secara rukun dan akrab. Dalam era yang penuh dengan perubahan yang berlangsung cepat ini, segenap pihak wajib bersatu padu
mempertahankan warisaan arsitektur tradisional dan peninggalan kolonial yang bersejarah agar anak cucu tidak kehilangan orientasi.
Gerakan pelestarian arsitektur kuno telah menjadi trend internasional. Gerakan ini merupakan “saudara kandung” isu mendunia
global semacam green issue, hak asasi manusia HAM, eco-labelling, upah buruh minimum dan sebagainya, yang bahkan perlu didukung oleh
perangkat “polisi pengawas”. Gerakaan konservasi arsitektur di negara- negara maju mulai bergema keras seusai perang yang menghancurkan
kota-kota mereka. Arsitektur merupakan artefak atau produk fisik dari suatu sistem budaya. Arsitektur adalah membekunya sistem berfikir,
sistem kekuasaan atau isme-isme yang ada menjadi sosok benda padat. Jadi setiap lekuk liku, orientasi atau arah bangunan, ornamenhiasan,
detail pintu-pintu dan jendela betul-betul mendarah daging dan berakar pada sistem yang memproduksinya. Kalau arsitektur kolonial adalah
arsitektur milik penjajah untuk memerintah kaum yang dijajah, para inlander, pecundang maka citra dan penampilan arsitekturnya, ya itulah,
arogansi, keangkeran dan kemenangan penjajah.
2.9. Rendahnya Apresiasi dan Komitmen Terhadap Konservasi dan Budaya
Kegelisahan masyarakat kelas menengah dalam membangun citra jatidiri terhadap hingar bingar musik dan warna-warni gaya arsitektur,
interior, barang-barang seni tanpa disadari telah masuk dalam pusaran arus pemiskinan budaya. Fenomena kemiskinan budaya yang lahir oleh
derap pembangunan adalah: 1. Semakin meluasnya masyarakat yang bercita rasa rendah dalam hal
seni musik, seni lukis, seni ukir, seni arsitektur. 2. Semakin banyaknya orang yang terjangkit
Snobisme Feodalistik ingin bercitra bangsawan, melalui arsitektur rumah dan perabot
yang bergaya neoklasik Eropa, bergaya Spanyol atau berbau “tradisional” seperti kastil-kastil bangsawan Eropa atau bangasawan
lokal Hal-hal tersebut di atas muncul akibat tumbuhnya kelasa menengah
yang mulai memiliki kemapanan ekonomis, meskipun kadang-kadang tidak langgeng, biasanya merangsang keinginan yang mengarah ke citra
pribadi. Apresiasi dan komitmen budaya suatu bangsa memang bukan anugrah yang jatuh dari langit, drama pembongkaran bangunankawasan
kuno yang memiliki nilai kesejarahan atau nilai seni budaya pun pernah terjadi di amerika, eropa, jepang dan lain-lain. Apresiasi dan komitmen
budaya memang suatu kondisi yang harus dibangun, diciptakan, secara konseptual, konsisten dan berkesinambungan. Dan hal ini merupakan
salah satu bagian penting dari nation and character building.
Semangat modernisasi yang dangkal, yang semata-mata berorientasi pada kepentingan ekonomis-pragmatis, sering dijadikan dalih
untuk melegitimasi pembongkaran bangunankawasan warisan budaya. Pembongkaran bangunankawasan kuno yang dewasa ini mulai disoroti,
di satu sisi menimbulkan keprihatinan bagi mereka-mereka yang “sadar”, disisi lain merupakan indikator mulai munculnya kepedulian masyarakat
setidaknya beberapa kalangan terhadap obyek cagar budayasejarah. Bangunan dan kawasan yang memiliki nilai arti kesejahteraan ataupun
nilai seni arsitektur, pada dasarnya harus dilihaat sebagai obyek cagar budaya. Obyek cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang
penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu sendiri. Sehingga perlu dilindungi dan
dilestarikan demi pemupukan jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Untuk menjaga kelestarian obyek cagar budaya baca kawasan dan
bangunan kunobersejarah, perlu langkah-langkah pengaturaan bagi penguasaan, pemanfaatan dan pengawasannya. Hal ini juga dikarenakan
landasan hukum yang digunakan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan upaya-upaya pelestarian tersebut di atas, pemerintah telah menyusun dan
menerbitkan UU No. 5 Tahun 1992, tentang Benda Cagar Budaya sebagai pengganti Monumenten Ordonantie No. 19 tahun 1931, yang telah dirubah
dengan Monumenten Ordonantie tahun 1934 Staatsblad tahun 1934 No. 515. Peraturan dan undang-undang memang merupakan alat kontrol bagi
upaya pelestarian cagar budaya, namun tidak dapat disangkal bahwa kita
tak dapat sepenuhnya take it for granted. Perangkat tersebut hanya
merupakan alat kontrol pasif yang memiliki banyak keterbatasan.
2.10. Organic Settlement