Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut dengan UUD 1945 1999-2002 telah membawa perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, baik dalam pelembagaan kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudisial kekuasaan kehakiman. Dalam sistem kekuasaan kehakiman yudisial, disamping Mahkamah Agung MA dan badan- badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, telah muncul Mahkamah Konstitusi RI MK dan Komisi Yudisial RI KY. 1 Berdasarkan ketentuan Pasal 24 UUD 1945 setelah perubahan, Mahkamah Konstitusi RI adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung RI dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha Negara. Mahkamah Konstitusi RI sesuai ketentuan pasal 24C ayat 1 UUD 1945 yang dirinci dalam pasal 10 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1 . Abdul Muktie Fadjar, Hukum Konstitusi Mahkamah Konstiusi, Jakarta: Konpress Citra Media, 2006, Cet. Pertama. h. 109. 2003 tentang Mahkamah Konstitusi RI, mempunyai wewenang menguji undang- undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan konstitutional lembaga negara, memutuskan pembubaran partai politik, memutuskan perselisihan hasil pemilihan umum, dan memutuskan pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan Wakil Presiden 2 . Sedangkan Komisi Yudisial RI, disebut sebagai lembaga pembantu auxiliary institution didalam rumpun kekuasaan kehakiman. Kehadirannya, merupakan refleksi filosofis dari cita-cita hukum yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, sejalan dengan munculnya kesadaran sejarah akan masa depan kekuasaan kehakiman yang merdeka, independent, dan martabat. 3 Sebagai lembaga Negara, Komisi Yudisial RI mendapatkan tugas dan kewenangannya dalam UUD dan dituangkan dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 4 . Adapun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial RI ini dijelaskan dalam Pasal 13 tentang wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial RI yakni, mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. 2 . Fajlurrahman Jurdi. Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, Jakarta: PUKAP, 2007, Cet. Pertama, h, 183 3 . Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, h, 201. 4 . Ibid., h. 137. Komisi Yudisial RI sebagai salah satu lembaga Negara yang baru terbentuk sebagai akibat dari amandemen ketiga UUD 1945, tentu saja dituntut bekerja maksimal dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran moral hakim. Dimana hakim sebagai aparatur hukum yang sudah sekian lama tidak bisa keluar dari perangkap kekuasaan yang mendominasi keputusannya selama berpuluh-puluh tahun juga diharapkan agar lebih adil dalam mengambil keputusan dan menjatuhkan palu dalam rangka menghukum hakim. Keberadaan Komisi Yudisial RI tentu saja tidak bisa dipungkiri akan mengancam prilaku hakim yang bertindak sebagai aparatur hukum tadi, yang di dalamnya hakim diharapkan akan menjalankan mekanisme putusan yang berpihak pada publik, akan tetapi hakim akan menjatuhkan putusan berdasarkan pesanan dari kelompok-kelompok tertentu dari luar institusi peradilan seperti kepentingan politik dan pengusaha. Komisi Yudisial RI adalah pengawas eksternal terhadap perilaku hakim, yang sebelumnya memang tetap ada pengawas perilaku hakim, akan tetapi hanya di internal saja, sehingga pengawasan internal itu dirasakan tidak efektif untuk menegakkan moral dan integritas para hakim. 5 Kehadiran Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan RI bisa mendatangkan harapan dan kecemasan. Komisi Yudisial RI mendatangkan harapan karena lembaga ini dianggap menjadi secercah cahaya bagi upaya pemberantasan mafia peradilan yang telah memporak-porandakan posisi 5 . Fajlurrahman Jurdi, Komisi Yudisial, h, 140. Indonesia sebagai Negara Hukum. Sebaliknya, Komisi Yudisial RI juga mendatangkan kecemasan karena dianggap mengganggu pihak-pihak yang menikmati keuntungan dari carut marutnya sistem dan praktik hukum di Indonesia. Karena itu, Komisi Yudisial RI selalu berada dalam tarikan berbagai kepentingan yang berbeda satu sama yang lain. 6 Dalam Naskah Akademis, Mahkamah Agung RI melihat Komisi Yudisial RI mempunyai wewenang untuk mengawasi semua hakim diberbagai tingkatannnya, sesuai dengan Pasal 24B ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial RI berfungsi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim. Kata “menjaga” diwujudkan dalam bentuk pengawasan. Kata “menegakkan” diwujudkan dalam bentuk pendisiplinan atau pemberian sanksi disiplin, sedangkan kata “hakim” berarti hakim diseluruh tingkatannya termasuk Hakim Agung. Sebab dalam UUD 1945, kata “hakim” yang tidak ditunjukkan kepada hakim secara keseluruhan, redaksi yang digunakan adalah “Hakim Agung“ atau “Hakim Konstitusi”. Dalam alasan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial RI, Mahkamah Agung RI berpandangan bahwa Komisi Yudisial RI tidak mempunyai wewenang untuk mengawasi perilakuan dan menegakkan kehormatan Hakim Agung, karena berbagai alasan, antara lain bahwa bunyi Pasal 24B ayat 1 harus dibaca dalam satu nafas dan konteksnya 6 . Ahmad Kurdi Moekri, Negara Hukum dalam Ujian, Jakarta: Ka-tulis-tiwa Press, 2007, Cet. Pertama, h, 53. satu sama lain, sehingga bermakna bahwa “Komisi Yudisial RI bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial RI untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung.” Akhirnya, melalui putusan Mahkamah Kontitusi RI Nomor 005PUU-IV2006, Mahkamah Konstitusi RI mengabulkan sebagian permohonan, sehingga Komisi Yudisial RI kehilangan beberapa kewenangan. 7 Dalam Islam, sebagaimana kita ketahui bahwa dalam salah satu prinsip dasar dari sistem Negara Islam adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum, maka tegaknya keadilan merupakan suatu kewajiban yang harus diwujudkan di dalam kehidupan bernegara, ketentuan masalah ini telah diatur dalam Al-Qur’an surat An Nisa ayat 58, yakni :   +,-. 0 12 345 67 8 9 ,: 1=,6 ? A  C= D EF6-D A G HI - J A KL - MN A O+ =-P M+Q 0R STA UV Artinya : 7 . Ibid., h. 54. “ Seungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat”. Q. S. An Nisa : 58. Sedangkan untuk mewujudkan hukum yang adil, tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya lembaga peradilan yudikatif yang berfungsi untuk melaksanakan semua ketentuan hukum secara konsekuen. Karenanya kehadiran lembaga yudikatif dalam sistem Negara Islam merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, sejak awal kehadiran Negara Islam, lembaga yudikatif ini telah ada dan berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan adanya permasalahan antara lembaga yudikatif di atas, maka penulis memilih judul : “Komisi Yudisial RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005PUU-IV2006 Tinjauan KetataNegaraan Islam”. Agar dapat meneliti tentang Putusan Mahkamah Konstitusi RI terhadap kewenangan Komisi Yudisial RI, dan peranan Komisi Yudisial RI terhadap lembaga yudikatif di Indonesia pasca adanya putusan Mahkama Konstitusi tersebut, dan bagaimana tinjauan yudisial kekuasaan kehakiman dalam ketatanegaraan Islam

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah