Kekuasaan Yudikatif Setelah Amandemen UUD 1945.

C. Kekuasaan Yudikatif Setelah Amandemen UUD 1945.

Semenjak reformasi bergulir, tampak realisasi akan perubahan terhadap UUD 1945 tidak dapat dielakkan. Sebagai salah satu agenda reformasi, perubahan terhadap UUD 1945 menjadi begitu mendesak sebab perubahan masyarakat demikian cepat, demikian pula perubahan yang terjadi dalam supra struktur politik perlu direspon dengan perubahan Konstitusi sebagai hukum dasar Negara yang akan menjadi pijakan utama dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara. 47 Dimana, Amandeman UUD 1945 sebagai amanat reformasi pada akhinya dapat dituntaskan dalam perubahan keempat dengan nama resmi UUD 1945. Perubahan empat kali itu dapat diperinci sebagai berikut. 48 Perubahan pertama yang ditetapkan pada tanggal 19 Oktober tahun 1999, berhasil diamandemen sebanyak 9 pasal. Perubahan kedua yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000 telah amandemen sebanyak 25 pasal. Perubahan ketiga, yang ditetapkan pada tanggal 9 November tahun 2001 berhasil diamandemen sebanyak 23 Pasal. Perubahan keempat, yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002 ini telah berhasil diamandemen sebanyak 13 pasal serta 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Jadi, jumlah total pasal hasil perubahan pertama sampai keempat itu adalah 75 pasal, namun demikian, jumlah nomor 47 . Jimly Asshidiqie, Aspek-Aspek Perkembangan, h, 25. 48 . Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD 1945- 2002, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, Cet. Pertama, h. 209. pasalnya tetap sama yaitu 37 tidak termasuk Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan. 49 Perubahan UUD 1945 sebanyak 4 empat kali sejak tahun 1999, merupakan bagian dari proses reformasi yang membawa dampak penting dalam kehidupan sosial, politik dan terutama dalam kehidupan hukum. Perubahan yang terjadi yang tampak lebih kasat mata akibat perubahan UUD 1945 tersebut menyangkut konfigurasi kelembagaan Negara atau organisasi kekuasaan penyelenggara Negara. Perubahan yang didasari oleh pengalaman masa lalu, ingin meletakkan konstitutionalisme, sebagai prinsip dan doktrin bernegara, yang dijaga melalui doktrin checks and balances dan pemisahan kekuasaan separation of power . Atas dasar hal itu, maka konfigurasi organisasi kekuasaan telah berubah secara mendasar, dari sesuatu yang bersifat vertikal hirarkis, dimana kedaulatan rakyat dipegang oleh sebuah badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelma seluruh rakyat Indonesia, dengan kewenangan untuk menetapkan UUD, menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara dan mengangkat Kepala Negara Presiden Wakil Kepala Negara Wakil Presiden. Perubahan UUD 1945, merubah posisi MPR sebagai lembaga Negara, yang memegang kekuasaan tertinggi Negara, menjadi sederajat dan setara dengan lembaga Negara pemegang kekuasaan lainnya dalam kedudukan yang bersifat horizontal, tetapi 49 . Ibid. secara fungsional melakukan check and balances terhadap lembaga Negara lainnya. 50 Dimana Perlunya perubahan UUD 1945 semata-mata karena kelemahan yang dimiliki oleh UUD 1945. Kelemahan-kelemahan tersebut menjadi penyebab tidak demokratisnya Negara Indonesia selama menggunakan UUD 1945. Mahfud menyebutkan kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya adalah: 1. UUD 1945 membangun sistem politik yang executive heavy dengan memberi porsi yang sangat besar kepada kekuasaan Presiden tanpa adanya mekanisme checks and balances yang memadai. 2. UUD 1945 terlalu banyak memberi atribusi dan delegasi kewenangan kepada Presiden untuk mengatur lagi hal-hal penting dengan UU maupun dengan Peraturan Pemerintah. 3. UUD 1945 memuat beberapa pasal yamg ambigu atau multi tafsir sehingga bias ditafsirkan dengan bermacam-macam tafsir, tetapi tafsir yang diterima adalah tafsir yang dibuat oleh Presiden. 4. UUD 1945 mengutamakan semangat penyelenggaraan Negara dari pada sistemnya. Gagasan perubahan UUD 1945 kembali mucul dalam perdebatan pemikiran ketatanegaraan dan menemukan momentumnya di era reformasi. 51 50 . Pemikiran Jimly Asshiddiqie, dan Para Pakar Hukum, Konstitusi dan Ketata Negaraan Indonesia Kontemporer , Jakarta: The Biografi Institute, 2007, Cet. Pertama, h. 277. 51 . Ibid., h. 4. Adapun mengenai kekuasaan Kehakiman telah mengalami perubahan yang pesat setelah perubahan ketiga UUD 1945 9 November tahun 2001 antara lain telah melakukan perubahan terhadap Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman dari semula hanya berdiri dari dua pasal Pasal 24 dan 25 menjadi lima pasal, yaitu Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25. Perubahan tersebut telah memasukkan tentang kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang semula tercantum dalam Penjelasan dan yang semula tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 mengenai badan-badan peradilan dibawah Mahkamah Agung ke dalam Pasal 24, sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut. 1 Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 2 Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 3 Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Perubahan tersebut menunjukkan bahwa jaminan konstitutional atas prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman semakin kuat demikian pula eksistensi badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung telah mendapat jaminan konstitutional semula hanya dimuat dalam undang-undang. Perubahan Pasal 24 juga tidak lagi menempatkan Mahkamah Agung sebagai Singel top authority dalam kekuasaan kehakiman karena kehadiran Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan Konstitutional yang diatur dalam Pasal 24C. Ketentuan Pasal 24 ayat 3 penjabarannya di lakukan oleh Pasal 41 Undang- undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu bahwa yang dimaksud dengan badan-badan lain yang funsinya berkaitan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, dan badan-badan lain yang diatur dalam undang-undang. 52 Begitupun dengan politik hukum dibidang peradilaan dan kekuasaan kehakiman juga mengalami perubahan menjadi proliferatif berkembang biak. Kalau dulu kekuasaan kehakiman hanya diletakkan dan berpuncak pada Mahkamah Agung MA, sekarang puncak kekuasaan kehakiman ada dua yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi MK. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Mahkama Agung memegang kekuasaan kehakiman dalam perkara konvensional, sedangkan Mahkamah Konstitusi memegang kekuasaan kehakiman dalam perkara ketatanegaraan yakni pengujian undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pandapat DPR bahwa PresidenWapres melanggar larangan tertentu yang disebut didalam UUD, memutus pendapat DPR bahwa PresidenWapres tidak lagi memenuhi syarat sebagai PresidenWapres, memutus perkara pembubaran partai politik, dan 52 . Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi., h. 114. memutus sengketa tentang hasil pemilu. Selain itu, dalam politik hukum kekuasaan kehakiman sekarang ini di Indonesia mempunyai Komisi Yudisial yakni sebuah lembaga Negara yang bersifat penunjang dengan wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lainnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim. 53 Mahkamah Konstitusi berdiri endiri seta terpisah dari Mahkamah Agung secara duality of jurisdiction. Mahkamah Kontitusi berkedudukan setara dengan Mahkamah Agung. Keduanya adalah penyelenggara tertinggidari kekuasaan kehakiman. Namun, ia hanya berkedudukan di ibu kota Negara tidak seperti halnya Mahkmah Agung yang memiliki benerapa badan peradilan dibawahnya sampai pada tingkatpertama kabupatenkota. 54 Sebagai buah dari reformasi, yakni telah adanya amandemen terhadap UUD 1945, maka selain Mahkamah Agungsebagai puncak pelaksana keuasaan kehakiman dilingkungan peradilan yang berada di bawahnya, juga terdapat Mahkamah Konstitusi yang secara fungsional sama-sama sebagai pelaksana keuasaan kehakiman, namun tidak mempunyai hubungan structural dengan Mahkamah Agung. Kedua lembaga tersebut memiliki fungsi yang sama sebagai 53 . Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2007, Cet. Pertama, h. 55. 54 . Jaenal Aripin, Peradilan Agama, h. 196. pelaksana kekuasaan kehakiman, akan tetapi di bedakan dalam yurisdiksi dan kompetensinya. 55 Perubahan ketiga UUD 1945 selain menyangkut tentang Mahkamah Konstitusi, juga memuat tntang Komisi Yudisial. Ia disebut seebagai lembaga pembantu auxiliary institution di dalam rumpun kekuasaan kehakiman. Kehadirannya, merupakan refleksi filosofis dari cita-cita hukum yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, sejalan dengan munculnya kesadaran sejarah akan masa depan kekuasaan kehakiman yan merdeka, independent, dan bermartabat. Adapun, latar belakang terbentuknya Komisi Yudisial dalam strutur kekuasaan kehakiman di Indonesia paling tidak terdapat lima hal yaitu: a Komisi Yudisial di bentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spectrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring internal saja; b komisi Yudisial Menjadi perantara mediator atau penghubungantara kekuasaan pemerintah executive power dan kekuasaan kehakiman judicial power yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaa apa pun juga khususnya kekuasaan pemerintah. 56 Latar belakang lainnya; c dengan adanya Komisi Yudisal, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman judicial power akan semakin 55 . Ibid., h. 196. 56 . Ibid., h. 202 tinggi dalam beberapa hal, baik yang menyangkut rekrutmen maupum monitoring Hakim Agung maupun pengelola keuangan kekuasaan kehakiman; d terjadinya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus Komisi Yudisal; dan e dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman judicial power dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap prekrutan terhadap hakim Agung dapat di minimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak memiliki kepentingan politik. 57 Adapun mengenai kinerja Komisi Yudisial itu sendiri seperti yang dilaporkan oleh ketua Komisi Yudisial ke pada Presiden pada tanggal 12 Juni 2007 yakni, Komisi melaporkan kepada Presiden mengenai pelaksanaan kewenangan tugas Komisi Ketua dan anggota Komisi Yudisial, hari Senin 116 pagi diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Kantor Kepresidenan. Pada pertemuan yang berlangsung selama 1 jam tersebut, mereka menyampaikan laporan kinerja Komisi Yudisial selama setahun, serta menyampaikan rencana revisi Undang-Undang Komisi Yudisial. Ikut mendampingi Presiden saat menerima Komisi Yudisial antara lain Mensesneg Hatta Rajasa, Menhuk HAM 57 . ibid., h. 202. Andi Mattalata, Seskab Sudi Silalahi, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kapolri Jenderal Pol. Sutanto dan Jubir Presiden, Andi A. Mallarangeng. 58 Menurut Busyro Muqqodas, Ketua Komisi Yudisial, Presiden SBY memberikan perhatian penuh terhadap reformasi di bidang hukum yang dianggap sangat penting. Presiden berharap agar lembaga terkait di bidang law enforcement bisa bekerja lebih sinergis dan komunikatif, katanya Yudisial untuk menyeleksi Hakim Agung. Sekarang telah selesai menyeleksi dua tahap, dan menghasilkan 18 calon Hakim Agung yang akan disampaikan ke DPR. Juga kami sampaikan mengenai kewenangan dan fungsi pengawasan terhadap hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, antara lain merespon laporan dan pengaduan dari masyarakat serta melakukan proses pemeriksaan berkas pengaduan. Laporan yang diterima dari bulan Agustus tahun 2005 hingga saat ini berjumlah 1175, kata Busyro Muqqodas. 59 Dilain hal kinerja Komisi Yudisial adalah di Palang karaya Komisi Yudisial KY segera menggandeng keuskupan di seluruh Indonesia guna mengawasi kinerja lembaga peradilan beserta sekitar 6.578 orang hakim. Kerja sama serupa juga digagas bersama lembaga keagamaan lainnya, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama NU, juga sejumlah perguruan tinggi. Keuskupan yang telah digandeng KY adalah Keuskupan Kupang dan Maumere. “Saat ini beberapa 58 . http:www presidensby.infoindex.phpfokus200706111919.html, jam 21. 30, tgl 02 12 2008. 59 . Ibid. keuskupan telah kita gandeng sebagai semacam ‘perwakilan bayangan’ dari Komisi Yudisial di daerah. Rencananya semua keuskupan akan kita gandeng bersama-sama mengawasi lembaga peradilan di Indonesia,” kata Anggota Komisi Yudisial Zaenal Arifin, di Palangka Raya, Kamis318. 60 1.200 Laporan Komisi Yudisial menilai kinerja mereka tak bisa mencakup semua pekerjaan pengawasan hakim di Tanah Air. Karenanya, lembaga keagamaan dan kampus digandeng sebagai mitra untuk mendapatkan laporan masyarakat soalcarut-marutlembaga peradilan. “KY berharap upaya itu sekaligus sebagai upaya memasyakatkan peran dan keberadaan lembaga ini yang selama ini masih banyak belum diketahui msyarakat umum,” imbuhnya. 61 Selain berupaya menggandeng lembaga lain dalam mengawasi para hakim, KY saat ini juga tengah melakukan penyelidikan tentang kinerja lembaga peradilan di Indonesia secara umum. Termasuk pula mendata berapa banyak hakimyangdinilaijelekkinerjanya. “Kita tidak bisa ngomong tanpa dasar berapa banyak hakim yang bagus atau berapa persen yang jelek dan melanggar kode etik, karena lembaga kita dibentuk berdasarkan UUD45,” jelasnya. Di sisi lain, Arifin mengakui, dari 1.200-an laporan masyarakat, 800-an di antaranya tidak bisa ditindaklanjuti karena data dan argumentasinya kurang kuat. Sementara itu, 400 laporan sudah ditindaklanjuti dan 20 laporan sudah 60 . www.sinarharapan.co.idberita070831nas03.html - 23k, ,jam 21.35 tgl.02 12 2008. 61 . Ibid. direkomendasi untuk ditindak hakimnya. Rekomendasi itu berupa pemberhentian bagi delapan orang hakim dan 12 hakim berupa sanksi teguran. 62 Di kesempatan berbeda, anggota Komisi Yudisial, Soekotjo Soeparto, menanggapi positif pembentukan posko pengaduan mafia peradilan yang didirikan kalangan LSM dalam Koalisi Pemantau Peradilan. Posko itu menurut Soekotjo, sangat membantu kerja Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan eksternal terhadap para hakim. 63 Sebelumnya, KPP yang terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat LSM di bidang hukum membuka posko pengaduan terhadap praktik mafia peradilan. Hal itu dilakukan karena praktik mafia peradilan tersebut hingga kini tak kunjung reda, sekaligus menjawab klaim Ketua Mahkamah Agung MA Bagir Manan yang menilai praktik mafia peradilan tersebut tidak ada. Tindakan tegas yang dilakukan MA pun terkesan hanya menyentuh staf atau pegawai pengadilan, tidak pernah menjerat hakim. 64 Sebagai akibat perubahan pengaturan kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945, maka telah dikeluarkan beberapa undang-undang yang terkait dengan kekuasaan kehakiman sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; 62 . Ibid. 63 . Ibid. 64 . www.sinarharapan.co.idberita070831nas03.html - 23k, ,jam 21.35 tgl.02 12 2008. 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Lembaran Negara RI Tahun 2003 No. 98, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4316 untuk melaksanakan perintah Pasal 24C ayat 6 UUD 1945; 3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 8, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4358 untuk menggantikan Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 9, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4359 untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24A ayat 5 UUD 1945; 5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 34, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4379 untuk melaksanakan ketentuan pasal 24A ayat 5 UUD 1945; 6. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha negara Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4380 untuk melaksanakan ketentuan pasal 24A ayat 5 UUD 1945; 7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 89, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4415 untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24B ayat 4 UUD 1945. 65 D. Lembaga Yudikatif Dalam Islam Al-Sulthah Al-Qadhaaiyyah . a. Sejarah Terbentuknya Al-Sulthah Al-Qadhaaiyyah. Kata sulthatun sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yang berarti pemerintahan. Dalam kamus al-Munawir sama dengan al-Qudrah ﻝ yang berarti kekuasaan, kerajaan, pemerintahan. 66 Menurut Lois Ma’luf dalam kamusnya Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam berart al-malik al-qudrah, yakni kekuasaan pemerintah. 67 Sedangkan Al-qadhaiyyah berarti putusan, penyelesaian perselisihan, atau peradilan. Kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan dan kehakiman. Secara terminology, berarti kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya proses perundang-undangan sejak penyusunannya sampai pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik yang menyangkut 65 . Abdul Mukthie Fadjar. Hukum Konstitusi .., h. 118. 66 . Ahmad Warsono Munawir, Kamus Al-Munawir: kamus Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, h. 650. 67 . Lois Ma’luf, Kamus Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirat: Dar al-Mashariq, 1997, h. 1095. perkara perdata maupun pidana. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini dikenal dengan kekuasaan yudikatif. 68 Haji Zaenal Abidin Ahmad memberikan pengertian Al-sulthah Al- qadhaaiyyah yaitu kekuasaan pengadilan yang memelihara dan melindungi peraturan-peraturan dan undang-undang judicial power. 69 Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu prinsip dasar dari sistem Negara Islam adalah Negara Hukum. Sebagai negara hukum, maka tegaknya keadilan merupakan suatu kewajiban yang harus diwujudkan didalam kehidupan bernegara, dan untuk mewujudkan hukum yang adil, tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya lembaga peradilan yudikatif yang berfungsi melaksanakan semua ketentuan hukum secara konsekuen. Karenanya kehadiran lembaga yudikatif dalam sistem Negara Islam merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, sejak awal kehadiran Negara Islam lembaga yudikatif ini telah ada dan berfungsi sebagaimana mestinya. 70 Dalam sejarah ketatanegaraan Islam, ketiga badan kekuasaan Negara yaitu Sultah Tanfiziyyah kekuasaan penyelenggara undang-undang, Sultah Tasyri’iyyah kekuasaan pembuat undang-undang, Sulthah Qadhaaiyyah kekuasaan kehakiman itu belum dipisahkan dari wilayah kekuasaan yang ada tetapi masih berada pada satu tangan yaitu penguasa atau kepala Negara. Pada 68 . Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet. Pertama, h. 16567. 69 . Ibid., h. 16567. 70 . Ibid., h. 15658. masa berikutnya, ketiga badan kekuasaan negara tersebut masing-masing melembaga dan mandiri. 71 Perkembangan As-Sulthah Al-Qadhaaiyyah Dalam Sejarah Islam. Perkembang kekuasaan peradilan pada dasarnya tidak lepas dari sejarah perkembangan masyarakat dan politik Islam. oleh karena itu sebagaimana dijelaskan Muhammad Salam Madkur Guru Besar Hukum Islam, Universitas Cairo para ahli, membagi sejarah peradilan Islam kedalam beberapa masa dengan ciri-ciri atau tanda-tandanya masing-masing. 72 Masa Rasulullah SAW. Kedudukan Rasulullah SAW, di samping sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, juga menangani langsung urusan yang berkaitan dengan kekuasaan yudikatif; artinya, kekuasaan peradilan belum dipisahkan dari kekuasaan Nabi SAW sebagai pelaksana perundang-undangan. Segala urusan yang menjadi kewenangan as-sulthah al-qadahaiyyah semuanya tertumpu ditangan penguasa. Setelah wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penanganan kekuasaan ini dibantu oleh beberapa orang sahabat yang di kirim ke beberapa daerah untuk bertindak sebagai penguasa dan sekaligus sebagai pemegang kekuasaan dalam bidang peradilan. Di samping itu, ada diantara sahabat yang diperbantukan oleh Rasulullah SAW untuk menangani tugas-tugas peradilan ini, 71 . Salim Ali Al-Bahansi, Wawasan Sistem Politik Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996, Cet. Pertama, h. 53. 72 . Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi, h, 16568. yang ditempatkan dipusat pemerintahan, seperti Umar bin Khatab w. 23H644M, atau yang diutus ke daerah atas nama Rasulullah SAW, seperti Ali bin Abi Thalib w. 40H661M dan Mu’az bin Jabal w. 18H639M ke Yaman. Sumber hukum bagi lembaga peradilan pada masa ini hanya Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. 73 Masa al-Khulafa ar-Rasyidun Empat Khalifah Besar: Abu bakar as- Siddiq w. 13 H634M, Umar bin al-Khatab, Usman Bin Affan w. 35H656M, dan Ali bin Abi Thalib. Ketika khalifah di pegang oleh Abu Bakar as-Siddiq, kekuasaan yudikatif masih ditangan pnguasa atau pihak eksekutif. Mulai masa khalifah Umar bin al-Khatab dan dua khalifah berikutnya, kekuasaan yudikatif mulai di pisahkan dari kekuasaan eksekutif. Khalifah hanya memegang kekuasaan eksekutif, sedangkan urusan-urusan peradilan ditangani langsung oleh petugas khusus yang memenuhi syarat jabatan tersebut. Untuk keperluan ini Umar bin al- Khatab mengangkat Abu Darda menjadi hakim di Madinah, Syuraih bin Amer di Basrah, dan Abu Musa al-Asy’ari di kufah. Pada masa Khalifah Usman bin Affan mulai di bangun gedung khusus untuk lembaga ini yang semula diselenggarakan di masjid-masjid. Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, pada masa masing- masing dalam bidang kekuasaan yudikatif ini, meneruskan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Umar sebagai khalifah pendahulunya. Sumber hukum lembaga peradilan di masa ini adalah Al-Qur’an, hadits dan ijtihad. 74 73 . Ibid., h, 16568. Masa Daulah Umayyah. Kekuasaan yudikatif mengalami kemajuan lagi, khususnya dalam bidang administrasi peradilan dan proses berpekara yang menyangkut hukum acara atau hukum formil, yang sebelumnya belum diterbitkan. Pada masa ini diadakan pencatatan terhadap putuan pengadilan sebagai dokumen resmi pemerintah. Meskipun situasi politik pada masa ini baru saja mengalami perubahan dari sistem demokrasi ke sistem monarki, pemegang kekuasaan yudikatif dalam menyelesaikan urusannya tidak terpengaruh oleh kecendrungan-kecendrungan pribadi politik khalifah. Bahkan khalifah dalam hal ini menegaskan melalui ancaman pemecatan bagi yang menyelenggarakan tugasnya agar pemegang kekuasaan yudikatif melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Sumber hukum untuk masa ini pun adalah Al-Qur’an, hadits, dan ijtihad. 75 Masa Daulah Bani Abbasiyah. Di samping terus meningkatkan pembinaan yang berkaitan dengan administrasi kelembagaannya, khalifah juga membentuk lembaga-lembaga yang mendukung dan memiliki kewenangan khusus yang juga berkaitan dengan kekuasaan yudikatif ini. Tidak hanya pembenahan terhadap sarana peradialan, akan tetapi sudah mulai hukum materil yang akan disusun oleh hakim sebagai dasar pengambilan keputusan. Awalnya, yang digunakan adalah kitab al-Muwatha’ karya imam Malik. Namun Imam Malik sendiri menolak dengan alas an masih banyak Hadits Raulullah SAW., yang tersebar berbagai 74 . Ibid. 75 . Ibid., h, 16569. kota. Kemudian atas usul Ibnu al-Muqaffa’ kepada Khalifah al-Mansur agar menyusun pedoman tentang penerapan hukum materil, sehingga perbedaan pendapat dapat di hindari, akhrnya disusunlah kompilasi hukum Islam yang dijadikan pedoman oleh hakim dalam memutuskan perkara. 76 Selain itu, di zaman dinasti Abbasiyah, kekuasaan yudikatif sulthah qadhaaiyyah semakin lengkap. Perkembangan mencampai puncak kesempurnaan pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid 170-193, saat dia mengangkat Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari yang lebih terkenal dengan Abu Yusuf, sebagai kepala dari seluruh kepala hakim, yang dinamakan qaadhii qudhaah Hakim Agung. Diantara tugas pentingnya dalah menangani perkara-pekara diperadilan umum dan diiwaan al-madzaalim. Kewenangan lainnya adalah, mengangkat hakim- hakim yang akan ditetapkan diseluruh provinsi. 77 Perkembangan lainnya menyangkut kekuasaan kehakiman periode keempat ini, terjadi terutama pada masa pemerintahan Sultan az-Zahir Biibars 665 H 1267M, di mana ia membentuk sistem peradilan yang menggabungkan empat mazhab besar dan dikepalai oleh masing-masing Hakim Agung. Untuk Hakim Agung mazhab Syafi’I mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain. Karena selain menangani urusan yuridiksinya, juga diserahi tanggung jawab mengawasi penyatunan terhadap yatim piatu, perwakafan, dan menangani 76 . Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet.pertama, h, 152. 77 . Ibid., h, 152. masalah baitul mall. Sedangkan Hakim Agung yang lainnya, mengurusi peradilan dan fatwa bagi rakyat dari masing-masing mazhabnya. 78 Dengan demikian pada masa tersebut, Hakim Agung tidak hanya memilik tugas memutus perkara pada tingkat kasasi, akan tetapi juga memiliki tugas-tugas lain diluar yuridiksinya. Bahkan menurut Carl F. Petry, semua Hakim Agung pada masa tersebut, memegang 3 jabatan sekaligus. Temasuk untuk jabatan hakim ditingkat yang lebih rendah, dapat memegang seluruh jabatan administrasi, tak terkecuali dilingkungan militer. Meskipun demikian, kedudukan dan kewenangannya kuat, ia berpegang teguh pada syari’at tanpa dapat dipengaruhi oleh siapapun. 79 Akibat terlalu kuatnya kedudukan dan besarnya kewenagan tersebut, sampai Hakim Agung diperadilan umum dapat memberhentikan pejabat Negara dalam menggantikannya dengan yang lain. Dalam kekuasaan modern, preseden ini dijadikan sebagai salah satu alas an munculnya Mahkamah Konstitusi, dimana salah satu kewenagannya, seperti yang ada di Indonesia adalah memutus pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran oleh Presiden danatau Wakil Presiden dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden danatau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden. Namun sayang, independensi dan kemandirian pelaksana kekuasaan kehakiman terutana qaadhii al-qudhaah Mahkamah Agung yang semula sudah 78 . Ibid., h. 152. 79 . Ibid., kuat dan menjalankan fungsinya secara benar, kemudian dikebiri, akibat kuatnya posisi, kedudukan, dan kepribadian Hakim Agung. Para sultan dan Amirdinasti Mamlukmerasa terancam kekuasaannya, mengingat para hakim sering menenytang kebijakan sultan yang tidak adil atau tidak sesuai dengan syari’at Islam. oleh karena itu, merka melakukan apa saja untuk melemahkan kekuasaan HakimAgung dan membatasi kewenangannya. 80 Masa Khalifah Turki Usmani dan Masa Sesudahnya. Kekuasaan yudikatif mengalami banyak perubahan, khususnya setelah masa Tanzimat. Pada masa ini, disamping lembaga peradilan yang khusus mengadili orang-orang islam, juga didirikan lembaga peradilan yang khusus menangani orang-orang non muslim kafir zimi: kafir yang dilindungi dan orang-orang asing yang tinggal di wilayah kekuasaannya, yang sumber hukumnya adalah agama masing-masing dan undang-undang asing. Pemerintah menetapkan mazhab Hanafi sebagai mazhab resminya. Oleh karena itu, hakim utama diangkat dari mazhab ini. Sumber hukum pada masa setelah Tanzimat ini kebanyakan diambil dari hukum Eropa, kecuali dalam masalah-masalah keperdataan. Keadaan ini mempengaruhi Negara-negara islam lainnya, khususnya negara-negara yang cukup terbuka terhadap pembaruan dalam bidang hukum dan peradilan seperti Mesir, Suriah, dan Tunisia. Sumber 80 . Ibid., h. 153. hukum lembaga peradilan pada masa ini sudah berubah dan beragam sesuai dengan beragamnya jenis lembaga peradilan di masa itu. 81 b. Tugas dan Wewenang As-Sulthah al-Qadhaaiyyah. As-Sulthah al-Qadhaaiyyah adalah salah satu dari tiga kekuasaan yang dimiliki suatu Negara. Dua kekuasaan lainnya ialah kekuasaan membuat undang- undang as-sulthah at-tasyri’iyyah atau kekuasaan legislatif dan kekuasaan melaksanakan undang-undang as-sulthah at-tanfiziyyah atau kekuasaan eksekutif. Secara garis besar tugas dan wewenang as-sulthah al-qadhaaiyyah terbagi tiga: 1 untuk menjamin pelaksanaan undang-undang oleh pihak eksekutif; 2 untuk mengontrol atau mengawasi fungsi dan pelaksanaan kekuasaan legislatif; 3 untuk mengadili dan menyelesaikan berbagai persoalan hukum dan perselisihan yang diajukan dan yang menjadi kewenangannya. 82 Tujuan adanya kekuasaan yudikatif dalam Islam bukannya untuk membongkar kesalahan agar dapat di hukum, tetapi yang menjadi tujuan pokok yaitu untuk menegakkan kebenaran; supaya yang benar di nyatakan benar dan yang salah di nyatakan salah tanpa menghiraukan maslahat. 81 . Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi, h. 1658. 82 . Ibi d., h. 1657. Selain menegakkan kebenaran dan menjamin terlaksananya keadilan, kekuasaan yudikatif dalam Islam juga bertujuan untuk menguatkan Negara dan menstabilkan kedudukan hukum kepala Negara. 83 Imam Al-Mawardi dalam bukunya Al-Ahkam as-Sulthaniyyah menyebutkan sepuluh tugas kekuasaan yudikatif yaitu: 1. Memutuskan atau menyelesaikan perselisihan, pertengkaran dan konflik; dengan mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara secara sukarela atau memaksa keduanya berdamai. 2. Membebaskan orang-orang yang tidak bersalah dari sangsi dan hukuman, serta memberikan sangsi kepada yang salah, baik dengan dari pengakuan maupun dengan dilakukannya sumpah. 3. Menetapkan penguasa harta benda orang-orang yang tidak menguasai sendiri karena gila, masih kanak-kanak atau idiot. 4. Mengelola harta-harta wakaf dengan menjaga harta pokoknya, mengembangkan cabang-cabangnya,menahannya dan mengalokasikan ke posnya. 5. Melaksanakan wasiat-wasiat berdasarkan syarat-syarat pemberian wasiat dalam hal-hal yang diperbolehkan syariat dan tidak melanggarnya. 6. Menikahkan gadis-gadis dengan orang-orang sekufu’ selevel, jika merdeka tidak mempunyai wali dan sudah memasuki usia menikah. 7. Melaksanakan hudud hukuman syar’i kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Jika menyangkut hak-hak Allah Ta’ala, ia melaksanakannya sendiri tanpa menggugat, jika telah terbukti dengan pengakuan dan barang bukti. Jika menyangkut hak-hak manusia, pelaksanaan hudud hukuman syar’i ditentukan oleh permintaan penggugat. 8. Memikirkan kemaslahatan umum diwilayah kerjanya dengan melarang segala gangguan dijalan-jalan dan halaman-halaman rumah dan meruntuhkan bangunan-bangunan illegal. 9. Mengawasi para saksinya dengan pegawainya, serta memilih orang-orang yang mewakilinya. Jika mereka “bersih” jujur dan kredibel dan istiqomah, ia mengangkatnya. Jika mereka “tidak bersih”, dan berkhianat, ia menggantinya dengan pejabat baru. Menegakkan persamaan didepan hukum antara orang 83 . Imam Al-Mawardi, Terj. Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah: Prinsip-prinsipbPenyelenggaraan Negara Islam , Jakarta: Darul Falah, 2000, Cet. Pertama, h. 130. yang kuat dan yang lemah, dan menegakkan keadilan dalam peradilan baik bagi orang bangsawan maupun rakyat biasa. 84 Hakim diangkat untuk menangani semua perkara disalah satu sudut kota atau salah satu tempat dikota tersebut, kemudian ia menerapkan semua keputusannya disudut kota tersebut atau disalah satu tempat di dalamnya. Ia menerapkan hukum kepada warga asli daerah tersebut dan orang-orang yang datang kepadanya, karena orang-orang yang datang kepadanya sama statusnya dengan orang yang berdomisili di dalamnya. Terkecuali kalau ia hanya ditugaskan untuk menangani perkara penghuni tetap daerah tersebut dan bukan orang-orang asing di dalamnya atau orang-orang yang datang kepadanya, jika itu yang terjadi, ia tidak boleh melebihi tugas yang di berikan kepadanya. 85 Adapun bentuk-bentuk as-Sulthah al-Qadhaaiyyah dalam sejarah peradilan Islam, terdapat bentuk kekuasaan kehakiman, baik dilihat dari sudut hirarki maupun sumbernya. Bentuk-bentuk kekuasaan ini dari satu pemerintahan ke pemerintahan lain mengalami beberapa pembaruan atau perubahan. Yang semula di satukan dengan kekuasaan eksekutif, kemudian di pisahkan menjadi lembaga tersendiri. Yang semula memiliki kewenangan yang terbatas yaitu pada masalah-masalah keperdataan, berubah menjadi lebih luas, yakni menyangkut 84 . Ibid., h. 132. 85 . Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi, h. 1655. perdata dan pidana untuk pribumi dan non pribumi, untuk orang Islam dan non muslim. 86 Pada masa Abbasiyah dibentuk lembaga baru yang disebut wilayah al- mazalim kekuasaan pidana dari kalangan penguasa dan kerabatnya dan wilayah al-hisbah kekuasaan peradilan untuk bidang moral dan akhlak. Pembaharuan yang paling tampak memberikan pengaruh luas kepada Negara-negara Islam berikutnya, terjadi pada masa pemerintahan Turki Usmani. Pada masa ini bentuk kekuasaan peradilan dibedakan antara sebelum masa Tanzimat masa penyusunan undang-undang baru yang bersumber pada hukum barat tahun 1299-1839 dan masa setelah Tanzimat 1840-1924. 87 Pada masa sebelumnya Tanzimat, kekuasaan peradilan memiliki beberapa tingkatan sebagai berikut. 1 Mahkamah al-Isti’naf al-U’luya Mahkamah Agung, yang kewenangannya dibatasi oleh kekuasaan sultan. 2 Mahkamah at- Tamyiz atau an-Naqd wa al-Ibram Mahkamah Kasasi, yang kewenangannya mengkaji atau meneliti hukum-hukum produk Mahkamah al-Isti’naf Mahkamah Banding. 3 Mahkamah al-Isti’naf, yang kewenangannya meneliti berbagai masalah peradilan agar sesuai dengan undang-undang yang berlaku. 4 Mahkamah al-Jaza’ Peradilan Pidana, yang kewenangannya untuk 86 . Ibid., h. 1656. 87 . Ibid., menyelesaikan perkara pidana. 5 Mahkamah al-Huquq Peradilan Perdata, yang kewenangannya untuk menyelesaikan perkara perdata. 88 Pada masa setelah Tanzimat bentuk-bentuk kekuasaan peradilan di Turki mengalami perubahan dengan istilah atau nama-nama yang berbeda. 1 Al-Qada’ al-Milli, yaitu peradilan untuk mengadili orang-orang non Islam. Sumber hukumnya adalah undang-undang agama masing-masing. 2 Al-Qada’ al- Qansuli , yaitu, peradilan untuk mengadili perkara orang-orang non-Turki. Sumber hukumnya adalah undang-undang Negara masing-masing. 3 Al-Qada’ Mahkamah Jaza’al-Jinayyah , yaitu peradilan untuk mengadili perkara pidana. Sumber hukumnya adalah Undang-undang Eropa. 4 Al-Qada’ Mahkamah al- Huquq , yaitu peradilan untuk mengadili perkara perdata. Sumber hukumnya adalah Majallah al-Ahkam al-Adaliyyah. 5 Al-Qada’ asy-Syar’I, yaitu peradilan untuk mengadili perkara yang berkaitan dengan al-ahwal asy-syakhsiyyah umat Islam. Sumber hukumnya adalah kitab-kitab fikih Islam. di Mesir, selain peradilan asy-Syar’I, al-Milli, dan al-Qansuli, ada peradilan lainnya, yaitu peradilan campuran yang sumber hukumnya adalah undang-undang asing dan peradilan ahli peradilan adat yang sumber hukumnya adalah Undang-undang Prancis. 89 Berkaitan dengan sumber-sumber hukum yang dijadikan acuan dalam peradilan-peradilan tersebut, para ahli peradilan membagi sumber hukum secara 88 . Ibid., h. 1657. 89 . Ibid. garis besarnya menjadi dua. Pertama, peradilan yang bersumber kepada tradisi masyarakat dan ‘urf adapt kebiasaan jahiliyah serta perundang-undangan buatan manusia al-qawanin al-wad’iyyah al-basyariyah yang disebut al-Qada’ al- Jahili . Kedua, peradilan yang bersumber dari Allah SWT dan Rasulullah SAW yang di sebut al-Qada’ asy-Syar’i. peradilan yang kedua ini ada dua macam, yaitu 1 peradilan at-tahkim arbitrase, seperti untuk menyelesaikan masalah syikak perselisihan suami istri yang sudah memuncak; dan 2 peradilan al-‘adi peradilan biasa dengan berbagai bentuknya. 90 90 . Ibid, h.1658. 63

BAB III HUBUNGAN KOMISI YUDISIAL RI DENGAN