LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN
model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; 4 mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah; 5 memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian,
dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah; 6 memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sitematis,
kritis, kreatif serta mempunyai kemampuan bekerja sama Depdiknas, 2006. Standar kompetensi dalam Kurikulum 2006 menyatakan bahwa
pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi
tidak tunggal dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah perlu dikembangkan keterampilan
memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya dalam matematika.
Tujuan kurikulum pembelajaran di atas didasarkan pada National Council of Teachers of Mathematics NCTM tahun 2000 dalam buku berjudul ‘Principles
and Standard for School Mathematics’ menyatakan bahwa pemecahan masalah problem solving, penalaran dan pembuktian reasoning and proof, komunikasi
matematis communication, keterkaitan dalam matematika connection, dan representasi representation merupakan standar proses pembelajaran matematika.
Adapun standar materi atau standar isi meliputi bilangan operasinya number and operation, aljabar algebra, geometry geometry, pengukuran measurement,
dan analisis data peluang data analysis and probability. Menurut NCTM baik
standar materi maupun standar proses tersebut secara bersama-sama merupakan keterampilan dan pemahaman dasar dibutuhkan untuk dimiliki para siswa. Standar
isi dan standar proses dalam kurikulum menekankan pentingnya kemampuan komunikasi matematis dan kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran
matematika bagi siswa. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu proses pembelajaran yang efektif
dan efisien. Proses pembelajaran yang efektif dan efesien merupakan suatu proses yang tepat dan sesuai dengan kondisi kelas. Dalam proses pembelajaran sebaiknya
mengandung serangkaian kegiatan guru dan siswa atas dasar timbal balik yang berlangsung secara edukatif. Interaksi atau hubungan timbal balik antar guru dan
siswa dalam proses pembelajaran merupakan cara utama untuk kelangsungan proses pembelajaran. Perubahan tingkah laku siswa dapat dilihat pada proses akhir
pembelajaran yang mengarah pada hasil belajar siswa dan tinggi rendahnya atau efektif tidaknya proses pembelajaran Sudjana, 2005.
Berkaitan dengan pentingnya menumbuhkembangkan kemampuan komunikasi matematis, Baroody Firdaus, 2005 mengemukakan bahwa,
sedikitnya ada dua alasan penting mengapa komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu ditumbuhkembangkan di sekolah. Pertama adalah matematika
tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan tetapi matematika juga a
variable tool for communicating a variety of ideas cleary, succinctly. Kedua adalah sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika di sekolah,
matematika juga sebagai wahana interaksi antar siswa dan juga sebagai sarana komunikasi guru dan siswa.
Kemampuan pemecahan masalah matematis juga penting untuk dikembangkan karena kemampuan pemecahan masalah matematis dapat
membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, untuk mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan permasalahan kehidupan sehari-hari. Hal
tersebut sebagaimana dikemukakan Ruseffendi 1991 bahwa kemampuan pemecahan masalah sangat penting dalam matematika, bukan saja bagi mereka
yang dikemudian hari akan mendalami atau mempelajari matematika, melainkan juga bagi mereka yang akan menerapkannya dalam bidang studi lain dan dalam
kehidupan sehari-hari. Sebuah lembaga survey TIMSS menilai keterampilan siswa kelas IV
sekolah dasar dan siswa kelas VIII sekolah menengah pertama untuk bidang matematika dan IPA. TIMSS menggolongkan empat tingkatan siswa pada survey
yang dilakukan, yaitu : rendah, sedang, tinggi dan lanjut. Tingkatan-tingkatan tersebut dibatasi oleh beberapa karakteristik. Untuk siswa rendah karakteristiknya
adalah memiliki sejumlah pengetahuan tentang bilangan cacah dan desimal, operasi, serta grafik sederhana. Pada tingkatan sedang karakteristiknya adalah
siswa dapat menerapkan pengetahuan matematika dasar secara langsung dalam berbagai situasi. Karakteristik siswa pada tingkatan tinggi adalah dapat
menerapkan pemahaman dan pengetahuan mereka dalam beragam situasi yang relatif kompleks, sedangkan karakteristik siswa dengan tingkatan lanjut adalah
dapat mengorganisasikan informasi dan menarik kesimpulan, membuat generalisasi serta memecahkan masalah.
Hasil laporan survey Trends in International Mathematics and Science Study TIMSS pada tahun 2007 yang dipublikasikan 9 Desember 2008 untuk
siswa kelas VIII pada bidang matematika, siswa Indonesia berada di posisi 36 dengan nilai rata-rata 397. Dari hasil tersebut hanya 48 siswa Indonesia yang
mencapai tingkatan rendah, 19 siswa mencapai tingkatan sedang dan 4 siswa mencapai tingkatan tinggi, sedangkan untuk tingkatan lanjut diabaikan secara
statistik Muchlish, 2009: 30. Selain lembaga survey TIMSS, lembaga survey Program for International
Student Assesment PISA menilai kemampuan bidang membaca, matematika, dan IPA. Lembaga survey PISA tidak hanya mengukur kemampuan siswa dalam
menyelesaikan soal atau mengoperasikan teknik matematika. Survey tersebut menilai kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, yang meliputi mengenali
dan menganalisis masalah, memformulasikan alasan dan mengkomunikasikan gagasan yang dimilikinya kepada orang lain. Hasil laporan survey PISA pada
tahun 2006, Indonesia berada diurutan ke 52 dari 57 negara peserta untuk bidang matematika.
Rendahnya kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis juga merupakan kenyataan yang ada di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari hasil
penelitian Setiawan 2008 tentang kemampuan komunikasi matematis mengemukakan bahwa perbedaan rerata dari kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol sekitar 20. Dengan digunakan patokan ketuntasan belajar 60, maka
untuk kualifikasi sekolah baik, pada kelas eksperimen 9 orang 30 siswa dinyatakan tuntas dan sisanya 70 tidak tuntas, sedangkan pada kelas kontrol
semua siswa 100 tidak tuntas. Untuk kualifikasi sekolah sedang pada kelas eksperimen 3 orang 10 siswa dinyatakan tuntas dan sisanya 90 tidak
tuntas, sedangkan pada kelas kontrol semua siswa 100 tidak tuntas. Faktor yang menyebabkan masih rendahnya kemampuan komunikasi siswa ini
disebabkan oleh faktor soal yang diberikan untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis yang dianggap terlalu sulit padahal hasil uji coba hanya
dua soal yang dianggap sulit. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi siswa yang masih rendah.
Hasil ini pun sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Subagiyana 2009 mengenai pemecahan masalah matematis siswa, hasil yang diperoleh dari
penelitiannya adalah rerata kelompok eksperimen 9,25 39,38 hal ini masih tergolong rendah dari skor ideal 24 dan rerata kelompok kontrol 8,25 28,95,
jadi perbedaan peningkatannya cuma 10,43. Hal ini disebabkan siswa tidak terbiasa mengerjakan soal-soal non- rutin, sehingga siswa tidak terlatih dan
kurang siap menghadapi soal-soal uraian non-rutin dan mengalami kesulitan dalam menyelasaikannya karena sebelumnya siswa sering diberikan soal-soal
pilihan ganda saat ulangan. Noer 2007 mengatakan bahwa sebagian besar siswa di SMP Bandar
Lampung, mereka cenderung menghapal tanpa makna dan kemampuan pemecahan masalahnya masih rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Setiawan
2008: 94 mengenai pemecahan masalah matematis mengungkapkan bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematis melalui PBM pembelajaran berbasis masalah masih tergolong sangat rendah. Pada kualifikasi sekolah baik hanya
23,3 siswa yang tuntas dan pada kualifikasi sekolah yang sedang hanya 13,3. Hal ini disebabkan beberapa faktor salah satunya menurut siswa soal tes yang
diberikan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah yang dianggap terlalu sulit.
Hasil yang diperoleh dari penelitian dan lembaga tersebut menunjukkan lemahnya kemampuan komunikasi dan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa. Rendahnya kemampuan siswa tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan pembelajaran matematika. Pembelajaran
diistilahkan sebagai Kegiatan Belajar-Mengajar KBM merupakan langkah- langkah kongkret kegiatan belajar siswa dalam rangka memperoleh,
mengaktualisasi atau meningkatkan kompetensi yang dikehendaki Muslich, 2011 :71. Adapun beberapa faktor dari siswa yang terjadi di lapangan yang
menyebabkan tidak tercapainya kompetensi yang diharapkan kurikulum, yaitu : 1 siswa mengalami kesulitan mengingat materi pelajaran apabila materi yang
disampaikan dengan kata-kata verbal terjadi pada kelas konvensional; 2 mayoritas anak mampu mengingat dengan baik apabila mereka menangani atau
mengalaminya secara langsung; 3 siswa susah belajar sendiri karena membutukan teman untuk sharing; 4 siswa belum memiliki kesadaran akan
pentingnya materi dan belum mengetahui terapannya dalam kehidupan sehari- hari.
Model penyajian materi dalam pembelajaran matematika merupakan salah satu faktor yang menarik untuk dikaji dan diteliti, karena ternyata di lapangan
secara umum penyajian materinya masih lebih banyak dalam bentuk memberikan informasi, sedikit tanya jawab, otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun
informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diberikan, guru sering memberi tugas soal-soal matematika dengan konteks yang jauh dari realita
kehidupan sehari-hari soal-soal rutin, sehingga kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan daya pikirnya. Akibatnya siswa hanya pintar
menghafal rumus tapi salah dalam mengaplikasikannya, serta siswa tidak mampu untuk mengkomunikasikan ide-ide yang dimilikinya kepada orang lain dan tidak
mampu memecahkan masalah-masalah dalam kehidupanya secara mandiri. Dengan demikian perlu adanya pembenahan dan variasi dalam proses kegiatan
pembelajaran di kelas. Dugaan rendahnya mutu pendidikan matematika tersebut terlihat dari hasil
TIMSS, PISA, hasil penelitian, serta hasil belajar siswa, maka menurut Ruseffendi 2006: 7 mengatakan bahwa dalam proses pembelajaran matematika terdapat
sepuluh faktor yang mempengaruhi keberhasilan anak, kesiapan anak, bakat anak, kemauan belajar, minat anak, model penyajian materi, pribadi dan sikap guru,
suasana belajar, kompetensi guru serta kondisi luar. Sanjaya 2007: 1 mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk
mengembangkan kemampuan berpikir tetapi lebih diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghapal informasi, sehingga pembelajaran menjadi tidak bermakna.
Untuk itu perlu adanya perubahan paradigma pembelajaran yang mampu mengeksplorasi seluruh kompetensi siswa dan melakukan kegiatan matematik
dengan lebih baik. Kegiatan matematika doing math merupakan suatu kegiatan yang perlu dilakukan oleh siswa pada waktu mempelajari matematika. Melalui
doing math siswa diharapkan dapat menemukan kembali reinvention konsep- konsep matematika secara bermakna pada materi yang diajarkan. Hal ini juga
memberi ruang kepada guru-guru agar berupaya dan mencari serta menemukan alternatif-alternatif atau variasi dalam pembelajaran yang memungkinkan siswa
mampu memahami dan mempelajari konsep-konsep matematika. Mengatasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan seperti yang
dikemukakan di atas, diperlukan strategi, model, pendekatan atau metode yang sesuai untuk melatih kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis
siswa, dan melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran. Model pembelajaran yang efektif dalam pembelajaran matematika antara lain memiliki
nilai relevansi dengan pencapaian daya matematik dan memberi peluang untuk bangkitnya kreativitas guru. Kemudian berpotensi mengembangkan suasana
belajar mandiri serta dapat menarik perhatian dan minat siswa. Hal ini dapat terwujud melalui suatu bentuk model pembelajaran alternatif yang dirancang
sedemikian rupa sehingga mencerminkan keterlihatannya siswa secara aktif melalui strategi REACT Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, dan
Transferring. Strategi ini merupakan strategi pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.
Hull’s dan Sounder Komalasari, 1996 mengatakan dalam pembelajaran kontekstual siswa menemukan hubungan penuh makna antara ide-ide abstrak
dengan penerapan praktis di dalam konteks dunia nyata. Siswa mengintegralisasi konsep melalui penemuan, penguatan, dan keterhubungan. Pembelajaran
kontekstual menghendaki kerja dalam tim serta dapat meningkatkan kinerja siswa. Sounders 1999: 5-10 menjelaskan bahwa “pembelajaran kontekstual tersebut
difokuskan dengan digunakan strategi REACT Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, dan Transferring”. Selanjutnya Crawford 1999 mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan Relating adalah pembelajaran yang dimulai dengan cara mengkaitkan antar konsep-konsep baru yang sedang dipelajarinya dengan
konsep-konsep yang telah dikuasainya; Experiencing adalah pembelajaran yang mebuat siswa belajar dengan melakukan kegiatan matematik doing math melalui
eksplorasi, pencarian, dan penemuan; Applying adalah pembelajaran yang membuat siswa belajar mengaplikasikan
konsep; Cooperating adalah pembelajaran yang mengkondisikan siswa agar belajar bersama, saling berbagi,
saling merespon dan berkomunikasi dengan sesama temannya; sedangkan yang dimaksud Transferring adalah pembelajaran yang mendorong siswa belajar
digunakan pengetahuan yang telah dipelajarinya di kelas berdasarkan pada pemahaman. Pembelajaran matematika seperti ini selanjutnya kita sebut
pembelajaran matematika dengan strategi REACT. Tim Dirjen Dikdasmen Suhena, 2009 mengatakan pembelajaran dengan
strategi REACT adalah pembelajaran kontekstual, yaitu merupakan pembelajaran yang membantu guru mengkaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia
nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota
keluargamasyarakat. Melalui pembelajaran ini diharapkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis siswa dapat meningkat. Dengan
peningkatan kemampuan ini siswa diharapakan dapat menjawab setiap tantangan yang dihadapinya di sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari. Tantangan
yang dihadapi di zaman globalisasi seperti sekarang ini semakin kompleks, demikian pula perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang
begitu pesat, tentu memerlukan sumber daya manusia SDM yang handal. Banyak kemampuan matematis yang mendukung kemampuan tersebut yang dapat
dimiliki siswa, diantaranya kemampuan pemecahan masalah matematis yang mendorong siswa untuk memahami masalah yang diperoleh serta mencari solusi
terhadap masalah tersebut kemudian hasilnya dapat dikomunikasikan secara baik pada orang lain yang ingin mengetahuinya.
