasultanan, Pakualaman pecahan dari Ngayogyakarta Hadiningrat. Dengan
demikian, di Surakarta, terdapat dua kerajaan yang masih ada hingga kini.
b. Surakarta sebagai Kota Budaya