mematahkan perlawanan rakyat Sunggal. Belanda sebenarnya tidak mampu secara militer menangkap para pimpinan pejuang Sunggal. Datuk Badiuzzaman Surbakti
sebenarnya adalah sosok penguasa Urung Sunggal yang secara sembunyi- sembunyi teuss melakukan kontak rahasia dengan para komandan lapangan
Datuk Kecil dkk. Sebagaimana dikatakan Sultan Deli, “Hampir setiap malam melalui para kurir orang Karo, Datuk Badiuzzaman Surbakti menerima pesan-
pesan dari Datuk Kecil dkk”. Semua kerabat Datuk Sunggal secara terang- terangan telah membenci Belanda. Mereka memegang teguh ungkapan, “Lebih
baik mati berkalang tanah daripada hidup berkalang besi”.
3.1 Perjuangan Lewat Perang dan Perundingan
Medan perang yang sangat luas dan keterbatasan personel, membuat Belanda berusaha menawarkan perdamaian. Residen Riau Schiff juga melalui
kurir sering menawarkan perdamaian dengan Datuk Kecil dan rekan-rekannya dan juga kepada Datuk Badiuzzaman Surbakti. Dengan menggunakan Sultan Deli,
Belanda menawarkan gencatan senjata dan bersedia menarik pasukannya. Mengingat Sultan Deli merupakan anak beru Sunggal maka untuk kedua kalinya
Datuk Badiuzzaman Surbakti mau berunding dengan Sultan Deli. Datuk Sunggal rupanya masih menaruh harapan akan penyelesaian konflik yang tidak serta merta
harus diakhiri dengan kekerasan atau perang. Lewat perundingan dapat dicapai penyelesaian yang baik dari sisi rakyat bumiputera Sunggal maupun bagi Belanda
dan Sultan Deli.
Universitas Sumatera utara
Perundingan ini harus dilakukan di tempat netral, yakni di sekitar Kampung Lalang dan Belanda harus melucuti pasukannya. Berdasarkan
kesepakatan itu maka Datuk Badiuzzaman Surbakti dengan rombongan diiringi musik serdadu Belanda tanpa senjata dan diantar Datuk Sulong Barat Surbakti,
menyampaikan kesepakatan tersebut kepada Datuk Muhammad Jalil Surbakti dan Datuk Kecil yang saat itu sedang sakit di Kampung Gadjah. Pada 20 Oktober
tibalah rombongan Datuk Kecil dengan diiringi pasukan pengawalnya di Sunggal. Kemudian, dengan dikawal pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Ponstein,
rombongan Datuk Badiuzzaman Surbakti dan Datuk Kecil menuju tempat perundingan di perkebunan Arensburg Klumpang tempat tinggal sementara
Schifft, Residen Riau. Rupanya Datuk Badiuzzaman Surbakti yang masih menaruh harapan akan niat baik Belanda dalam perundingan antara pihak yang
bertikai sebagai pihak yang “berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” tidak terjadi. Ketika perundingan sedang berlangsung, 25 Oktober 1872, tiba-tiba
Residen Riau memerintahkan kepada para Datuk Badiuzzaman Surbakti itu untuk minta ampun pada Gubernur Jenderal di Batavia.
Datuk Kecil kemudian menjawab bahwa mereka tidak melakukan kesalahan apa-apa dan tidak perlu minta ampun. Namun, Residen Riau kemudian
menyatakan bahwa mereka sekarang telah menjadi tawanan dan memerintahkan kepada Letnan Kolonel van Stuwe untuk melucuti semua pasukan pejuang
Sunggal. Para pengawalnya orang-orang Batak Karo disuruh kembali ke Sunggal, yang lainnya dibawa ke Labuhan Deli. Datuk Kecil, Datuk Muhammad Jalil
Surbakti, Sulong Barat Surbakti, dan empat pengawalnya selanjutnya dibawa naik
Universitas Sumatera utara
kapal “Den Briel” ke Tanjung Pinang dan kemudian ke Batavia tanggal 4 November 1872. Sementara Datuk Badiuzzaman Surbakti, Datuk Alang
Muhammad BaharbSurbakti, dan beberapa pejuang lainnya diinterogasi dan kemudian dilepas.
Makam Datuk Sulong Barat Surbakti
Setelah pembuangan itu kondisi keamanan di Deli pada tahun 1873 realtif aman untuk sementara waktu. Kehilangan sejumlah Datuk termasuk Datuk Kecil
tidak membuat Datuk Badiuzzaman Surbakti menyerah atau surut dalam perjuangan. Justru di saat seperti itu kegigihan dan semangat kepemimpinan
Datuk Badiuzzaman Surbakti makin tampak jelas. Rupanya sebagai Datuk, ia mewarisi sifat-sifat kepahlawanan yang diajarkan secara turun temurun. “Bila ia
bersungut maka ia bersungur dawai; bila ia memandang mata ia bermata kucing;
Universitas Sumatera utara
bila ia memegang maka ia bertangan besi; bila ia berani setia ia tidak bertukar; bila ia berjuang pantang surut ia biar selangkah; bila ia menjumpai maut, mati ia
berkapan cindai”. Perjuangan tetap dilanjutkan dan keberadaan perkebunan asing tetap
menjadi sasaran perlawanannya. Adanya perkebunan telah membuat masyarakat adat dan para buruh sengsara. Di samping itu, sejumlah kejahatan yang dianggap
legal oleh pemerintah Belanda amat merugikan masyarakat, cara menyinggung rasa perasaan orang beragama, yaitu adanya perjudian, pelacuran, dan penjualan
candu yang sangat merusak masyarakat. Perjuangan Datuk Badiuzzaman sangat didukung oleh rakyat yang amat mencintainya sebagai seorang pemimpin.
Perlawanan terus dilakukan dengan jalan melakukan berbagai aksi sabotase di Perkebunan Tembakau pada tahun 1874 sampai dengan tahun 1895. Berdasarkan
Laporan resmi Departemen Pertahanan Hindia Belanda pada 4 November 1872, korban tewas dan militer Belanda sebanyak 3l orang dan luka-luka sebanyak 592
orang. ini tidak termasuk korban dari pasukan Sultan Deli dan Langkat dan para kuli perkebunan yang terkena imbas peperangan.
Melihat pengalaman dari masyarakat adat, pemerintah kolonial mengambil sejumlah langkah pencegahan. Kontrak-kontrak tanah untuk perusahaan
perkebunan mulai ditata kembali dengan lebih memperhatikan kesejahteraan para penduduk pribumi. Sewa tanah dalam kontrak-kontrak yang dilakukan oleh para
pengusaha bangsa Eropa, seluruhnya diperuntukkan bagi Datuk empat suku di Deli, sepanjang tanah-tanah itu masih masuk wilayahnya. Pada l4 Juni 1873,
peraturan ini diperkuat dengan akte baru. Maksud tindakan itu adalah untuk
Universitas Sumatera utara
mengambil hati masyarakat dan para pemimpinnya. Meskipun para penghulu Batak Karo yang terlibat dalam perang telah diberi amnesti, terapi mereka tetap
menunggu dilakukannya pesta perdamaian sesuai dengan adat Karo sebagai tanda adanya berakhirnya perang. Meskipun demikian, kondisi keamanan di Deli
kembali retap tidak aman bagi para pengusaha perkebunan Eropa dan para pejabat Belanda.