Kegiatan pembelajaran yang dipandang dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami, merencanakan, melaksanakan penyelesaian, dan
memeriksa kembali hasil pekerjaannya, adalah merupakan pembelajaran yang tercakup dalam strategi REACT, karena dalam strategi ini juga siswa diberikan
masalah sehingga mereka mampu menghubungkan antar konsep baru yang sedang dipelajarinya dengan konsep-konsep yang telah dikuasainya kemudian mampu
mengkomunikasikannya secara lisan dan tulisan. Selain itu juga melalui belajar bersama dalam kelompok siswa diberi kesempatan belajar untuk melakukan
eksplorasi, pencarian dan penemuan terhadap apa yang sedang dipelari dan yang
dihadapinya, yang selanjutnya siswa belajar mengaplikasikan yang telah dipelajarinya ke konteks situasi baru yang belum dipelajari dengan berdasarkan
pemahaman. Ditinjau secara umum, dengan upaya meningkatkan kemampuan
komunikasi dan pemecahan masalah matematis diharapkan tidak akan menurunkan prestasi belajar siswa. Hal ini apabila kita melihat dari tujuan yang
ada pada kurikulum standar isi tuntutan akan kemampuan pemecahan masalah dipertegas secara eksplisit yaitu sebagai kompetensi dasar yang harus
dikembangkan dan diintegrasikan pada sejumlah materi yang sesuai. Siswa yang memiliki kemampuan komunikasi maka di dalamnya mereka memiliki
pemahaman tentang suatu konsep, kemampuan mengaitkan dengan konsep sebelumnya sehingga siswa dapat menyampaikan ide yang mereka miliki secara
lisan atau tulisan, sedangkan siswa yang memiliki kemampuan pemecahan masalah maka siswa akan terlatih berfikir tingkat tinggi, di mana siswa harus
mampu memahami konsep, mengaitkan dengan materi sebelumnya dan berlatih untuk bernalar. Dengan demikian diharapkan dengan meningkatnya kemampuan
komunikasi dan pemecahan masalah siswa dapat memberikan sumbangan yang besar bagi siswa dalam meningkatkan prestasi belajarnya.
Dalam penelitian ini, selain faktor pembelajaran strategi REACT dan konvensional, diduga ada faktor lain yang mempengaruhi atau berkonstribusi
terhadap peningkatan kemammpuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis. Faktor yang dimaksud adalah kategori kemampuan matematis KKM
siswa tinggi, sedang dan rendah. Galton Ruseffendi, 2006 mengatakan bahwa
dari sekelompok siswa yang tidak dipilih secara khusus sebarang, akan selalu kita jumpai siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Menurut Piaget Nur,
1998 mengatakan bahwa perkembangan kognitif sebagian besar siswa ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif siswa dengan lingkungannya.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis dapat membantu keberhasilan belajar matematika
dan meningkatkan prestasi belajar. Pembelajaran dengan strategi REACT merupakan jembatan dalam proses pembelajaran matematika yang bertujuan
mengupayakan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis siswa, selain itu strategi ini juga diharapkan dapat
mengakomodasi kemampuan siswa yang heterogen. Oleh karena itu, penulis memfokuskan penelitian ini dalam melihat efektivitas strategi REACT dalam
upaya peningkatan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis siswa Sekolah Menengah Pertama.