Otoritas Kekuasaan Kerajaan Demak

Itulah gambaran otoritas yang dimiliki oleh Majapahit, namun otoritas tersebut sirna ketika penguasa yang adil seperti Gadjah Mada dan Hayam Wuruk meninggal dunia, sehingga legitimasi dan otoritas penguasa Majapahit tumbang silih berganti karena masalah suksesi dan ego kekuasaan.

2. Otoritas Kekuasaan Kerajaan Demak

Perlu dicatat dalam pembahasan ini, bahwa sumber legitimasi religius yang diperoleh kerajaan peguasa Demak berbeda dengan Majapahit. Wilayah adiduniawi tidak diterjemahkan kepada dewa-dewa ataupun alam semesta tetapi kepada syariat agama yang dibawa oleh Muhammad saw. Otoritas penguasa Demak terbimbing oleh aturan ilahi yang dibawa oleh Muhammad saw. Secara substansi sama bahwa baik Majapahit maupun Demak memakai otoritas religius, yakni menghadirkan sesuatu yang adiduniawi dalam kepemimpinannya, yang memebedakan adalah dalam tradisi Majapahit kesan mistik sangat kental sedangkan dalam tradisi Demak otoritas kekuasaan dibimbing oleh zat adiduniawi melalui sebuah risalah yang diterjemahkan oleh kelompok wali. Sejak masa kepemimpinan raden Fatah hingga pangeran Trenggono sangat unik, mengingat hampir semua kepemimpinan Raja-raja Demak tersebut tidak berlangsung lama, entah itu meninggal bahkan suksesi berdarah. Otoritas yang kemudian dipakai oleh para pemimpin Demak senantiasa didiskusikan dengan para wali atau harus mendapat persetujuan wali sanga. Otoritas yang dimiliki oleh seorang sultan tidak boleh bertentangan dengan ajaran 91 agama yang dalam hal ini dipegang oleh para wali, sehingga wali sanga menjadi sebuah lembaga yang turut andil memberikan legitimasi kepada penguasa. Kesinambungan antara otoritas sultan dan kehendak wali terihat dari adanya sebuah kerjasama yang sangat apik. Salah satu contoh adalah dalam masalah perluasan kekuasaan Demak, dalam beberapa kasus seperti perluasan di Jawa Barat dan Banten, perluasan dilakukan oleh wali sanga, hal ini mengindikasikan bahwa kesultanan Demak tidak hanya berambisi dalam memperluas wilayah saja namun otoritas yang kemudian dimiliki diterjemahkan menjadi sebuah penyebaran Islam sekaligus. Hasanu Simon membagi beberapa kategori angkatan Walisanga menurut garis keturunan, dia menyebutkan bahwa dari angkatan pertama sampai angkatan ketiga kebanyakan mayoritas anggota wali sanga adalah orang-orang Timur Tengah. Baru pada angkatan keempat banyak anggota walisanga yang merupakan putera-putera bangsawan pribumi. Bersamaan dengan itu orientasi ajaran Islam mulai berubah dari Arab-sentris menjadi Islam Kompromistis. Pada saat itulah tubuh walisanga mulai terbelah antara kelompok futi’ah dan aba’ah. Barangkali pada saat itulah mulai muncul istilah walisanga. Kitab Walisana karya sunan Giri II ditulis beberapa tahun sesudah itu, kira-kira awal abad ke-16. isi kitab walisana ini sangat berbeda dengan buku-buku sunan Mbonang yang masih menjelaskan tentang ajaran Islam yang murni. 36 Begitu kuatnya pengaruh wali sanga dalam 36 Simon, Misteri Syekh Siti Jenar., h. 61 92 legitimasi kekuasaan Demak, terlihat dari pemutusan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar melalui musyawarah pertama walisanga angkatan keempat. 37 Dengan kasus tersebut terlihat jelas bahwa otoritas yang dimiliki oleh sultan terbatasi, sultan hanya memiliki wewenang dalam eksekusi sedangkan yang memutuskan hukuman adalah sidang wali meskipun sultan turut hadir dalam sidang tersebut, hal ini mengindikasikan terbatasnya otoritas yang dimiliki oleh sultan.

3. Persamaan dan Perbedaan Otoritas Kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Demak