Kekuasaan Yudikatif Sebelum Amandemen UUD 1945

B. Kekuasaan Yudikatif Sebelum Amandemen UUD 1945

Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kita sudah kembali kepada UUD 1945. Kepada jiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Tetapi kenyataannya selama ini jiwa dari ketentuan-ketentuan UUD 1945 itu belum dilaksanakan secara murni. Sebagai contoh dapat diajukan, bahwa Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 dalam penjelasannya secara tegas telah menyatakan, bahwa Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari praktek dan pelaksanaannya telah menyimpang dari UUD, antara lain Pasal 19 dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk dalam “beberapa hal dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan”. 35 Dikatakan antara lain oleh Pasal 19 dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, bahwa: “Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal pengadilan.” Sedangkan dikatakan dalam Penjelasan mengenai Pasal 19 tersebut bahwa: “Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh dari kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang.” Sebaliknya, UUD 1945 sendiri dalam 35 . C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil. Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, Cet. Ketiga. h. 186. Penjelasannya: “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah.” 36 Adalah jelas, bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 1965 menggambarkan adanya suatu pertentangan konstitutional yang “flagrant”, sedangkan pertentangan dengan UUD 1945. betapapun ia disertai dengan syarat-syarat tertentu, tidak dapat dibenarkan oleh hukum “interference” atau turun tangan dari pihak eksekutif dimungkinkan, sedangkan hal demikian dilarang oleh UUD 1945, yang menghendaki adanya Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, terlepas dari pengaruh Pemerintah. 37 Dalam rangka pemurnian pelaksanaan UUD 1945 sesuai dengan ketentuan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XIXMPR1966 juncto Nomor XXXIXMPRS1968 maka Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong telah mengadakan peninjauan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang Dan Peraturan Pemerintah 36 . Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman . Jakarta: Sinar Grafika, 2005. 37 . C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil. Hukum Tata Negara, h. 187 Pengganti Undang-Undang Pasal 2 Lampiran III Nomor urut 3 yang menghendaki adanya undang-undang untuk menggantikannya. 38 Dengan dicabutnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut terjadilah suatu kekosongan, yang akan menghambat jalannya peradilan pada umumnya. Oleh karena itu perlulah dengan segera dibentuk undang-undang tentang ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru sebagai penggantinya. Undang-undang yang baru ini selain bertujuan untuk mengisi kekosongan tersebut harus pula menjaga kemurnian pelaksanaan UUD 1945. Untuk itu perlulah dalam undang- undang tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru ini, diusahakan tercantumnya dasar-dasar bagi penyelenggaraan peradilan dan ketentuan-ketentuan pokok mengenai hubungan peradilan dan pencari keadilan, yang sejiwa dengan UUD 1945 supaya pelaksanaannya nanti sesuai dengan Pancasila. 39 Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan dengan ketentuan bahwa undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman ini akan merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar serta asas-asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan 38 . Ibid,. h. 188. 39 .Ibid., h. 188. Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara yang masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri. 40 Dengan melihat mengenai bab dan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman masih ada kekuasaan-kekuasaan lain yang ditentukan dalam UUD 1945. Dari situ pula dapat disimpukan bahwa kekuasaan-kekuasaan yang ada dalam UUD 1945 tertata dalam suatu tatanan yang sesuai dengan pandangan jiwa yang menguasai UUD 1945. Dalam konteks ini, UUD 1945 menempatkan kekuasaan kehakiman dalam kaitannya dengan susunan. Apa yang merupakan susunan ketatanegaraan itu meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan peraturan, susunan, dan kedudukan lembaga-lembaga Negara serta tugas dan kewenangnya. Dalam UUD 1945, susunan ketatanegaraan dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang enam lembaga Negara yang terdiri dari sebuah lembaga Negara tertinggi Negara yakni MPR dan lima buah lembaga tinggi Negara yakni Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat DPR, Dewan Pertimbangan Agung DPA, Badan Pemeriksa Keuangan BPK, dan Mahkamah Agung MA. 41 Dengan melihat konstruksi kekuasaan seperti yang terdapat dalam UUD 1945 ini menarik kesimpulan bahwa tatanan kekuasaan dalam Negara RI adalah sebagai berikut: 40 . Ibid., h. 189. 41 . Jimly Asshidiqie, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Jakarta: UI Press, 2005, Cet. Pertama. h. 23. 1. Kekuasaan Primer yang dinamakan kedaulatan. Jika dilihat dari ilmu hukum positif, kedaulatan itu merupakan sumber dari segala macam hak atau kekuasaan yang ada dalam tatanan hukum. Sri Soemantri mengartikan kedaulatan itu sebagai kekuasaan tertinggi. Karena dalam Negara RI, yang berdaulat rakyat, maka kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan rakyat Pasal 1 ayat 2 UUD 1945. 