Sehingga distribusi sampel adalah sebagai berikut : − Kelompok Hunian Bersertifikat
a. Range I : 15,47 x 58 sampel rumah = 8,97 ≈ 9 rumah
b. Range II : 8,29 x 58 sampel rumah = 4,81 ≈ 5 rumah
c. Range III : 76,24 x 58 sampel rumah = 44,22 ≈ 45
rumah − Kelompok Hunian Magersari
a. Range I : 15,47 x 22 sampel rumah = 3,40 ≈ 4 rumah
b. Range II : 8,29 x 22 sampel rumah = 1,82 ≈ 2 rumah
c. Range III : 76,24 x 22 sampel rumah = 16,77 ≈ 17
rumah
1.6. Sistematika Pembahasan
Pembahasan perkembangan kawasan Tamansari sebagai kawasan konservasi dan pariwisata Kota Yogyakarta secara sistematika adalah
sebagai berikut :
Bab I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan sasaran, ruang lingkup yang meliputi ruang lingkup wilayah dan
substansial.
Bab II LANDASAN TEORI
Pada bagian ini diuraikan beberapa teori yang berkaitan dengan studi ini, yang meliputi : Pengertian Kawasan Cagar Budaya,
Tinjauan Konservasi, Lingkup Konservasi, Motivasi dan Prinsip Konservasi, Kedudukan Masyarakat Dalam Konservasi Warisan
Budaya, Persepsi dan Preferensi Masyarakat, Peninggalan Sejarah dan Konservasi Budaya Konservasi Pada Bangunan Kuno,
Rendahnya Apresiasi dan Komitmen Terhadap Konservasi dan Budaya, Pembentuk Guna Lahan, Pola Penggunaan Lahan,
Penggolongan Jenis Guna Lahan.
Bab III TINJAUAN UMUM KAWASAN STUDI
Pada bagian ini berisi tentang Kajian Umum Kota Yogyakarta, Tata Ruang Kota Yogyakarta, Kawasan Jeron Beteng Kota
Yogyakarta, Kawasan Tamansari Kota Yogyakarta, Sejarah Pertumbuhan Perkampungan di Dalam Beteng Kraton,
Pertumbuhan Permukiman Tamansari, Kondisi Umum Prasarana Permukiman, Status Lahan kawasan Jeron Beteng
Kota Yogyakarta.
Bab IV KAJIAN PERKEMBANGAN KAWASAN JERON BETENG SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI DAN PARIWISATA
Pada bagian ini berisi tentang Kajian Perubahan Status Lahan, Kondisi Fisik Hunian, Karakteristik Perubahan Fungsi Bangunan,
Persepsi dan Preferensi Masyarakat.
Bab VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pada bagian ini berisi Kesimpulan dan Rekomendasi terhadap konservasi kawasan Tamansari.
BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Pengertian Kawasan Cagar Budaya
Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, dijelaskan pengertian dari Benda Cagar
Budaya, yaitu: a. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa
kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 lima puluh tahun serta
dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
b. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Sedangkan situs sendiri dalam undang-undang tersebut diartikan sebagai lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya
termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya. Cagar budaya biasanya tidak hanya menampilkan keunikan pola
fisik maupun tinggalan arsitektur saja, tetapi seperti kebanyakan kota-kota
lama di Asia, justru diwarnai oleh pola-pola kehidupan masyarakat yang cukup khas sampai sekarang Ikaputra, 2000: 11-12. Hal ini sesuai
dengan makna budaya sendiri yang tidak dapat dilihat hanya dari dimensi fisik atau kebendaan saja namun juga menyangkut isi, yang menekankan
pada kehidupan life style masyarakat. Perlu disadari bahwa masyarakat
tradisional yang tinggal di kawasan cagar budaya bukan merupakan masyarakat yang statis, namun mereka juga berkembang sekaligus selalu
berusaha memenuhi kebutuhan kehidupannya sesuai dengan tuntutan jaman. Sehingga menurut Ikaputra 2000:11 cagar budaya dapat
diterjemahkan sebagai setting budaya suatu kawasan yang memerlukan
perlindungan atau pelestarian. Dengan kata lain, bahwa kawasan tersebut dilindungi karena memiliki
komponen-komponen yang bernilai budaya sedemikian rupa sehingga memunculkan karakter khas lingkungan cagar
budaya itu.
2.2. Tinjauan Konservasi