BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Jawa merupakan salah satu kepulauan di Indonesia yang membentang dari ujung barat Provinsi Banten dan paling timur Jawa Timur, merupakan sebuah
kawasan yang paling banyak menyita perhatian para peneliti, baik yang berasal dari Indonesia maupun peneliti yang berasal dari luar Indonesia. Pusat perhatian
penelitian mereka salah satunya adalah kepulauan yang dinamakan Jawa Java. Secara geografis pulau Jawa dipandang sebagai suatu kesatuan. Konsep
kesatuan tersebut diperkuat oleh proses sejarah, yang menempatkan pulau Jawa sebagai sentrum suatu jaringan lalu lintas transportasi maritim sejak masa
prasejarah.
1
Mengingat batas pulau Jawa yang membentang antara barat dan timur, pesisir utara dan selatan, namun pada perkembangan abad ke 14, Lombard
membagi kajian Jawa meliputi tiga kelompok sosial-budaya besar: Pertama, Tanah Pasundan, kedua, Tanah Jawa yang sebenarnya Propinsi Jawa Tengah dan
Jawa Timur serta daerah Istimewa Yogyakarta dan ketiga, Tanah Pesisir, semacam lajur pantai dimana identitas Jawa atau Sunda cenderung melemah atau
bahkan menghilang dan digantikan oleh sebuah kebudayaan yang jauh lebih kosmopolit.
2
Pembagian Lombard tersebut mengindikasikan bahwa secara budaya terdapat beberapa perbedaan antara ketiga wilayah tersebut.
1
Pengantar Sartono dalam buku Denys Lombard, Nusa Jawa:Silang Budaya,Bagian I: Batas-batas Pembaratan Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005 h. xiv.
2
Ibid., h. 29.
Sejak abad ke-5 Jawa sudah mengenal pemerintahan. pemerintahan yang dipakai adalah kerajaan. Tercatat ada beberapa kerajaan yang pernah menjadi
penguasa di bumi Jawa, di antaranya: Tarumanegara, Syailendra, Mataram Hindu, Singosari, Padjadjaran, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram Islam, Cirebon,
Banten, dan kerajaan-kerajaan kecil lainya. Rickleft menggambarkan beberapa ciri umum negara-negara yang ada di
Indonesia sebelum masa penjajahan. Ciri-ciri umum tersebut tidak berubah selama beberapa abad. Khususnya kondisi tanah, dan iklim di daerah-daerah tersebut
mempunyai dampak yang penting bukan hanya terhadap pertanian dan perdagangan melainkan juga terhadap formasi negara.
3
Letak geografis kerajaan-kerajaan tersebut secara umum dibagi kepada dua bagian, yakni wilayah kerajaan pedalaman dengan sistem kehidupan agraris,
dan kerajaan yang dekat dengan dermaga-dermaga, dengan kecenderungan kerajaan tersebut adalah berdagang karena dekat dengan pelabuhan-pelabuhan dan
biasa disebut kerajaan Maritim. Dua bentuk kerajan seperti yang disebutkan di atas adalah Majapahit
sebagai kerajaan Hindu pedalaman yang fokus perekonomiannya adalah agraris bercocok tanam, dan kesultanan kerajaan Demak yang beragama Islam yang
fokus perekonomiannya berdagang karena berada di daerah pesisir utara pulau Jawa yakni di kota Demak.
Dua kerajaan tersebut memiliki keunikan tersendiri, mengingat adanya perbedaan dalam segi penerimaan agama yang dianut, yakni Majapahit yang
3
M.C. Rickleft, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terj, Satrio Wahono, dkk Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005, h. 49.
beragama Hindu, Budha sebagai agama resmi negara dan Islam sebagai agama tidak resmi negara,
4
dan kerajaan Demak dengan prototip bentuk dan agama resmi Islam. Kedua kerajaan ini tidak begitu jauh dalam memerintah-Demak adalah
kerajaan yang menggantikan Majapahit setelah kehancuranya- Jawa. Bila ditelusuri lebih jauh dua kerajaan tersebut yakni Majapahit dan
Demak merupakan satu rumpun keturunan Singasari. Dan raja Demak pertama sendiri merupakan anak keturunan dari raja terakhir Majapahit, yakni Kertabumi
yang menikahi putri dari Champa Cina.
5
Sistem kekerabatan inilah salah satu yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan-kerajaan di Jawa, selain faktor-faktor
lainya. Menarik untuk dielaborasi pandangan Harry J. Benda mengenai
pendekatan domestikasi, Benda menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan di pesisir maritim akan senantiasa kalah dari kerajaan di pedalaman agraris hal ini
disandarkan kepada sebuah teori mengenai domestikasi Islam yakni kajian menyeluruh tentang Islam di Pulau Jawa pada abad 16-18, perebutan kekuasaan
antara para penguasa kerajaan-kerajaan Islam yang taat di wilayah pesisir Jawa, yang diwakili Demak, melawan kerajaan Mataram yang terkenal sinkretis di
wilayah pedalaman. Ketika yang terakhir memeluk Islam, ia berusaha menekan wilayah-wilayah taklukan mereka di pesisir pantai yang memberontak, dan dalam
4
Diakses tanggal 8 Januari 2008 dalam http:www.majapahit- kingdom.comcmsindex.php?option=com_contenttask=viewid=8Itemid=7.
5
Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LkiS, 2006 h. 32.
proses ini menghancurkan bagian-bagian paling dinamis dari masyarakat Islam di pulau Jawa.