2. Kekuasaan Subsidair, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan kedaulatan yang lahir dari kedaulatan tersebut. Kekuasaan subsidair ini adalah kekuasaan yang integral artinya ia meliputi semua jenis kekuasaan yang akan mewujudkan ketentuan-ketentuan hukum dasar yang termuat dalam cita hukum Rechtsidee dan cita hukum itu tercantum dalam bagian pembukaan UUD 1945. Dalam praktek kehidupan bangsa dan negara, kekuasaan subsidair ini merupakan kekuasaan yang diserahkan atau dilimpahkan oleh kedaulatan rakyat kepada suatu badan yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR. 3. Kekuasaan melakukan kedaulatan oleh Hukum Dasar atau UUD 1945 dirinci lagi kedalam cabang-cabang kekuasaan untuk melakukan kedaulatan dengan tetap memperhatikan jalan dan cara-cara yang di tempuh untuk mewujudkan secara nyata ketentuan hukum dasar sebagai isu atau kandungan dalam Rechtsidee Negara Republik Indonesia. 42 Ketentuan mengenai Kekuasaan Kehakiman yudikatif jelas berbeda dengan ketentuan yang mengatur tentang kekuasaan-kekuasaan Negara lainnya seperti kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan eksaminatif BPK dan kekuasaan konsultatif DPA. Untuk cabang-cabang kekuasaan negara diluar cabang Kekuasaan Kehakiman, UUD 1945 baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasannya tidak secara eksplisit menentukan kekuasaan-kekuasaan tersebut merupakan suatu kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan- kekuasaan negara lainnya. Lain halnya dengan kekuasaan kehakiman yang secara 42 . Moch. Koesno, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesi, Jakarta: ELSAM, 1997, Cet. Pertama, h, 202. eksplisit disebutkan dalam dua pasal UUD 1945 yaitu Pasal 24 dan Pasal 25 sebagai kekuasaan yang merdeka. 43 Dimana Kekuasaan Kehakiman di Indonesia didasarkan atas ketentuan Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 sebagai berikut: Pasal 24: 1. Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung RI dan lain- lain badan kehakiman menurut undang-undang 2. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang- undang. Pasal 25: Syarat-syarat untuk menjadi hakim dan untuk di berhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Penjelasan Pasal 24 dan 25 tersebut berbunyi “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan kehakiman yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah berhubungan dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang- undang tentang kedudukan para hakim.” 44 Perintah UUD 1945 agar kekuasaan kehakiman itu lebih lanjut diatur dengan undang-undang telah dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru dengan 43 . Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, Cet., Pertama, h. 109. 44 . Ibid., h. 110. dikeluarkannya beberapa undang-undang yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan sistem peradilan di Indonesia, sebagai berikut: Pertama, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951 yang memuat ketentuan bahwa: a. Berdasarkan Penjelasan Umumnya, UU tersebut dimaksudkan sebagai induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar serta asas-asas peradilan sebagai pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara yang masing-masing akan diatur dalam undang-undang tersendiri. b. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman mengakhiri berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah mereduksi prinsip kebebasankemerdekaan kekuasaan kehakiman seperti diamanatkan oleh Penjelasan UUD 1945. Melalui Pasal 1 dan penjelasannya dipertegas dan diperjelas prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai berikut: “ Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Penjelasannya berbunyi “ Kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva, atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judicial kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh undang-undang.” c. Melalui Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman telah ditegaskan sistem peradilan yang akan melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia disamping Mahkamah Agung yakni badan-badan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara. Masing-masing badan peradilan tersebut mempunyai dua tingkatan, yakni peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding, dan semua berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai peradilan tingkat kasasi. 45 Kedua, untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang merupakan undang-undang pokok telah dikeluarkan beberapa undang-undang pelaksanaannya, yaitu: 1. Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara RI Tahun 1981 No. 76 tentang Hukum Acara Pidana; 2. Undang-Undang RI No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Lembaran Negara RI Tahun 1985 No. 73 tentang Mahkamah Agung, Tambahan Lembaran Negara RI N0. 3316; 45 . Ibid., h. 112. 3. Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Lembaran Negara RI Tahun 1986 No. 2 tentang Peradilan Umum, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3327; 4. Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Lembaran RI Tahun 1986 No. 77 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3344; 5. Undang-Undang RI No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama lembaran Negara RI Tahun 1989 No. 49 tentang Peradilan Agama 6. Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Ketiga, setelah dilaksanakan selama 29 tahun, sebagai usaha memperkuat kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi dibidang hukum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang intinya berisi kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan, baik yang menyangkut teknis yudisial maupun organisasi, administrasi, dan finansial berada dibawah satu atap dibawah kekuasaan Mahkamah Agung dan paling lambat sudah harus dilaksanakan paling lambat 5 lima tahun sejak di undangkannya Undang- Undang Nomor 35 Tahun 1999. 46 46 . Ibid., h. 113.

C. Kekuasaan Yudikatif Setelah Amandemen UUD 1945.