Masih dalam bulan Mei 1873, ada informasi bahwa sejumlah orang Alas dan orang-orang Aceh yang berdiam di Perbatasan Langkat Hulu Atas telah
menerima surat dari Sultan Aceh yang isinya mengajak untuk berperang melawan Belanda. Surat seperti itu pun beredar di Kampung Sitelu Kuru, tempat asal-usul
raja-raja Urung Sunggal Serbanyaman. Berita-berita itu malah sampai ke para pengusaha perkebunan dan sangat mencemaskan dengan adanya 10.000 pasukan
dari Deli Atas dan Langkat akan turun ke Deli Bawah menyerang orang-orang Eropa. Ternyata berita ini memang sangat dibesar-besarkan, sehingga Belanda
tidak jadi mengirim bantuan pasukan dari Tanjung Pinang. Disamping itu, kontrolir Kroesert dibuat sibuk dengan melakukan kunjungan ke daerah-daerah
Langkat Atas. Memang berita itu bisa saja dibesar-besarkan, tetapi ketenteraman di Deli, khususnya keselamatan para pemilik perkebunan Eropa dan
perkebunannya belum sepenuhnya aman. Datuk Badiuzzaman Surbakti, setelah Datuk Kecil dan rekan-rekannya
ditangkap kemudian mengubah pola perjuangan dari perang frontal menjadi perang gerilya. Serangan-serangan sporadis dilakukan ke bangsal-bangsal
tembakau milik perusahaan perkebunan Eropa dengan tujuan memberikan rasa
Universitas Sumatera utara
tidak aman bagi Tuan Kebon Eropa bersama keluarganya dan menghentikan produksi perkebunan dan ekspansi areal perkebunan. Tembakau yang disimpan di
bangsal-bangsal dan siap untuk diekspor dibakar sebagai tindakan balasan terhadap aksi penyerobotan tanah-tanah rakyat Sunggal oleh perusahaan
perkebunan tembakau dan dilindungi pasukan Belanda yang ditempatkan di setiap emplasmen perkebunan. Setiap bangsal tembakau yang akan diserangdibakar
ditempelkan terlebih dahulu tanda adat “musuh berngi”. Dalam sebuah pertemuan antar Assisten Residen Siak, Locker de Bruijne, Sultan Deli, dan Datuk-Datuk
Empat Suku, bulan April 1873. Locker de Bruijne secara tegas memperingatkan Datuk Badiuzzaman Surbakti sebagai pihak yang memikul tanggung jawab atas
keamanan, karena masih ada gangguan keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Rapat ini dilakukan karena keamanan mulai terganggu lagi, apalagi setelah
seorang utusan dagang Sultan Deli hilang tidak diketahui rimbanya. Kejadian itu membuktikan bahwa perlawanan rakyat Sunggal tidak berhenti, bahkan semangat
perlawanan itu terus membara berkat kepimpinan Datuk Badiuzzaman Surbakti. Di bawah pimpinan Datuk Badiuzzaman Surbakti dan adiknya Datuk
Alang Muhammad Bahar Surbakti, rapat-rapat rahasia sering dilakukan dengan pemuka masyarakat di beberapa tempat, termasuk di Kampung Pagar Batu atau
Pancur Batu. Dalam rapat itu mereka tetap tidak mau mengakui kekuasaan Sultan Deli atas Sunggal dan membahas cara melakukan serangan terhadap perkebunan.
Pimpinan penyerangan dan pembakaran bangsal-bangsal tersebut diserahkan kepada adik kandungnya, Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti. Keadaan di
Deli semakin gawat dengan munculnya bahaya kelaparan. Keadaan ini terjadi
Universitas Sumatera utara
karena adanya aksi pemboikotan rakyat petani yang turut bersimpati dengan perjuangan Datuk Sunggal, tidak mau menjual berasnya kepada Belanda.
Akibatnya, Belanda mengimpor beras dari Rangon Birma. Hingga tahun 1866, gerakan pengacauan di perkebunan tembakau terus
berlangsung. Schadee melaporkan bahwa para pemilik perkebunan beserta keluarganya di beberapa tempat mati terbunuh. Mereka yang selamat menjadi
panik dan melarikan diri ke Medan. Gerakan pengancaman itu semakin meluas sehingga hampir semua bangsal perkebunan milik orang Eropa tidak dapat
diselamatkan. Setahun kemudian, tepatnya bulan Agustus 1876, Van Der Sluis dan sejumlah rekannya, pemilik perkebunan Sungai Tawar yang terletak di
Babalan Langkat, diserang oleh orang-orang Gayo. Administratur Perkebunan terluka dan rumahnya dibikar. Sebulan kemudian, September 1876, Perkebunan
Tandem dekat Sungai Binjai milik Tuan Peyer en Van Gulich juga diserang orang-orang Gayo. Dalam serangan itu seorang Eropa meninggal dan beberapa
orang kuli terluka. Pada Bulan Oktober 1876, sebuah perkebunan Sungai Diski giliran mendapat serangan dari orang-orang Gayo dan Melayu dari Kampung
Sialang Moeda. Istri pemilik perkebunan J. Lohmann dan dua putranya mati dibunuh dan beberapa orang yang tinggal serumah mengalami luka-luka.
Pemerintah Belanda segera mengambil tindakan untuk melindungi perkebunan. Pasukan Belanda akhirnya berhasil menangkap para pelaku penyerangan,
yakni empat orang Batak Karo dan dua orang Melayu ditembak mati, enam orang lainnya dihukum kerja paksa Pemimpin utamanya bernama Razal dipenjara.
Setelah dilakukan aksi pembersihan oleh Belanda, diketahui bahwa serangan-
Universitas Sumatera utara
serangan itu diperintahkan oleh Panglima Selan, seorang Batak Karo yang memiliki pengaruh di kalangan orang-orang Gayo yang bermarkas di Si Umpih-
Umpih kira-kira 10 jam perjalanan dan Timbang Langkat. Ia memang sudah sering membuat keonaran dan setelah itu ia menghimpun sejumlah orang
sekampungnya untuk menyerang perkebunan Air Tawar. Pada bulan November 1887 markasnya digempur pasukan militer Belanda, tetapi Selan dan pengikutnya
sudah meninggalkan tempat itu. Namun demikian, semua barang yang menurut Belanda merupakan hasil
rampasan dalam tiap aksi penyerangannya berhasil ditemukan Militer Belanda di Sungai Diski. Berbagai penyerangan yang dilakukan Panglima Selan sebenarnya
merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjuangan Datuk Badiuzzaman Surbakti menentang kolonialisme Belanda, sebagai strategi meneruskan perjuangan setelah
paman-pamannya Datuk Kecil, Datuk Jalil Surbakti, dan Sulong Barat dibuang Belanda ke Jawa.
Panglima Selan sebenarnya adalah anak buah Datuk Alang Bahar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua aksi pembakaran perkebunan di Tandem,
Sungai Mencirim, Diski, Gedong Johor, dan penghadangan pasukan militer Belanda adalah atas perintah Datuk Badiuzzaman Surbakti dan adiknya Datuk
Alang Bahar Surbakti. Mengingat semakin seringnya aksi-aksi pembakaran terhadap perkebunan maka Belanda mulai merencanakan strategi Kristenisasi
melalui lembaga Alkitab Belanda Zending untuk memecah belah persatuan antara orang Melayu dan Karo Sunggal. Mereka mendukung kegiatan zending
yang secara tidak langsung akan membendung pengaruh Melayu yang notabene
Universitas Sumatera utara
beragama Islam di kalangan orang Batak Karo yang sebagian non-Islam. Wujud tindakan memecah kesatuan antara orang Melayu dan Karo juga tampak dalam
berbagai laporan pemenintah kolonial Belanda yang selalu menyebut aksi-aksi pembakaran perkebunan dilakukan oleh orang Batak, tidak disebutkan oleh orang
Karo.
Gereja yang terletak di buluh hawar, Sibolangit Politik pecah belah itu tidak berhasil dan bahkan persatuan antara orang
KaroMelayu Sunggal dengan Batak Karo di Pegunungan makin kuat untuk membebaskan daerahnya dari penjajahan Belanda. Bagaimanapun aksi
pembakaran bangsal-bangsal tembakau membuat produksi perkebunan menurun dan pada gilirannya memengaruhi perekonomian Hindia Belanda. Belanda
akhirnya berusaha keras untuk mengatasi aksi-aksi sabotase tersebut, termasuk dengan mempergunakan mata-mata yang disusupkan ke Sunggal dan upaya ini
Universitas Sumatera utara
akhirnya berhasil. Berdasarkan seorang mata-mata wanita yang bernama Lelau, didapat sebuah dokumen yang menjelaskan bahwa sebenarnya otak dari segala
aksi-aksi pembakaran bangsal-bangsal tembakau itu adalah Datuk Badiuzzaman Surbakti. Oleh karena itu, dalam sebuah pertemuan pada tahun 1894, yang
digagas untuk mencari jalan keluar atas kemelut yang tejadi di Deli, Asisten Residen Siak didampingi oleh Sultan Deli membujuk agar Datuk Badiuzzaman
Surbakti segera ke Batavia menemui Gubernur Jenderal dalam rangka mengatasi masalah di Deli. Usul ini diterima Datuk Badiuzzaman Surbakti dengan hati
bersih. Dengan didampingi Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, Datuk Mahmud sekretarisnya dan Daim ajudannya berangkatlah menuju Batavia
meninggalkan seluruh anak dan istrinya di Sunggal. Sesampainya di Batavia, ternyata Datuk Badiuzzaman Surbakti tidak juga
dipertemukan dengan Gubernur Jenderal dan ia tidak diperbolehkan pulang ke Sunggal. Hingga suatu ketika, seorang pengacara yang menemuinya menyatakan
sebenarnya mereka telah menjadi orang buangan. Sadarlah Datuk Badiuzzaman Surbakti bahwa mereka telah ditipu oleh Belanda. Mereka bisa ditolong asal mau
mohon ampun atas kesalahannya pada saat hari ulang tahun Raja Belanda, lewat Gubernur Jenderal di Batavia. Akan tetapi, Datuk Badiuzzaman Surbakti tetap
pada pendiriannya bahwa sampai mati pun ia tidak akan mau berjongkok atau merunduk di hadapan penjajah, apalagi minta ampun pada Belanda karena itu
adalah sebuah pantangan dan nenek moyangnya. Akhirnya, Datuk Badiuzzaman Surbakti dan sang adik, Datuk Alang
Muhammad Bahar Surbakti dipenjara di Bengkalis, Riau. Jika dilihat dari
Universitas Sumatera utara
karakteristik kepribadian Datuk Badiuzzaman Surbakti, beliau memperlihatkan tipe konflik yang bersifat need for autonomy kebutuhan untuk bebas dan lepas
dari tekanan dan need for change kebutuhan untuk membuat perubahan serta memiliki kecenderungan untuk memilih paling tidak satu gaya pengelolaan
konflik yang membuat konflik semakin intensif. Beliau juga memperlihatkan karakteristik kepribadian yang terutama berpengaruh terhadap gaya pengelolaan
konflik adalah kecenderungan agresifitas, kecenderungan untuk mengontrol dan menguasai, orientasi kooperatif dan kompetitif, kemampuan untuk berempati
dengan para pejuang lainnya, dan kemampuan untuk tetap melawan musuh dengan senjata tradisonal yang seadanya.
Kemudian melalui Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 3 Tanggal 20 Januari 1895 mereka dihukum buang seumur hidup. Gubernur Jenderal Hindia
Belanda memiliki Hak Luar Biasa Exorbintante Rechten yaitu hak untuk memindahkan orang ke daerah lain dalam wilayah hukum Hindia Belanda bila
dipandang mengganggu ketertiban dan keamanan rust en orde. Memang selama masa pembuangan pemerintah Belanda memberikan sejumlah uang untuk
membiayai hidup sehari-hari di tempat pembuangan. Meskipun demikian bisa dibayangkan penderitaan batin dan penderitaan sosial yang harus dipikul sebagai
orang buangan yang hidup terpisah dari keluarga dan kerabatnya. Pembuangan tidak hanya pembunuhan fisik secara perlahan-lahan oleh pemerintah Kolonial,
tetapi juga pembunuhan karakter character assination dari seorang pejuang atau pahlawan. Datuk Badiuzzaman Surbakti dibuang ke Cianjur dan Datuk Alang
Muhammad Bahar Surbakti dibuang ke Banyumas. Mendengar kabar itu, rakyat
Universitas Sumatera utara
Sunggal berkabung selama 3 bulan sebagai tanda hormat dan setia pada pemimpin mereka.
Pembunuhan karakter dan semangat juang yang dilakukan oleh Belanda terhadap Datuk Badiuzzaman Surbakti terbukti tidak berhasil. Masyarakat dan
rakyat yang sangat mencintainya selama tiga bulan berturut-turut setiap sholat Jumat mendoakan para pejuang rakyat Sunggal. Sama seperti yang dialami
pamannya, Datuk Kecil dan Datuk Mohammad Jalil Surbakti, Datuk Badiuzzaman Surbakti juga tidak pernah lagi melihat anak-istri dan keluarganya
sampai di tempat pembuangan di tanah Jawa.
Makam Datuk Sri Diraja Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan SurbaktiDatuk Sunggal
Sumber : Surbakti, November 2011
Universitas Sumatera utara
Datuk Badiuzzaman dikuburkan di Cianjur dan makamnya dikenal masyarakat setempat dengan nama “Makam Istana Deli”. Rupanya hubungan
Datuk Badiuzzaman Surbakti dan msyarakat di sekitarnya sangat baik. Penunggu dan “Juru kunci” makam hingga sampai saat ini sudah 3 generasi. Menurut
kesaksian penduduk di sekitar makam tercium bau bunga-bunga yang harum. Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti dikebumikan di Desa Lampui,
Kecamatan Jombang, Banyumas, Jawa Tengah.
3.2 Kekuasaan Datuk Badiuzzaman Surbakti Dalam Perang Sunggal