mengusir penjajah Belanda. Saat ini setelah ratusan tahun berlalu, sejarah perjuangan politik Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti dan kawan-
kawan menjadikan pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia, sejarah perjuangan anak bangsa dalam mempersatukan kedaulatan rakyat.
2.1. Datuk Badiuzzaman Surbakti dan Kerajaan Sunggal
Kerajaan Sunggal Serbanyaman yang didirikan oleh keluarga puak Sunggal yang diawali dengan tokoh Jolol Karo-Karo Surbakti yang mempunyai
anak Sirukati Surbakti. Seperti diketahui, suku bangsa di Sumatera Utara yang mendiami daerah mulai dari Langkat, Deli, Serdang, dan Asahan bagian
pegunungan dataran sejak paro pertama abad ke-19 datang dari Minangkabau sampai daerah Mandailing, karena penduduk Tapanuli di sebelah utara
Mandailingsudah terpengaruh agama Kristen yang sejak pertengahan abad ke-19 disebarkan oleh penyiar agama dari Jerman. Dalam masyarakat Batak dikenal
logat Angkola, Karo, Toba, Dairi, Simalungun, dan Mandailing. Desa adat di tanah Batak Huta dalam bahasa Toba terdiri dari
sekelompok rumah besar sebanyak 6-10 rumah yang berdiri diatas tiang-tiang besar dan yang masing-masing didiami oleh keluarga-keluarga luas yang
patrilokal. Kelompok-kelompok kekerabatan yang juga sangat penting dalam masyarakat Bataka adalah klen-klen patrilineal yang kecil maupun yang besar
disebut marga. Konstruksi rumah Batak Toba terdiri dari tiang-tiang Gelondongan yang memberi kesan kokoh. Dulu pertikaian antarsuku masih terjadi, rumah-
rumah itu dibangun dalam kelompok-kelompok yang dapat berfungsi sebagai
Universitas Sumatera utara
benteng di atas bukit dan lingkungan belakangnya adalah pagar-pagar pohon yang rapat. Di dalam lingkungan perumahan tersebut berjajar berhadapan dua tipe
rumah, yaitu rumah jantan yang masuknya dari kolom rumah dan rumah betina yang masuknya dari depan. Kolong rumah yang setinggi orang dipakai sebagai
kandang ternak. Berbeda dengan Batak Toba, Batak Karo memiliki tipe rumah pegunungan yang pintu depannya dihadapkan ke arah hulu sungai julu dan pintu
belakangnya ke arah muara jahe. Bentuk atap rumah kepala marga berbeda dengan bentuk atap rumah-rumah lainnya, yaitu bermahkota tingkat. Umumya
denah rumah Batak Karo direncanakan untuk keluarga Jamak. Rumah tersebut mempunyai lorong tengah yang lantai-lantainya lebih rendah dari bagian sisi
rumah lainnya. Di dalamnya terdapat kamar-kamar untuk masing-masing keluarga. Pria yang beranjak dewasa memiliki ruang sendiri. Di perkampungan
Batak Simalungun biasanya terdapat “Balau Butu” yang berfungsi sebagai gardu jaga atau tempat bermalam para tamu atau pelancong.
25
25
Proseding Seminar Nasional Datuk Badiuzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti Pejuang Penentang Penjajahan Belanda 1872-1895. 2006. PT. Sentrajaya Utama. Jakarta. Hal. 8.
Kembali ke marga Surbakti tadi, Sirukati Surbakti mempunyai dua orang anak, yakni Kebal Surbakti,
dan SirsirSerser Surbakti. SirsirSerser Surbakti mempunyai saudara empat orang, salah satu bernama Kebal Surbakti yang berasal dari Pak Pak Dairi.
Keduanya melakukan perjalanan dari Pak Pak Dairi turun gunung ke Tanah Karo dan Gayo Alas. Kebal Surbakti kemudian membuat perkampungan di
Lingga dan Sirsir mengembara sampai ke Tanah Alas di Lingg Raja, terus ke Torong dan membuat perkampungan di sana. Sirsir kemudian menikah dengan
Universitas Sumatera utara
seorang putri yang dipercayai sebagai penjelmaan dari seekor gajah sehingga kemudian anaknya dinamai Gadjah Surbakti.
Gadjah Surbakti kemudian membuat kampuing di Sitelu Kuru dan dinamakan Kampung Gadjah. Dengan demikian tidak heran apabila terjadi
hubungan erat anatara masyarakat Sitelu Kuru, Penghulu Gadjah, Penghulu Lingga dan marga Surbakti. Gadjah Surbakti mempunyai tiga orang anak, yakni
Ator Surbakti, Nangmelias Br. Surbakti, dan Adir Surbakti. Adir Surbakti kemudian mendirikan kampung di Sumbuaikan di kaki Gunung Sibayak dan
dinamakan Sunggal. Atas pengaruh Datuk Kota Bangun, ia kemudian memeluk agama Islam tahun 1632. Adir Surbakti mempunyai anak sepuluh orang, yaitu
sembilan laki-laki dan seorang perempuan yang bernama Nang Baluan Br. Surbakti. Adir Surbakti adalah pendiri Kerajaan Sunggal yang ketika itu
kekuaaannya cukup kuat meliputi bekas wilayah kerajaan Aru II di Deli Tua. Ia memerintah dari tahun 1629-1651. Ketika Aceh menaklukkan Deli tahun 1612,
Sultan Aceh menempatkan seorang wakilnya di Deli, yaitu Gotjah Pahlawan. Melihat Sunggal begitu kuat pengaruhnya di daerah Deli Tua dan orang-orang
Karo di pegunungan, maka ia menikahi Nang Baluan Br. Surbakti sebagai akses untuk mempengaruhi raja-raja Urung di Tanah Karo. Dari perkawinannya itu
kemudian lahir raja-raja Deli dan Serdang. Pada masa itu dibuatlah kesepakatan yang dinamakan Konfederasi Deli. Masing-masing raja Urung Datuk berempat
merdeka dalam wilayahnya masing-masing. Deli menjadi Anak Beru Sunggal dan Sunggal berperan sebagai Ulon Janji. Di antara anak laki-laki Adir Surbakti
adalah Mahbub Surbakti yang menggantikannya sebagai raja. Pusat kekuasaan
Universitas Sumatera utara
Kerajaan Sunggal pindah ke Kinangkung. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu Bubud Surbakti dan Tobo Surbakti. Mahbub Surbakti memerintah dari tahun
1651-1667 yang kemudian digantikan oleh anaknya, Bubud Surbakti. Bubud Surbakti memerintah unggal dari tahun 1667-1792. Ia memindahkan pusat
kekuasaannya ke Tanjung Selamat. Bubud Surbakti mempunyai dua orang anak, AndanUndan Surbakti dan NngDayan Sermaini Br. Surbakti. Nang Sermaini
menikah dengan Panglima Mangedar Alam dari Deli. Pada tahun 1723 terjadi perebutan tahta di Kesultanan Deli, setalah Panglima Paderap meninggal dunia.
Seorang puteranya terusir dari Deli dan kemudian menemui Raja Sunggal yang merupakan Kalimbubu untuk melaporkan situasi di Deli. Raja Sunggal kemudian
memanggil Raja Urung Sinembah, Tanjung Morawa, dan utusan Aceh. Dari musyawarah itu ditetapkan bahwa Umar menjadi Raja Serdang dengan Gelar
Tuanku Umar. Oleh karena itu, baik bangsawan Deli maupun Serdang adalah anak cucu Raja Urung Sunggal marga Surbakti. AndanUndan Surbakti
mengantikan ayahnya Bubud Surbakti yang telah meninggal dunia, ia memerintah dari tahun 1792-1821, dan memindahkan pemerintahannay ke Tanjung Selamat.
Ia mempunyai enam orang anak laki-laki, Datuk Amar Laut Surbakti, Datuk Jalaludin Surbakti, Datuk Keteng Surbakti, Datuk Kojat Surbakti, Datuk Bajing
Surbakti, Datuk Nahu Surbakti, dan dua orang anak perempuan, yaitu Aja Manyak Br. Surbakti dan Aja Gadih Br. Surbakti.
Datuk Amar laut Surbakti adalah penerus tahta Sunggal yang memindahkan pusat pemerintahannya ke Jejabi. Datuk Amar Laut Surbakti
mempunyai empat orang anak, tiga laki-laki dan seorang anak perempuan.
Universitas Sumatera utara
Mereka adalah Datuk Abdullah Ahmad Surbakti, Datuk Abdul Jalil Surbakti, Datuk Muhammad Dini Surbakti. Datuk Abdul Jalil Surbakti mempunyai
sembilan orang anak, yaitu Datuk Sulong Barat Surbakti, Datuk Riaw Surbakti, Datuk Lintang Siak Surbakti, Datuk Lingga Surbakti, Datuk Segel Surbakti,
Datuk Long Putra Surbakti, Aja Demban Br. Surbakti, Aja Noor Br. Surbakti, dan Aja Intan Lara Br. Surbakti. Datuk Abdulah Ahmad Surbakti mempunyai delapa
orang anak. Datuk Muhammad Dini dengan Gelar Datuk Kecil mempunyai anak Olong Hasyim Surbakti, Datuk Ali Syafar Surbakti, Datuk Ali Usman Surbakti
Datuk Torong dan Aja Iting Br. Surbakti. Pada masa pemerintahannya, Sunggal melepakan semua ikatan yang pernah dibuat dengan Deli dan Aceh. Sunggal
mempunyai bendera sendiri, yaitu merah dan kuning, dengan cap berlambang gajah. Datuk Amar Laut meresmikan Sunggal merdeka. Pada masa ini Panglima
Mangedar Alam berusaha menaklukkan tetapi usaha tersebut gagal. Datuk Amar Laut Surbakti naik tahta pada tahun 1845-1857 menggantikan ayahnya dan
memindahkan pusat pemerintahan Sunggal yang letaknya sekarang adalah disekitar Jalan PAM Tirtanadi, Kecamatan Medan Sunggal, Medan. ia diberi
Gelar Datuk Indera Pahlawan. Datuk itu mempunyai delapan orang anak, enam laki-laki dan dua perempuan, yakni Datuk Muhammad Mahir Surbakti, Datuk
Muhammad Lazim Surbakti, Datuk Muhammad Darus Surbakti, Datuk Badiuzzaman Surbakti, Datuk Muhammad Alang Bahar Surbakti, Datuk
Muhammad Alif Surbakti, Aja AmahOlong Br. Surbakti, Datuk Aja Ngah Haji Br. Surbakti.pada masa inilah Sunggal diresmikan dengan nama lain yaitu
Serbanyaman. Ikatan dengan Deli dan Aceh dibuka kembali termasuk Institut
Universitas Sumatera utara
Ulon Janji .
26
Dalam kehidupan Suku karo yang bertempat tinggal di Sunggal dan sekitarnya pada masa itu ada beberapa istilah yang mereka gunakan untuk
pemerintahan tradisional serta hubungan-hubungan dengan kerajaan lain. Seperti misalnya ada istilah perbapaan, yaitu jika suatu Kuta baru didirikan oleh orang-
orang dari Kuta kampung induk, maka kampung induk itu disebut perbapaan yang artinya tempat dimana bapakayah tinggal, dan kuta yang baru itu tidaklah
merdeka sepenuhnya karena itu jika ada perkara atau suatau masalah dan Ketika Datuk Ahmad Surbakti meninggal dunia pada tahun 1857,
Datuk Badiuzzaman Surbakti masih berusia 12 tahun, sehingga beliau dianggap belum sanggup untuk memerintah Kerajaan Sunggal, maka atas musyawarah
keluarga, Datuk Kecil ditugaskan untuk memangku Kerajaan Sunggal sampai Datuk Badiuzzaman Surbakti dewasa. Datuk Muhammad Dini Surbakti Datuk
Kecil memimpin Sunggal sampai pada tahun 1866, yaitu pada saat Datuk Badiuzzaman Surbakti diangkat menjadai Raja Sunggal Serbanyaman dengan
Gelar Datuk Sri Diraja Indera Pahlawan. Pada saat diangakat menjadi Raja Sunggal umur Datuk Badiuzzaman Surbakti masih 21 tahun, dan enam tahun
kemudian barulah terjadi Perang Sunggal dan umurnya sudah memasuki 27 tahun. Datuk Badiuzzaman Surbakti memerintah Sunggal hingga tahun 1895, ketika ia
ditipu oleh Belanda dan dibuang ke Jawa seumur hidup.
2.2 Hubungan Antara Kerajaan Sunggal, Sepuluh Dua Kuta, Hamparan Perak, Suka Piring dan Kesultanan Deli
26
Arti harfiahnya “Janji Hati”. Dalam tradisi Raja Datuk Sunggal yang berwenang untuk melantik dan mengangkat Sultan Deli atau Datuk di wilayah Urung lain. Tanpa kehadiran dan
pengangkatan Datuk Sunggal, pengangkatan itu tidak sah.
Universitas Sumatera utara
penduduknya merasa ada sesuatu yang harus diselesaikan, bisa naik banding kepada putusan kampung perbapaan yang disebut Balai. Suatu perbapan
membentuk bersama-sama anak kampungnya satu negeri yang disebut Urung. ada juga beberapa kepala kampung yang berjasa kepada Datuk dan diberi gelar
“Penghulu Kitik”, sedangkan perbapan diberi gelar “Penghulu Belin”. Pada masa itu ada beberapa bebrapa wilayah dari Datuk Urung 4 Suku,
yaitu Sunggal, Sepuluh Dua Kuta, Hamparan Perak, dan Suka Piring, dan wilayah ini di bagi lagi menjadi dua bagian wilayah :
1. Sinuan Bunga di mana kapas ditanam. Ini adalah daerah-daerah yang
berbatasan dengan dataran pesisir dimana Suku Melayu tinggal. 2.
Sinuan Gambir di mana gambir ditanam. Ini adalah wilayah-wilayah penduduk Karo yang berbatasan dan bersatu dengan daerah hulu sampai
ke Dataran Tinggi Karo.
27
Dari beberapa Urung yang disebutkan diatas, selain mereka merdeka dalam wilayah masing-masing, Sunggal adalah wilayah Urung yang terkuat pada
masa itu karena daearah kekuasaannya yang sangat luas apabila dibandingkan dengan wilayah Urung lainnya. Meskipun demikian, hubungan antara keempat
Urung tersebut sangat erat dan selalu melakukan hubungan-hubungan diplomatik yang saling menguntungkan bagi Urung-Urung tersebut. Dan tentunya Datuk
Sunggal yang memperoleh posisi Ulon Janji karena kekuasaannya yang lebih dibanding yang lainnya dan raja-raja Urung yang lain juga sangat menghormati
27
Ibid, Tengku Lukman Sinar. SH. Hlm. 18.
Universitas Sumatera utara
akan hal itu. Hubungan diplomatik yang dilakukan oleh para raja-raja Urung tersebut berlangsung sampai Datuk Badiuzzaman Surbakti menjadi Raja Sunggal.
Hubungan yang saling menguntungkan tersebut dapat dirasakan langsung oleh masyarakat Sunggal. Ditambah kepemimpinan Datuk Badiuzaaman Surbakti yang
bijaksana selaku penguasa Tanah Sunggal, kehidupan masyarakatnya menjadi lebih baik, dilihat dari segi kehidupan ekonomi, masyarakat mampu terampil dan
mandiri dalam mengelola kebunnya sehingga menghasilkan sesuatu yang positif untuk menopang kehidupan masing-masing warganya. Beliau juga merupakan
sosok yang sangat dekat dengan masyarakatnya, beliau berkeliling ke beberapa daerah dan mendengar keluh kesah dari kehidupan masyarakatnya, sehingga itu
memberikan contoh teladan yang baik bagi masyarakat lainnya untuk hidup saling menghargai. Pada akhirnya hubungan-hubungan yang baik tersebut menghasilkan
pola interaksi sosial yang bersifat positif, selain antarmasyarakatnya yang hidup saling menghargai dan mendukung dalam hal untuk mencapai kehidupan yang
lebih makmur, hubungan antara seorang raja dan masyarakat juga timbul dalam memberikan dukungan-dukungan terhadapa masyrakatnya dan tentunya
masyarakat juga mentaati peraturan-peraturan yang ada sehingga ini semua menibmulkan rasa kecintaan warga dengan seorang raja yang berujung kepada
kehidupan yang damai dan sejahtera. Pada masa kepemimpinannya, beliau juga membangun sebuah masjid
untuk tempat peribadatan masyarakatnya yang beragama Islam. Selain untuk tempat peribadatan, mesjid tersebut juga sering digunakan oleh Datuk
Badiuzzaman Surbakti bersama masyarakat untuk bermusyawarah dalam
Universitas Sumatera utara
memecahkan suatu masalah. Menurut Datuk Amansyah Surbakti, yang merupakan keturanan ke empat pendiri mesjid ini menjelaskan, pada masa itu
pemerintah Belanda melarang semen masuk ke wilayah sunggal karena khawatir warga pribumi mendirikan benteng pertahanan untuk melawan penjajahan. Tetapi
larangan itu tidak menghentikan niat Datuk Badiuzzaman Surbakti untuk mendirikan masjid ini. Tak habis akal, beliau terpikir mendirikan mesjid dengan
telur ayam yang saat itu sangat banyak jumlahnya di wilayah sunggal. Ribuan telur itu dicampur dengan pasir sebagai perekat bangunan. Mesjid yang berada
persis disebelah kantor PDAM Tirtanadi ini berasitektur campuran antara budaya Jawa dan Melayu. Meskipun tidak terlalu besar, masjid yang didominasi warna
hijau ini dapat menampung sekitar 3 ratus jamaah dan sudah direnovasi pada tahun 2010. Namun sangat disayangkan, dari sejak berdiri sampai sekarang mesjid
bersejarah ini belum juga memiliki menara karena ketidakadaan biaya.
Universitas Sumatera utara
Masjid Datuk Badiuzzaman Surbakti Kemudian mengenai hubungan antara Kerajan Sunggal dan Kesultanan
Deli, Sunggal dan Deli sebetulnya bukanlah dua kerajaan yang terpisah sama sekali. Hubungan kedua kerajaan itu dapat dirunut mulai dari Adir Surbakti si
pendiri kerajaan Sunggal. Kekuasaan Kerajaan Sunggal ketika itu cukup kuat, meliputi bekas wilayah kerajaan Haru II di Deli Tua. Ia memerintah dari 1629-
1651. Ketika Aceh menaklukkan Deli tahun 1612, Sultan Aceh menempatkan seorang wakilnya di Deli, yaitu Gotjah Pahlawan. Sebenarnya, sebelum Aceh
menempatkan Gotjah Pahlawan di Deli, di daerah Deli ada kekuasaan empat wilayah hukum Suku Karo yang dikenal dengan Urung federasi beberapa
kampung. Keempat Urung itu adalah Sunggal, Sinembah, XII kota, dan Suka Piring. Melihat Sunggal begitu kuat pengaruhnya di daerah Deli Tua dari orang-
Universitas Sumatera utara
orang Karo di Pegunungan, maka ia mengawini Nang Baluan Surbakti sebagai akses untuk dapat mempengaruhi Raja-raja Urung di Tanah Karo. Dan
perkawinannya ini kemudian lahir raja-raja Deli dari Serdang. Sesuai dengan adat Karo, maka Deli adalah “anak beru” dan Sunggal dan sebagai hadiah perkawinan
diserahkan Raja Urung Sunggal jalur wilayah yang terletak di tepi pantai antara Kuala Belawan dan Kuala Percut sebagai daerah yang diperintah langsung oleh
Deli. Secara ketatanegaraan Deli setaraf dengan wilayah-wilayah Urung, tetapi karena Deli menguasai pantai dan muara-muara sungai yang vital bagi impor dan
ekspor hasil bumi, ditambah posisi Gotjah Pahlawan sebagai wakil Aceh di Deli, maka posisi Deli akhirnya menjadi lebih menonjol.
Pada masa itu dibuatlah kesepakatan semacam konfederasi antarkerajaan itu. Pertama, Sri Paduka Gotjah Pahlawan dan kemudian keturunan keturunannya
raja-raja Deli bertindak sebagai “Yang Dipertuan Agung” dan “Arbiter” hakim tertinggi yang memutus semua sengketa keluar dan ke dalam. Kedua, diberi
posisi sebagai “Ulon Janji” De Voornamaste Onderhandelaar sekaligus mertua dan Mahapatih. Oleh karena ia yang paling utama di antara raja-raja Urung di
Deli, maka ia berhak membacakan penabalan atau pengesahan raja-raja Deli. Ketiga, masing-masing raja Urung Datuk berempat merdeka dalam wilayah
masing-masing. Dalam perjalanannya, hubungan Deli dan Sunggal mengalami pasang
surut. Pada tahun 1822, Deli di bawah Sultan Panglima Magedar Alam merasa kuat dan berusaha menalukkan Sunggal dengan cara melakukan perkawinan
politik, yakni menyunting Dajan Sermaidi Sermaini anak Datuk Undan Surbakti,
Universitas Sumatera utara
raja Sunggal saat itu. Akan tetapi, cara seperti ini tidak membuat Sunggal menjadi bawahan Deli hinga akhirnya pada tahun 1822 Deli menyerang Sunggal.
Tindakan Sultan Deli menyerang Sunggal sangat menjengkelkan Datuk Amar Laut Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal masa itu. Serangan ini bukan membuat
Sunggal menjadi lemah, tapi malah berakibat buruk bagi Deli, yakni Deli kehilangan pengaruh atas keempat raja-raja Urung di Deli dan pedalaman Karo.
Akibatnya, hubungan menjadi semakin buruk dan Sunggal di bawah Datuk Amar Laut 1823 memutuskan untuk menonaktifkan konfederasi Deli ketika itu pun
Deli takluk pada Kerajaan Siak. Datuk Amar Laut kemudian memproklamasikan Sunggal merdeka dengan mengeluarkan bendera sendiri berwarna merah dan
kuning, dengan caplambang gajah. Tindakan Sultan Deli menyerang Sunggal sangat menjengkelkan Datuk
Amar Laut Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal masa itu. Dalam pertemuannya dengan John Anderson di Sunggal, Datuk Amar Laut Surbakti yang telah berusia
45 tahun ditemani ketiga putranya, masing-masing Datuk Abdul Hamid Surbakti , Datuk Abdullah Ahmad Surbakti, dan Datuk Mahini Surbakti, menjelaskan bahwa
ia baru saja selesai berperang melawan Sultan Deli dan ia menyalahkan tindakan Sultan Deli. Ia merasa tidak senang dengan Sultan Deli. Oleh karena itu, meski
telah ada perdamaian, menurut Anderson, konflik akan kembali terjadi antara Sunggal dan Deli. Ketika itu Sunggal merupakan pusat aktivitas perdagangan
yang ramai dikunjungi orang-orang Batak Karo dari gunung yang menjual hasil- hasil buminya. Datuk Amar Laut mengusulkan pada Anderson, bila Inggris
hendak membuka perdagangan dengan Sunggal, maka perlu dibuat Pos
Universitas Sumatera utara
Pengamanan di Pulau Pangkor untuk mencegah aksi bajak laut yang selalu merampok perahu-perahu dagang dari Sunggal menuju Penang. Dengan begitu,
Sunggal memang sebuah negeri yang merdeka dan menjadi tempat transit hasil- hasil pertanian yang akan diekspor ke Pulau Penang di Semenanjung Malaysia.
Posisi Sunggal yaag strategis ini menarik perhatian utusan Inggris itu sehingga perlu dibangun hubungan perdagangan dan politik. Namun, ketika Sunggal di
bawah kepemimpinan Datuk Abdullah Ahmad Surbakti 1845-1857 dan Deli di bawah Sultan Mahmud, hubungan Deli-Sunggal berubah lagi. Konfederasi Deli
diaktifkan kembali. Sejalan dengan semakin kuatnya pengaruh Belanda di daerah Sumatera Timur Deli, ambisi Deli untuk menaklukkan Sunggal terbuka lebar.
Datuk Ahmad bahkan diberi gelar Datuk Indera Pahlawan Wazir Serbanyaman Ulon Janji. Pada masa inilah diresmikan nama Serbanyaman
sebagai pengganti Sunggal. Ketika Sultan Deli menyewakan tanah-tanah subur di daerah Sunggal bagi kepentingan industri perkebunan pemerintah kolonial
Belanda, maka hubungan Deli Sunggal kembali memburuk, hingga meletuslah perlawanan rakyat Sunggal tahun 1872-1895. Perang itu, bagi Deli adalah upaya
klasik untuk melemahkan kekuasaan Datuk Sunggal. Sebaliknya, bagi Sunggal adalah upaya mempertahankan hak dan kedaulatannya atas wilayah dan
kemerdekaan rakyat Sunggal yang sudah dimiliki sejak lama, bahkan sebelum adanya Kerajaan Deli.
Datuk Abdullah Ahmad Surbakti menggantikan ayahnya sebagai raja Sunggal pada 1845-1857. Ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Sunggal
sekarang terletak di Jalan PAM Tirtanadi, Kecamatan Medan Sunggal, Medan.
Universitas Sumatera utara
Datuk Abdullah Ahmad Surbakti mempunyai saudara Datuk Jalil Surbakti, Datuk Muhammad Mahini Surbakti Datuk Kecil dan seorang perempuan. Datuk Jalil
menikah dengan puteri Kejeruan Selesai dari Langkat dan mempunyai anak bernama Sulong Barat, Sulong Putra, dan seorang perempuan. Sementara, Datuk
Muhammad Dini Kecil menikah dengan puteri Selesai dan mempunyai dua orang anak laki-laki dan seorang perempuan. Ketika Datuk Abdullah Ahmad
Surbakti meninggal dunia pada tahun 1857, anaknya Datuk Badiuzzaman Surbakti masih berusia 12 tahun, maka atas musyawarah keluarga, Datuk Kecil
ditugaskan untuk memangku kerajaan Sunggal sampai Datuk Badiuzzaman dewasa. Karena lingkungan keluarga yang sangat anti Belanda atau anti
penjajahan maka memiliki pengaruh yang kuat pada diri Datuk Badiuzzaman Surbakti yang didampingi Datuk Kecil hingga tahun 1866.
Sebagaimana sudah dijelaskan, perluasan penanaman tembakau demikian cepat dan membutuhkan begitu banyak lahan subur di wilayah kekuasaan Urung
Sunggal. Dengan dukungan perangkat hukum Undang-Undang Agraria, pihak perusahaan perkebunan secara sah menurut hukum bisa menyewa tanah dengan
jangka waktu yang sangat lama, yakni 99 tahun kemudian diubah menjadi 75 tahun. Undang-undang ini memang sengaja diciptakan untuk mengantisipasi
perkembangan cepat penanaman tembakau di Deli yang sudah mulai terkenal di pasaran Eropa. Daun tembakau Deli merupakan yang terbaik mutunya di dunia
saat itu sebagai pembalut cerutu. Budidaya tembakau memang membutuhkan lahan yang luas dan subur dengan masa rotasi tanam yang lama. Sebab lahan yang
habis dipanen harus dihutankan kembali agar menjadi subur untuk kemudian
Universitas Sumatera utara
ditanami kembali. Oleh karena itu, dalam masa rotasi ini diperlukan lahan yang lain agar produksi perkebunan tembakau tidak berhenti. Bila berhenti, maka
pasokan untuk ekspor akan kekurangan dan itu pada gilirannya akan mengurangi arus pemasukan dalam kas keuangan pemerintah Hindia Belanda.
Pihak pemerintah kolonial Belanda karena kekurangan dana, ketika melakukan gerakan pasifikasi usaha memperdamaikan dari kekacauan, baik
karena ada pihak-pihak yang bertikai dan berseteru maupun pembudayaan karena penduduk pribumi masih dianggap terbelakang ke Deli, sangat membutuhkan
bantuan investor asing untuk membangun daerah yang baru dikuasainya itu. Akibatnya, perusahaan perkebunan menjadi bertindak semena-mena karena
didukung oleh kebijakan politik kolonial dan tradisional dari Sultan Deli. Perubahan cepat yang terjadi di Deli akibatnya mencemaskan para penguasa
Sunggal. Oleh karena itu, pada bulan Desember 1871 Datuk Badiuzaman Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal Serbanyaman beserta seluruh kerabat dan orang-
orang dekatnya, termasuk orang-orang Batak Karo dan pegunungan mengadakan rapat di sebuah kebun lada. rapat itu dihadiri oleh Datuk Kecil Mahini, Datuk
Jalil, Datuk Sulong Barat, Nabung Surbakti sebagai komandan pasukan Karo dan pegunungan, dan Tuanku Hasyim mewakili Panglima Nyak Makam sebagai
komandan Laskar Aceh, Alas, Gayo. Hasil rapat itu memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap Sultan
Deli dan Pemerintah Belanda. Datuk Sunggal Badiuzzaman Surbakti mengatakan bahwa “perselisihan sesama kita selama ini lenyapkan dari pikiran dan marilah
kita bersama-sama melawan Belanda yang hendak merampas tanah kita”.
Universitas Sumatera utara
Sementara Datuk Kecil berkata, “kalau kita tak turut kita akan diusir Belanda”. Lalu putranya Sulong Barat menimpalinya bahwa “Belanda dan Sultan Deli setali
tiga uang belaka, merampas tanah rakyat demi kepentingannya sendiri”. Rapat itu memutuskan beberapa hal, antara lain yang pertama bahwa Sunggal, Karo, dan
Aceh Alas, Gayo sepakat membina persatuan dan kesatuan dari segala perselihan yang dilakukan Belanda dengan politik pecah belahnya harus
dilenyapkan, yang kedua bahwa Sunggal, Karo, dan Aceh Alas, Gayo sepakat menentang Belanda serta mempertahankan setiap jengkal tanah warisan leluhur
untuk masyarakat Sunggal, Karo, dan Aceh Alas, Gayo secara bersama-sama mengusir setiap penjajah yang menjajah daerahnya.
Untuk merealisasikan hasil pertemuan itu, dibentuklah sebuah Badan yang dipusatkan di Kampung Gadjah yang terletak di kawasan Sitelu Kuru, Tanah
Karo. Badan ini berfungsi untuk memobilisasi pasukan perang yang terdiri dan orang yang kuat dan mempunyai ilmu dengan kebatinan yang tinggi dan
mempersiapkan logistik lainnya. Badan ini dipimpin oleh Datuk Mahini Kecil dengan mendudukkan wakilnya di Tanah Karo. Badan ini bertanggung jawab
langsung kepada Datuk Badiuzzaman. Orang-orang Sunggal yang ditugaskan mengurusi badan ini di Kampung Gadjah adalah beragama Islam. Selama
bertugas di Kampung Gadjah, mereka bertemu dengan saudara-saudaranya marga Surbakti. Hingga sekarang masih ada tempat pemandian mereka yang dikenal
dengan “tapian jawi” pemandian orang Islam.
Universitas Sumatera utara
BAB III KONFLIK DAN KEKUASAN YANG DICERMINKAN DALAM
PERJUANGAN POLITIK DATUK BADIUZZAMAN SURBAKTI DALAM PERANG SUNGGAL 1872-1895
Universitas Sumatera utara
3. Datuk Badiuzzaman Surbakti Dalam Perang Sunggal