6
Namun tentunya pendekatan ini tidak selamanya benar, mengingat ada beberapa hipotesis yang menyatakan bahwa kerajaan di pedalaman pernah
mengalami kekalahan yakni kerajaan Majapahit yang takluk dari kerajaan Demak, pendekatan Benda tersebut setidaknya terbantahkan dengan kemegahan kerajaan
Demak atas Majapahit ketika kerajaan Majapahit bertekuk lutut di hadapan tentara Demak. Dalam hal ini kekalahan Majapahit adalah kekalahan Non-Islam Jawa
yang berada di pedalaman seperti yang disebutkan Benda atas kekuatan Islam di pesisir Pantai Jawa.
Pertarungan antara pedalaman dan pesisir dijelaskan oleh salah seorang ahli obat dari Lisbon Portugis, Tome Pires, pada abad XVI yang pernah
menjelajahi kepulauan nusantara yakni Sumatera dan Jawa. Pires menyatakan bahwa adanya peperangan antara pesisir dan daerah pedalaman, namun dia
menegaskan bahwa peperangan tersebut jangan dipandang sebagai akibat dari pertentangan agama dan budaya yang tidak dapat dipertemukan. Pires
menambahkan bahwa telah terjadi proses asimilasi budaya ketika agama Islam bertemu dengan budaya tinggi Jawa kuno yang kuat. Hal ini dapat dilihat dengan
besarnya nilai toleransi kerajaan Majapahit dengan membiarkan dua makam orang
6
Hal ini ditegaskan oleh Bahtiar Effendy bahwa Benda ingin menyatakan unsur terpenting dalam teori domestikasi Islam adalah perkembangan perebutan kekuasaan antara Islam
dan unsur-unsur non-Islam dalam masyarakat Indonesia. Oleh Benda unsur-unsur yang terakhir itu diidentifikasikan secara esklusif sebagai unsur ke-jawa-an. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara;
Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998 h. 28-30.
yang beragama Islam di Trowulan dan Tralaya dekat dengan ibu kota kerajaan Majapahit.
7
Peperangan tersebut di atas seperti dinyatakan Pires bukan diakibatkan oleh faktor agama semata, namun seperti dijelaskan oleh Kuntowijoyo, bahwa
berdirinya Demak sebagai kerajaan muslim pertama di Jawa dapat dipandang sebagai kemenangan kelas saudagar dan kerajaan maritim atas kelas aristokrat dan
kerajaan agraris Majapahit.
8
Baik Majapahit maupun Demak tentu mengharapkan legitimasi atas kekuasannya, namun legitimasi tersebut tidak seperti legitimasi yang berada di
Barat, dimana pemangku kekuasaan wajib bertanggung jawab kepada rakyat, mengingat legitimasi kekuasaan bersifat etis dan demokratis.
Bagi kerajaan-kerajaan Jawa legitimasi yang dipakai adalah legitimasi religius yang dilaterapkan secara turun temurun, dimana yang paling berpengaruh
adalah seorang pemimpin yang mampu menampung kekuasaan dari alam semesta yang adiduniawi. Seorang pemimpin Jawa senantiasa diidentikan dengan kekuatan
mistis sebagai perlambang kekuasaannya. Sahnya kekuasaan seorang raja biasanya ditentukan oleh keadaan yang
turun temurun warisan baik dari putra mahkota sebagai penerus kerajaan maupun kerabat dekat kerajaan yang akan meneruskan kerajaan. Proses turun
temurun tersebut diperkuat dengan pengintensifan kekuasaan raja yakni dengan
7
lihat pernyataan Pires yang dikutif dalam M.C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern 1200- 2004., h. 35.
8
Lihat Kuntowijoyo, Agama, Negara dan Formasi Sosial, dalam Prisma No. 8, 1984, h. 40- 41 tulisan ini dikutif dari Samodra Wibawa, Negara-Negara Di Nusantara; Dari Negara-Kota
Hingga Negara-Bangsa Dari Modernisasi Hingga Reformasi Admonistrasi Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001h. 18.
melalui tapa brata dan mengumpulkan benda-benda yang dianggap memiliki kesaktian agar kekuasaan raja semakin bertambah.
Setelah mendapatkan legitimasi kekuasaan dalam bentuk turun temurun kekeluargaan bentuk legitimasi kekuasaan berubah menjadi otoritas kekuasaan,
otoritas termaksud adalah wewenang raja dalam menjalankan roda pemerintahannya. Kebijakan yang diambil oleh raja Majapahit dengan Demak
tentu berbeda hal ini dapat dilihat dari perbedaan pandangan mengenai agama dan pengaruh ajaran agama tersebut.
Dalam tradisi Majapahit seluruh aspek otoritas berada ditangan seorang raja, namun pada kerajaan Demak ada peranan-peranan yang cukup sentral dalam
menentukan otoritas kerajaan selain yang dimiliki oleh sultan, hal ini bisa dilacak dari keberadaan wali sanga yang cukup sentral membantu perluasan wilayah
kerajaan Demak. Telah dipaparkan di atas bahwa kerajaan-kerajaan yang berada di dua
wilayah tersebut memilliki keunikan masing-masing. Bentuk legitimasi kekuasaan dan otoritas kekuasaan menjadi bidikan penulis untuk mengeksplorasi keberadaan
dua kerajaan tersebut. dengan bersandar kepada data-data yang diperoleh, penulis mencoba mendudukan permasalahan inti kekuasaan yang dipakai oleh kerajaan
Jawa dalam memimpin masyarakat. Maka pembahasan tersebut akan disajikan dengan judul : “Kekuasaan Jawa; Studi Komparatif Sistem Kekuasaan Kerajaan
Majapahit dan Demak”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah