56
C. Pembahasan
Hasil utama penelitian yang dilakukan pada pegawai Kantor Bupati Serdang Bedagai, Sumatera Utara menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara psychological empowerment
dan work life balance. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan hipotesis yang diajukan yaitu terdapat hubungan positif antara psychological empowerment dan work life balance. Hal ini
sejalan dengan Akda 2012: Wessels, 2013 yang menemukan adanya hubungan positif antara psychological empowerment dan work life balance. Menurut Sugiyono 2010 nilai r yang
positif menunjukkan pola hubungan yang searah atau positif pada kedua variabel. Hubungan positif pada kedua variabel tersebut ditunjukkan dengan nilai korelasi 0.224. Artinya, semakin
pegawai mengalami kenaikan skor psychological empowerment akan menyebabkan kenaikan skor pada work life balance. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Asarkarya, Cigdem dan Irmak Erdogan 2014 yang mengungkapkan hasil serupa yaitu terdapat hubungan positif antara psychological empowerment dan work life balance.
Kemudian diperoleh juga hasil penelitian yakni besaran pengaruh yang diberikan oleh psychological empowerment terhadap work life balance dengan nilai R square 0.050. Hal ini
berarti psychological empowerment memberikan kontribusi sebesar 5 terhadap pembentukan work life balance pegawai. Terdapat beberapa alasan yang dapat menerangkan
mengapa nilai korelasi antar variabel dikatakan rendah. Pertama, faktor yang mempengaruhi psychological empowerment adalah faktor individual dan faktor organisasional. Faktor
individual meliputi jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat jabatan, locus of control dan masa kerja. Pada responden penelitian, terdapat variasi tingkat pendidikan yakni dari SMA
Sekolah Menengah Atas sampai Strata II dan tingkat jabatan yang berbeda mulai dari Pengatur sampai Pembina. Sedangkan faktor organisasional meliputi ketidakjelasan peran,
akses untuk informasi dan sumber daya, dukungan sosial dan iklim kerja. Berdasarkan data observasi di lapangan, terdapat kurangnya akses untuk informasi dan sumber daya seperti ada
Universitas Sumatera Utara
57
beberapa kantor yang tidak memiliki alat bantu kerja seperti mesin printer dan mesin fotokopi sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang berkaitan
dengan kesekretariatan. Ketiga, berkaitan dengan iklim kerja, beberapa bagian digabungkan dalam sebuah ruangan sehingga ruangan menjadi lebih sempit dan kurang nyaman untuk
bekerja. Kemudian berdasarkan gambaran nilai empirik, skor empirik work life balance pada
responden tergolong rendah. Salah satu dimensi pembentuk work life balance adalah PLIW yaitu personal life interference with work yakni sejauh mana kehidupan pribadi mengganggu
pekerjaan. Pada fenomena penelitian, mayoritas pegawai sudah menikah yang berarti pegawai sudah memiliki peran dan tanggung jawab lain selain pekerjaan yakni kehidupan keluarga nya.
Hal ini mungkin mampu mewakili alasan mengapa skor empirik work life balance pegawai tergolong rendah.
Universitas Sumatera Utara
58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN